Puisi-Puisi Faustina Bernadette Hanna

Selenophile, 1

paras bulan masih terlampau pucat, sewaktu gorden putih menjulurkan tangan kepada seorang perempuan dengan gambar bunga sakura di dahinya. tiupan angin terasa semakin ganjil menyapu ruang persegi yang tak cukup luas ini. lilin aroma terapi. hanya ada sebingkai jendela, diikuti oleh cermin bundar dengan enam utas kabel kecil, seluruhnya tersambung rapi ke sebuah alat dari lempeng logam yang (sengaja) dipasangkan erat di kepalanya.

ia duduk bersandar menyerupai manekin yang dingin, bibir mungil sepucat bulan, melalui tatapan kosong ia seperti berdoa secara berhati-hati serta menunggu agar sepenggal ingatan masa silam (atau lebih tepatnya, ingatan mengenai kehidupan di dunia atau alam yang lain) dapat diantarkan oleh bulan — satu-satunya sahabat yang masih dapat dipercayainya — dan kembali merasuk ke dalam sanubarinya.

seorang dokter berkaca mata tebal dan tiga petugas medis yang cenderung skeptis, menyodorkan beberapa pertanyaan yang tak menggugah nalar. yang hanya memantik emosi, tangisnya seketika pecah, dan berulang kembali suntikan obat penenang mesti meracuni dan menyakiti jiwanya yang tengah begitu rentan.
lantas mereka nampak menekan tombol on pada alat di kepalanya selepas ia telah tenang dan menuju lelap.

 

Selenophile, 2

cermin bundar menyala, mulai menayangkan serta menguak sepenggal kisah yang tak normal (anomali). tergelar upacara lengkap bersama ritus pemujaan tengah berlangsung, bulan mencapai kesempurnaan kala itu, warna merah-darahnya melapisi permukaan laut.

dua puluh sosok ninja terkesan menaati setiap petunjuk, desis mantra yang keluar dari bibir perempuan tua berparas ular yang bertakhta di tengah sebagai pemimpin mereka. tampaknya ada yang tengah dipersiapkan bagi persembahan kepada dewa-dewa tertentu. perempuan dengan gambar bunga sakura di dahinya, kini sakura itu terang menyala, ia mengenakan kimono kesucian dan menunggu saatnya dilarungkan ke tengah laut.

namun, seorang samurai berkuda hitam tiba-tiba muncul demi menyelamatkannya, dan sebuah pertempuran yang sekejap saja sanggup melenyapkan potret peristiwa yang ditampilkan oleh cermin pada dunia lain yang lantas dipenuhi oleh darah segar.

ya, segala terasa berkelebat begitu kuat dan singkat, mengguncang-guncang isi kepalanya.
tandu kosong yang perlahan tenggelam di laut,
berpuluh anak panah yang menembusi tubuh lelaki yang dicintainya,
air mata darah yang mengaliri pipi,
kemudian bulan yang kembali berparas pucat, diiringi langkah kakinya yang dikawal tiga petugas medis. alat yang terpasang di kepalanya telah hancur berkeping-keping.

 

Selenophile, 3

kini, hanya cahaya bulan yang sudi menerangi lorong panjang rumah sakit jiwa yang seolah tak berujung ini, ia berjalan syahdu tanpa suara, diperhitungkan oleh angin yang berusaha menimbulkan prasangka baik pada ujung lipatan gaun panjangnya.
dan, penghuni baru yang baru saja masuk melalui pintu di penghabisan subuh, berjalan sendirian hingga tertunduk, di lorong lain yang terpisahkan seperti dalam jeruji penjara.

; lelaki berkemeja putih bersih, namun anehnya terdapat banyak luka bekas tembakan anak panah yang nampaknya telah lama mengering, di tubuh tegapnya.

