Topeng Monyet dalam Tidak Sekedar Tari #84

Oleh Razan Wirjosandjojo

Sepeda saya kayuh melintasi jalan-jalan temaram menuju Taman Budaya Jawa Tengah. Sesampainya saya mendapati para penonton tengah menyaksikan pertunjukan pertama. Selasa itu (27/2), Tidak Sekedar Tari menampilkan tiga pertunjukan dalam penyelenggaraannya yang ke-84. Saya menempatkan diri berdiri, menonton di belakang deret penonton. Pertunjukan bisa saja ditonton pada kanal Youtube Taman Budaya Jawa Tengah (https://www.youtube.com/watch?v=f6gedPpppDU&ab_channel=TamanBudayaJawaTengah), tapi saya rasa menyaksikan langsung tetap menjadi tradisi yang bermakna untuk dilakukan.

Pertunjukan pertama bertajuk “A Ngger”, koreografi Agil Pramudya. Pertunjukan dimulai ketika penari bersurjan berdiri tunggal, diselimuti cahaya biru dan lantunan tembang Jawa. Perlahan penari-penari bersurjan lainnya masuk di antara bait-bait tembang yang terus berjalan. Salah satu penari menunjukkan bendahara gerak tradisi jejawaan. Saya mengira, gerak-gerak yang mereka kutip merujuk pada bentuk tari kerakyatan, namun dibawakan dengan tubuh yang fasih berbahasa tari klasik gaya ISI Surakarta.

Seketika senandung tembang dan bebunyian hilang menjadi hening. Terlihat salah satu penari bergerak. Ia memutar-belokkan bahunya, mungkin pegal. Satu demi satu, penari lain mengikuti. Tangan mereka bersembunyi di balik punggung. Dengan surjan dan celana chino cokelat mereka mulai menari dengan rampak dan ritmis, walaupun tertangkap berkali-kali luput gerakan. Pukulan bonang dan kendang yang mengulang-ulang menjadi komandan mereka dalam bergerak. Mereka mengentak-entakkan kaki mengitari panggung. Sesekali tangan mereka bergerak sebagai hiasan, lalu sisanya hanya bersembunyi di atas bokong.

Senggakan muncul, gerak mereka mengingatkan pada pola buto gedrug. Mereka semakin cepat seperti dikejar deadline, lalu berhenti dengan pose ulap-ulap junjung bersamaan dengan musik yang berhenti. Momen yang cukup untuk membuktikan mereka sudah beberapa kali latihan. Dalam posisi diam, lampu pun padam.

Siul-siulan genit dan tepukan tangan terdengar, penari berkebaya masuk ke atas pendopo. Dengan kebaya dan celana berwarna hitam, ia bergerak sebebasnya. Satu penari bersorjan masuk mencoba merogoh penari berkebaya tersebut. Tak lama kemudian penari lain masuk, ia mengikat surjannya di dada seakan-akan dirinya seksi me-wandukan diri. Sesi lelucon menjadi pariwara di tengah pertunjukan. Penonton pun hafal peran mereka sebagai penonton, mereka spontan menggoda dan nimpali penampil yang bertingkah di atas pendopo. 

Obrolan saru dibicarakan, LC (lady companion), ayam kampus, jadi menu obrolan yang ringan. Satu penari nimbrung mengajak joged. Mereka menari sebentar, lamanya setahi kuku. Satu penari masuk, nembang mblero. Tembangnya terasa ngandani. Satu penari menyahut,”rungokno wedhok-wedhok kae, ojo udud! (dengerin cewek-cewek itu, jangan merokok!)” Jumlah mereka menyerupai punakawan, tapi gara-gara yang mereka buat sepertinya hanya untuk keasyikan mereka sendiri. Mereka menari bersama-sama, para penari bersurjan mengelilingi penari berkebaya. Sesekali saling dekat, saling goda. Perlahan penari lain berjalan pelan di belakang satu penari bersorjan yang menggoda penari berkebaya. Panggung menjadi gelap, pertunjukan berakhir gantung. 

