Sikka, Suatu Hari, Suatu Pertemuan

Oleh Soffa Ihsan

Maumere dikenal sebagai kota yang kering dan panas. Sesuai nama Sikka yang berasal dari bahasa Portugis, sicha artinya adalah kering. Walau begitu, Maumere menyimpan eksotika alam dan budayanya yang tak kalah menarik. Ya, dibalik terik itu, di sana ada budaya Sikka yang memikat.

Sikka menyimpan banyak tradisi kesenian seperti tari-tarian yang telah menjadi bagian dari adat istiadat dan ritual masyarakat Sikka di Maumere. Seiring itu menariknya lagi adalah kemenyatuannya tradisi Sikka dengan agama Katolik yang merupakan agama mayoritas di Maumere.

Maumere adalah ibu kota Kabupaten Sikka yang terletak di Pulau Flores, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Maumere juga dikenal sebagai salah satu kota terkecil yang pernah dikunjungi Paus Yohannes Paulus II pada tahun 1989. Di tempat inilah, sekitar 300.000 umat dari seluruh penjuru Flores berbondong-bondong datang untuk mengikuti misa akbar yang dibawakan pemimpin umat Katolik sedunia, Paus Yohanes Paulus II. Kabarnya kala itu, mendiang Sri Paus bersikeras bermalam di Maumere, meski saat itu ibu kota Nusa Tenggara Timur ini belum memiliki hotel yang bisa dianggap layak untuk menyambut tamu negara. Seminari Tinggi Santo Petrus Ritapiret kemudian terpilih menjadi tempat bermalam. Bersama dengan Seminari Ledalero, kedua sekolah tinggi ini dikenal sebagai ‘matahari intelektual dari Timur’ yang telah menghasilkan banyak imam yang tersebar di berbagai negara.

Untuk mengorek lebih mendalam tentang pesona budaya Sikka, saya dan tim bertandang ke rumah sejarawan Maumere, Oscar Pararei. Dalam tuturannya,  dulunya Kampung Maumere bernama Alok Wolokoli karena banyak orang Wolokoli berjualan gerabah menetap di situ. Nama Maumere diberikan kemudian di saat Belanda hendak mengukur tanah, dia menanyakan kepada orang Ende yang berlabuh di pantai. Ini teluk apa? Dan, mereka mengatakan Maumere, yang dalam bahasa Ende artinya kampung besar. Belanda pun menulis nama daerah ini Maumere. Gereja pun mengikutinya. Akhirnya, nama tersebut terbawa hingga sekarang.

Di Maumere, agama tumbuh berdampingan dengan sentuhan budaya lokal. Dalam setiap misa di gereja-gereja di Maumere selalu dibarengi dan diwarnai dengan tradisi lokal. Aplikasi tenun pada jubah imam, alat-alat musik tradisional, tari-tarian menjadi ciri khas tersendiri.

Belis dan Tarian

Kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat. Artinya, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian, nilai, norma, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, kesenian, moral, hukum, adat istiadat. Disini dapat diperoleh gambaran mengenai kebudayaan, yaitu sistem pengetahuan yang meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu kebiasaan yang melekat. Dan budaya beserta warisannya merupakan aset yang mencerminkan identitas bangsa.

Masyarakat Sikka atau suku Sikka, mendiami daerah kabupaten Sikka di pulau Flores dengan kota terbesar sekaligus ibukota yaitu Maumere. Seperti halnya dengan daerah-daerah lain di wilayah Nusa Tenggara Timur, bahkan di Indonesia, kebudayaan masyarakat Sikka mencerminkan adanya pengaruh-pengaruh asing seperti Bugis, Cina, Portugis, Belanda, Arab dan India. Dibidang agama tampak benar pengaruh Portugis dan Belanda yang membawa agama Katolik dan Protestan serta tatabusana barat yang dewasa ini sudah menjadi pakaian sehari-hari masyarakat. Sedangkan pengaruh India amat nyata pula hasil tenunan, yakni pada pembagian bidang-bidang dan corak yang diilhami oleh kain patola.

