Mengurai Daya Pikat “Kidung Kemat” besutan Lanang Setiawan

Oleh Abu Ma’mur MF

Apologia pro libio suo

Fenomena penggunaan diksi daerah bercampur dengan kosakata Bahasa Indonesia jamak terjadi pada masyarakat bilingual (kedwibahasaan)1,tak terkecuali Tegal dan sekitarnya. Dalam kajian sosiolinguistik ini disebut dengan istilah alih kode (code-switching) dan campur kode (code-mixing)2. Hal ini berdampak pada terjadinya interferensi dan integrasi bahasa.3

Tulisan saya ini mengandungpersetubuhan antara Bahasa Indonesia dengan dialek tegalan. Karena begitu, mula-mula saya sampaikan apologia pro libio suo, permohonan maaf dan permakluman.Begini. Lantaran begitu berserakan kosakata tegalan dalam tulisan ini maka saya mengambil keputusan untuk tidak menuliskannya secara miring (ketik italic). Ini demi kebaikan bersama dan menjaga kesehata para pembaca sekalian. Persisnya mencegah terjadinya leher meyeg. Akur? Lanjut, Wa.

Sekelumit Kisah Mangir dan Sikap Penyair

Produksi novel “sejarah” cukup melimpah di Indonesia. Bilangan FU (2008), misal.Bila dikaji secara intertekstual4, novel yang mengantarkan Ayu Utami meraih penghargaan Khatulistiwa Literary Award5 tahun 2008 initerkait dengan kisah-kisah Babad Tanah Jawi.

Contoh lain, empat serial legendaris karya Pramoedya Ananta Toer yang sempat bernasib mirip dengan ganja: dilarang peredarannya selama beberapa masa oleh Jaksa Agung Indonesia. Dikenal dengan Tetralogi Pulau Buru: Bumi Manusia (1980), Anak Semua Bangsa (1980), Jejak Langkah (1985), dan Rumah Kaca (1988).

Puisi berlatar sejarah pun bermunculan, meski tak semeriah novel. Buku puisi Zeffry Alkatiriberjudul Dari Batavia sampai Jakarta 1619-1999:Sejarah dan Kebudayaan Betawi-Jakarta dalam Sajak (2001) dan Kematian Kecil Kartosoewirjo (2015) karya Triyanto Triwikromo termasuk dalam golongan ini.

Lanang Setiawan tak sekadar turut ambil bagian.Dia hadir sembari mengusung kesetiaan “njunjung kamulyan basa tegalan” dan mendobrak tatanan mapan. Novel umumnya diartikan sebagai jenis prosa panjang. Lanang kali ini mengusung format unik: sejenis karya sastra eksperimental yang dia namakan novel tegalerin 2:4:2:4. Agaknya ini hasil perkawinan antara novel dengan puisi. Sesuai namanya–tegalerin, dia menggunakan medium bahasa tegalan. Kisah Mangir-Pembayun menjadi olahan tema yang dieksplorasi Lanang di buku ini.

Menghadirkan sejarah dalam narasi fiksi memang tak semudah membalikkan mendoan. Bekal referensi dan pemahaman teks hipogram menjadi hal tak terelakkan dan sangat diperlukan. Michael Riffaterre bilang, hipogram adalah teks yang menjadi latar penciptaan teks lain. Sedangkan karya berikutnya disebut karya transformasi. Dalam konteks buku karya Lanang ini, dia perlu menyelami sejarah Raden Mangir melalui sumber otoritatif, seperti Babad Tanah Jawi dan Babad Bedhahing Mangir.

Drama Mangir karya Pramoedya, meskipun bukan teks hipogram bisa menjadi bahan pertimbangan dan perimbangan.Ini merupakan tantangan pertama. Tantangan kedua, penyair perlu menenun kata sedemikian rupa, memilih diksi, dan merajutnya dengan hati-hati agar menjadi puisi yang utuh sekaligus sesuai dengan konvensi puisi tegalerin 2:4:2:4. Puisi jenis ini berpola tuang 2:4:2:4 (bait pertama dan ketiga: dua baris, bait kedua dan keempat: empat baris).

Sebagai sastrawan bangkotan, Lanang telah cukup lama menempuh jalan sastra: panjang dan berkelok. Dengan begitu, tantangan kedua ini rupanya dengan gampang ditaklukkan oleh Lanang. Dia berhasil mengolah puisi secara impresif dan memikat. Alhasil, Kidung Kemat memancarkan daya kemat memukau, bahkan melampaui karya Lanang sebelumnya, Pengakon Jonggrang (2023).

