“Apa itu Sesuatu?” Belajar Memakna bersama Heidegger dan Janaka

Oleh Tony Doludea

Diceritakan bahwa ketika berumur 12 tahun, Ashtavakra tertarik untuk hadir dan mendengarkan perdebatan filsafat di istana Raja Janaka. Janaka adalah raja Kerajaan Mithila. Janaka adalah Raja Mithila yang ketiga, yang ia warisi dari ayahnya, Danupati.

Raja Mithila ini adil dan bijaksana, sehingga rakyatnya hidup damai. Janaka memiliki seorang puteri angkat, yaitu Shinta, yang kemudian dinikahkan dengan Ramawijaya, putra mahkota kerajaan Ayodya. 

Raja Janaka sangat dikenal karena pengetahuannya yang luas tentang Weda. Istananya itu juga sangat terkenal karena banyak cendekiawan dan orang yang telah tercerahkan datang untuk berbincang tentang pengetahuan dan agama di sana.

Karena tubuh Ashtavakra cacat, meskipun dibantu oleh tongkat, ia harus berjalan selama 30 hari lamanya untuk sampai ke istana Janaka. Perjalanan yang hanya ditempuh 1 hari perjalanan saja oleh orang biasa. Ia berjalan sangat lambat dan dengan susah payah, namun akhirnya sampai juga.

Ashtavakra adalah anak Kahoda, salah seorang murid Resi Uddalaka. Banyak murid yang datang belajar padanya. Kahoda adalah murid yang sangat berbakti kepadanya. Setelah menyelesaikan pendidikannya, Uddalaka memberi Sujata, putri satu-satunya itu kepada Kahoda.

Saat Sujata tengah mengandung, ia biasa duduk dekat ayahnya dan suaminya itu sementara mereka mengajar. Anak di dalam kandungannya itu dapat menguasai Weda dengan mendengarkan uraian sang kakek ketika mengajar.

Kahoda memang tidak semahir gurunya itu dan membuat beberapa kesalahan ketika membaca kitab suci. Tidak tahan mendengar kesalahan tersebut, bayi dalam kandungan itu mulai mengoreksi ayahnya. Merasa malu di hadapan para muridnya, Kahoda lalu mengutuk si bayi karena merendahkannya. 

Setelah lahir bayi ini menderita cacat di delapan bagian tubuhnya; kaki, lutut, tangan, dada dan kepala. Sehingga diberi nama Ashtavakra (orang dengan delapan cacat).

Ketika Ashtavakra masuk ke arena perdebatan itu, setiap orang yang hadir memandang dan menertawakannya. Mereka terbahak-bahak melihat tubuh cacat dan pakaian buruk Ashtavakra.

Ashtavakra memandang hadirin dengan sikap tenang dan diam, namun kemudian tiba-tiba tertawa terbahak dan membuat heran semua yang hadir. Lalu Raja Janaka bertanya tentang siapa dirinya. Ashtavakra menjawab bahwa ia sangat kecewa karena orang yang hadir di situ rupanya bukanlah orang terhormat dan bijak, namun hanya para tukang sepatu saja. 

Ashtavakra berkata kepada Janaka bahwa para penasihatnya itu semua hanya dapat melihat kulit saja. Mereka tidak dapat memahami jiwa (atman). Mereka hanya melihat kulit dan membuat penilaian berdasarkan itu. Ini adalah pekerjaan tukang sepatu, mereka hanya melihat apakah kulit itu bagus atau tidak, halus atau kasar.

Ashtavakra mengatakan bahwa ia telah membuang-buang waktu saja datang ke tempat itu. Bahwa kesucian sebuah kuil itu tidak ditentukan dari luas dan bentuknya, bentuk tubuhnya itu tidak menentukan jiwanya. Penglihatan orang bodoh ditutupi oleh nama-nama dan bentuk-bentuk, tetapi orang bijak memandang jiwanya sendiri.