September, 2020

 

Kau dan Perempuan Imajinermu

kini, cobalah renungkan hati-hati mengenai perempuan;

• yang piawai mengantarmu menuju mabuk, tanpa perlu setetes pun anggur dituangkannya ke tengah gelasmu

• yang sepuluh ditambah tujuh kali, menguji tuntas panas asmara di dasar gelasmu, melalui perjanjian yang dikendalikan oleh bara api perapian

• yang berikrar, bahwa ruang tengah dengan nuansa kayu jati ini, sebagai sebuah kegilaan permanen yang paling waras dalam mengikat ciuman liar serta pelukan kalian

• yang berbisik mesra dan tersipu, bahwa kharismamu merupakan surga kecil yang terbentuk tidak wajar di antara degup jantungnya

• yang lantas menjadikanmu separuh murka, kala membayangkan kelak mesti berbagi ranjang pernikahan, bersama setumpuk tebal buku bacaannya

maka, aku berani bertaruh kehidupan kalian akan menjadi semakin seru, ketika pada pertengahan malam tiba-tiba kau mendapatinya tengah berada di hadapan monitor komputer. ya, rasanya sekejap saja ia lepas menghilang dari pelukanmu?
kupastikan, kala itu ia tidak akan memilihmu dibanding nikmatnya keriuhan dari sebuah dunia yang ia ciptakan, di dalam kepalanya sendiri.

bagaimana…?
ini pangkal hari yang suci dan masih teramat belia. ketika pertama kau dapat membuka sepasang mata beserta mata hatimu, kupikir kau tidak bakal mencobai segenap kewarasanmu, dengan bersikukuh jatuh cinta kepada seorang perempuan penyair, bukan?

08 april 2020
(05.07)

 

Menanggalkan Nyawa pada Hujan

tatapan mata itu tak butuh lagi cerah,
hanya benar-benar lengang ke arah curah air besar yang lama bersemayam, dari tubuh leluhur yang sama

sedari dulu kau telah tahu, bahwa ia memang sengaja memanjangkan rambut hitamnya yang sungguh lurus itu, agar sampai pada permainan catur antar anak-anak rembulan. sekadar juga membuktikan padamu; bahwa ia sanggup terlena dengan segala kecermatan, serta kesabaran.
sedari dulu kau telah tahu, bahwa ia sering nekat terjun dan menanggalkan nyawa pada hujan, lalu ia tiada bosannya berkelana sendiri, hingga bersumpah akan menemu dirimu,
di sini…
kau: yang beberapa hari lalu meminjam payung, sekaligus meminjam sembilu, di gubuk tidurku yang mungil. tak lupa pula kau tinggalkan sebuah pesan ringan ─yang seperti enggan untuk berbunyi─
“aku akan mengembalikannya…, secepatnya…”

hmm; rupanya kau lupa ya…, akan warna-warna kesukaannya. cobalah kau mulai mengingat-ingat kembali, bukankah ia selalu bermusuhan dengan warna cerah? rupanya kau jadi benar-benar lupa, bahwa atap payung itu berwarna cerah, dan amat berkilauan.

sedari dulu kau telah tahu, bahwa ia sering nekat terjun dan menanggalkan nyawa pada hujan, lalu ia tiada bosannya berkelana sendiri, hingga bersumpah akan menemu dirimu,
di sini…
maka; sadarilah dengan segera bahwa: ia bulat hati sedang ingin menjadi hujan yang teguh (membasahi tulang berjantung sembilu yang sepenuhnya disembunyikan serupa rahasia-rahasia besar manusia); datang dan turun padamu; membatalkan niat juga pertahananmu, untuk menggunakan payung ─yang masih belum kau kembalikan padaku, hingga aku telah terbangun dari serangkaian mimpi burukku, melucuti pesan ringan itu dengan air mata, serta seisi kepalamu yang kini berburai di lapak pengungsi sunyi, setelah kabur dari hukuman mati yang dimahkotai pagi

2012

 

Silentium

“hamba kini tengah menggenapi takdir
sebagai ruh dosa yang kerdil,
kerasan bermukim di antara lekuk senyum
dan pengadilan tuhan.”

hangat, sungguh~
bikin hamba melupa; perihal hidup, perihal kematian

— candu semu

pada masa lalu

tanpa terkecuali. mereka yang berceloteh ringan
pada sepanjang lorong api penyucian,
akan rupa hingga riwayat mimpi hamba yang
telanjur jenaka.

hmm.

demikian pula kepada penjaga gerbang
surga dan neraka nan setia

─ akankah kian bersilih ganti serupa cambuk

dan pucuk mabuk

yang setara

kain putih beraroma kembang kamboja
penutup pusara hamba dahulu
kiranya masih tertinggal tersipu. dikunjungi
khidmat anggur yang terlampau santun.

seraya ketaatan para peziarah yang hibuk
berhimpun di sudut terpencil
di bawah langit muda sana,

telah turun temurun mereka giat merapalkan
sebelum alpa
: sepenggal percakapan mesra antara adam dan hawa
yang pernah begitu berburuk sangka. perihal
desis ular penyimpan karma.