Baiklah Nyai, mari kita mulai obrolan kali ini dengan menelaah sikap kritis penyair terhadap kisah seputar Mangir, dkk. Di kalangan masyarakat Jawa, berkembang mitos seputar tokoh yang berperan dalam panggung sejarah Kerajaan Mataram, salah satunya Ki Ageng Wanabaya dari Mangir. Ia lebih populer dengan sebutan Ki Ageng Mangir. Tokoh ini hidup sezaman dengan Panembahan Senapati, pendiri Kerajaan Mataram (1470–1601M).

Mangir dikesankan sebagai tokoh antagonis lantaran mbalelo atau tambeng terhadap kekuasaan Kerajaan Mataram. Karena begitu, setelah wafat Ki Ageng Mangir memang dimakamkan di kompleks makam raja-raja Mataram, tetapi dalam posisi separuh badan (bagian dada dan kepala) berada di kawasan makam dan separuh badan lainnya diluar pagar makam. Busyet, Wa.

Lanang memilih sikap pandang berbeda. Kita bisa menelisiknya melalui puisi-puisinya di sepanjang buku ini.Lanang menyuguhkan 46 puisi dalam 10 babak+1. Pembuka, Biografi Mangir, Biografi Pembayun, Awal Rag Reg, Tarung, TitahRaja, Mangkat Mbarang, Buka Rahasia, Watu Gilang, Penutup, dan Epilog Penulis.

Cerita dibuka dengan luapan interpretasi penyair terhadap nasib tragis Mangir: Tragedi Mangir menggemparkan. Persoalan kekuasaan memuakkan memang. Tak main-main petaka Mangir. Mengoyak hati menguras air mata. Salah satu harus tewas. Zaman kerajaan memang tak simbai. Otak raja kalau bukan kekuasaan ya perempuan (selir). Tak tahu malu (raja) mencipta sejarah kotor. 

Tragedi Mangir gawé gégér
urusan kuasa pancén njeléhi

Ora baén-baén petaka Mangir
mbetot ati nguras banyu mata
Salah siji kudu pralaya
jaman raja pancén ora peta

Utek raja dong ora kuasa ya selir
ora idep isin nyipta sejarah kotor

(TRAGEDI MANGIR)

Puisi barusan menggambarkan kemuakan penyair terhadap watak serakah raja. Ambisi raja berpusat pada dua hal: kekuasaan dan perempuan. Tak dipungkiri, syahwat manusia terhadap kekuasaan dan selangkangan memang marak di sepanjang sejarah spesies manusia. Busyetnya, meskipun sejarah mewartakan dua hal ini terbukti rawan mengakibatkan keterpurukan, sampai saat ini banyak manusia abai dan gagal mencongkel nilai-nilai terselubung dari kisah semacam ini. Betul Nyai?

Pada puisi berjudul DUDU SOAL MBALÉLO, Lanang secara gamblang dan benderang mengutarakan pembelaannya terhadap sikap Mangir, kurang lebih semacam pledoi. Begini: Wilayah Senopati luas tak terkira. Dari barat hingga pojok timur. Senopati penguasa lalim. Segenap bangsawan menolak. Tak pandang bulu Ki Ageng Mangir. Mesti patuh pada Senopati. Ki Ageng Mangir menolak perintah. Bukan lantaran memberontak. Mangir bukan bagian Mataram. Tanah perdikan petilan Mataram. Senopati tak berhak mengatur. Di sinilah awal mula prahara.

Wilayah Senopati mowak-mawik
awit kulon tekan wétan pojok

Senopati penguasa pugalan
kabéh kanjeng sonder mangkiran
Ora pandang bulu Ki Ageng Mangir
kudu mbekti maring Senopati

Ki Ageng Mangir nolak préntah
dudu lantaran laku mbalélo

Mangir dudu bagian Mataram
tanah perdikan waledan Majapahit
Senopati ora duwé hak ngatur
nang kéné kyéh asal mulané rag-reg!

(DUDU SOAL MBALÉLO)

Kita bisa memparafrase sebagai tafsir puisi barusan. Senopati memiliki wilayah teramat luas, mengapa ia masih berambisi mengangkangi tanah perdikan. Tanah perdikan berasal bahasa sanskerta Maharddhika yang artinya kebebasan. Kali pertama ditemukan dalam prasasti Dieng bertahun 731 saka atau 809 M. Masyarakat tanah perdikan dibebaskan dari kewajiban membayar pajak maupun wajib kerja kepada raja atau kepala daerah.

