Kopi Arabika Papua

Mengenal Kopi Arabika Papua

Oleh Hari Suroto

Papua dikenal sebagai penghasil kopi terbaik di dunia. Kopi jenis Arabika typica ditanam oleh petani tradisional di lahan semi hutan di lereng-lereng bukit di pegunungan tengah Papua, mulai dari Pegunungan Bintang, Yahukimo, Lembah Baliem, Intan Jaya hingga Dogiyai. Kopi arabika ini pertama kali diperkenalkan oleh misionaris sekitar tahun 1970-an, yang pada mulanya untuk menutupi biaya operasional penerbangan pesawat kecil dari pedalaman ke Sentani atau Nabire. Rasa kopi Arabika Papua sangat unik dan khas, ditanam pada ketinggian 1600 hingga 2000 m dpl, dengan suhu berkisar 15 – 21 derajat celcius. Kopi arabika Papua ditanam secara organik, hanya mengandalkan kebaikan alam. Mulai dari panen, pasca panen dilakukan manual hanya dengan tangan.

Pemanasan global menjadi ancaman serius bagi tanaman kopi arabika Papua, perubahan iklim berdampak pada temperatur di Papua. Hal ini dikhawatirkan berpengaruh pada tanaman kopi arabika di pegunungan Papua. Seperti diketahui bahwa kopi arabika sangat sensitif dan rentan terserang oleh penyakit. Pembukaan hutan untuk lahan pemukiman, pertambangan, pertanian dan pembangunan infrastuktur telah mengakibatkan kenaikan suhu di Papua.

Kenaikan suhu di tengah-tengah perubahan iklim dikhawatirkan akan memicu lebih banyak hama dan penyakit yang menyerang tanaman kopi arabika. Solusinya agar kopi Arabia tidak hilang dari Papua adalah menjaga suhu tetap dingin di pegunungan Papua dengan cara terus menjaga keberadaan hutan tropis Papua dan penghijauan kembali lahan yang kosong. Selain itu, kopi arabika perlu ditanam dengan tanaman pelindung untuk mengurangi intensitas cahaya matahari yang sampai di kanopi daun. Kopi arabika tidak dapat tumbuh dengan baik pada areal yang terbuka.Saat ini, dampak nyata pemanasan global terlihat dari mencairnya gletser di Puncak Jaya. Lapisan es di Puncak Jaya, diprediksi akan hilang, jangan sampai hal ini terjadi juga pada kopi arabika Papua.

Kopi Pegunungan Bintang

Pegunungan Bintang, Papua memiliki jenis kopi arabika spesial. Pada umumnya kopi arabika di Indonesia ditanam pada ketinggian 1500 meter di atas permukaan laut (mdpl). Petani kopi Pegunungan Bintang menanam kopi arabika pada ketinggian 1800 hingga 2000 mdpl. Pada ketinggian ini, udara sangat dingin dengan suhu 18 – 23 celcius.

Suhu udara yang dingin, berkabut dan intensitas cahaya matahari yang kurang membuat buah kopi matang lebih lama di pohon. Inilah yang menjadikan kopi arabika Pegunungan Bintang berbeda dan berkualitas sempurna. Proses pematangan buah yang lama menjadikan zat gizi akan menumpuk dan rasa kopi cenderung lebih asam.

Kopi arabika mulai ditanam tahun 1970-an, benih kopi arabika typica didatangkan langsung dari Dogiyai dengan pesawat kecil oleh misionaris Belanda. Kopi arabika Pegunungan Bintang ditanam di Lopkop, Sabin, Distrik Okbab. Andaka, Distrik Okbibab serta Nangultil, Distrik Kiwirok.

Selain ditanam secara organik, biji kopi dipanen secara manual, hasil panen juga diproses secara manual dengan tangan manusia bukan mesin. Panasnya mesin pengolah kopi dapat menurunkan kualitas kopi.

Kopi Pegunungan Bintang memiliki rasa khas yaitu citrus, berry, jeruk, fruity, sweet chocolate, sugar cane dan peach. Selain dipasarkan di Sentani dan Kota Jayapura, kopi Pegunungan Bintang juga diminati oleh konsumen Australia, Selandia Baru, Belanda dan AS. Hal ini dapat dilihat dari para pekerja warga negara asing di Sentani, sering mengirimkan kopi ini pada keluarga di negara asalnya. Selain itu kopi ini sering dijadikan oleh-oleh WNA yang pulang kampung ke negaranya.

