Mahwi Air tawar

Puisi-Puisi Mahwi Air Tawar

Excelsa

Ada masa,
dari ketinggian penderitaan Afrika
kuseduh namamu hanya dalam seduhan rindu
meski di Les Deux Magots, ranum senyummu
terlipat dalam kertas kusut sajak Arthur Rimbaud
dan lidah keluh Simone de Beauvoir

Bersama biji-biji kebahagiaan
kujulurkan lidahku, rambut usia rawan
kuikat dengan tali-tali hitam VOC pilu
dan kurepihkan arabika, kuseduh robusta
di atas tungku sejarah kutaburkan
di awan angan belaian negeri kincir angin
hingga namamu tak lagi utuh
di pagi kasturi, di gelas cintaku
kupeluk dan kudekap tubuh molekmu
di antara biji-biji hitam negeriku.

Bersama biji-biji kenangan
kurayakan perjumpaan denganmu
di atas ketinggian pancang tiang negeri tropis
yang melulu sembab oleh tetesan lidah barista
di balik bar dan lipatan rupiah

 

Cold Brew

Seusai bertukar takaran
ampas-ampas kisah beserpih
dari halaman kusam petani nyeri
mencari seasap kehangatan
dari wangi semerbak kopi negeri

Tapi di remang kafe
lidah menjulur jauh ke persimpangan
genangi kelokan merah tetesan
berasa gerigi cokelat dan hitam penggilangan
senandung irama lagu La Vie En Rose
iringi penyatuan kopi nyeri

seusai bertukar akar kering pikiran
ampas-ampas pertikaian berkitaran
dalam pecahan seteru dua musim

Dua belas seduhan sendok hujan
iringi dua belas jam kerinduan
satu kecupan dari beribu cecapan
sempatkah dentingkan irama seduhan
dalam satu sentuhan?

Di gelas retak lendir barista pandir
seolah kopi pelalau getir di cangkir
di lemari pendingin berlapis stiker embun
buaian awan.

 

Kopi Batok

Kuseduh sudah hitam kopi perjalanan
dalam gelas kaca Rara Pembayun
ribuan tahun dari ketinggian Prambanan
bara lintingan tinggal kerling di bungkahan
kisah-kasih pun sepekat larva merapi
manis gula Madukismo sulaman
selempang asap sengsara pekerja.

Bukan kopi sungguh kuseduh sudah
tapi denting pecahan beling gelas batin
dalam iringan pawai pencarian
serpihan surat Swapraja Magersari membubung:

terbang, terbanglah merpati hati
ke puncak gulana perih Merapi

250 meter dari ketinggian bukit ranggas, Gunung Kidul
kusaksikan Yogyamu dalam genggaman bara merah
meriap di tungku sendu angkringan
menyala dari area parkir Malioboro.

Dari ketinggian mimpi pedagang asongan
kusangrai biji-biji batok kopimu
sampai menderai pulung ke jantung pilu
di tungku tempat menghangatkan rindu
kubakar sudah kisah-kasih tak berujung, Rara Pembayun
dalam hitam pekat asap Madukismo

 

Bintan

Dengan apatah kiranya dapat kususuri biru riwayatmu
Masa lalu berperahu dalam percik ombak belaian pantun
Seberangi pulau-pulau cerita di atas hamparan tamadunmu:
Dari mana mesti kumulai, sepoimu kini tak sanggup kualun

Bagaimana aku ‘kan tiba di haribaan luhur leluhurmu, Melayu?
Malaka berkecai, semenanjung terberai, bunga-bunga puisi layu
Di permukaan palung arti, di dua belas mata air Carang dan Bintan
Aku hanyut dan tenggelam, di jauhi mercusuar , didekap kenangan.

Kususuri tanahmu dengan berbekal buntalan kertas kelam
Seperti juga moyangku, berjalan dan mengantar tilam
Bagi sang junjungan di majelis-majelis malam
Merancang dan menyuluhi diri dengan kalam

Tak kupedulikan ujung senapan Portugis menghunjam:
Aku melayu tak tunduk dibujuk keping mas
Tak kupedulikan cahaya mercusuar berlapis logam
Aku Melayu, tegak lurus pantang memelas!

Maka kuketuk dua belas pintu renungan
Di tepi Penyengat, di malam lingkaran taklim
Kusuluhi harakat-harakat dengan takzim
Di hadapan Raja Ali Haji, kurundukkan keangkuhan.

 

Tentang Seseorang yang Kucinta

Seseorang yang kucinta dan kurindu kini menjadi nama jalan
Dari bentangan kenangan ke seberang titik pertemuan.

Oleh karena rencana tak kunjung terwujudkan
Seseorang yang kucinta dan kurindu membakar
Tanda arah jalan, tertulis di atas kertas bersampul kuning kenangan
Ia menguburnya sebelum surat-surat perjanjian menjelma
Bantal, spreai, dan tas ransel hitam impian.

Dalam sebuah perjalanan, pagi menjelma kupu-kupu
Terbang dengan bersayap alamat, lalu hinggap di taman pikiran
Putik-putik pun mekar, akar kebencian menjalar
Hapus jejak embun di bangku berlapis debu kerinduan
Dan kebencian yang dihempaskan angin dari lubuk kesunyian
Beterbangan ke arah jendela, tempat lelah mata disandarkan.

Seseorang yang kucinta dan kurindu kini sibuk merajut
Mengisi hari-harinya dengan melipat masa lalu
Dan menyimpannya di lemari berpelitur lara

 

*Mahwi Air Tawar, yang lahir di Sumenep, 28 Oktober ini menulis puisi dan cerpen. Karya-karyanya dimuat di pelbagai media, diantaranya: Jawa Pos, Kompas, Suara Merdeka, Horison, Jurnal Cerpen, dll. Puisi-puisinya juga terhimpun dalam antologi bersama. Buku kumpulan puisinya yang telah diterbitkan yaitu, Taneyan (2015), Tanah Air Puisi, Air Tanah Puisi (2016), serta Perjumpaan, Pengembaraan, Puisi (2018). Sementara buku kumpulan cerpennya  ada Blater (2018), dan Karapan Laut (2015).