Mangir merupakan wilayah perdikan, bukan bagian Mataram. Maka sikap Ki Ageng Mangir menolak perintah Senopati adalah hal lumrah, dan bukan sejenis pemberontakan. Tapi tidak, bagi Senopati. Semua mesti tunduk di bawah kekuasannya. Ia tak rela ada matahari kembar. Dari sinilah bara permusuhan mulai dikobarkan. Ambisi menghabisi nyawa Mangir meledak dalam dada sang senopati.

Ati kemlopok
dugal tekan tenggorok

Manah Senopati njarem mangkel
kerajaan kuwé musti ngatunggal
Dipetal-petal ora bakal
kudu nyawiji segrompol

Mikiri wong siji jéngkel mbangkana
klilip ngganjel ning plapukan mata

Lelampah perang jawaban pasti
Mangir musti tunduk taat aturan
Ngalah apa perang patén-paténan
njajal adu kasektén kudu kasembadan

(KLILIP MATARAM)

Adegan Senopati menyerang Mangir digambarkan secara dramatik oleh Lanang: Senopati menggenggam kyai plered. Kuda melesat bagi dikejar setan. Di atas kuda Senopati ganas. Mata merah tanda darah memuncak. Kuda melesat persis angin ngamuk. Sekejap sampai di pelataran Mangir.

Senopati nyengkerem kyai pléréd
jaran mlesat kaya digedag sétan

Nduwur jaran Senopati brangasan
mata abang tanda getihé munjuk
Jaran mlesat persis angin ngamuk
satralapan anjog plataran Mangir

(MUNJUK)

Pertarungan berlangsung selama tiga hari. Senopati menjelma naga sebesar batang pohon kelapa. Mangir tak menyerah, ia menjelma garuda raksasa. Makhluk ajaib ini mencengkeram dan menyeret naga jelmaan Senopati hingga ke angkasa lalu menjatuhkannya. Tak ayal punggung Senopati bagaikan terjangkit encok. Lara nemen, Wa, sung! Ia tak menyerah. Pertempuran mesti dituntaskan. Ia malih rupa menjadi kobaran api. Ki Ageng Mangir memadamkan api mulad-mulad melalui strategi ampuh: mengubah dirinya menjadi hujan deras.

Pehelatan musykil di atas bisa sampeyan temukan pada puisi berjudul “MANGLIH” dan “MLENCING”. Lanang menggambarkannya secara gemladag dan memukau. Imaji kita diboyong menuju tempat terjadinya peristiwa seakan sepasang kornea mata kita menyaksikannya secara real time. Nggilani! Nanti sampeyan baca sendiri saja ya. Saya sengaja tidak menampilkan di sini, biar sampeyan penasaran. 

Sampai di sini Senopati mesti mengakui kekalahannya. Ia dipecundangi Mangir secara telak. Meski begitu, “menyerah” tidak ada dalam kamus maupun tesaurus pikiran Senopati.Ia lalu menyusun siasat dan muslihat. Demi menaklukkan Mangir, sang senopati tega menjadikan putri sulungnya, Pembayun, sebagai umpan. Ini menegaskan sudut pandang Lanang terhadap karakter antagonis Senopati.Sebegitu tega ia memperlakukan anak sebagai sejenis cacing untuk mendapatkan seekor ikan. Ini mengerikan! Sungguh, mengerikan!

Selanjutnya saya akan menunjukkan kejelian sekaligus sikap kritis Lanang terhadap relasi Ki Ageng Mangir dengan Retna Pembayun dalam puisi “LENGA KARO BANYU”.Begini terjemahan bebasnya: Yang jadi pertanyaan. Dua orang menikah atau kumpul kebo? Menikah jelas tak mungkin! Mangir dan Senopati ibarat minyak dengan air.