Janaka dan semua yang hadir di situ menjadi malu mendengar perkataan Ashtavakra itu. Sangat sederhana namun perkataannya itu benar. Janaka sujud dan hormat kepada Ashtavakra. Ia membimbing Ashtavakra ke singgasananya membasuh kakinya dan meminta maaf.

********

Dalam sebuah kuliah pada semester musim dingin 1935 di Universitas Freiburg im Breisgau, Martin Heidegger (1889-1976) memunculkan percakapan ontologis tentang “Apa itu Sesuatu?”. Di sini ia berusaha untuk mengungkap keberadaan sesuatu yang partikular, yang konkret dan keterhubungannya dengan dunia sekelilingnya. 

Sesuatu itu bagi Heidegger adalah something (Jerman: etwas) yang bukan “nothing”. Yang ada, bukan yang tidak ada. Sesuatu itu adalah apa yang ada di sekitar, paling dekat dan paling terjangkau oleh manusia. Misalnya tanah, batu, rerumputan, bunga bakung, embun pagi, kupu-kupu dan lain sebagainya. 

Heidegger ingin mencari tahu tentang apa yang membuat sesuatu itu sesuatu, tentang kesesuatuan dari sesuatu. Bukan tentang keadaan sesuatu, sifat, spesies dan apa yang membuat atau membentuk sesuatu itu. Ia mengajak untuk mencari tahu kesesuatuan sesuatu yang tidak terkondisi. Heidegger berusaha menyingkapkan hakikat sesuatu yang lebih mendasar daripada serangkaian sifat yang tetap dan universal.

Sesuatu itu selalu ada di sekitar manusia sebagai substansi (substance) yang tidak berubah, namun yang memiliki sifat dasar (accident) yang dapat berubah, dan itu diungkapkan dalam sebuah pernyataan (proposisi) yang terdiri dari subjek dengan predikasi dalam suatu komunikasi.

Misalnya, sebuah batu adalah suatu benda berwarna hitam, berat keras dan kasar. Di situ terjadi peristiwa pengalaman manusia langsung dengan sebuah batu di dalam ruang dan waktu. Mengenali sifat-sifat batu itu dan mengomunikasikan pengetahuannya itu dalam sebuah pernyataan.

Heidegger melihat bahwa substansi dari sesuatu itu tidak dapat dimengerti tanpa melibatkan hal-hal yang ada di sekelilingnya. Upaya untuk menjelaskan sebuah substansi justru menghancurkan sifat dasarnya, yaitu bagian utuh dari kenyataan dunia lingkungan di sekitarnya.

Saat orang membiarkan sesuatu itu menampilkan dirinya tanpa ada kepentingan pragmatis terhadapnya. Di sini sesuatu itu tidak akan dipahami sebagai sebuah objek atau benda biasa sehari-hari. Benda atau objek sehari-hari itu dibentuk dan dibangun secara konseptual dengan tujuan demi kepentingan utilitarian manusia saja. 

Memang cara pandang teknologi modern memiliki kecenderungan untuk memahami sesuatu itu sebagai sebuah objek yang dapat dikuantifikasi, untuk dikendalikan dan dikuasai. Ilmu pengetahuan modern dengan cara pikirnya yang kalkulatif itu telah mereduksi sesuatu itu menjadi bagian-bagian yang sama dengan objek-objek lainnya.

Sesuatu dipilah-pilah menjadi bagian-bagian dan meskipun ia merupakan sesuatu yang lain daripada yang lain, keunikannya itu menjadi kabur akibat fragmentasi tersebut.

Reduksi ini mengandung nilai utilitarianisme karena membuat seseorang menangkap sesuatu itu di dalam konsep yang bersifat universal. Akibatnya, sesuatu itu ditampilkan sebagai objek atau benda, sama seperti benda lain pada umumnya, yaitu pada tingkat bahan baku dengan tujuan produksi dan konsumsi.