Pertunjukan kedua dibuka dengan spot light menerangi kursi yang berdiri di tengah. Putri Yeni sebagai koreografer karya “Nebeng Dompeng” menampakkan diri dengan rambut ponytailnya yang berkibas. Ia berlari bersama dengan jas cokelatnya yang kebesaran. Duduknya di kursi tak tenang. Sekilas panik, sekilas geram.  Gelisah melihat ke kiri dan ke kanan. Kegelisahan yang tak beralasan melontarkan dirinya ke bawah pendopo. Ia menggabungkan diri ke tempat duduk penonton. 

Penampil  menarik-narik alas duduk penonton, menyelinap di antaranya. Perilakunya beringas kepada orang-orang yang sudah pergi jauh dari rumah untuk menyaksikan dirinya. Ia mencoba menarik-narik perhatian penonton dengan mendorong-dorong mereka pergi dari tempat duduk. Penonton diam membatu. Pertunjukan lalu usai dengan kekalahan penampil yang membalik kursinya sendiri sebagai kesimpulan. Pertunjukan ini cukup pendek. Saya rasa sinopsisnya terasa lebih panjang, jika boleh membandingkan.

“Suku Suka Suka” oleh Dimas Eka Prasinggih dimulai kala penonton sudah duduk melingkar di atas pendopo. Dimas masuk ke pendopo dengan motor matic dengan knalpot yang dibubut. Suaranya caper, bikin dongkol. Dimas membonceng tas dan koper besar. Tas dan koper itu ditaruh di atas lantai, membuka kostum-kostum yang ada di dalamnya. Sambil melucuti bajunya sendiri, musik melayu berdendang. Ia mengatakan “Nama saya Dimas. Ayah saya dari Medan, pindah ke Tanjung Pinang. Ibu saya dari Solo, pindah ke Tanjung Pinang” sebagai perkenalan. Kalimat “Saya Suku Melayu” ia ucapkan setelah mengenakan pakaian tari Melayu. Mengikuti musik yang berjalan, ia melenggang zapin. Tak banyak menghiraukan gerak tubuhnya, ia berputar-putar sepuasnya.

Pola lucut-pakai kostum ini terus berulang. Penampil mengulang kalimat perkenalannya, mengakhiri setiap kalimat dengan suku tertentu. Ia sebut dirinya Batak, Dayak, Banyumas, Solo, Bali, Papua. Ia menyulap dirinya berganti-ganti suku dengan tari-tarian yang populer “mewakili” suku-suku tersebut. Sulapannya buruk, berpakaian cepat tapi compang-camping. Penampil serabutan bergerak dan menggunakan kostum tarinya. Pilih-memilih pakaian ia lakukan tergesa-gesa. Pertunjukan ini sepertinya tidak pernah latihan, atau bahkan sekadar mencoba. 

Bak awul-awul, penampil mengacak-acak pakaian di dalam koper dan tasnya setiap kali harus mengganti pakaian. Musik memburu, gerak pun tidak khusyuk. Sekartaji-nya seperti kuda lumping, tari baris-nya tidak menggetarkan. Tidak ada yang memuncak. Durasi setiap tarian pun sekilas saja, semacam reels di Instagram. Berkostum seperti icip-icip pakaian di ruang ganti H&M. Ketika sudah dipakai ia gantung sembarang. Putaran ini terus terjadi dari Sumatera sampai Papua, medley Nusantara dengan laut yang dangkal.

Belum puas dengan kesemrawutan yang telah terjadi, ucapan terakhir penampil “Saya Suku Dimas” seperti mantra yang membuka gerbang taman kanak-kanak. Ia mengambil pakaian-pakaian yang sebelumnya ia pakai, dipadupadankan dengan pakaian genggesnya. Campur-campur segala benda yang ada di lantai. Blangkon dan irah-irahan di-juggling, pertunjukan seketika berubah jadi sirkus. Penampil sebagai pemandu, mengajak beberapa penonton untuk masuk ke atas panggung. Mereka bebas melakukan apa saja. Penonton yang berdiri ikut menggila dengan kostum-kostum penampil. Ada yang merekam peristiwa, ada pula yang sibuk membuka botol minuman keras yang dikeluarkan Dimas. Biru panggung membelah panggung menjadi dua dunia, antara mereka yang tenggelam dalam kegilaan, dan mereka yang acuh menonton pertunjukan sirkus yang kebingungan mencari-cari akhir.