Sing dadi pitakonan
wong loro nikahan apa kumpul kebo?
Nikahan jelas ora mungkin
Mangir Senopati kaya lenga karo banyu

Kita ulangi lagi: “Nikahan jelas ora mungkin”. Menikah jelas tidak mungkin. Ini terkandung maksud, Lanang mempersepsikan kedua orang ini (Mangir-Pembayun) melakukan hubungan terlarang atau kumpul kebo. Dalam bahasa Pak Ustadz lazim disebut dengan istilah perzinahan. Astaghfirullah! Jadi begini, Nyai. Pembayun merupakan sejenis gadis yang berbakti kepada orang tua. Sudah cantiknya keterlaluan, sangat berbakti pula. Kurang apa coba? Untuk mengimplementasikan birrul walidain ini, ia rela dijadikan umpan oleh ayahnya, Senopati. Pembayun berperan sebagai penari ledhek dengan menggunakan nama samaran Lara Kasihan atau Larakasih. Ia pun menggelar pertunjukan di desa Mangir. Entah sebelumnya kursus tari di mana, yang jelas pesona liuk gemulai tariannya begitu mencengangkan.

Ki Ageng Mangir terpukau dengan keprigelan tariannya, terpikat dengan kecantikan paras wajahnya, tergiur dengan keelokan tubuhnya. Di titik ini Pembayun berhasil melancarkan misi ayahnya. Sayang, begitu menatap ketampanan Mangir melampaui oppa-oppa Korea, jantung gadis itu rontok seketika dan pikirannya porak-poranda. Alhasil, susunan rencana yang telah dirakit sedemikian rupapun mangkrak, sodara-sodara.


Duh, rama prabu
nyuwun ngapura Larakasih
Manah kula ngandong katresnan
lila kapundut dadi garwa Mangir

(MBANGBIT)

Kebacut Larakasih demen mbangkana
ngidung wuyung bari nguncal jalasutra

(JALASUTRA)

Singkat cerita, dua sejoli ini menjatuhkan keputusan untuk menjalin hubungan lebih serius dengan melangsungkan permbojoan. Benarkah ia melangsungkan pernikahan? Sekali lagi, inilah pertanyaan kritis Lanang. Menilik sejarah, KiAgeng Mangir hidup di era Islam. Kita simak petilan Kajian Naskah Babad Bedahing Mangir (2013) terbitan Museum Negeri Sonobudoyo, Yogyakarta:

“Di antara Ki Agengyang membuka kembali wilayah bagian barat Bengawan Soloadalah Ki Ageng Pemanahan yang mendukung penuh pendirian Kerajaan Mataram Islam oleh Panembahan Senopati. Selain itu juga ada nama Ki Ageng Mangir yang menempati wilayah lain ditepi Sungai Progo dan berdekatan dengan Samudra Indonesia. Ki Ageng Mangir yang bernama asli Pangeran Megatsari (putra Prabu Brawijaya V) inilah yang kemudian dikenal sebagai cikal bakal Dusun Mangir.”

Rukun nikah dalam Islam, kita tahu, ada lima: mempelai pria, mempelai wanita, wali nikah mempelai wanita, dua saksi, dan sighat (ijab-qabul). Siapakah wali nikah Pembayun, ayahnya? No way! Tidak mungkin, sodara-sodara. Permusuhan antara Senopati dan Mangir belum reda. Wagu rasanya kalau Senopati mau menjadi wali. Apalagi saat pernikahan berlangsung, Pembayun masih menggunakan nama samaran: Lara Kasihan.Di titik ini saya pikir pertanyaan skeptis Lanang ada benarnya, mereka kumpul kebo?!

Memang kebenarannya masih bersifat wallahua’lam. Saya tidak menguasai retrokognisi, sebuah kemampuan untuk mengetahui dan melihat dengan jelas kejadian yang sudah berlalu. Atau barangkali sampeyan punya data-data akurat, tolong saya dikabari ya, Wa?

Bagian ini saya akhiri dengan pertanyaan kritis Lanang di bagian Epilog Penulis berjudul “ÉRAM”. Demi penghematan halaman, saya tidak mengutipnya. Intinya, Lanang menyatakan suatu keheranan. Jawa dipenuhi orang-orang sakti, pusaka semisal Setan Kober dan keris Empu Gandring bergelimang. Mengapa masyarakat komunal Jawa (atau lebih luas, nusantara) kocar-kacir melawan penjajah Belanda? Bahkan sosok sekaliber Pangeran Diponegoro pada akhirnya dapat ditaklukkan melalui strategi muslihat orang bule? Menurut sampeyan bagaimana, Wa?

Daya Pikat Kidung Kemat

Bila membaca dan menelaah secara cermat, kalem, dan waspada, kita akan menemukan sihir terselubung Lanang Setiawan pada rajutan puisinya di sepanjang buku ini.Maka tak mengherankan kiranya bila Kidung Kemat mengandung daya pikat serupa kemat, pelet, atau pengasihan dalam kosmologi Jawa. Konon, ilmu kemat dapat menyebabkan sasaran mengalami kesengsemsecara ajaib, bahkan tergila-gila. Wow!

