Eko Fangohoy

Citra Aparat Hukum dalam Film Televisi Amerika: Tinjauan Fenomenologi Alfred Schutz

Oleh Eko Fangohoy

Dari sejarahnya, film-film produksi Amerika Serikat mulai membanjiri televisi Indonesia sejak Orde Baru, terutama pada dasawarsa 1970-an. Kala itu, film-film bergenre western seperti Bonanza dan The Wild Wild West atau bergenre fiksi sains seperti Star Trek menghiasi acara di televisi di Indonesia—karena waktu itu stasiun televisi yang tayang hanyalah Televisi Republik Indonesia (TVRI), praktis film-film serial ini seolah-olah identik dengan TVRI.

Di samping genre-genre tadi, tidak kalah banyaknya adalah film-film bergenre kepolisian atau dunia hukum pada umumnya. Orang mungkin masih mengingat film-film seperti Mannix, Remington Steele, Hawaii Five-O, Chips, dan lain sebagainya. Ketika film-film era 1970-1980-an yang bergenre dunia hukum ini masih belum hilang dari memori publik Indonesia, publik yang sama masih dibuat terpesona oleh film bergenre serupa yang kini hadir melalui televisi swasta dan televisi berbayar. 

Ternyata, di negara asalnya, berbagai genre film-film tersebut memilik penggemar masing-masing. Namun, jika diamati secara lebih teliti, ternyata film bergenre kepolisian atau dunia hukum boleh dibilang selalu menjadi yang favorit. Mengapa?

Film Televisi Bertema Kepolisian dan Dunia Hukum 

Film televisi bertema kepolisian atau dunia hukum pada hukumnya memiliki sejarah panjang di Amerika Serikat. Menurut Grady, awalnya film-film bergenre ini sering menampilkan polisi sebagai karakter yang bodoh atau konyol. Pada tahun 1910, International Association of Chiefs of Police (IACP) mengeluarkan resolusi yang mengutuk bisnis pertunjukkan terkait cara bisnis itu menggambarkan para petugas polisi. “Film-film polisi, begitu keluh IACP, membuat kejahatan tampak menyenangkan dan glamor, sementara polisi ‘kadang-kadang dibuat tampak menggelikan’.”

Satu-satunya polisi yang kelihatan “berhasil” dalam tugasnya pada film dasawarsa 1910-an itu muncul dalam film Charlie Chaplin, Easy Street (1917). Karakter yang diperankan Chaplin, seorang gelandangan yang berubah menjadi polisi ini sanggup menyelamatkan gadisnya dari kelompok penjahat setelah tidak sengaja duduk di atas jarum obat bius dan memperoleh kekuatan superpower karena tersuntik secara tidak sengaja. 

Film Charlie Chaplin Easy Street

Poster Film Charlie Chaplin Easy Street

Namun hal ironis itu berubah seiring perjalanan dunia pertelevisian di negeri Donald Trump tersebut. Setelah kalah populer oleh film bergenre western pada tahun  1950-1960-an, film bergenre dunia hukum mulai naik daun sejak 1970-an sampai masa kini.

Dari 69 film televisi yang disiarkan oleh empat jaringan televisi besar di Amerika Serikat (CBS, NBC, Fox, dan ABC) selama 2019-2020, misalnya, tiga puluh lima (35) bergenre dunia hukum dan kepolisian, berdasarkan analisis Quartz. CBS sendiri menyiarkan 16 di antaranya. Sekitar 70% siaran film dramanya selama 2019-2020 bergenre kepolisian.

Quartz mendefinisikan film televisi bergenre ini sebagai film yang karakter utamanya adalah petugas atau aparat hukum atau dari kelompok di sekitar para penegak hukum—misalnya FBI, detektif swasta, atau polisi militer—dan tugas atau pekerjaan mereka merupakan inti pokok dari jalannya cerita film (misalnya CSI, Blue Bloods, atau Chicago PD). 

Tidak hanya banyaknya film seri bergenre tersebut yang disiarkan stasiun-stasiun televisi di Amerika Serikat, tetapi beberapa di antaranya justru menjadi tontonan favorit dan termasuk dalam film seri televisi yang banyak ditonton masyarakat di sana setiap tahunnya. Berdasarkan Nielsen, setidaknya ada empat film seri bergenre ini yang masuk dalam Top 10 atau Top 17 dari 50 film seri televisi paling populer pada tahun 2019. NCIS, salah satu film seri tersebut, yang disiarkan sejak 2003, memiliki rata-rata penonton 15,3 juta orang setiap episode, melampaui jumlah penonton National Footbal League di ESPN.

Disertasi Fitria Akhmerti Primasita membuat pembedaan antara film seri detektif klasik/tradisional dengan film seri detektif generasi baru, yaitu yang disebut sebagai “police procedural”. Ia menyebut genre ini sebagai subgenre dari genre yang lama. Subgenre baru ini justru semakin memopulerkan genre lama. Hal ini bisa dilihat dari popularitas film-film seri yang dimaksud dalam subgenre ini, terutama seperti Crime Scene Investigation (CSI) dan Law & Order. 