— semestinya;

hampir mencapai simbol akhir

pada semesta hening

hamba bertafakur
demi menuju semesta hening yang lama dijanjikan itu;
ruang tempat hamba coba menjangkau
sisa ingatan tentang merah darah
hingga putih sejati tulang manusia.
yang konon diperkirakan tampil meronta-ronta
(ketika denyut-alur sungai pertama kali tercipta)

hingga yang dicerabut paksa
bagai setitik debu liar
dari suatu pangkal diri.

sekejap saja, gerak sunyi napas tengah terbaca
di sekeliling patung batu,
(patung sesosok ibu yang sepenuh berduka
bersama sang putra dalam pangkuan.
memoar para penginjil suci yang kian bergema,
memenuhi sudut temaram sebuah gereja tua)

dapat mewujud nyata kenang bayang
sesosok pendoa
bagi takdir keruh hamba
bersama tarian limbung para arwah,

pendoa perempuan yang lengkap, iman yang
paling sabar,
teguh
pun tekun
; meranumkan berlimpah kidung puji-pujian
teruntuk tuhan
maha penyayang.

Katedral, 2012-2020

 

Jophiel

 — Beauty of God

Ketaatan dan kesetiaanmu pada perintah Tuhan Allah
Dalam menjaga kemurnian jalan menuju Pohon Kehidupan
Dengan pedang yang bernyala dan menyambar-nyambar;
Setelah Tuhan Allah murka mengusir Adam dan Hawa
Yang mencicipi sedap buah dari Pohon Terlarang
Di Taman Eden,
Menahbiskanmu sebagai malaikat kerub pertama
Yang disebutkan dalam Kitab Suci

; Kereta berkuda milik Tuhan Allah
Mendukung kendaraan takhta kemuliaan

Suara nan merdu sekaligus jernih
Dari salah satu pemimpin paduan suara
Dari Cherub,
Telah mengalirkan kepada umat manusia
: karunia kecantikan
Yang diembuskan perlahan oleh Tuhan Allah

Penglihatan dan pencerahan surgawi semakin ditajamkan;
Pikiran iblis yang sempit rantai ketamakan dipatahkan

Pelindung sejati kaum seniman;
Engkau sepasang mata penjaga yang segera menyembul
Pada kunci pintu gerbang Museum Louvre,
Berkelebat cepat ketika Venus de Milo terisak sedih
Bergegas pergi mencari bagian kedua lengannya
Juga busur, bejana, cermin, perisai, apel serta mahkota
Di reruntuhan kota kuno tempat ia ditemukan
Hampir dua ratus tahun lalu

Engkau perlintasan imaji yang seterusnya memanjang
Meredam guncangan gempa dalam Paradiso,
Sewaktu gema “all’alta fantasia qui manco possa”*
Dipersembahkan dengan teramat indah dan tulus
Oleh penyair termasyhur Dante

Manusia lama dan baru bangkit mencari
Kebijaksanaan waktu Tuhan Allah;
Melalui jalinan doa, dosa, alam, dan malapetaka bencana
− kelopak mata mereka terkatup tertusuk kilau sinar,
sesunyi bunyi sangkakala −
Sementara engkau menetap bersiap di jantung iman
Memerangi firasat-firasat buruk yang terjun turun
Bagai hujan anak panah yang disusul lautan darah

Saat turunnya salju bagai benih kristal dari sungai kasih
Yang ranum dan bercahaya
Di sudut aroma perapian, seraya sabar menanti
Pawai Sinterklas, anak-anak dibimbing orang tua
— merangkai replika Pohon Terang
Yang sepenuhnya dinaungi oleh aura putih sayapmu
Mencegah kembalinya akar dosa
Di tengah kesucian firdaus

Sebelum pesawat-pesawat kertas berkilap itu tergantung
Pada setiap kemuskilan dahan yang bercabang,
Mereka terlebih dahulu menuliskan doa, impian, dan harapan
Di dalamnya bagi kesejahteraan dunia

2018

* “all’alta fantasia qui manco possa”: “fantasiku yang tinggi tak berdaya di sini” − ketika Dante memandang wajah Allah, dalam mahakaryanya ‘Divina Commedia’ (Komedi Ilahi).

