Alexander Robert Nainggolan

Puisi-Puisi Alexander Robert Nainggolan

KOTA YANG BERPUTAR

kota terus berputar, melingkar bersama bising. menerbangkan debu dan virus pandemi. jalan-jalan dipenuhi debar, langkah-langkah seperti sekat menusuk dengan belati. mirip dengan iklan yang berjalan di sepanjang billboard, kalimat-kalimat mengeras dan sekarat.
“siapa lagi yang mati esok hari?”

namun engkau terus bergegas, tak mampu melepas setiap cemas.

entah di belahan sudut yang mana, engkau takjub saat lampu-lampu gedung mulai menyala.

2021

 

PENYAIR

masih adakah sajak yang mengisahkan puisi paling perih? kita berdiam di restoran ini sembari mengunyah sop buntut sapi. membayangkan hujan akan menyergap, dan kehilangan tempat untuk sekadar berteduh. tapi dari topi runcingmu, engkau sungguh rindu untuk memeluk ibu. menyandarkan diri dari remah kehilangan. lalu berjalan sepanjang koridor kota, menuju rumah. mengunci tubuhmu di kamar semalaman, berupaya akrab dengan diri sendiri.

masih adakah kata dalam puisi yang mengisahkan kita? engkau yang menangis di pagi buta. hanya lirih isak yang tenggelam oleh suara lengkin anjing dan nocturno. kita mendadak ganjil untuk menggali diri sendiri. lalu merasa apa yang terjadi di luar sana, telah digenggam oleh sebuah sajak. lalu kita menunggu pagi, mengakrabi insomnia panjang yang mengurung sepanjang tahun.

2021

 

SEORANG PEREMPUAN DI TAMAN KOTA

ia akan selfie lantas menyiarkan wajah dan tubuhnya di media sosial. berharap pada kerumunan orang yang akan melihat dan menyukainya. memberikan komentar hingga penuh dinding akun-nya.

ia akan memasang senyum lebar. dengan latar belakang rumput hijau dan rimbun dahan. agar dunia tahu jika dirinya masih bisa tersenyum saat luka tangis menghampiri dada.

di sana, ia tahu akan ada penggemar gelap yang memujanya selalu. dan memantau wajah dan tubuhnya dua puluh empat jam.

2021

 

DI MUKA DESEMBER

di muka desember, hujan sepanjang hari. kota lembab, seperti telapak tangan perempuan yang gelisah. engkau mengawasi langit yang gulita, membayangkan tahun menunggu di depan. ada masa kanak yang berlarian lepas, di sepanjang jalan. dan tak ada lagi yang bisa dipungut, kenangan berkerut di dahimu.

di muka desember, angin dingin memanjang. mematuki sendi tubuh. hari-hari rubuh dan ngilu. nyala cahaya kota tak kunjung memaksa dirimu untuk berbenah. sekadar merapikan ingatan buram. kota masih juga lembab, hari-hari terus berlari, menempuh nyali dan sepi. di pusat kota, orang-orang berkubang dendam di matanya. menunggu terompet tahun baru segera berbunyi. atau sekadar berteriak keras dan lekas, mengubur setiap dosa.

2021

 

LUKISAN TORANG

“lihatlah ayah! aku telah selesai melukis,” hanya ada garis patah, tentang rumah, hewan gajah, mobil atau pesawat terbang. dan ia menghapusnya lagi, memulai gambar yang baru. menebalkan garis yang ragu, memberi sedikit rumbai, dan lembut cabang juga reranting baru. kumpulan lingkaran tak simetris juga sedikit gerimis.

sembari melukis, dikisahkannya pula sebuah tempat, di mana dirinya rekreasi dengan teman sekolah. tentang hari-hari yang dilaluinya, juga nama teman-teman baru.

“aku akan melukis sebuah rumah yang lebih besar dari rumah kita ayah,”

diam-diam, aku amin-kan dalam hati. lalu membiarkan lagi dirinya tenggelam dengan imajinasi. ia tertidur dengan jemari yang penuh dengan tinta spidol.

2021

 

JANUARI YANG GUGUR

januari gugur dalam hujan dan tanggal kelahiran yang alpa dilingkari. wantu menua dalam tubuh. menghitung lepas napas yang mengeras. langit mendung seperti menenung diri. sebuah lagu masa lalu mengayun. mengabarkan angka tahun bagi diri sendiri. 40 yang mengudap. berlipat sesal kekal pada hujan yang diam-diam berbaring di jantung. dekapan istri dan anak berpayung di rongga ingatan.

De Poris Cafe, 16-01-22

 

EMPAT PULUH

 I.
rongga usia memanggang januari. ada percakapan yang bertahan atau sekadar lesap di gamang hujan. berapa banyak sketsa atau kata yang tak bisa dibaca. rongga usia dan aku yang melangkah. kini aku bahagia, meski lecut duka acap bertahan jadi bara. adakah engkau menunggu bahkan saat batas waktu menjadi batu? lalu kuhitung lagi segala harap dan cinta yang pernah terlihat nyata.

II.
aku duduk di bangku kayu. membenamkan hari yang mendung. ingin menulis puisi tapi masih terlalu pagi. juga untuk mengumbar sejumlah ingin yang telah suri. kembali kutelusuri lagi smeua kenangan di gawai juga di lingkaran lagu yang masih mengalun. sampai jauh…

III.
ia mungkin hanya seorang lelaki kecil dan selalu ingin  pulang ke rumah. sebelum senja menjumpai dirinya. di bangku kafe, ia melipat usia.

