Srihadi, antara Bedhaya dan Borobudur
Bedhaya mistis. Borobudur magis. Dan Srihadi ada di tengah-tengahnya. Tak henti-hentinya Srihadi Soedarsono terus menerus melukis kedua subyek itu, tapi orang tidak pernah merasa bosan memandangnya. Tiap kali lukisan Bedhaya atau Borobudur Srihadi keluar. Selalu terasa ada yang “baru”. Meski hal yang sama yang disajikan. Deretan penari Bedhaya. Dan siluet Borobudur di kejauhan.
Lukisan Bedhaya Srihadi selalu menampilkan rangkaian penari langsing tinggi yang bergerak dengan tangan melentingkan selendang. Antara satu lukisan dengan lukisan sepintas sama. Namun bila dirasakan dan dihayati –terdapat gerak dan tenaga yang mengalir yang tak sama pada para penari antara tiap lukisan. Intensitas Srihadi menemukani irama, ritme dan “tenaga” berbeda itulah yang membuat lukisan-lukisan Bedhayanya dalam dan penuh makna.
Srihadi memainkan banyak warna. Kadang warnanya seperti diambil dari warna-warna “khazanah pop” oranye, merah, jingga, kuning. Namun di tangan Srihadi aneka warna cerah itu menjadi warna “redup”. Warna yang mampu membuat kita mengalami suatu rasa ambience. Warna yang menyebabkan komposisi secara keseluruhan menimbulkan atmosfer rasa kosong. Seolah para menari itu tengah menari di tengah situasi ambang. Seorang kritikus seni rupa pernah menyebut lukisan-lukisan Srihadi menampilkan “sing ana ora ana, sing ora ana, ana” bentuk adalah kekosongan dan kekosongan adalah bentuk.
Agaknya penglihatan itu betul. Bila kita lihat lukisan-lukisan Borobudur Srihadi selalu visual Borobudur yang ditampilkan adalah dari sisi fasad muka dan dari jarak yang cukup jauh. Tak pernah Srihadi masuk ke stupa, relung-relung, arca, relief Karmawibhanggga sampai Gandawyuha Borobudur. Tak pernah Srihadi mencoba menjelajahi anatomi Borobudur secara detail sebagaimana para arkeolog. Yang selalu ditampilkan adalah Borobudur yang itu-itu juga. Borobudur yang selalu dari muka.
Tapi aneh – Borobudur yang selalu diambil dengan angle senafas itu selalu menyajikan sesuatu yang tak pernah klise. Puluhan atau ratusan kali Srihadi melukis Borobudur, selalu kita mendapat keheningan yang tak terduga. Srihadi seperti dikatakan di atas tak sekalipun tergoda – mengangkat detail Borobudur semacam menampilkan sosok Vairocana, Ratnasambhawa, Amoghasiddi, Amitabha atau Aksobhya. Tapi seolah semua unsur dan elemen Borobudur yang maha kaya dan misterus itu menyatu dan mengendap dalam – panorama Borobudur di kejauhan yang dipilihnya.
Bayang-bayang Borobudur- diapit langit yang luas dan sapuan bidang abstrak yang mengandaikan tanah di kanvas Srihadi – selalu memancarkan kesubliman. Borobudur yang ditampilkan Srihadi bukanlah Borobudur lahiriah atau fisik. Bayang-bayang Borobudur itu seolah mampu membawa perasaan kita ke situasi liminalitas atau situasi ambang. Situasi yang membuat kita merasa tidak di sana dan tidak di sini. Sekali waktu Srihadi pernah mengatakan bahwa dia terpesona dengan sikap Zen Buddhisme. Zen menangkap inti. Tapi inti adalah kesementaraan .
Seluruh sajak-sajak Zen seperti haiku-haiku penyair Basho atau lukisan –lukisan tinta rahib-rahib Zen selalu mampu membawa perasaan kita ke arah bahwa sejatinya diri tak ada – dan semua ini hanyalah sementara: anatta atau anicca. Zen mungkin cocok bagi Srihadi karena sedari kecil dia terbentuk dalam tradisi halus Jawa mengolah batin. Tradisi mengolah roso yang peka bahwa seluruhnya sebenarnya adalah sunyata. Seluruh dimensi kehidupan ditimang dengan roso. Termasuk visual cat, kanvas dan obyek.
Dan lelaki yang roso nya di antara Bedhaya dan Borobudur itu wafat tadi pagi 26 Februari 2022, dalam umur 91 tahun. Sebuah umur yang demikian panjang. Srihadi dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Sebuah tempat peristirahatan terakhir yang sangat layak. Srihadi bukan sekedar pelukis tapi pelukis pejuang. Sejak umur 14 tahun ia bergabung menjadi tentara (TKR) dengan bertugas di Balai Penerangan Militer Divisi IV. Di usia semuda itu ia bertugas membuat berbagai sketsa peristiwa untuk bahan dokumentasi internal TKR. Ia juga membuat poster, brosur, yang isinya menyemangati perjuangan serta membuat sketsa peristiwa sebagai bahan dokumentasi internal TNI, yang waktu itu masih disebut TKR.