Tak berlebihan kiranya bila saya menyatakan novel tegalerin 2:4:2:4 besutan Lanang Setiawan ini sebagai suatu karya sastra dengan daya pikat mengagumkan. Kita bisa membedahnya dengan beragam pisau analisis dan macam-macam pendekatan: semantik, hermeneutik, sosiolinguistik, stilistik, mrekitik, dan tik-tik lainnya. Namun, bila ulasan terlampau panjang maka dapat menyebabkan sampeyan sungkan macane.Wis tulisane cilik-cilik, dawa pisan. Ya sungkan ya, Wa?

Karena begitu, mari kita mengurai keampuhan karya Lanang ini secara sederhana saja sebagaimana jakwir cetem ngobrolalus secara rileks. Kita mulai, Nyai. Pertama, kosakata dan pilihan kata (diksi). Terus terang saya tidak bisa menyembunyikan ketakjuban saya pada kekayaan perbendaharaan kata tegalan yang dikuasai Lanang. Busyetnya, dia kerap memakai kata-kata yang bahkan tidak termaktub dalam Kamus Bahasa Jawa Tegal-Indonesia (2017) susunan Balai Bahasa Jawa Tengah. Sekadar contoh: telik sandi, tiwikromo, pralaya, dan masih banyak lainnya.

Kecermatannya dalam memilih diksi pun layak diacungi jempol tiga. Ini berdampak pada terbentuknya bangunan puisi yang utuh dan kokoh, baik secara tipografi maupun potensi impresi yang ditimbulkannya. Kita simak salah satu puisi yang menggambarkan suasana batin Larakasih tengah didera nestapa.   

Kebacut Larakasih demen mbangkana
ngidung wuyung bari nguncal jalasutra

“Urip ijén sepi ngilu
ngalor-ngidul mbeku sintru
Tangis nelangsa taun-taunan
ajeng sesambat kalih sinten?”

Suara Larakasih ngremuk dada
wujud batin kebebeng dukana

Krungu kidung gupak nelangsa
Mangir melesat mlebu glanggang
Nang kéné kyéh sasaran kebandang
jalasutra ngrembik mbetot ati kang Mangir

(JALASUTRA)

Dengan diksi-diksi yang tokcer, pusi ini juga menayangkan kefasihan Lanang dalam mengonstruksi nuansa psikologis Larakasih secara impresif. Pembaca dipicu untuk turut mencicipi rasa nelangsa dan lara akibat memendam cinta kasih yang mendera Larakasih.

Kedua, bumbu erotik dan sensualitas. Lanang menyuguhkan adegan erotis dan panorama sensual pada sejumlah puisinya. Ini dapat menstimulus gairah pembaca dan menerbitkan gejolak iyaoh. Contoh pada puisi berjudul “KUNGKUM”: Di sendang pengasih. Pembayun telanjang bulat. Sela-sela perempuan digosok. Dibilas air bumi sekujur tubuh.

Nang sendang pengasih
Pembayun wuda bral
Selagan pawestri digebeg digosok
dibilas banyu bumi sekujur awak

(KUNGKUM)

Kita simak satu lagi pada puisi “PIJET ALUS”:Perempuan bila jatuh cinta membahayakan. Pupus nalar pupus segalanya. Larakasih kalah abu. Tergila-gila hingga tertambat. Larakasih pasrah penuh. (Semula) mata-mata mendadak berubah menjadi pijat halus.” Kata terakhir ini bisa bermakna asusila, ternoda, atau malahan bersenggama.


Wong wadon dong demen mblaini
ilang nalaré ilang sekabéhané

Larakasih kalah awu
kédanan nganti kelayu
Larakasih pasrah bongkokan
telik sandi ndadak manglih dadi pijet alus

(PIJET ALUS)

Satu lagi biar jantung sampeyan makin jedag-jedug: Rayuan Pembayun pancén maut/rabi jéngkél idep singget/Kunci cespleng mung siji/pijet alus ésuk klawan bengi.Saya terjemahkan dua baris terakhir, “Kunci mujarab cuma satu. Siang malam berkikuk-kikuk (wikwik).”