De Poris Cafe, 16-01-2022

 

DI SUDUT KAFE

di sudut kafe, alunan lagu yang merantau ke masa lampau. remah senyum dan bisikan di sisi telinga. percakapan nakal. bangku kayu yang lembab  bekas hujan. dan tubuhku limbung, menempuh setiap langkah murung. meskipun terkunci pada setiap ciuman yang pernah singgah, di lembab bibir.

di sudut kafe, sepi mengurung dengan lalu-lalang orang. merampasku di becek tanah, genangan air yang tak kunjung terserap, bahkan saat telepon berdering. mengabarkan rindu yang kering.

De Poris Cafe, 16-01-2022

 

EMPAT PULUH JANUARI

apa yang kaubayangkan dari kelahiran? ketika tubuhmu menyimpan empat puluh januari. setiap tangis ibu telah mengendap di setiap pori. napas yang menyimpan pagi dengan bayangan matahari sunyi. tapi akan ada janji yang lain, seperti kicau burung di ranting atau lembut angin menyisir ujung daun. bagaimana bisa kautawar saat rahim ibu terbuka, mengirimkan gelombang yang lebih ganjil dari puisi?

kini kau akan bercengkrama dengan anak lelakimu. berkisah tentang sepak bola dan berita-berita lawas. ah, betapa engkau ingin kembali mengarsir dirimu dengan puluhan warna, sebelum januari kembali tiba.

De Poris Cafe, 16-01-2022

 

SELEPAS PAGI

selepas pagi, ia menjelma jadi puisi yang paling perih. yang tak bisa dikabarkan dengan kata bahkan untuk sekadar luka. namun dari bayangan punggungmu, selalu ada wajah ibu menunggu. meski terasa tirus kurusnya membungkus. dan di kota ini, kita selamanya menjelma jas hujan yang asik menampung segala keluh oleh kenangan lepuh. padahal ia hanya ingin menikmati sendiri, segala sedih lama yang tak pernah selesai untuk dikunyah. dan di rumah, kilat runcing lelah bersemayam, di balik segala perkataan. hingga segalanya berdiam diri. mengeras di batu kata.

26-01-2022

 

MATA MALAM

malam adalah sebagian masa kecil yang sulit diraba. tapi ia kerap terjaga, menampung sebagian kata yang berdengung di telinga. lalu kesedihan menelusup dari celah angin, tak sempat dipilinnya semua rindu yg terlanjur rapat pada celah mata perempuan. dan ia merangkai lagi segala kalimat ihwal percakapan yang tak kunjung selesai.

Januari 2022

 

RESIDU HUJAN

setalah ini langit memang masih mendung. dan engkau terkurung di rumah. melipat pagi seluruhnya ke dalam kidung. tapi masih ada tetes air dari lembab kanopi. tergelincir ke balik usia. ah, mestinya engkau mengunjungi kota lama, menikmati kuliner dan menyimpan bayangan akhir pekan dengan percakapan biasa.

tapi dingin mengerut di sepanjang tubuh. hanya ada lampu billboard menyala, menyimpan segala prakiraan cuaca di sosmed. apakah engkau mesti selfie, meng-upload tubuh hujan yang sedang tersenyum membaca dirinya terjun menghujam tanah?

2022

 

FEBRUARI TERBUNGKUS HUJAN DAN PANDEMI

jalan bulan kedua yang terbungkus hujan. engkau tertahan di persimpangan. jalanan dipenuhi genangan. kita bertemu tanpa ada jadwal, tapi cuaca selalu meninggalkan bekas-bekas yang tak terjamah. selalu ada palang yang menghadang. meski aku tetap mengemas setiap prasangka pada dirimu.

pada langit gelap. setiap luluh hujan yang lantak.

februari yang terbungkus pandemi. orang-orang menghitung rajah positif dari wabah. menempuh segala remah yang menyisa. tak sempat berbenah bahkan ketika sampai di halaman rumah.

2022

 

DI BAWAH MISTAR GAWANG

bola adalah lingkaran doa. agar tidak masuk di gerbangmu. garba yang kehilangan kota. sebelum ia tergelincir dibawa lincah kaki. dan kata yang berlari menempus serbuan mata. supaya tak ada gol yang tercipta.

dari kata dan doa.

2022

 

*Alexander Robert Nainggolan (Alex R. Nainggolan) lahir di Jakarta, 16 Januari 1982. Bekerja sebagai staf Unit Pengelola Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (UPPMPTSP) Kota Adm. Jakarta Barat. Menyelesaikan studi di FE Unila jurusan Manajemen. Tulisan berupa cerpen, puisi, esai, tinjauan buku terpublikasi di media cetak dan online. Pernah dipercaya sebagai Pemimpin Redaksi di LPM PILAR FE Unila.

Bukunya yang telah terbit Rumah Malam di Mata Ibu (kumpulan cerpen, Penerbit Pensil 324 Jakarta, 2012), Sajak yang Tak Selesai (kumpulan puisi, Nulis Buku, 2012), Kitab Kemungkinan (kumpulan cerpen, Nulis Buku, 2012), Silsilah Kata (kumpulan puisi, Penerbit basabasi, 2016).

Beberapa kali memenangkan lomba penulisan artikel, sajak, cerpen, karya ilmiah di antaranya: Juara II Krakatau Award Lomba Penulisan Puisi tingkat Nasional yang ditaja Dinas Pariwisata Provinsi Lampung (2017), Puisi Umum Terbaik tingkat nasional yang ditaja Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Prov. DKI Jakarta bekerja sama dengan Yayasan Hari Puisi (2019), Juara II Lomba Cipta Puisi HB Jassin yang ditaja Bengkel Deklamasi Puisi dan Dispursip Prov. DKI Jakarta (2019).