Heidegger menentang bentuk pemikiran pragmatis seperti itu, dengan mengusulkan supaya orang membiarkan sesuatu itu ada begitu saja. Sesuatu yang ada itu sebagai ada yang menampilkan dirinya apa adanya, tanpa diganggu.

Heidegger mengingatkan untuk tidak menyalahpahami antara objek atau benda sehari-hari dengan sesuatu. Ketika terjadi salah paham tersebut, maka sesuatu itu tidak lagi dapat dimengerti sebagai sesuatu.

Heidegger mengritik epistemologi tradisional sejak dari Plato, yang membedakan dan memisahkan manusia secara dikotomis sebagai subjek penahu dengan benda sebagai objek yang diketahui. Karena melalui pemisahan tersebut, sesuatu itu secara diam-diam dilihat tidak lebih hanya sebagai sebuah objek yang memiliki sifat-sifat universal dan kehilangan sifat-sifat partikular khasnya sendiri yang nyata. 

Namun jika orang membiarkan sesuatu itu bermukim pada dunia apa adanya, maka akan tersingkap hubungan kesatuan antara bumi, langit, manusia dan yang ilahi. Sesuatu itu mewujudkan kaitan yang selaras dari keempat hal tersebut.

Keterkaitan harmonis empat hal tersebut menyingkapkan makna dunia, yang bertentangan secara tajam dengan nilai yang diboyongnya oleh paradigma teknologi dan ilmu pengetahuan yang bersifat antroposentris tersebut.

Bagi Heidegger sesuatu itu bukanlah benda tak bernyawa yang terpenggal-penggal secara atomistik, yang terpisah dari lingkungan bermukimnya. Namun sesuatu itu selalu mengandung hubungan harmonis yang erat dengan dunia sekelilingnya.

Sesuatu itu merupakan pusat kesatuan harmonis yang menyatakan keterkaitan erat dan keberakaran manusia dalam partikularitasnya pada Ada (Being). Lalu Ada ini memang sudah sejak dari awal telah menjadi pusat perhatian utama pemikiran Heidegger. 

Namun Heidegger menolak keras untuk merumuskan masalah Ada ini dalam bentuk pertanyaan “Apa itu Ada?”. Karena bertanya seperti ini sama saja memperlakukan Ada “adalah” suatu “apa”, suatu benda, entitas atau substansi. Meskipun Ada ini juga bukanlah Allah, kenyataan, dasar dunia, gagasan dan seterusnya.

Ada membuat segala hal yang ada itu menjadi dan memang ada. Ada mewujud dalam segala hal yang ada dan tampak nyata keluar dari ketiadaan. Oleh sebab itu bagi Heidegger Ada dapat didekati hanya melalui Dasein (ada di sana), yaitu manusia.

Manusia (Dasein) sangat berbeda dari mahluk yang lainnya bukan karena ia itu animale rasionale, tetapi karena manusia adalah Seinsverstandnis (pemahaman-akan-Ada). Manusia satu-satunya mahluk yang mempertanyakan Ada. Sementara mahluk lainnya tidak memiliki pemahaman-akan-Ada. 

Pemahaman-akan-Ada adalah keterbukaan terhadap Ada. Manusia sejak awal sudah berurusan dengan Ada, begitu dekat dengan Ada, satu struktur dengan Ada. Senantiasa akrab bercengkerama dengan Ada. Ada merupakan suatu yang pokok dan selalu mengitarinya bersama. Manusia adalah pemahaman-akan-Ada dan ia ditentukan oleh pemahaman-akan-Ada.

Manusia satu-satunnya yang memiliki kualifikasi sebagai titik berangkat untuk meneliti Ada (Being). Kunci pembuka untuk menguak Ada terdapat pada manusia. Namun Ada tidak dapat direduksi kepadanya. Karena Ada itu begitu luhur dan tampil sebagai proses ketidaktersembunyian yang tidak memiliki titik akhir.