Ketiga, kecakapan peranti bahasa. Puisi-puisi Lanang dipenuhi dengan beragam majas seperti alegori, personifikasi, metafor, retoris, repetisi, dan pokoke pirang-piranglah. Repetisi saja ada macam jenisnya. Delapan persisnya: anafora, epistrofa, simploke, mesodiplosis, epanalepsis, anadiplosis, epizeukis, dan tautotes. Bahasan ini terlampau teknis, Nyai. Kita lewati saja ya? Singkatnya, Lanang begitu telaten memoles puisi-puisinya hingga berkilau. Dengan begitu efek eksotik lebih terasa menggoda dan kenikmatan estetis kian menggelora.Kita simak satu di antaranya.


Ngidung Pembayun nyemek-nyemek
nyemek-nyemek ngidungan Pembayun


Raga Pembayun mancar aura sihir
mancar aura sihir raga Pembayun

(DAYA SIHIR)

Masih dalam puisi yang sama, Lanang memancarkan daya pikat. Keempat, rima dan estetika bunyi. Sejumlah puisi Lanang menampilkan keselarasan bunyi dengan apik hingga rima terjaga tanpa terkesan dipaksakan. Saya suguhkan petilannya.


Sapa baé dijamin kepéncut
saterusé klayu kepilut
Sayang baé lunyu kaya welut
carané kepimén bén bisa katut

(DAYA SIHIR)

Menyingkap Celah Lemah 

Kekaguman terhadap karya Lanang tidak lantas menumpulkan daya kritis yang saya miliki. Celah lemah pada buku ini tetap saya temukan. Ini demi menjaga keseimbangan dan merawat sikap objektif. Mari kita singkap, Nyai. Pertama, pada puisi “SIJI LAWAN SIJI”

Hai Mangir!

….

Hai Senopati!

….

Menurut Kamus Bahasa Inggris Oxford, kata “hai” pertama kali digunakan sebagai sapaan pada akhir abad ke-16. Sedangkan peristiwa Mangir terjadi kisaran 1527 M. Kiranya sepanjang hidup Mangir dan Senopati tidak pernah menggunakan sapaan “hai”. 

Kedua, pada puisi “PUTRI SETERU”, Ki Ageng Mangir menggunakan ujaran yang janggal sekaligus musykil diucapkan oleh makhluk hidup pada zaman kuna jalma itu. 

“Ora ngira ora nyangka 

Larakasih jebul aran tipu-tipu

Nyong ketipu kebodo putri seteru 

Waduh! Apa kata dunia?!

“Apa kata dunia?”merupakan ungkapan populer Jenderal Naga Bonar yang diperankan oleh Deddy Mizwar di film Naga Bonar. Sejak tahun 2008 “Apa kata dunia?” dijadikan slogan iklan oleh Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak. Di titik ini kita boleh menyusun prakiraan cerita: Ki Ageng Mangir menggunakan daya linuwihnya untuk melakukan teleportasi dan menonton film Naga Bonar. Atau bisa jadi,diam-diam Mangir pernah satu profesi dengan Rafael Alun Trisambodo sebagai pegawai pajak. Wallahua’lam.

—–

*Abu Ma’mur MF adalah pemerhati dan pelaku Sastra Tegalan


1Masyarakat bilingual (kedwibahasaan) berarti masyarakat bahasa yang menggunakan dua bahasa atau lebih, misalnya bahasa tegal dengan bahasa Indonesia.

2Alih kode adalah penggunaan dua ragam atau variasi (kode) bahasa dalam percakapan yang sama. Berbeda dengan alih kode, campur kode dilakukan tanpa intensi khusus. Campur kode terjadi ketika dua penutur menggunakan dua bahasa yang berbeda dalam satu ujaran, biarpun tidak ada perubahan situasi.

3interferensi adalah penggunaan fitur-fitur milik suatu bahasa yang digunakan bahasa lain baik secara lisan maupun tulis. Sedangkan integrasi adalah penggunaan fitur-fitur dari milik suatu bahasa seolah-olah bahasa itu adalah bagian dari bahasa yang digunakan.

4Intertekstual merupakan proses untuk menghubungkan teks dari masa lampau dengan teks masa kini. Tokoh yang mengembangkan pendekatan ini adalah Julia Kristeva.

5Khatulistiwa Literary Award merupakan sebuah ajang penghargaan bagi dunia kesusastraan Indonesia yang digagas oleh Richard Oh dan Takeshi Ichiki. Acara ini dilancarkan sejak 2001 dan berganti nama menjadi Kusala Sastra Khatulistiwa (KSK)mulai 2014.