Komponis Marusya Nainggolan

Marusya Nainggolan: Tristutji Kamal, Ruh Jawa dalam Musik Barat

Ujian terbuka tingkat doktoral Marusya Nainggolan (67 tahun) di bidang ilmu budaya yang diselenggarakan on line oleh Universitas Indonesia itu menjadi lain daripada lain. Di akhir sidang –setelah selesai tanya jawab antara para penguji dengan Marusya Nainggolan, promotor Marusya, Prof. Dr. Melani Budianta mempersilahkan Marusya memainkan piano. 

Hadirin yang mengikuti sidang terbuka itu via computer dan HP masing-masing, kemudian menyaksikan Marusya selama lebih kurang tiga menit memainkan sebuah komposisi yang dipersembahkan untuk Trisutji Kamal. Sebuah komposisi yang bernuansa atonal, pendek tapi bertenaga. Marusya –pianis, komponis dari Institut Kesenian Jakarta – Jumat 6 Agustus 2021 itu meraih Doktor Cultural Studies dengan predikat sangat memuaskan.

 Marusya Nainggolan

Marusya Nainggolan memainkan piano diakhir sidang promosi Doktor. (Sumber foto: Tangkapan layar acara oleh BWCF)

Disertasi Marusya adalah tentang seniornya komponis Trisutji Kamal. Disertasinya berjudul: Seret Liuk dalam Komposisi Trisudji Kamal (1951- 2002): Musik dalam Persilangan Budaya. Sayang Trisutji tidak bisa menghadiri ujian disertasi Marusya –  karena komponis senior itu baru saja wafat  Maret lalu. Untuk keperluan disertasinya, Marusya selama ini selalu berdiskusi dengan Trisutji Kamal. “Saya mulai berdiskusi dengan ibu Trisutji sejak tahun 2016, tapi karena sejak tahun lalu  Covid kami tidak bisa bertemu. Komunikasi hanya melalui telpon. Waktu aku mau sidang tertutup di bulan Desember dan lulus, aku tidak sempat bilang ke dia. Tahu-tahu meninggal dunia bulan Maret lalu,” kata Marusya kepada BWCF.

Marusya dan Trisutji Kamal adalah dua sahabat pianis dan komponis yang berbeda generasi. “Kita  sama-sama dua komponis perempuan berbeda generasi. Kita punya latar belakang persilangan  budaya. Dia seorang Jawa, lahir di Jakarta hidup di Binjai, lama di Eropa. Aku orang Batak, lahir dan tinggal di Bogor. Jadi  sebagai komponis kami sama-sama memiliki dasar (musik klasik barat) yang lalu dilengkapi tradisi lokal. Kami suka mendialogkan musik barat dengan khazanah lokal. Saya sendiri sering konser bareng Trisutji Kamal. Misalnya konser Suita 92 (1992) itu saya, Trisutji Kamal, Otto Sidharta, Slamet Abdul Syukur dan Tony Prabowo. Lalu pernah juga tahun 2010 di Gedung Kesenian Jakarta: Konser Tribute to Kartini, Komponis Perempuan Kontemporer, aku bersama Ibu Trisutji Kamal juga saat itu,” kata Marusya. 

Komponis Trisutji Kamal

Trisutji Kamal. (Sumber foto: berdikarionline.com)

Sejak awal Marusya memang terlihat berminat dengan komposisi-komposisi Trisutji Kamal. Desember 1979 misalnya pada umurnya 25 tahun dia membuat resital tunggal di Teater Tertutup TIM. Resital itu sekaligus merupakan ujian akhir dia di jurusan musik LPKJ yang membuatnya menjadi lulusan pertama departemen musik LPKJ. Saat itu Marusya memainkan 6 komposisi diantaranya karya George Gershwin, Chopin, Rachmaninoff. Salah satunya yang dimainkan adalah komposisi Trisutji Kamal berjudul: Arabesk. Majalah Tempo yang meliput saat itu memuji permainannya rapi. Saat itu para “jawara” LPKJ – dari orang film sampai tari menghadiri acara resital Marusya mulai Sumardjono, Farida Feisol, D Djajakusuma, Sutarno Sutikno, Rudy Laban, Iravati Sudiarso, Adhi Mursid, Sutomo Gandasubrata dan lain-lain. 

Proses disertasi yang ditempuh Marusya sendiri di UI cukup “berdarah-darah.” “Prosesnya panjang, karena aku kuliah harus mengikuti matrikulasi lebih dahulu. Mungkin sampai lulus ini sekitar  6 tahun loh. Aku juga sempat cuti karena patah kaki dan harus operasi. Tapi itu memang proses ya. Dan yang aku angkat ini kan topiknya baru juga: persilangan Budaya. Saya mengangkat tema persilangan budaya dari karya musik dan itu tidak  mudah. Jadi komposisi-komposisi musik Trisutji saya amati dari ranah culture studies. Untuk ujian tertutup di Desember 2020 lalu sampai 4 jam tanya jawabnya dengan penguji. Wah sampai mabok saya,” cerita Marusya kepada BWCF..