Untuk itu Heidegger memulainya dengan melakukan suatu analisa terhadap Dasein, yaitu mengungkap struktur-struktur dasar Dasein. Heidegger menyebut keseluruhan struktur Dasein adalah Sorge (concern), keprihatinan. Keprihatinan merupakan suatu interaksi praktis dengan benda-benda disertai dengan suatu sikap tertentu terhadap sesamanya dan dirinya sendiri.

Keprihatinan sebagai struktur menyeluruh manusia ini harus dipahami dalam bingkai temporalitas (Zeitlichkeit). Bahwa manusia terlempar (Geworfen-sein) begitu saja ke dalam dunia secara kebetulan, tidak dipilih dan ditentukan sendiri, fana dan tidak mutlak.

Maka dari itu, manusia merupakan suatu keadaan yang penuh keprihatinan, tenggelam dalam dunia. Mengurus dunia benda-benda (Vorhandenes) dan dunia alat-alat (Zuhandenes). Oleh kecemasan, rasa takut (Angst) manusia diseret untuk tenggelam dalam dunia benda-benda dan alat-alat. Rasa takut ini disebabkan oleh kesadaran bahwa manusia dapat mati.

Manusia adalah ada-yang-menuju-kematian (Sein zum Tode). Heidegger melihat bahwa kematian itu sangalah penting, karena kehidupan yang tidak memiliki akhir akan membuat tidak ada yang mendesak. Segala sesuatu kehilangan nilai pentingnya, karena keputusan atau tindakan akan selalu dapat ditunda. Hanya suatu hidup yang akan berakhir membuat keputusan dan tindakan manusia itu bermakna.  

Manusia memang berbeda dari benda-benda di sekelilingnya, namun ia mempunyai kecenderungan kuat untuk menjadi sebuah benda, suatu objek. Lebih banyak dan sering kali manusia begitu tenggelam dalam dunia benda dan dunia sosial, yang menjadikannya tanpa kepribadian. Manusia menjadi dangkal. Menenggelamkan diri dalam pembicaraan yang hampa, keingintahuan kabar terbaru dan mode terbaru. Manusia takut untuk hidup secara mendalam, bebas dan otentik.

Dunia manusia dikuasai oleh cara pikir dan sikap ilmiah-teknis yang menghidari dan menutup diri dari pertanyaan dan permasalahan ontologis, tentang keseluruhan makna kenyataan dan makna hidup. Dengan demikian manusia mengalami keterasingan (Entfremndung), teralienasi dari dirinya sendiri.

Heidegger menegaskan bahwa manusia dilemparkan ke dalam keberadaanya itu sebagai yang bertanggung jawab atas adanya dirinya sendiri, dan ini merupakan cara beradanya. Mengadakan diri berarti mewujudnyatakan kemungkinan-kemungkinannya. Saat manusia memilih satu kemungkinan tertentu saja dan tidak memilih kemungkinan-kemungkinan yang lainnya, maka meng-ada-lah kebebasan. 

Heidegger berusaha mendorong manusia untuk memberi isi kepada hidupnya yang terbatas dan yang segera akan berakhir dalam kematian ini dengan melakukan tugas unik tersebut. Untuk berpikir kembali tentang makna keberadaannya sebagai penyingkapan dan pemberitaan Ada.

Maka manusia akan terhindar dari segala hal yang semu dan meskipun ia menemukan kehinaannya, namun ia akan tetap tekun mengupas dan melepaskan dirinya dari semua khayalan. Ketekunan (Entschlossenheit) untuk mengikuti kata hati supaya sampai kepada penemuan dirinya sendiri. Dalam ketekunan itu seluruhnya menjadi jelas dan ia akan mendapatkan pemahaman dan makna tentang manusia dan dunia. Dari dalam hati yang tekun ini akan muncul sukacita dan kegembiraan.

*********

Pada suatu hari, Raja Janaka bermimpi. Dalam mimpi itu raja melihat dirinya adalah seorang pengemis, berlari ke sana ke mari di dalam kerajaannya sendiri. Haus, lapar dan mengemis dari pintu ke pintu. Namun rakyatnya sendiri membalikkan badan dan tidak mau menolongnya. 