Dimas dalam karya “Suku Suka-Suka” (Dokumentasi Razan Wirjosandjojo)

***

Jebakan Merek dan Sterotipe

Tiga seniman penampil pada Tidak Sekedar Tari #84 menawarkan gagasan yang berbeda, namun terjebak perangkap yang sama. Isu gender, kekuasaan, dan diaspora mentok pada persoalan “merek”. Malam itu menjadi kali ke-sekian saya menyaksikan karya tari yang mengangkat tema gender dalam praktik lengger, membuat saya curiga. Mengapa satu fenomena gerak tubuh yang mencakup aspek sosial, ekonomi, politik, dan spiritual dalam masyarakatnya, selalu jatuh pada leng gender? 

Perlahan-lahan, saya merasa lengger semakin sempit ditatap dari kaca mata isu gender. Stereotip lengger sebagai praktik non-biner dipatenkan oleh praktisinya sendiri. Tidak seperti kacang goreng warung yang memiliki stok terbatas, lengger sebagai komoditas laris seperti tidak habis-habis diobral. Pada kasus ini pengupasan elemen gender dalam Lengger Wonosobo juga tak dalam dilakukan oleh Agil. Menguliti pun tidak sampai, menjadi sebatas kebaya hitam dan surjan bunga-bunga. Hanya dipakai dan dipamerkan sebagai baju yang baru ia coba. Selaris lengger dalam jual-beli isu gender, karya kedua membuktikan larisnya kursi dan jas sebagai tanda yang sarat akan simbol kekuasaan. 

Kedudukan dapat dikatakan dekat dengan soal-soal kuasa. DPR tidur di kursi, bos-bos pasti ditemui dengan posisi duduk, bahkan duduk di mobil pun membuat banyak pengendara merasa lebih punya wewenang. Pengulangan tanda dan simbol tak menjadi masalah, selama ada alasan dan pengalaman yang melekat dalam diri seniman. Kendati demikian saya mempertanyakan, apakah kekuasaan hari ini (hanya) terjadi ketika duduk?

Tidak jarang penguasa menunjukkan keperkasaannya sembari lesehan, seperti yang sering terjadi di masjid-masjid. Ada pula yang selonjoran, kadang tidur-tiduran pakai daster atau celana komprang, menyatakan kekuasaannya untuk bersikap sak-sak e. Berdiri di barisan paling belakang, jongkok-jongkok di Taman Budaya, atau merangkak masuk gorong-gorong, sepertinya pemimpin hari ini semakin menjauhkan diri dari citra buruk “duduk di kursi”. Lapisan-lapisan ini yang tercampakkan ketika koreografi Putri Yeni menghadirkan gestur bossy yang dihiasi kursi, jas, dan spot light selama tak lebih dari 10 menit.

Persoalan sterotipe ini semakin jadi ketika karya ketiga tampil. Suku diwujudkan sebagai fashion kostum tari. Penampil konsisten mengklaim dirinya menjadi suku-suku tertentu ketika menggunakan kostum tersebut. Beberapa kilas geraknya menarik namun lebih sering terlihat disengajakan untuk berkualitas rendah, gerak tubuh hanya dihadirkan maknanya sebagai sampiran pertunjukan. Pada “Suku Suka-Suka” panggung adalah ruang ganti tak bertembok. Penampil bebas mencicipi setiap suku yang ada di dalam koper, terburu-buru memakai-menggerakkan-melepas pakaiannya seperti sedang keranjingan diskon.

“Menjadi” lengger, penguasa, atau penari “suku” pada pertunjukan malam itu tak punya perbedaan dengan berbelanja merek pakaian. Selayaknya orang yang ingin melegitimasi dirinya bugar dengan mengenakan pakaian olahraga, pertunjukan malam itu menampilkan pola yang tak berbeda. Layak menyebut diri sebagai lengger karena sudah memakai kebaya, pantas diakui sebagai penguasa karena menggunakan jas, merasa sudah menjadi masyarakat Jawa karena menggunakan jarik batik. Identitas dimaknai seperti parade kostum. Malam itu, pendopo Wisma Seni menjadi ajang pertunjukan topeng monyet.