Sejarah Maumere tak bisa dilepaskan dari sejarah masyarakat Sikka yang dulunya merupakan kerajaan. Ada beberapa kerajaan di Sikka dulunya. Sebagaimana dipaparkan oleh budayawan dan sejarawan Maumere, Oscar Parerei, sebelum tahun 1607 hanya ada Moang-Moang, Ina Gete Ama Gahar, penguasa di setiap wilayah. Setelah tahun 1607 Don Alesu menyatukan semuanya menjadi satu kerajaan yakni Kerajaan Sikka. Sampai tahun 1898 baru dibagi lagi dengan Nita karena politik Belanda devide et impera, memecah belah. Tahun 1900 timbul perang Teka dan berakhir tahun 1902 yang menjadikan Belanda membentuk Kerajaan Kangae supaya aman dan Belanda tidak pusing kepala. Tahun 1925, ketiga kerajaan kembali dipersatukan lagi menjadi satu kerajaan yakni Sikka. Ini dilakukan supaya biaya lebih murah dan tidak terlalu banyak aparat. Hal ini yang menyebabkan sentimen daerah antara ketiganya itu berurat sampai sekarang.

Lebih lanjut, Oscar Pararei mengungkapkan bahwa pada masa kerajaan Sikka, tercatat ada 16 raja yang pernah memerintah, di antaranya terdapat dua raja perempuan, yaitu Dona Maria Ximenes da Silva dan Dona Agnes Ines Ximenes da Silva. Di Sikka sudah memulai gerakan emansipasi perempuan di abad 16 dan 17. Saat itu marak terjadi poligami dan kekerasan terhadap perempuan sehingga Dona Ines mengeluarkan peraturan mengenai belis (mahar perkawinan) dan larangan berlaku kasar terhadap perempuan. Belis itu untuk menghapus poligami dan mengangkat harkat dan martabat perempuan.
Belis ada lima unsur kepentingan, pertama menunjukan harga diri perempuan, setiap manusia mempunyai harga diri. Kedua, menjaga nilai dan moral supaya jangan ada poligami. Ketiga, memberi hak kepada laki-laki untuk membawa turunan, membawa isteri, dan anak masuk ke sukunya. Keempat, suatu kerja gotong royong antara pihak laki-laki dan perempuan. Kelima, persatuan.

Menurut keterangan Oscar, di Maumere ada enam etnis, yakni pertama, Sikka Krowe dengan sub etnis Sikka dan sub etnis Krowe. Kedua, Sikka Tana Ai atau Tana Ai Krowe, bahasanya Sikka tapi bercampur dengan Muhang. Ketiga, etnis Muhang Tana Ai. Keempat, Palue. Kelima, Lio Maumere. Keenam, Tidong Bajo Lau, orang Bugis Makasar. Tidung Bajo Lau, Lepo Lau Tena Wutun, mereka yang berlayar di pinggir pantai dan tinggal di atas rumah-rumah di pinggir pantai. Semua etnis ini hidup dengan bahasa dan budaya masing-masing dan yang terbesar hanya suku Sikka Krowe.

Masyarakat Sikka menganut sistem budaya patriarki. Meski demikian, dalam sistem adat istiadat, khususnya adat pernikahan orang Sikka, sangat terlihat bahwa kesetaraan gender dan sikap menjunjung tinggi derajat wanita ditonjolkan dalam setiap prosesinya. Peranan kaum wanita Sikka justru lebih dominan dalam soal budaya lokal. Mas Kawin atau dalam bahasa Sikka disebut Belis merupakan simbol bahwa keberadaan wanita merupakan hal terpenting dalam kehidupan berbudaya pada masyarakat Sikka. Belum lagi kisah wanita Sikka dengan hasil kain tenun ikatnya. Selembar tenunan kain ikat Sikka memiliki filosofi mendalam jika dikaitkan dengan kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat Sikka.

Dalam hal sanggar kesenian tari, di seluruh Kabupaten Sikka menurut data dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata ada sebanyak 82 sanggar atau komunitas. Dari jumlah itu memang tidak semuanya aktif. Hanya sekitar 20-an yang aktif dan kerap ikut dalam perhelatan seni yang diadakan oleh pemerintah setempat.