Srihadi di Solo turut berkeliling menempelkan poster dan menyebarkan brosur-brosur. Pada 1 Agustus 1947, ia membuat skets jatuhnya pesawat Dakota VT-CLA yang menewaskan Agustinus Adisutjipto dan dr. Abdulrachaman Saleh Srihadi. Pada tahun 1948 – di usianya 15 tahun ia banyak membuat skets atas pendudukan Belanda di Yogya. Salah satunya berjudul: Penggeledahan Rumah Rakyat oleh Tentara Belanda. Ia lalu ditugaskan menghadiri perjanjian antara Indonesia dan Belanda di Kaliurang, Yogja. Di situ ia mendokumentasian wajah-wajah para delegasi mulai Jajadiningrat, Abdul Kadir Widjajakusumah sampai wajah delegasi Belanda Svan Loggem dan Amerika Eugene H Staryhorn. Pangkat terakhir Srihadi di tahun 1950 adalah sersan mayor. Umurnya baru 19 tahun saat itu.
Srihadi adalah bagian dari gelombang revolusi. Kesenimanannya diasah oleh revolusi. Sesuatu yang tidak dialami banyak sejarah seni rupa di lain negara. Seni lukis modern Indonesia muncul sebagai bagian revolusi. Dia tidak muncul dari studio-studio seniman personal individualis. Dia lahir dari lapangan pergulatan sanggar-sanggar revolusi. Dan Srihadi adalah nama penting disamping nama-nama lain seperti Sudjojono, Hendra Gunawan, Affandi dan lain-lain.
Sebagai pelukis selanjutnya Srihadi menjalani penjelajahan artistik yang demikian hebat. Ia melanjutkan sekolah ke ITB. ITB dikenal sebagai kampus yang mengembangkan pemahaman atas bentuk-bentuk formal baru seni rupa. ITB terpukau dengan munculnya gejala para seniman barat mengekplorasi idiom-idiom visual kubuistik dan geometrik.
Idiom-idiom geometrik dan kubuistik – sebagaimana Phytagoras merefleksikan konstanta-konstanta matematika adalah idiom-idiom dasar kehidupan. Mengeksplorasi segala kemungkinan unsur-unsur geometrik dan kubuistik berarti turut mencari sendi- sendi dasar kehidupan. Sendi-sendi murni yang menahan diri membubuhi kanvas dengan ungkapan-ungkapan berlebihan yang penuh bunga. Dari sketsa yang realis Srihadi lalu menyelami pemikiran abstrak geometris. Ia sampai melanjutkan studi ke Amerika untuk menimba pemikiran-pemikiran dan gagasan-gagasan mengenai visual abstrak gometrik. Tapi ia mampu memadukannya dengan roso.
Claire Holt dalam magnum opusnya Art Indonesia: Continuities and Change yang ditulisnya tahun 1967 pernah menceritakan bahwa pada tahun 1956 Srihadi pernah membuat mural di Balai Mess Universitas Indonesia Jakarta (sekarang mural itu sudah tak ada), Mural tersebut bercorak setengah kubuistik, namun pancaran rasa emosi Indonesianya terasa. Menurut Claire Holt para pekerja maupun mahasiswa yang lalu lalang di situ tidak merasa asing atau aneh dengan mural yang dibuat Srihadi. Mereka merasa familiar dengan ekspresinya Claire Holt melihat meski mural Srihadi kubuistik tapi mampu memancarkan emosi keIndonesiaan. Dengan contoh ini Claire Holt agaknya ingin menampik tuduhan Trisno Sumardjo bahwa ITB laboratorium barat. Terbukti lukisan Srihadi, meski bentuk luarnya geometrik barat tapi rasa dalamnya adalah Indonesia.
Adalah menarik menjelang akhir hayatnya Srihadi suka melukis dengan kanvas-kanvas super besar. Sekitar 38 lukisan lanskap panorama dengan format sangat besar dua tahun lalu ia sajikan dalam pameran di Galeri Nasional yang hanya berlangsung sehari karena masa PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) dimulai. Bayangkan dalam umur 88 tahun energi dan nafasnya masih kuat menyapukan kuas di bidang yang demikian lebar. Srihadi mengatakan di usianya yang tua ia merasa tidak cukup melukis lanskap dengan ukuran kanvas kecil. Lanskap baginya penting karena dalam lanskap itu ada kedalaman. Kita menjadi ingat kekuatan lukisan Borobudur adalah juga terletak pada dimensi lanskap yang menangkap kesubtilan Borobudur..
Memang – dalam lanskap selalu terkandung imaji-imaji purba. Di sana ada hamparan padang luas. Di sana ada horizon yang jauh. Di sana ada sabana tanpa ujung. Di sana ada titik titik cakrawala yang selalu mundur. Di sana ada rute perjalanan jauh yang tak diketahui tujuannya. Di sanalah semua akhirnya menuju –sumarah meski tak tahu apa yang bakal terjadi.
Di sanalah kosong itu bukan kosong. BWCF (Borobudur Writers and Cultural Festival) November tahun lalu memberi anugrah Sang Hyang Kamahayanikan Award terhadap Srihadi. Sang Hyang diambil dari nama kitab Buddhis Jawa kuno yang menguraikan tahap-tahap perjalanan menuju suatu situasi yang bebas dari kemelekatan. Selamat jalan Pak Srihadi. Sejauh-jauhnya. Seindah-indahnya.
*Sumber Foto Utama: Koran Jakarta/Teguh Raharjo
----BWCF2022----