Dalam disertasinya, Marusya berusaha menunjukkan bagaimana elemen musik Eropa dan Jawa yang mempunyai kaidah berbeda bisa saling bersilangan dan membangun kekhasan musik Trisutji Kamal.  Trisutji mengenyam pendidikan musik yang lama di Eropa – mulai dari Conservation Amsterdam, Ecole Normale de Musique, Paris sampai Conservatorium St Caecilia Roma. Namun Trisutji tidak berhenti mencipta dalam cita rasa murni musik Eropa-namun menurut Marusya bisa meleburkan rasa Jawa ke dalam komposis-komposisinya. 

Marusya membagi periodisasi musik Tristutji Kamal menjadi 4 periode. Periode pertama: tahun 1951-1957: Di situ Trisutji mengeksplor paduan pentatonik Jawa dan diatonik barat dalam nuansa romantik. Periode kedua: tahun 1960-1970 dimana Trisutji melakukan pengayaan wawasan musik nusantara sebagaimana tercermin dalam komposisinya:  Gunung Agung Meletus. Periode ketiga: tahun 1971-1996 dimana Trisutji mulai menggumuli aspek religi dalam balutan harmoni dan kromatik. Dan periode keempat: tahun 1990-2002 – dimana Tristutji aktif mengangkat musik-musik (lagu-lagu) daerah ke dalam repertoar piano klasik.

Poster Acara Promosi Doktor Marusya Nainggolan

“Trisutji itu berani memasukkan aspek-aspek disonansi melawan pakem harmoni konvensional. Ia berani membenturkan atau menubrukkan suara alat-alat musik barat seperti cello, biola dengan gong dan instrument tradisi lain,” kata Marusya dalam ujian disertasi terbuka itu.  Trisutji, menurut Marusya berani mendobrak struktur musik klasik, memasukkan elemen musik Jawa. Kekhasan musik Trisutji menurut Marusya adalah: 1. pendobrakan harmoni barat melalui dua akord. 2. Pemakaian nada pseudo pentatonik. 3. Pemakaian timbre tak bernada (gaung dan getar) 4. Terdapatnya tekanan, ketukan, aksen: nuansa perkusif di dalam komposi-komposisinya. “Komposisi-komposisi Trisutji itu  musik barat dengan rasa intuisi Jawa Nuansa disonan seret-liuk,” ungkapnya. 

Menurut Marusya, komposisi-komposisi  Trisutji tetap memakai harmoni, timbre, dinamik dan tempo musik barat namun rohnya jawa. Tak hanya berhenti pada perspektif romantik, Trisutji juga mengeksplorasi musik abad 20: perubahan tanda birama, parallel akord besar, kromatik, atonal. “Dalam komposisi Trisutji, kita melihat ada perubahan tanda dinamik secara cepat untuk mewujudkan aspek perkusif sebagai kekhasan musiknya,” tutur Marusya saat ujian. . 

Dr. Julianti Parani, salah satu penguji mengatakan apa yang dilakukan oleh Trisutji Kamal adalah suatu silang budaya. Hal demikian juga dilakukan oleh komponis-komponis sebelum Trisutji Kamal terutama seperti Amir Pasaribu. Dan juga pada masa kini dilakukan oleh almarhum komponis Rahayu Supanggah. Julianti mengatakan kesadaran “silang budaya” itu selalu ditanamkan di LPKJ/IKJ – tempat awal Marusya Nainggolan belajar. “Betul. Seperti yang disampaikan oleh Ibu Julianti Parani kemarin itu,kalau di IKJ (Institut Kesenian Jakarta) itu –meski jurusannya musik barat tapi tidak bisa lulus kalau tidak bisa memainkan musik tradisi. Aku dulu saat kuliah di IKJ,  juga ada kuliah karawitan Jawa. Wah luar biasa pengajarnya, tokoh-tokoh. Misalnya Drs. RM.   Swandono (mertua almarhum Tri Sapto – dosen Tari FSP IKJ), orang-orang keraton dan para ahli karawitan Jawa. IKJ sangat kuat,” tutur Marusya kepada BWCF. 