Setelah terbangun dengan bermandikan keringat dingin dari mimpi buruk itu, Janaka sangat gusar mencari makna dari mimpi tersebut. “Apakah dirinya itu sesungguhnya seorang raja atau hanya pengemis jembel saja?” 

Ashtavakra datang menghadap tahta dengan jawaban yang mengejutkan, “Sesungguhnya Janaka itu bukan jembel pengemis dan juga bukan raja. Engkau sendiri yang nyata dan yang sesungguhnya benar. Engkau yang dalam mimpi adalah seorang pengemis dan engkau yang dalam keadaan terjaga adalah raja. Engkau yang menjadi saksi kedua keadaan tersebut adalah dirimu yang sesungguhnya.”

Menurut Ashtavakra, hidup pada saat terjaga di siang hari itu adalah mimpi dan mimpi pada malam hari adalah juga mimpi. Keduanya tidak nyata. Mereka itu tidak nyata karena selalu berubah dan tidak tetap, penuh kekurangan dan tidak sempurna. Hanya engkau yang tetap tidak berubah dalam segala keadaan tersebutlah yang sesungguhnya nyata, bebas dari semua perubahan dan khayalan.

Ashtavakra melanjutkan penjelasannya kepada Raja Janaka, “Saat engkau berupaya mencari keberadaan yang lebih nyata, apakah engkau melihat bahwa keduanya itu keliru? Engkau sebagai pengemis adalah bukan dan bersifat sementara, dan sama saja ketika engkau sebagai raja. Jadi manakah yang sesungguhnya paling nyata?”

Percakapan mendalam antara Ashtavakra dan Janakan itu dimuat dalam Ashtavakra Gita. Gita yang disusun paling lambat pada abad 8 Masehi ini berisikan perbincangan tentang masalah besar, yaitu tentang diri dan kesadaran manusia, serta bagaimana orang dapat hidup bebas, bahagia dan sukacita.

Tertulis bahwa pada hari itu, saat Janaka sedang duduk bersama Ashtavakra gurunya, ia bertanya, “Guru, jelaskan bagaimana orang bisa mendapatkan pengetahuan, kebijaksanaan dan tercerahkan?” Masalah mendasar umat manusia nampaknya tidak berbeda, yang membedakannya adalah cara ia mengajukan pertanyaan atas masalah mendasar itu.

Tradisi pemikiran “Barat” memulainya dengan pertanyaan “Apa itu Ada?”, seperti yang telah dipaparkan oleh Heidegger. Heidegger juga telah menunjukkan bahwa jawaban pertanyaan itu akan kembali dicari pada persoalan makna hidup manusia. Namun Janaka yang hidup dalam tradisi pemikiran “Timur” justru langsung mengangkat masalah mengenai pengetahuan dan kebijaksanaan yang dapat membebaskan manusia.

Janaka telah menggumuli persoalan itu dalam hidupnya sendiri selama ini. Sebagai seorang raja, ia memiliki harta, pengetahuan yang luas, kekuasaan, kebebasan dan semua sumber daya untuk melakukan apapun yang ia inginkan. Namun Janaka masih saja mencari tahu “apa itu pengetahuan dan kebahagiaan”. Ia sudah tahu sekali bahwa seseorang dapat memiliki seluruh dunia ini tetapi tetap saja tidak bebas dan bahagia.

Ashtavakra menjawab, “Tinggallah dalam Kesadaran tanpa ilusi diri. Segera engkau akan bebas dan damai. Engkau bukan tanah, air, api atau udara. Juga bukan angkasa. Kebebasan adalah memahami diri sebagai Kesadaran, Saksi semuanya ini.” Ashtavakra menyadari manusia itu sesungguhnya tidak pernah terikat, diperbudak dan tanpa tindakan, tanpa noda dan selalu sudah tercerahi. 

