Screening dan Diskusi Film Dokumenter “Hula-Keta: Bukan Maluku Tanpa Sagu”

Pada tahun ini, sejarawan dan produser dari Universitas Negeri Malang, Daya Negri Wijaya, berhasil memperolah bantuan fasilitasi Kajian Objek Pemajuan Kebudayaan, dari Dana Indonesiana, Kemdikbudristek RI yang dikelola oleh LPDP (Lembaga Pengelola Dana Pendidikan). Dari fasilitasi tersebut, Daya kemudian memproduksi sebuah film dokumenter yang ia beri judul “Hula-Keta: Bukan Maluku Tanpa Sagu”. Pada pelaksanaan proses produksi, Daya bekerja sama dengan Subiyanto, seorang sutradara dan sineas lulusan Institut Kesenian Jakarta (IKJ) dan ISI Solo, yang membantunya dalam merealisasikan film ini.

Pemilihan Maluku sebagai tema besar film, berangkat dari kegelisahan Daya mengenai kealpaan sagu dan teknik pengolahan tradisinya, dalam narasi besar kejayaan abad perniagaan Nusantara, terutama di wilayah Groote Oost atau Timur Besar. Menurutnya, selama ini catatan sajarah Maluku hanya identik dengan perdagangan rempah-rempah yang mendunia. Sementara itu, keberadaan sagu sebagai pangan lokal yang menjadi tumpuan utama jarang dibahas dari kacamata sejarah. Oleh karena itu, melalui film ini, Daya Negri Wijaya berusaha memperkenalkan kembali sagu dan teknik pembuatan tradisinya, sebagai salah satu warisan budaya yang harus dilestarikan, sebagai identitas yang mengurat-nadi bagi masyarakat Maluku.

Dari segi substansi, sebagai seorang sejarawan, Daya mencoba menuangkan berbagai arsip hasil temuannya, yang ia kombinasikan bersama dengan kartografi (ilmu peta), bahasa dan literatur, hingga studi lapangan mengenai sagu dan tradisi teknik pengolahannya. Sementara itu Subiyanto, yang memiliki latar belakang keilmuan di bidang sinema, menemukan konsep menarik berupa ketidak-perluan sebuah daerah, yang dapat mencukupi kebutuhan daerahnya sendiri. Sebagai contoh, Subiyanto menyoroti proses pembuatan forno yang hanya diproduksi di Pulau Mare, tetapi kebutuhan akan cat dan bahan peralatan lainnya didatangkan dari daerah lain. Menurutnya, setiap pulau memiliki spesifikasinya masing-masing, dan saling membutuhkan dalam mata rantai penyelesaian produksi forno.

Poster Flm Dokumenter Hula-Keta. (Sumber: https://www.kliktimes.com/sastra-budaya/7298045292/peluncuran-dan-bincang-film-dokumenter-hula-keta-bukan-maluku-tanpa-sagu )

Film yang berdurasi 28 menit 12 detik ini, diluncurkan pertama kali pada bulan Maret yang lalu, di Bioskop Movimax Sarinah, Kota Malang. Untuk semakin memperkenalkan film dokumenter Hula-Keta kepada khalayak luas, maka pada tanggal 21 Juni 2023 pkl. 19.00 WIB, Bentara Budaya Yogyakarta akan menyelenggarakan screening dokumenter dan diskusi film “Hula-Keta: Bukan Maluku Tanpa Sagu”. Berlokasi di Bentara Budaya Yogyakarta,  pada acara ini turut hadir beberapa tokoh penting diantaranya yaitu Daya N. Wijaya selaku Produser, Subiyanto selaku Sutradara, Prisca Kiki Wulandari selaku Line Produser, serta Sinta Dewi Novita Sari dari Program Doktoral Ilmu Ketahanan Nasional UGM dan Raymizard Alifian dari LSS Arungkala.

Dilansir dari bacamalang.com, pemilihan judul Hula-Keta sendiri berasal dari bahasa lokal, yang menurut Daya:

“Hula artinya sagu, sedangkan Keta bermakna panggang, dalam hal ini merujuk pada cetakan dari sagu tersebut..”, ujarnya pada peluncuran film yang dilaksanakan di Bioskop Movimax Sarinah, Kota Malang, pada 18 Maret 2023 yang lalu.

Lebih lanjut ia menjelasan bahwa sagu menjadi identitas orang Maluku, maka dari itu tim produksi memilih judul “Bukan Maluku Tanpa Sagu”, karena dalam pandangannya, orang-orang Maluku tidak bisa lepas dari sagu, dan bahkan hidup dari sagu itu sendiri.

Poster acara Screening dan Diskusi Film Dokumenter Hula Keta. (Sumber: @bentarabudayayk)

Poster acara Screening dan Diskusi Film Dokumenter Hula Keta. (Sumber: @bentarabudayayk)

Sang produser sendiri, Daya Negri Wijaya, saat ini merupakan Ketua Departemen Sejarah, Universitas Negeri Malang. Ia berhasil menyelesaikan pendidikan doktoralnya pada Universidade do Porto, Portugal, pada tahun 2022. Sebagai seorang akademisi, Daya telah menghasilkan banyak publikasi, terutama dengan fokus pembahasan mengenai sejarah Indonesia periode kolonial. Selain itu, sebelum menggarap produksi film dokumenter Hula-Keta, Daya pernah mengerjakan proyek yang berkaitan dengan film, diantaranya yaitu Inovasi Pembelajaran Digital Video Animasi Jalur Rempah Jakarta sebagai Media Pembelajaran Wawasan Nusantara, dan Pengembangan Film Dokumenter Jejaring Keluarga Soedjatmoko sebagai Arsip Audio-Visual Demokrasi Indonesia.

Potret Daya Negri Wijaya. (Sumber: http://summercourse.fis.um.ac.id/speakers/ )

Dalam beberapa tahun terakhir, seiring dengan diterbitkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) meluncurkan berbagai program guna mendukung implementasi peraturan tersebut. Salah satu program besar yang kemudian diresmikan adalah Dana Indonesiana. Program Dana Indonesiana diberikan pemerintah untuk membantu para budayawan agar menjadi lebih berkembang, serta meraih prestasi dalam menyalurkan ekspresi. Untuk dapat menjangkau banyak budayawan dan seniman, pemerintah membuka beberapa skema penyaluran Dana Indonesia, yang dibagi menjadi beberapa program, salah satunya yaitu Kajian Objek Pemajuan Kebudayaan (OPK). Dalam hal ini, Tim Produksi Film Dokumenter “Hula Keta: Bukan Maluku Tanpa Sagu”, memperoleh hibah dari skema fasilitasi yang disebutkan terakhir.

 

*Lesi L.