Kopi Hari Bersama

Kopi Hari Bersama berawal dari mahasiswa asal Distrik Okbibab, Kabupaten Pegunungan Bintang. Mereka utk bisa bayar SPP dan biaya hidup di Kota Jayapura, mereka dikirim kopi oleh orang tuanya di kampung. Kopi ini jenis arabika typica. Ditanam pada ketinggian 2000 mdpl. Ditanam di kebun semi hutan yang subur, tumpang sari dengan tanaman palawija terutama ubi jalar. Organik, semua mengandalkan kebaikan alam. Proses pemanenan menggunakan tangan, pemrosesan buah kopi menjadi green bean juga masih manual dengan tangan.

Dari Distrik Okbibab, biji kopi dikirim menggunakan pesawat kecil jenis twin otter, penerbangan bukan terjadwal,tergantung kalau ada carteran dari Sentani Jayapura, baru petani nitip kopi. Biji kopi dari Distrik Okbibab dikemas dalam karung bekas wadah beras.

Pemasaran kopi ini online, kopi bubuk maupun biji kopi roasting. Niatnya bermula dari untuk membantu memasarkan kopi dari petani Suku Ngalum di pedalaman Pegunungan Bintang, Papua.

Kopi Bersama Papua

Gambar ilustrasi pemasaran Kopi Bersama (1)

Akses untuk menuju ke Distrik Okbibab hanya dapat dilakukan dengan pesawat terbang kecil. Belum ada jalan darat. Tidak ada tower telepon seluler. Yang ada hanya pemancar radio SSB. Untuk komunikasi dengan keluarga di Jayapura, warga menggunakan Whatsapp, melalui jaringan satelit yang berbayar per jamnya.

Kopi di Okbibab, pertama kali diperkenalkan oleh misionaris pada tahun 1970-an. Bibit kopi didatangkan dari Moanemani, Kabupaten Dogiyai yang terkenal dengan jenis kopi arabica typica, di Moanemani kopi ditanam oleh Suku Mee.

Ongkir kopi dari Okbibab menggunakan pesawat kecil, 7500 rupiah per kg. Suhu udara di Okbibab sangat dingin, penjemuran biji kopi butuh waktu lama. Voucher internet satelit di Okbibab 100 ribu untuk 3 hari. Radio SSB milik kantor distrik atau petugas maskapai pesawat perintis AMA. Distrik Okbibab ke oksibil ibukota kab pegunungan bintang, hanya dengan jalan setapak (jalan tikus) sekutar 1 hingga 1,5 hari. Pesawat ke Distrik Okbibab dari Bandara Sentani hanya pesawat AMA, tiket 2 jutaan per orang.

Kopi Bersama Papua

Gambar ilustrasi pemasaran Kopi Bersama (2)

Kopi Hari Bersama menjadi ruang bagi ilustrator milenial untuk menunjukan pada dunia, hasil kreasi mereka, berupa gambar ilustrasi dalam bentuk digital art. Para ilustrator milenial ini pada umumnya adalah para mahasiswa desain komunikasi visual dari kampus-kampus di Indonesia.

Kopi Bersama

Gambar ilustrasi pemasaran Kopi Bersama (3)

Selain itu, Kopi Hari Bersama juga bertujuan untuk mengenalkan kopi Papua pada dunia. Hasil karya ilustrator milenial ini diposting dalam Instagram @kopiharibersama, gambar merupakan bahasa universal yang paling mudah dipahami di seluruh dunia. Kopi Hari Bersama sendiri, bermula dari membantu memasarkan komoditas kopi arabika Papua dari pedalaman Papua untuk membayar SPP mahasiswa.

Kopi Bersama Papua

Mahasiswa Papua yang mengagas Kopi Bersama

Selama ini, kopi arabika Papua terkendala dalam hal pemasaran. Selain itu, ancaman lainnya adalah perubahan iklim, pemanasan global. Seperti diketahui tanaman kopi arabika sangat sensitif pada perubahan suhu. Tanaman kopi arabika Papua ditanam pada ketinggian 1650 hingga 2000 m dpl.