Seperti halnya Siddharta Gautama memutuskan untuk meninggalkan istana, istri dan anaknya yang baru lahir. Ia pergi untuk bertapa demi menghilangkan penderitaan dan membebaskan diri dari usia tua, sakit dan mati. Setelah enam tahun, ia sadar pada kenyataan bahwa bertapa dengan menyiksa diri, kesucian rohani maupun hidup dengan kemewahan duniawi itu bukanlah jawaban untuk melepaskan diri dari penderitaan dan karma.

Penyebab manusia itu tetap terbelenggu karena ia selalu berusaha untuk membebaskan pikirannya. Ashtavakra mengajak Janaka merenungkan ini. Karena sesungguhnya segala kenyataan yang terkondisi ini seperti mimpi, khayalan, seperti gelebung udara, bayang-bayang. Seperti setetes embun pagi dan kilatan cahaya. 

Kepada Janaka, Ashtavakra hendak menyampaikan bahwa manusia itu tidak memerlukan meditasi, yoga, guru, ajaran dan perilaku tertentu untuk tercerahi, untuk bebas dan bahagia. Tidak ada laku ritual, puja bakti, japa mantra dan mendaras doa.

Semua kenyataan ini adalah Sang Diri Sejati, Kesadaran yang bersifat Maha Tunggal dan Tak Terjabarkan. Seperti yang diajarkan juga oleh Guadapada (abad 7 Masehi) dalam Mandukya Uphanisad, bahwa tidak ada pembebasan, tidak ada belenggu, tidak ada pencarian kebijaksanaan, tidak ada pencari kelepasan dan tidak ada yang dilepaskan. Inilah kebenaran abadi.

Ashtavakra merupakan guru yang telah memiliki pengertian mendalam tentang diri dan ajaran tentang advaita (non-dual). Ia sederhana, terus terang, jelas dan berani. Ia mengajarkan bahwa ketika seorang telah melampaui ketakutan dan kebingungan, maka saat itu juga dirinya telah berkembang. 

Ia blak-blakan supaya orang sadar bahwa “Jika engkau pikir dirimu bebas, engkau bebas. Jika engkau pikir dirimu terbelenggu, engkau terbelenggu. Karena engkau adalah apa yang engkau pikirkan. Benar dan salah, baik dan buruk, senang dan susah, hanya ada dalam pikiran.” Ashtavakra menekankan untuk melampaui dan tidak mempedulikan semuanya itu dengan menyadarinya sebagai pikiran.

Demikian juga yang pernah diberitakan oleh Kitab Dhammapada bahwa “Pikiran adalah pelopor dari segala sesuatu, pikiran adalah pemimpin, pikiran adalah pembentuk. Bila seseorang berbicara atau berbuat dengan pikiran jahat, maka penderitaan akan mengikutinya, bagaikan roda pedati mengikuti langkah kaki lembu yang menariknya. Bila seseorang berbicara atau berbuat dengan pikiran murni, maka kebahagiaan akan mengikutinya, bagaikan bayang-bayang yang tak pernah meninggalkan bendanya.”

Setelah hidup dan belajar bersama Ashtavakra gurunya itu, Janaka berjuang menggumuli sendiri untuk memahami pengetahuan dan pencerahan yang selama ini ia dambakan itu. Janaka menggunakan pengetahuan tentang kebenaran tersebut menjadi sebuah alat pencepit, berusaha untuk mengeluarkan pandangan keliru dari relung batinnya yang terdalam.

Namun untuk itu, Ashtavakra berusaha mengungkapkan pengalamannya tersebut dengan tidak menggunakan pernyataan-pernyataan, melainkan dengan pertanyaan-pertanyaan. Setelah Janaka sadar bahwa manusia adalah saksi, yang menyaksikan segala kenyataan ini. Manusia adalah saksi yang menyaksikan bahwa dirinya itu bukan tubuhnya, perasaannya, pikirannya dan segala perbuatannya. 

