Teguh Tri Fauzi

Sajak-Sajak Teguh Tri Fauzi

Rekreasi Penyair

—setiap waktu mengompa cuaca, sedang apa penyair di dunia ini? Ayam berkokok di malam hari, kita mengira hubungan intim sedang terjadi, padahal Adam dan Hawa sepakat memperkeruh jalan hidup ini.

Setiba terbit pagi penyair akan membikin matahari menjadi puisi hari ini, tanpa rumit makna mencari kata, tanpa silang-sengketa majas hiperbola.

Menjelang siang tak ada penyair di layar cctv cakrawala, sebab ia pasti merebah di kamar buku masa lalu, mencari peristiwa-kejadian yang berhubungan dengan fenomena dewasa ini.

Sesampainya sore merebah penyair sudah duduk di teras rumah minum teh hijau berwarna hutan, membayangkan kehidupan hewan dan tumbuhan dan membandingkan perjalanan petapa modern kesekian.

Datanglah kegelapan malam barulah penyair berulah, mencatat semua kacamata membayang sunyi, kadang-kadang merampok rekaman arsip cakrawala yang memutar pementasan dunia.

Setiap waktu mengompa cuaca, sedang apa penyair di dunia ini? Ayam berkokok di pagi hari, kita pasti mengira kehidupan kembali terjadi, padahal bias cahaya matahari sedang mengolok-ngolok langkah pejalan hidup ini—

2022, 00:00

 

Sesobek Surat dari Penyair untuk Kekasihnya

Kau telah mengerti kekasih, jauh sebelum aku menulis surat-surat yang tak lengkap ini. Di hatiku, cerminan kalbu, dan denyut-denyut perasaan jantungku yang setiap hari menggetarkan sel ombak darah hidupku, selalu kupersembahkan kepada cahaya Tuhan, yang bahkan tak pernah kulihat wujudnya~

sisanya baru kuberikan padamu— seperti sesobek surat yang selalu kukirim setiap waktu, ketika petang membawa sepertiga malam, “di dalam doa, kita terus berusaha.”

Itulah sebabnya: kau pun tahu lembar keseluruhan surat ini telah kukirimkan ke media langit, tempat malaikat bekerja sebagai editor, agar besok terbit di hatimu, serupa matahari timur.

00:01, 2022

 

Tuhan Masih Di Sini

Tuhan masih di sini. Di setiap hembusan napas seorang yang putus asa, apalagi langkah pejalan yang semangat menapaki jalan terjal kehidupan. Selalu ada Tuhan pada saat tanah bergerak, melongsorkan rumah dan jalan raya, seperti riak ombak menyelimuti pesisir pantai, menggoda para nelayan.

Tuhan masih di sini. Di sela-sela waktu yang kita buang dengan rebahan, apalagi dengan ruang-ruang baru yang selalu dikunjungi orang-orang dengan bekal kasih-sayang. Selalu ada Tuhan, Ia tak pernah pergi, datang, ataupun pulang ketika kejadian menggeparkan kedalaman hati, kegagahan pikiran, dan kematian seseorang.

2022, 00:02

 

Sebuah Tarian Waktu

di sudut jalan seorang pria memutar waktu
dengan topi menutup telinga dan memakai celana panjang
bersepatu umur, berputarlah berputar dari museum tua yang menunggu

datang seorang wanita dengan air mata
membasahi bajunya, mencari kekasihnya yang hilang
di kegelapan ruang sejarah, di hutan yang gundul beterbangan kicau burung
yang riuh mengalahkan musik organ pertunjukan

dan sebelum mereka menyadarinya, mereka saling menggenggam
ingatannya sendiri, menari berputar di atas tanah terkubur
jasad nenek-moyangnya, di ujung jalan museum tua, mencari makna
Negerinya sendiri.