 

Perempuan Tionghoa yang Air Matanya Membakar Kuil

Menjelang pagi terasing, anak lelaki itu kembali mengunjungiku dalam mimpi. Begitu singkat ia telah tiba di hadapanku, sinar matanya berubah keemasan yang mengutip kecemasan. Daun telinganya melebar lalu tertekuk, menutupi rapat lorong sempit perjalanan panjang menuju kehidupan setelah kematian. Setiap manusia menunggu tersihir, tergila-gila, dan mendambakan kematian demi melaluinya. Tiada jalan untuk menyesali, tiada jalan untuk kembali. Bagi mereka.

“Kak, jika seorang perempuan berduka, apakah bulu-bulu perak bercahaya dari sayap di punggungnya akan berguguran? Menyerbu udara.
Apa sepasang sayapnya berkepak tiada beraturan, rambutnya nampak begitu hitam menyerupai dendam seekor gagak, kulit tubuhnya licin dan berkilauan?”

“Anting di telinganya pun bersuara lirih seiring ketukan-ketukan doanya yang membelit kuil.”

Secepatnya mataku mengikuti arah telunjuk anak lelaki itu. Harum dan gema pemujaan, sesosok perempuan dengan rambut panjang yang tergerai berdiri tidak jauh, di sana. Ia tersenyum mengerikan. Matanya menyipit serupa ular, kuku tangannya tumbuh tajam memanjang. Di sebuah kuil tua, di kaki gunung berkabut tebal. Gumpalan awan membentuk tangan setia dan bijaksana para leluhur. Seketika saja waktu terasa berhimpun menjadi suatu pengadilan besar dalam sangkar. Membelenggu masa lalu, menghukum dan mengutuk masa depan.

“Dengan bibir yang pucat, ia selalu minum dari air berkat yang dijatuhkan dari langit, atau dari air matanya sendiri. Air matanya berkali-kali telah membakar, sekaligus membangun kembali kuil dalam waktu hanya sepertiga malam.”

Anak lelaki berseru, bahwa ia telah mencabut kaki kiri perempuan di kuil untuk dibawa kepadaku. Ia segera menunjukkan pesan di bawah telapak kaki itu, pesan yang dituliskan dengan darah:

Aku mesti datang kepadamu sebagai sebuah pernikahan
Pernikahan yang barangkali tidak pernah memiliki ruang penyambutan
Juga pesta
Bagi para tamu
Di bunga dadamu

Ketakutan dan bersembunyi dari suara dewa,
Mempelai lelaki telah mengubur helaian rambut hitamku
Hingga tiada seorang pun sudi mendoakannya
Jangan sampai menyimpan helaian milikmu, di balik ranjang pernikahan nantinya

Bakar,
Bakarlah!
Musnahkan

Sebab sejatinya, cinta tidak pernah menjelma rambut
Yang dikurbankan di luar kulit kepala
Jangan sisakan,
Jangan ciptakan keabadian dalam suatu tabir kehilangan

2017

 

Diorama Percintaan dan Kemurkaan Laut 

− bersama Christina Fransisca

Berdesir jauh dari pengakuan rasa takut akan
pasang diri
Merendah, menunduklah cepat agar selanjutnya lebih tinggi!
Angin laut mendahului serangkaian gerakan nalar
pasir yang mengunci kisah klasik dua perempuan.
Pada simpul mati lembayung selendang bercorak
kembang melati
terbentang; menafsir sejatinya perjumpaan langkah-langkah
juga keranda prasangka
di bibir pantai.

Tentu pada mata bening musim, ia belum ingin
gagal pulang,
sebab kami sadari kian sia-sia dada kesetiaan
yang bertahun-tahun sudah dilubangi; anak-anak tangga
yang telah batal menuju perjamuan.

− Amarah-amarah berjarak yang dahulu kaku;

dikristalkan menjadi selebrasi, guntingan kartu ucapan, serta
ciuman membisu di atas lantai dansa.