***

Unjuk (Identitas) Diri a la Topeng Monyet

Topeng monyet (ledhek kethek) sebagai bentuk kesenian menampilkan atraksi-atraksi mimetik yang dilakukan oleh seekor (atau lebih) monyet. Dulu saya sering melihat pertunjukan ini di Terminal Kampung Rambutan, ketika masih tinggal di Jakarta. Mereka biasanya sudah menyiapkan properti-properti andalan, sesuai dengan peran-peran yang akan dilakukan si monyet. Jika menjadi ibu-ibu yang pergi ke pasar, sang pawang akan memberi keranjang mungil, lalu monyetnya akan membawa keranjang itu sambil berputar-putar seperti mengelilingi para pedagang. 

Banyak sekali pilihan perannya, bisa jadi tukang bakso, orang kehujanan, kuli panggul, atau pembalap. Monyet itu mengandalkan properti yang diberikan sebagai tanda perintah sang pawang. Salah satu yang paling saya heran sekaligus ngeri adalah ketika melihat satu pertunjukan topeng monyet yang sedang memerankan tentara. Si monyet ambil senapan mungil dan helm, lalu ia berdiri diam. Betul-betul seperti tentara dalam keadaan siap, namun matanya tetap lirik-lirik dan wajahnya seperti tak paham. Buat saya menyakitkan, namun tak dipungkiri praktik ini menghibur banyak orang dengan kekaguman dan kelucuan yang muncul ketika menyaksikan monyet itu meniru-nirukan laku peran manusia. Karena apa pun peran yang ia lakukan, ia tetap dihargai sebagai seekor monyet.

Topeng Monyet pada masa kolonial Belanda (Sumber : Koleksi Tropenmuseum, Belanda)

Phittaya Phaefuang dalam karyanya “Realness : Luk Kreung” menyiratkan dramaturgi“topeng monyet” sebagai strategi pertunjukannya. Dengan topi pantainya ia memerankan wandu anggun, bolak-balik berputar-putar panggung. Seketika ia menjadi biksu dengan jubah oranye, lalu menjadi penari vogue dengan kancut emasnya. Karya “Dance Offering” oleh Kornkarn Rungsawang yang saya saksikan di Teater Besar Jakarta (2022) dan Esplanade Singapore (2023) juga menampilkan strategi pertunjukan yang serupa. Pada pertunjukannya, ia masuk dan mengenakan pakaian penari persembahan dalam tradisi Thailand di atas panggung. Setelahnya ia menari sembari mengumpulkan doa-doa para penonton. Setelah itu, ia tanggalkan kembali pakaiannya, menyisakan dirinya dengan baju olahraga Lululemon. Potongan ketat pakaian itu menyatakan dirinya sebagai penjaga “nirwana” digital dalam virtual reality buatannya. Muncul satu pengalaman rasa yang terhubung ketika menyaksikan dua pertunjukan ini, yang saya temukan kembali ketika menyaksikan pertunjukan di Tidak Sekedar Tari #84, terkhusus pada pertunjukan Dimas.

Pertunjukan “Luk Kreung : Realness” oleh Phittaya Phaefuang (Sumber : https://teatro.persinsala.it/realness-luk-kreung-oktoberdans-2022/65791/)

Pada pertunjukan Putu Arista “Suun”,  gaya “topeng monyet” saya tangkap berpadu dengan kompetensi laku kerja tubuh. Pada versi terakhir pertunjukannya di Jogjakarta, ia memulai pertunjukan dengan menggunakan pakaian adat Bali untuk perempuan. Setelah dirinya terpancar sebagai wanita Bali karena kebaya dan kain jarik-nya. Ia mulai melakukan praktik suun (menyunggi) dengan kursi-kursi sebagai objek utama pertunjukannya. Saya mempertanyakan urgensi untuk menggunakan kebaya, yang bagi saya mengurung persoalan-persoalan di dalam pertunjukan tersebut dalam tudung “perempuan Bali”. WaTerlepas dari itu, saya menyaksikan kapasitas tubuh Arista dalam mewujudkan kosmologi Bali dengan melakukan kualitas nyuun / suun yang telah mendarah-daging dalam dirinya.