Pada masyarakat Sikka terdapat banyak tari-tarian dengan kategori masing-masing seperti tari pergaulan, tari perang atau tari ritual-mistik. Dari tari-tarian yang ada, terdapat tari yang dilakukan oleh semua orang yang hadir dalam prosesi tersebut, seperti tari Hegong, yaitu tari pergaulan untuk menghibur diri yang dipentaskan dalam prosesi perkawinan, panen, upacara keagamaan dan lainnya.
Tarian Roa Mu’u, mendemonstrasikan ikatan dua keluarga di dalam adat perkawinan tradisional. Keluarga pengantin perempuan menyiapkan kain sarung adat sementara keluarga mempelai pria harus membawa satu gading. Roa Mu’u adalah upacara memotong sebuah batang pisang yang berarti mengatasi kesulitan-kesulitan yang mungkin pengantin baru jumpai selama kehidupan perkawinan mereka. Pohon pisang dikenal bisa bertumbuh kembali meski dipotong berkali-kali.

Ada juga tarian Togo yang menggambarkan ritual pada waktu panen, menggunakan kaki mereka untuk memisahkan bulir dari jerami. Doa-doa dan puisi-puisi tradisional dinyanyikan untuk dewi padi. Menurut kepercayaan setempat, padi berasal dari darah seorang gadis bernama Ina Nalu Pare. Mendendangkan nyanyian yang dipersembahkan kepada dewi padi menjamin bahwa jiwanya akan tetap dekat dengan padi-padi itu, serta menjamin panen yang baik dan terlindung dari kekuatan-kekuatan jahat.

Sanggar Doka Tawa Tana

Dari Maumere, kota di tepi utara Pulau Flores yang terpisah hanya 20 kilometer saja dari tepi selatannya, perjalanan di atas kendaraan roda empat menuju Desa Dokar menyajikan pemandangan celah bukit menghijau sangat menawan. Perjalanan penuh kelokan harus ditempuh menyusuri jalan menaiki bukit yang menjadi ranah pepohonan seperti petai china, kakao, kopra, kemiri, dan jambu mete.

Sanggar Doka Tawa Tanah, yang dalam bahasa Sikka berarti ’emas kehidupan yang sedang tumbuh’, berdiri sejak tahun 1997 di Kampung Doka, Desa Uma Uta, Kecamatan Bola, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur. Kampung Dokar terletak sekitar 19 kilometer dari Kabupaten Sikka, NTT.

Cletus mewarisi Sanggar Doka Tawa Tanah yang didirikan ayahnya, Carolus Jawa. Dalam perjalanannya, sanggar ini mempunyai tanggungjawab terhadap kehidupan sekitar 350 warga atau 60 keluarga di Kampung Dokar. Tak hanya di bidang sosial-ekonomi, tetapi juga kecintaan kaum muda terhadap warisan leluhur. Lewat sanggar ini cara menenun ikat, melestarikan tarian adat, lagu-lagu daerah, dan kearifan lokal seperti tradisi sako seng (gotong royong) diwariskan kepada kaum muda.

Setiap tamu yang berkunjung ke Kampung Dokar ini akan dikalungi kain tradisional khas Sikka. Di sini disuguhkan pula tarian penyambutan Tuare Tala’u, yang menggambarkan para pejuang kembali dari perang membawa kemenangan. Tarian ini dulunya hanya digelar bagi prajurit yang pulang berperang dan membawa kemenangan. Prajurit tertangguh dipilih dan diusung di ujung sebatang bambu yang diberi bantalan untuk duduk dan menari di atas perutnya. Sementara itu, tujuh perempuan menari berkeliling, mengikuti irama kendang, gong, dan gesekan bambu. Para penari memegang sehelai sapu tangan dan mengayun-ayunkannya ke arah sang pahlawan.

Foto penyambutan tamu yang dianugerahi kalungan kain khas Sikka

Selama tarian itu berlangsung, para tamu dijamu makanan dan minuman. Seperti tradisi di berbagai kampung lainnya di Flores, tamu yang datang ke desa Dokar ini biasa disuguhi sajian simbolis pertanda selamat datang berupa sirih dan tembakau ataupun pinang. Selain itu, persembahan berupa penyajian kue yang terbuat dari beras ketan yang disebut lekun dan lazim diberikan kepada tamu dipadu tuak atau arak dari pohon aren atau lontar yang disebut sopi.