00:03, 2022

 

Membaca Syair Kampung Gelam Terbakar

: Buat (Simbah) Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi

Pembacaan Pertama

 “…Suatu rencana baharu Tuan dengarlah, karangan fakir Munsyi Abdullah, perkataannya kalau-kalau ada yang salah, tuang-tuan ampun dan maafkanlah…”

Tinta berdarah cinta-kasihku, Tu(h)an
tanpa batas sakit menerjang kelam
di hunian jiwa rumah pengembara, aku baca
syair kampung gelam terbakar, tempat di mana
raga kubur segala mahkota

sebentar datang bayang-bayang, rekaman masa
lampau, apakah itu benar kenyataan, apakah itu
benar kenangan, apakah itu benar cerita pewayangan
sebentar datang tanda-tanda, serpihan makna tiada
dua, bahkan lebih dari puluhan nama, bersemayam
pada baris-baris kata, teks dijeda detak napasnya

lembar-per-lembar arus dendamku, Tu(h)an
ada rasa penasaran menyelinap ke dalam
di-perasaan kampung halaman, sewaktu ruang
mengalun nisan rindu gegap-gempita nenek-moyang

seratus-tiga-dua siasat simbah Munsyi, bukan
arti satu-satu, bukan pantun lagu-lagu, bukan
doa Tuhan meminta, hanya karangan penghibur
lara, sebab dunia maha rahasia

kenapa pergi pelan-pelan risau suara itu, Tu(h)an
ketika aku bergairah mendengar kisah-kasihnya
berdebar getar seluruh tubuh ini, seperti gema
takbir memanggil-mu, seperti angin
menyambut subuh

maka,

sehabis fajar tiba, denting lonceng
peristiwa harus terus dijaga, walau wajah
remang terbaca, aku percaya ada nyanyi
burung cendawasih memangkas angkasa
menyampaikan pesan kecil untuknya

sehabis membaca kampung gelam terbakar
aku percaya simbah Munsyi datang menyapa
walau lewat teropong pemantau dunia, di taman
surga, Ia melihatku merindu bunga mekar,
proses penciptaan alam-semesta.

 

Pembacaan Kedua

“…Tamatlah syair kampung gelam terbakar, kukurangkan ini dalam susah dan sukar, kalau-kalau ada aku tersalah kabar, tuan-tuan ampun maafkan serta sabar…”

di sudut jalan membaca pemandangan
berkumandang juru arah memekik pandangan
aku memutar roda kehidupan, menggali piramida
mencari makna-ingatan, rumah cerita propaganda:
di mana jendela ketika angin lupa menyapa, sebelum tiba
pintu terbuka pada bilik pikiran, perasaan serupa kuil
tua menunggu penghuni menaburkan semua isi rasa

dan aku menjadi sunyi di keramian irama, Tu(h)an
mencatat dendang nyanyi risaunya: Munsyi
ya Abdullah, apakah lautan bisa terbakar
jika gunung berapi mengguncangkan urat nadi
waktu kadang menyiulkan nada di hati.

 

Pembacaan Ketiga

“..Dengarlah tuan karanganku lagi, tatkala kampung tengah dibakar api, di situ pun adalah orang yang rugi, terkejut dan gaduhnya besar sekali…”

Sampai pada suatu hari, semua masih
tak sempat aku mengerti, tak bisa kukendali
selain risau-resah sisi gelap sambungan
sisi cahaya, efek dari bukit peristirahatan
Tu(h)an, puncak segala Bangsa
menjual air mata, dibeli dahaga jiwa,
citra dari sungai merindu lautan, di perjalanan
harapan-rintangan serupa memeluk
hangatnya rembulan, atau ketika mentari
tenggelam,

itulah karanganku, Tu(h)an
maaf dan ampun yang kesekian.

Pamijahan-Bogor, 2022

 

*TEGUH TRI FAUZI – Pria kelahiran Bogor 20 Oktober 1998. Manusia yang menyenangi pembelajaran di dunia perkebunan, pembacaan, serta penulisan.