Budaya berpakaian yang saya alami hari ini telah jauh dari soal membalut diri dan menutupi kulit. Saya menilai anak di jalan sebagai siswa SD karena pakaiannya putih-merah. Nikahan selalu dipenuhi pria berkemeja batik. Protes-protes di jalan diisi oleh jaket almamater berbagai universitas. Saya tidak diperbolehkan masuk kantor Imigrasi karena menggunakan sendal. Ketika Imlek, saya akan pakai baju bernuansa merah walaupun saya tidak berlatar etnis Tionghoa. Fenomena mengenakan pakaian – dan menanggalkan pakaian, dalam beberapa konteks – tak lepas dari kesadaran & ketidaksadaran kita terhadap identitas, baik yang bersifat mengakar atau tempelan.

Saya yakin selalu ada ungkapan kemisteriusan dalam seorang individu dan kelompok melalui pakaian. Pakaian menjahit wajah identitas satu individu, kelompok, sampai  satu generasi masyarakat. Saya melihat tren menggunakan baju gombrang dengan warna-warna gelap di mayoritas anak muda di Shihlin, Taiwan. Berjalan di trotoar seakan jadi semacam parade fashion ala Yohji Yamamoto atau Issey Miyake. Pengalaman ini jadi bekal belajar saya untuk memperhatikan pakaian yang digunakan oleh warga Mojosongo. Saya mencoba menyingkap gejala-gejala yang tersembunyi melalui pakaian-pakaian masyarakat sekitar.

Hadir sebagai metafora dalam menatap pertunjukan Tidak Sekedar Tari #84, bagi saya fenomena topeng monyet juga hadir sebagai pantulan dari mengalami globalisasi. Lejitnya perkembangan infrastruktur transportasi dan komunikasi merobohkan batas-batas konvensional dari perpindahan budaya. Globalisasi menciptakan lompatan-lompatan yang memungkinkan satu kebudayaan dapat menjangkau lebih jauh. Kebudayaan tidak lagi harus selalu mengalir dan mengandalkan perpindahan manusia sebagai inangnya. Komersialisasi pesawat dan internet menjadi dua dari sekian faktor yang memungkinkan patahan-patahan masif dalam ekspresi kebudayaan (dan kesenian) hari ini. 

Jaran Kepang Temanggung dilakukan dengan pakaian Tari Baris asal Bali, dan wig afro ala Afrika-Amerika era 1970-an. Kostum ini terwujud walaupun tidak ada pertemuan akulturasi antara masyarakat Temanggung dan Bali, atau dengan masyarakat kulit hitam di Amerika Serikat. Saya melihat wujud dari kostum kesenian tersebut sebagai bukti patahan yang dimungkinkan pada era globalisasi. Dari pada itu, lompatan dan patahan itu tidak hanya soal keleluasaan. Tidak hanya sebatas kebebasan untuk memakai kaos jersey-nya Lionel Messi, atau sepatu basketnya Michael Jordan. Fenomena lompatan ini memungkinkan individu untuk menghidupi berbagai jiwa (kebudayaan) di dalam satu tubuh dan Internet berhasil berfungsi sebagai pelontar jiwa-jiwa kebudayaan itu. Walaupun begitu, lompatan kebudayaan tidak semata terjadi setelah internet lahir.