Sementara Heidegger menyatakan bahwa manusia (Dasein) adalah pemahaman-akan-Ada. Ada mengungkapkan diri sekaligus menyembunyikan diri melalui manusia. Manusia memeristiwakan Ada dan memberitakan Ada. Manusia yang berpikir dan mengisi kemewaktuannya yang sangat terbatas dan singkat itu, menuju kematian. Dengan menggambil keputusan dan menanggungnya secara tekun sepanjang hidupnya yang fana, olehnya manusia bebas dan bahagia. 

Keputusan dalam hidup manusia ini tidak berkaitan dengan tindakan moral, atau masalah kesucian dan keberdosaan, tentang keselamatan dan surga yang abadi. Makna hidup manusia terletak pada menghidupi menyingkapnya Ada yang sungguh misterius, lebih luhur dari kesucian dan lebih megah dari keabadian. 

Janaka mengajukan pertanyaan-pertanyaan atas semua pengetahuannya sendiri dan atas ajaran Asthavakra, supaya tidak mengulangi salah sangka yang telah menghinggapi manusia selama ini. Janaka tidak ingin menjadi tukang sepatu terus, yang hanya melihat kulit yang bagus dan halus saja. Seperti yang juga telah ditunjuk oleh Heidegger, bahwa manusia selama ini berada dalam kelupaan-akan-Ada (Seinsvergessenheit), dengan menyamakan begitu saja Ada dengan sesuatu, objek dan benda sehari-hari. 

Meskipun demikian, kelupaan-akan-Ada itu merupakan salah satu bentuk dan cara Ada menyingkap. Sehingga tidak perlu ditolak, namun harus segera disadari dan disaksikan saja. Seperti menyaksikan sebuah pertunjukkan atau menonton film. Saksi tidak terlekat dengan semua yang terjadi di panggung atau di layar bioskop itu. Cerita terus mengalir, cepat berubah-ubah, tidak tetap dan tidak dapat dipisah-pisahkan karena saling terkait erat satu dengan yang lainnya. 

Namun saksi tidak terbelenggu oleh tragedi juga komedi cerita itu. Saksi tidak terjerat oleh permainan salah-benar, baik-buruk, senang-sedih dan seterusnya. Saksi hanya menonton peristiwa Ada dan semuanya itu sangat cepat berlalu dan segera berakhir.

Oleh sebab itu, alih-alih menjelaskan “Apa itu pengetahuan?”, “Apa itu pencerahan?”, Janaka malah bertanya:

Di mana nafsu?
Di mana baik dan buruk?
Di mana kesadaran sejati?
Di mana jati diri?

Di mana dualitas dan non-dualitas?
Di mana masa lalu?
Di mana masa datang?
Di mana saat ini?

Di mana awal?
Di mana akhir?
Di mana keseluruhan?
Di mana sebagian?

Di mana dosa?
Di mana kesucian?
Di mana keselamatan?
Di mana hukuman?

Di mana dunia?
Di mana hidup?
Di mana mati?
Di mana moksa?

Di mana samadi?
Di mana kebodohan?
Di mana pengetahuan?
Di mana perbuatan?

Di mana atman?
Di mana brahman?
Di mana siwa?
Di mana kebijaksanaan?

Di mana kenyataan?
Di mana khayalan?
Di mana keberadaan?
Di mana ketiadaan?

Di mana keabadian?
Di mana kesementaraan?
Di mana tetap?
Di mana berubah?
Di mana keheningan?
Di mana kekosongan?
Di mana kepenuhan?
Di mana kesemarakan?

Di mana penderitaan?
Di mana kebahagiaan?
Di mana pencerahan?
Di mana keselarasan?

“Apa yang harus dikatakan lagi?”, tanya Janaka.

Di dalam cerita pewayangan, Janaka memiliki umur yang sangat panjang. Bahkan ia masih sempat menyerahkan tahta kerajaan Mithila kepada Kusya, cucunya, putra Shinta. Dan dipercayai Janaka moksa, tubuhnya hilang lenyap.