Salah satu sudut Desa Dokar ada peragaan pembuatan kain ikat, terpajang rapi pada bambu yang memajangkan berupa warna warni hasil tenunan warga Desa Dokar. Kain ikat dipajang sebagai dinding alami dimana ruang tenun terbuka disediakan untuk tamu yang ingin meneliti proses pembuatan kain ikat. Ini adalah suatu demonstrasi cara memproduksi kain dengan tangan mulai dari membersihkan kapas, memintal, mengikat, mewarnai dengan pohon-pohon celupan dan mengikat dan menenun kain disebut tenunan.

Di Sanggar Seni Doka Tawa Tanah, diajarkan pula tata krama dan pelestarian warisan leluhur disamping menghasilkan tenun ikat. Kearifan lokal disampaikan lewat kegiatan sanggar. Sambil belajar menari, kearifan lokal diselipkan.

Revitalisasi

Pemerintah setempat tampaknya mempunyai kepedulian yang cukup besar dalam merawat dan meruwat seni daerah. Pemerintah daerah Maumere sudah melakukan upaya dalam pelestarian dan pengembangan tari tradisional yang ada di daerahnya. Hal ini terlihat dengan diadakannya festival budaya secara berkala misalnya setiap tahun yang menghimpun semua jenis tari untuk dipentaskan.
Perhelatan budaya melalui bentuk festival pun diadakan secara berkala setiap tahun yang biasanya pada bulan Agustus. Festival biasanya diberi nama “Festival Teluk Maumere”. Dalam setiap festival akan diikutsertakan banyak sanggar-sanggar yang ada di seluruh pelosok Maumere. Begitupun, pembinaan dan pelatihan diberikan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Maumere. Pemberian bantuan lebih diwujudkan pada pengadaan alat-alat kesenian yang dibutuhkan.

Disisi lain, ada kendala-kendala yang dihadapi. Membina puluhan sanggar memang membutuhkan upaya pendekatan yang tepat. Tidak semata bantuan dana yang digulirka, tetapi juga perlu upaya yang sifatnya pendampingan. Sejauh ini, bantuan yang sering menjadi tumpuan utama dari sanggar adalah berupa dana. Hal ini perlu mendapatkan kritisisme yang cukup karena dikuatirkan dengan dana semata akan berdampak pada munculnya konflik. Walau demikian, persoalan dana ini memang tidak terlalu menjadi masalah yang krusial bagi sanggar-sanggar yang ada di Maumere. Karena tumbuhnya seni tari di Maumere tampaknya lebih karena dari masyarakat sendiri, bukan karena paksaan misalnya. Dari sinilah, kondisi seni budaya seperti seni tari di Maumere masih menggembirakan, karena ia tumbuh bersama masyarakat berikut ritual-ritual keagamaan yang ada serta didukung upaya pihak-pihak setempat dalam mempromosikan pariwisata di Maumere.

Tantangan dan kendala yang muncul justru dari sisi ‘fluktuasi’ dalam hal apresiasi seni budaya di masyarakat yang terus berkembangsaat ini. Misalnya saja, tari Roa Mu’u yang menjadi tarian dalam prosesi perkawinan. Kondisi saat ini di kalangan masyarakat Sikka sendiri sudah ada kecenderungan memilih tidak mempraktikkannya. Fakta ini bisa menjadi indikator menurunnya tingkat apresiasi dari masyarakat Sikka sendiri sebagai pemilik yang sah dari tari tersebut. Tidak atau kurang tersosialisasikannya tari tersebut oleh masyarakat Sikka atau minimnya sangsi sosial maupun sangsi adat di masa yang akan datang menyebabkan kekuatiran tari-tarian ini akan ditinggalkannya.