Pertunjukan Jaran Kepang Temanggung (Sumber : https://rianrouftmg.wordpress.com/)

Wahyu Santoso Prabowo menjadi satu sosok yang saya anggap telah melakukan lompatan tersebut. Lahir dan tumbuh di Tegal, ia melakukan lompatan kebudayaan dengan belajar Tari Klasik Gaya Surakarta dengan masuk ke Konservatori (sekarang dikenal sebagai SMKI / SMK). Lompatan ini berdampak besar dalam tumbuhnya kebudayaan baru di dalam diri Wahyu Santoso Prabowo. Ia kini dikenal sebagai empu tari klasik gaya Surakarta, walaupun dirinya tidak lahir dari lingkungan keraton, ataupun Solo. Pendidikan dan media massa menjadi salah satu penyumbang lompatan-yang saat itu tergolong kecil, namun mampu menciptakan peristiwa lemparan yang salah satunya terjadi di dalam pengalaman hidup pak Wahyu SP. 

Wahyu Santoso Prabowo menginterpretasi Sunan Kalijaga (Dokumentasi oleh Ari / Kompasiana)

Serupa tapi tak sama pada pengalaman Adif Marhaendra sebagai pelaku kesenian rakyat Reog Ponorogo, tubuhnya mengalami benturan ketika melanjutkan studi di ISI Surakarta. Kelimpungan ia rasakan karena tidak terbiasa dengan karakter gerak tari klasik, semakin dipersulit karena perundungan sebagai reaksi primordialis dari mereka yang merasa handal dan lebih “Solo” (mayoritas karena bersekolah di SMKI Surakarta). Tekanan datang dari luar dan dalam diri. Hal menarik terjadi ketika YouTube justru menjadi sumber inspirasi Adif untuk semangat mengejar ketertinggalannya dan mendalami karakter-karakter raja dalam Tari Klasik Gaya Surakarta. Ketekunannya berbuah untuk dirinya saat ini, menempatkannya sebagai salah satu top tier penari klasik gagahan gaya Surakarta di generasinya. Sekolah dan saluran informasi konvensional telah didukung dengan internet sebagai sumber bebas yang membuka cakrawala yang begitu lebar. 

Kiprah Adif Marhaendra sebagai Rahwana (Sumber : Laman Instagram @adif_dgb)

Saya sendiri terinspirasi untuk menari karena film yang saya saksikan di bioskop dan mengawali proses belajar dari internet, dua wahana yang meledak sejak era globalisasi. Melalui kanal-kanal YouTube saya mempelajari berbagai dasar gerak hip-hop, dan mengajak beberapa teman untuk juga belajar bersama saya. Perkumpulan itu lalu menjadi komunitas yang menemani awal perjalanan menari saya selama 3 tahun. Saya jadi mampu melompat ke Amerika Serikat melalui internet. Saya pun melihat pertunjukan tari klasik gaya Surakarta untuk pertama kali dari internet, menyaksikan repertoar Kalana topeng yang ditarikan oleh Samsuri Sutarna, sebelum mempelajarinya langsung di ISI Surakarta. Lambat laun saya tetap merayakan tradisi tari sebagai peristiwa komunal, namun internet tetap berperan sebagai jendela dunia dan ikut serta membentuk tubuh saya sebagai wadah yang menampung berbagai kebudayaan.

***

Etika Budaya Ketika Berkarya

Pada sesi diskusi, Mas Eko dan Mas Prapto terang menajamkan persoalan tanggung jawab etis penampil dalam menghadirkan satu (atau lebih) kebudayaan yang dihadirkan dengan pola “topeng monyet” tersebut. Bagi saya pengacuman atau provokasi niscaya terjadi dan dilakukan sebagai salah satu ekspresi budaya. “Sanggita Pancasona” oleh Sardono W. Kusumo dilempari tomat busuk dan dicemooh karena progresivitas koreografi yang ia ciptakan dianggap sebagai tarian yang “ngawurdari tradisi tari yang dipahami di lingkungannya. Karya “Daily” oleh I Wayan Sadra juga mengalami penolakan yang keras, karena laku menyeret gong di lantai dianggap menyalahi kesakralan instrumen gong dalam karawitan dan kebudayaan Jawa. 