Kopi Bersama Papua

Gambar ilustrasi pemasaran Kopi Bersama (4)

Permasalahan lainnya adalah, tanaman kopi arabika Papua merupakan tanaman tua yang perlu peremajaan. Saat ini tanaman kopi arabika Papua, ditanam secara semi hutan, hanya mengandalkan kebaikan alam. Kopi ini dari pedalaman dibawa menggunakan pesawat kecil. Para petani kopi arabika Papua pada umumnya adalah generasi tua. Tanaman ini ditanam di lahan lereng-lereng pegunungan.

Diharapkan, dengan adanya Kopi Hari Bersama, selain produk kopi arabika Papua dikenal dunia, juga para ilustrator milenial dapat memamerkan karyanya, yang lebih penting lagi, ke depan akan muncul petani-petani milenial Papua. Generasi muda Papua diharapkan kembali ke kampung dan membangun kampung dengan budidaya kopi arabika.

Foto kemasan Kopi Bersama (1)

Foto kemasan Kopi Bersama (2)

Generasi muda Papua ini adalah alumni-alumni kampus ternama dari Jerman, Selandia Baru, Australia, Amerika Serikat, maupun kampus-kampus ternama di Indonesia. Melalui jaringan mereka, kopi arabika Papua akan semakin dikenal di dunia. Kopi Hari Bersama juga menjadi media kampanye penyelamatan kopi arabika Papua dari ancaman perubahan iklim dunia.

Kampanye ini dalam bentuk gambar-gambar ilustrasi. Sudah saatnya kopi arabika Papua masuk dalam generasi 4.0, disinilah peran ilustrator milenial dan petani milenial berkontribusi dalam memajukan kopi arabika Papua.

Festival Kopi Papua

Papua memiliki beberapa festival yang sudah menjadi agenda nasional, sebut saja Festival Teluk Humboldt di Kota Jayapura, Festival Danau Sentani, Festival Budaya Asmat di Kabupaten Asmat dan Festival Budaya Lembah Baliem.

Dari sekian festival yang ada di Papua, selama ini tidak satupun yang ada di wilayah adat Meepago. Meepago meliputi kabupaten Paniai, Deyai, Dogiyai, Intan Jaya, Mimika dan Nabire. Padahal wilayah Meepago memiliki budaya yang khas dan alam yang indah.

Festival Meepago yang akan diselenggarakan tahun 2022

Paniai, Deyai, Dogiyai, Intan Jaya, Mimika terletak di pegunungan Papua dengan budaya tradisional pria berkoteka. Sedangkan Nabire dan Mimika menjadi tempat bertemunya budaya pantai dan pegunungan. Di Nabire akan dijumpai noken khas pegunungan dan noken khas pantai.

Untuk Nabire, dapat dikembangkan Festival Kwatisore, festival ini fokus pada keunikan Kampung Kwatisore, yang setiap sore selalu hujan. Selain itu di lepas pantai Kwatisore terdapat gurano bintang atau ikan paus. Festival Kwatisore lebih pada atraksi budaya di Nabire, pameran kuliner tradisional, pameran kerajinan tradisional seperti noken.

Sedangkan bagi pengunjung yang ingin melihat ikan hiu paus, wajib membayar mahal, agar pengunjung lebih selektif dan habitat ikan hiu paus tidak terganggu.

Festival lainnya yang dapat dikembangkan adalah, Festival Kopi Moanemani. Kopi Moanemani sangat dihargai mahal di Jakarta dan Eropa. Dengan festival ini kesejahteraan petani kopi, mama-mama petani keladi, ubi jalar dan sagu, serta mama-mama pengrajin noken, kesejahteraannya akan semakin meningkat.

—————

*Penulis saat ini adalah Peneliti di Balai Arkeologi Papua

*Kopi Arabika Pegunungan Bintang, Papua dapat dibeli di Kedai BWCF https://borobudurwriters.id/kedai-bwcf/kopi-bwcf-arabica-pegunungan-bintang-papua/