Dalam pandangan Oscar Pareira, upaya menampilkan seni tari di Maumere melalui festival dan berbagai ajang promosi pariwisata selama ini dinilai masih lebih menonjol pada ‘jualan’. Maksudnya, selama ini yang terjadi hanya menampilkan gestur lahiriah dari seni tari Sikka, tetapi kurang atau bahkan melupakan ‘isi’ dari tari-tarian tersebut. Substansi yang meliputi pesan, filosofi, hikmah dibalik tari-tarian tersebut tidak diperhatikan lagi. Jadinya hanya semacam penampilan ‘lip servise’. Misalnya dalam pementasan tari perang di masyarakat Sikka, perlu disampaikan bahwa dibalik tari perang tersebut sesungguhnya dulunya dibuat tari dalam rangka menunjukkan indahnya kedamaian dan menjauhi perang.

Di Kabupaten Sikka, revitalisasi budaya yang terbaik termasuk terhadap seni tari daerah adalah melalui pendidikan dan juga melalui agama. Seni tari perlu diajarkan mulai tingkat SD dengan menjadi muatan lokal (mulok). Disamping juga bahasa daerah yang selama ini sudah cukup banyak diajarkan di masing-masing daerah. Selain itu, revitalisasi terbaik juga melalui agama. Maksudnya, bagaimana agama memberikan tak hanya dukungan tapi juga mempraktikkan adat istiadat daerah dalam prosesi keagamaannya. Seperti di Maumere memang sudah terjadi penyatuan antara Katolik dan tradisi setempat. Gereja-gereja menyertakan tradisi dalam prosessi ritus-ritus agama. Walaupun, menurut Oscar, penyatuan tersebut masih juga perlu menyentuh pada aspek bahasa. Misalnya dalam setiap khotbah gereja, tidak hanya menggunakan bahasa Portu atau Latin, tetapi juga bahasa Sikka.

Satu hal lagi kondisi yang perlu mendapat perhatian dalam siklus kebudayaan di Maumere adalah soal regenerasi. Sejauh ini regenerasi terasa sangat memprihatinkan. Generasi muda yang menempuh pendidikan menengah maupun tinggi kerap sudah tidak mau mempelajari warisan budaya Sikka. Hal ini yang mengkuatirkan akan terjadinya ‘kepunahan’ budaya Sikka. Walaupun diakuinya, masyarakat Sikka sangat dekat dengan budayanya. Mereka masih mempraktikkan ritual-ritual budaya seperti tari-tarian bahkan dalam setiap acara keagamaan.

Pewarisan budaya daerah ini jelas sangat penting. Disamping pewarisan wujudnya seni daerah tersebut, yang penting juga adalah pewarisan nilai-nilai yang terkandung dalam seni daerah. Karena sesungguhnya—menyitir ungkapan Oscar–seni budaya itu dibangun sebagai representasi dari hubungan manusia dengan manusia, hubungan manusia dengan alam dan hubungan manusia dengan Tuhannya.
Sebagian masyarakat masih keukeuh dalam melestarikan tari tradisional dengan mendirikan sanggar-sanggar tari yang juga disatupadukan dengan adat istiadat dan keagamaan. Fakta ini setidaknya membuktikan masih positifnya respon masyarakat dalam upaya melestarikan tari tradisional. Walaupun dari skala makro belum menunjukkan hal yang menggembirakan.

Terdapat fakta masih ada kesenian tradisional yang terancam punah di Maumere. Hal ini sebenarnya lebih disebabkan karena proses regenarasi yang tertatih-tatih atau juga memang tidak ada regenerasi. Begitupun faktor karena jarang dipertunjukkan, walaupun biasanya dalam festival budaya yang digelar secara berkala, tarian yang kategori tersebut juga dipentaskan. Faktor lain karena pelaku-pelakunya sebagian sudah uzur dan meninggal.

Faktor terancamnya punahnya kesenian tradisional menurut beberapa kalangan disebabkan pengaruh globalisasi. Namun demikian, globalisasi sesungguhnya bisa menjadi tantangan untuk mempertahankan dan mengembangkan kesenian yang ada sehingga seni tari tradisional yang ada bisa mendunia.

 

*Penulis adalah Penggiat Literasi Eks Napiter, Rumah Daulat Buku (Rudalku)