Makan malam tersaji telah telanjur dingin; bangkai-bangkai
lilin merapat ke daun telinga arloji kuno yang tertidur. Dua
bangku terbalik mulai merindu untuk saling berhadapan
lagi dan tertimbun hujan kelopak mawar yang tumpah
dari kulit telapak tangan lelaki kami.

Bersama dalam salah satu genggamannya: satu-dua
lembar tersisa foto kekasih yang basah,
untuk kemudian berpisah. Diikuti oleh dengung kota
jakarta serupa marah lebah
betah bersarang di sepasang jurang lutut.

Kami masih bertekad dan berjuang untuk berduka
ketika kemudian lelaki yang menentang kehendak
laut, telah terjun demi mencapai dasar jurang itu:
abu-debu cinta tiada hentinya bercermin murung di hadapan
batu-batu penjuru yang tumbuh oleh rasa cemburu semu.
Tegak menjaga sebagai suatu penanda

— perjanjian abadi yang dipercikkan dari surga

Merdeka dari bahaya cuaca dan usia.

April 2018

 

Nostalgia dalam Bola Mata Penyair Perempuan

Dalam lingkar bola mata penyair perempuan,
Engkau akan menemukan sehelai rambut
Lelaki yang dimasukkan ke tengah lubang
Jarum. Melayang-layang tiada bersiulan di atas

Perapian kosong. Ia membutuhkan nyala-lidah api
Untuk sepenuhnya bersaksi dan kemudian berbahasa
Hati-hati dalam kepanikan gerhana: perihal masa silam
Yang dijanjikan oleh para malaikat melalui mimpi
Beragi; hingga peruntungan lemparan sepasang

Koin yang jatuh berbunyi di atas mata kaki kami.

2017

 

Kelahiran

Malam teramat lengang
Sia-sialah tiap napas yang getas
Ikutilah, dan
Saksikan
Di antara arakan obor
Yang tengah murka,
Siapa yang telah menggantungkan karma
Pada tangkai tengkorak
Membidik nasib berkabut
Hingga usia penabuh masa
Menuju gunung-gunung bergema

Duplikat jubah hitam yang
Bangkit dan menusuk mata
Boneka
Dengan tajam paku
Sementara kita masih menggigil
Di bilik waktu yang ungu
Saat keranjang bayi lelaki
Bergoyang-goyang bimbang
Mencurahkan salamnya
Bagi sekelompok peziarah
Di tepi jurang

2012-2016

 

Faustina Bernadette Hanna, lahir  di Jakarta tahun 1987. Penikmat seni dan budaya ini selain bekerja sebagai karyawan perusahaan swasta di Jakarta, ia juga aktif menulis puisi, freelance Graphic Design, dan menekuni dunia kuliner Nusantara. Sajak-sajaknya telah terbit di Republika, Media Indonesia, Jurnal Nasional, Pikiran Rakyat, Minggu Pagi, Banjarmasin Post, Rakyat Sultra, Lombok Post, Bali Post, Tribun Bali, Pos Kupang, Radar Cirebon, Radar Lampung, Radar Mojokerto. 

Beberapa sajaknya terhimpun dalam antologi bersama Kutukan Negeri Rantau (Forum Sastra Bumi Pertiwi, 2011), Jembatan Sajadah, Kabar dari Negeri Seberang (UmaHaju Publisher, 2012), Kursi Tanpa Takhta (Writing Revolution, 2012), Berbagi Kasih (Penerbit Sahabat Kata, 2012), Antologi Bersama Lomba Cipta Puisi Nasional Komunitas Kopi Andalas (2012), Nostalgia Filantropi Tiada Terbalaskan (Penerbit Jendela Sastra Indonesia, 2020). Turut bergabung dalam Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias (KPKDG). Menjuarai lomba penulisan puisi, di antaranya: Juara 3 Sajak TKI (UmaHaju Publisher, 2012), Juara Harapan 1 “Ekspresikan Dirimu dengan Puisi” (Writing Revolution, 2012). Pernah menempuh pendidikan Desain Komunikasi Visual di Bina Nusantara Center, Jakarta dan berencana melanjutkan studi ke Jurusan Sastra Indonesia, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.