Yang “menegangkan” – dalam ujian – Dr. Harsawibawa Albertus, lulusan musik ISI Yogya yang kemuudian menjadi doktor filsat di UI – dan mengajar di jurusan Filsafat UI mempertanyakan pandangan Marusya tentang adanya peleburan musik barat-Jawa dalam karya-karya Trisutji. “Jangan-jangan komposisi Trisutji hanyalah pastiche (istilah kaum post modernisme tentang sebuah karya yang penyusunannya hanya berdasar pinjaman-pinjaman berbagai elemen. Sehingga karya itu sesunguhnya tidak orisinil -red) dan tidak sampai meleburkan betul-betul budaya barat-Jawa,” kata Harsawibawa. Namun hal ini dibantah oleh Marusya. Menurut Marusya komposisi Trisutji – sangat terasa ada peluburan itu. Dia membandingkan strategi peleburan Trisutji  dengan karya-karya dua komponis terkenal Asia yang juga memadukan musik barat dan musik tradisi  yaitu Chinary Ung – komponis Kamboja yang kini tinggal di California Amerika dan Chou Wen Chung komponis Cina- yang juga tinggal dan wafat di Amerika.

Composer Chinary Ung

Chinary Ung (Sumber foto: https://music-cms.ucsd.edu)

Chinary Ung dikenal menciptakan komposisi-komposisi barat dari perspektif Buddhis Kamboja  seperti konsep sunyata dan lain-lain. Ia terkenal dengan seri komposisinya berjudul: Spiral. Ia juga pernah membuat komposisi chamber orchestra berkenaan dengan tsunami di Aceh berjudul: Rain of Tears. Akan halnya Chou Wen Chung adalah komposer Cina tersohor yang wafat tahun 2019 dalam usia 96 tahun di Amerika. Dia dikenal sebagai murid komponis Edgar Varesse. Dia adalah guru dari sekian komponis Cina yang berkarir di Amerika seperti Tan Dun, Zhou Long, Chen Yi dan Bright Sheng. Dia terkenal mendekati komposisi musik barat dengan perspektif estetika Cina klasik  yang berbasis pemikiran-pemikiram semacam I Ching, Yin Yang, teori-teori kaligrafi Cina maupun konsep-konsep instrument musik Cina. Komposisi orkestra Chou Wen Chung seperti And The Fallen Petals, All In The Spring Winds, Landscapes telah dimainkan orkestra-orkestra besar seperti New York Philharmonic, Berlin Philharmonic, Orchestra National Paris, Japan Philharmonic Symphony, Central Philharmonic Beijing dan lain-lain. “Trisutji berbeda dengan kedua komponis itu pendekatannya, Chinary Ung menekankan heterofoni dan Chou Wen Chung Ung memakai pendekatan matematis yang didasari filsafat Cina. Kekhasan Tritsutji adalah pada disonansi seret liuk, ekspresi Jawa dalam tubuh musik barat,” kata Marusya. 

Chou Wen Chung

Chou Wen Chung. (Sumber foto: https://chouwenchung.org)

Keluwesan ,ekspresi diri Trisutji menurut Marusya tercermin dalam karyanya: Opera Lara Jonggrang. Karya ini didukung oleh orkes kamar (chamber music) dengan instrumentasi campuran alat barat dan tradisional. Pada karya ini tidak ada musik pembuka atau overture dan paduan suara. “Dalam karya ini menurut saya Trisutji mampu menampilkan kepekaan roso Jawa ke barat. Karya ini secara batiniah Jawa tapi dituangkan dalam barat ia memadukan rebab dan cello. Perpaduan intuisi getar barat dan Jawa menjadi kekuatan musiknya,” kata Marusya. Opera Loro Jonggrang  dipentaskan Trisutji  empat kali. Pertama kali tahun 1957 di Roma, lalu tahun 1969. Kemudian tahun 1991 dan terakhir tahun 2011 di International British School Jakarta. “Karya itu terus bergerak dan berkembang. Setiap ditampilkan kembali selalu ada penambahan instrumen dan musisi. Kematangan roso makin terlihat,” kata Marusya.   

Yang juga mengagumkan bagi Marusya adalah ketika sekitar tahun 2002 Trisutji Kamal banyak melakukan rekomposisi atas lagu-lagu daerah nusantara. ”Bayangkan. Lagu-lagu daerah yang sederhana di tangan Trisutji  digarap dengan terobosan-terobosan. Melodi-melodi sederhana lagu nusantara didekati dengan akord-akord besar, permainan tangga nada tidak terbatas, lanskapnya penuh benturan pentatonik-diatonik, aransemennya ditampilkan dalam kekayaan harmoni barat,” kata Marusya. Ia melihat kerja rekomposisi Trisutji tersebut luar biasa. “Bu Trisutji bukan sekedar mencampur tapi mengolah. Itu bukan sesuatu yang mudah. Rekomposisi yang dikerjakan Bu Trisutji penuh kejutan-kejutan,”tegas Marusya Nainggolan.

Selamat Marusya, atas keberhasilannya lulus dalam ujian doktor. Semoga disertasi yang bagus begini – bisa dibukukan.

Ucapan Selamat dari Rektor dan Sivitas Akademika IKJ

——©BWCF2021—