Namun sesungguhnya kemoksaan itu telah terjadi ketika seseorang menyadari bahwa “diri manusia” itu sejatinya adalah Saksi. Sebagai saksi yang langsung menyaksikan sendiri tubuh, perasaan, pikiran dan perbuatan-“nya”.

Meminjam Heidegger, Dasein itu adalah manusia sebagai pemahaman-akan-Ada. Manusia adalah orang yang terlempar begitu saja ke dalam dunia dan memaknai keterlemparannya itu sebagai ketersingkapan terus-menerus misteri sakral Ada, yang tak terpahami, tak terkatakan dan tak terjelaskan. Manusia, Sein zum Tode, sedang menuju pada kematian. Inikah kiranya kebebasan, sukacita dan pencerahan itu?

*********

Pada suatu ketika dalam kandungan seorang ibu ada bayi kembar, bayi yang pertama bertanya kepada yang satunya, ‘Apa engkau percaya ada kehidupan setelah kelahiran?’

Bayi yang kedua menjawab, “Mengapa? Tentu saja percaya. Ada sesuatu setelah kelahiran. Mungkin kita di sini sedang mempersiapkan diri untuk menjadi seseorang di masa yang akan datang.”

“Tidak masuk akal,” kata yang pertama. “Tidak akan ada kehidupan setelah kelahiran. Akan seperti apa jadinya kehidupan itu?”

“Aku tidak tahu, tapi keadaan akan lebih terang dan banyak cahaya daripada di sini. Mungkin kita akan berjalan dengan kaki kita dan makan melalui mulut kita.”

Bayi yang ragu-ragu itu tertawa. “Ini absurd! Berjalan itu tidaklah mungkin. Dan makan menggunakan mulut kita? Ini sungguh sinting. Tali pusat menyalurkan makanan. Kehidupan setelah kelahiran berada di luar sana. Sedangkan tali pusat ini sangat pendek.”

Bayi yang kedua ngotot. “Aku pikir ada sesuatu di sana dan mungkin sangat berbeda dengan di sini.”

Jawab bayi yang pertama, “Tidak ada seorangpun yang pernah kembali dari sana. Kelahiran adalah akhir dari kehidupan, dan setelah kelahiran itu tidak ada sesuatu kecuali kegelapan dan kegentaran, dan akan begitu seterusnya.”

“Baik, aku tidak tahu,” kata kembarannya itu, “tapi kita akan melihat ibu dan ia akan merawat dan menjaga kita.”

“Ibu?” Bayi pertama terkekeh. “Engkau percaya ada ibu? Di mana ia sekarang ini?”

Bayi yang kedua dengan tenang dan sabar mencoba untuk menjelaskan. “Ia ada di sekeliling kita. Ini, di dalam dia kita hidup. Tanpanya tidak akan ada dunia.”

“Haaa. Aku tidak melihatnya, jadi orang mengatakan ia tidak ada itu hanya berdasarkan akal sajakah?”

Balas bayi yang kedua, “Terkadang saat engkau dalam hening engkau dapat mendengarnya, engkau dapat melihatnya. Aku yakin bahwa ada kenyataan setelah kelahiran dan kita di sini sedang mempersiapkan diri untuk kenyataan itu, saat ia datang kelak… .”

*Penulis adalah Peneliti di Abdurrahman Wahid Center for Peace and Humanities Universitas Indonesia.

———-

Kepustakaan

Bertens, K. Filsafat Barat Abad XX Inggris-Jerman. Gramedia, Jakarta, 1983.
Hadiwijono, Harun. Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Kanisius, Yogyakarta, 1980.
Heidegger, Martin. What Is A Thing? Henry Regnery, Chicago, 1967.
Heidegger, Martin. Poetry, Language, Thought. Harper and Row, New York, 1971.
Richards, John Henry (Translator). Ashtavakra Gita. Abhaya Books, New York, 2015.