Pementasan drama “Sangita Pancasona” oleh Sardono W Kusumo di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, 1972 (Dokumentasi TEMPO/ Ed Zoelverdi)

Masing-masing seniman menyatakan argumentasi gagasan atas ciptaannya, terlepas dari kesulitan yang dialami penonton di masanya untuk menerima atau memahami. Bagaimana pun seniman-seniman itu menciptakan konfrontasi kepada kebudayaan dengan kesungguhan. Saya menganggap laku kontroversial Sardono dan Sadra adalah ekspresi kepedulian yang kritis terhadap kebudayaan yang diharapkan dapat tumbuh mengikuti zaman. 

Posisi Sardono W. Kusumo dan I Wayan Sadra cenderung memiliki kuasa pada posisinya saat itu atau hari ini, kendati demikian saya melihat kuasa tetap tidak akan bermakna jika tidak dibekali oleh kapasitas berpikir dan berargumentasi sebagai modal kritik. Dua karya ini menjadi contoh yang saya rasa cukup konkret, mendorong kepekaan untuk mempertanyakan kembali kebudayaan sebagai upaya menumbuhkan kualitas di dalamnya. Apakah lengger akan terus mendekam pada persoalan gender? Apakah kekuasaan terus bersembunyi dibalik jas dan kursi? Apakah kebinekaan suku tepat diwakilkan dalam bentuk tarian medleySabang sampai Merauke”?

***

Pola topeng monyet saya duga akan semakin marak dalam pertunjukan di masa mendatang. Jarak antar negara mengkerut, interaksi antar bangsa dan suku semakin gencar, teknologi komunikasi semakin ganas, budaya menjadi paket yang waktu kirimnya seketika (immediate). Batas kebudayaan menjadi kabur, kita semakin leluasa meniru dan memakai apa saja yang kita lihat dan konsumsi di layar ponsel (atau nantinya “Vision Pro”?). Ada jogetan baru di TikTok, dalam 5 menit gerakan itu sudah menjadi tren dunia. Globalisasi menjadi air bah yang membanjiri manusia dengan atribut-atribut yang dapat digunakan untuk menutupi kemonyetannya. Seniman pertunjukan akan menjadi peragawati yang sangat seksi untuk memantulkan kenyataan ini. 

Jauh dari pada itu, saya tetap percaya bahwa generasi pasca-internet mampu menjangkau lebih jauh dari pada sekadar tercetak sebagai monyet peniru. Globalisasi mengepang jaringan-jaringan yang mentransmisikan informasi sangat jauh dan meluas. Setruman informasi dapat memantik diri menjadi entitas yang hibrid. Tubuh menjadi komputer yang mampu menampung begitu banyak kebudayaan sebagai perangkat lunak yang beroperasi harmonis di dalamnya. Budaya dapat menyatu atau kerja berdamping-dampingan. Otokritik muncul, nilai dan fungsi di antara software kebudayaan itu saling menarik, berargumentasi, menggugat, menciptakan keseimbangan dan pertumbuhan berkehidupan. Saya bisa menghidupi kebudayaan saya sebagai orang Jakarta, dengan tetap menumbuhkan jiwa budaya Jawa di dalam diri saya. “Mereka” saling mengisi, menegur, berantem, dan memperbaiki. Proses dialektis tersebut menumbuhkan kualitas diri yang mampu menciptakan solusi-solusi “baru” dan “kini” dalam menghadapi permasalahan kemanusiaan yang juga semakin pelik. 

Studio Plesungan, Karanganyar, 18 Maret 2024

*Razan Wirjosandjojo adalah seniman yang saat ini tinggal di Solo, Indonesia. Ia menyelesaikan studinya di Jurusan Tari Institut Seni Indonesia Surakarta. Razan mulai aktif menari pada tahun 2010 dengan mempelajari berbagai disiplin gerak dari berbagai ruang dan komunitas di Jakarta hingga tahun 2017. Setelah pindah ke Solo, ia belajar bersama Melati Suryodarmo sejak tahun 2018 hingga sekarang. Sejak 2020, Razan mulai menciptakan karyanya sendiri dan memperluas sudut pandangnya dalam melihat tubuh sebagai poros gagasan dan mengembangkannya dalam berbagai wahana. Saat ini Razan merupakan murid dan staf paruh waktu di Studio Plesungan.