Poster CSI

Poster Film Serial CSI (1)

Poster Film Serial Law & Order

Poster Film Serial Law & Order

Bersama Heddy Shri Ahimsa-Putra, ia menyimpulkan: “Having established itself as a subgenre, the police procedural grows to become formulaic by creating its own textual convention. It is a formula that is generally employed by writers and has come to be expected by readers or viewers. By doing so, the police procedural has helped the detective genre as its ‘parents’ genre stay popular.”

Persepsi Publik Amerika terhadap Film Bergenre Ini

Apa yang sebenarnya dipertontonkan oleh film-film seri televisi tersebut? Di luar unsur hiburan, apakah ada di dalam film-film yang membuat banyak orang menyukainya? Dengan sejarah yang panjang, dengan berbagai jenis dan kemasan, dengan berbagai lapisan penonton, film-film itu hadir dengan premis-premis yang kuat, sehingga berpengaruh pada persepsi publik Amerika terhadap polisi pada umumnya. 

Premis-premis itu antara lain bagaimana film-film seri tersebut memberikan citra yang sangat mendalam dan positif dalam diri para penonton sehingga mereka pada umumnya percaya bahwa kepolisian jauh lebih efektif dalam memecahkan kasus kejahatan dibandingkan dalam dunia nyata. Premis-premis itu memunculkan kesimpulan tunggal bahwa polisi merupakan “reliable heroes” (pahlawan yang bisa dipercaya).

Cerita dalam film-film itu menjadikan diri sebagai “sarana pelarian”, sehingga para penonton secara yakin bisa menikmatinya tanpa perlu merasakan beban apa-apa, karena mereka seperti pergi berlibur ke suatu tempat di mana mereka bisa pulang dan pergi dan tetap bisa merasa “tenang” karena yakin bahwa ada kepastian para jagoan di layar televisi—polisi, FBI, aparat hukum, detektif—akan menghentikan pelanggar hukum, entah apa pun yang terjadi, dengan cara apa pun.

Intinya, aparat hukum di film-film televisi digambarkan tanpa kesalahan dan bekerja nyaris sempurna. Mereka datang, ketemu kasus, dan memecahkannya sebelum film berakhir. Mereka mendapat nilai atau kredit yang sempurna, sementara keputusan atau hasil penyelidikan mereka tidak pernah diragukan karena dianggap beres. 

Para jaksa di pengadilan mengeluhkan apa yang disebut “CSI Effect”, yaitu ketika para juri— bahkan masyarakat luas di luar pengadilan— menuntut bukti yang valid dan bahkan ilmiah “tak terbantahkan” seperti yang dikumpulkan Gil Grissom (karakter dalam CSI). “Para juri disebut-sebut menolak untuk menjatuhkan dakwaan dengan bukti yang kurang dari ‘tumpukan bukti’ yang dikumpulkan Gil Grissom dan teman-temannya.” Seperti dalam proses penyelidikan dalam CSI, publik menuntut suatu hasil investigasi yang ilmiah, sistematis, metodis, dan tak terbantahkan.

Poster Film CSI

Poster Film Serial CSI (2)

Menurut Constance Grady, pada suatu polling tahun 2019, kepolisian menjadi institusi publik yang paling dipercayai di Amerika Serikat, mengalahkan Kongres, wartawan, dan pemimpin agama. Namun, pada tahun 2020, setelah kasus George Floyd, situasinya memang berubah.

Namun, bagaimana citra efektivitas dan efisiensi polisi atau para penegak hukum yang muncul dalam film-film seri televisi itu bisa memunculkan persepsi publik yang positif pada mereka— setidaknya sebelum kasus George Floyd tahun 2020? 

Tipifikasi Aparat Hukum Melalui Film dan Persepsi Publik Amerika

Alfred Schutz (1899-1959), seorang fenomenolog murid Edmund Husserl, memberikan wawasan yang mungkin bisa dipakai di sini. Menggabungkan fenomenologi Edmund Husserl dan teori tindakan Max Webber, ia menemukan apa yang disebutnya sebagai “stock of knowledge” (SoK). SoK merupakan basis bagi kehidupan sosial, terutama sebagai panduan individu untuk bertindak, bereaksi, dan memberikan respons terhadap situasi yang berbeda. Intinya, SoK adalah kumpulan pengetahuan yang dibagi bersama, pengetahuan yang sudah cukup lama, atau memori, yang digunakan individu untuk bertindak. SoK sebagian dibagi bersama oleh masyarakat yang di dalamnya individu termasuk, dan sebagian dibentuk oleh pengalaman individu sendiri. 

Foto Alfred Schutz

Foto Alfred Schutz (1)

Isi pokok dari SoK adalah kumpulan tipifikasi-tipikasi, yaitu suatu endapan pengalaman atau pengetahuan yang dicirikan oleh kesamaan atau keserupaan satu sama lain. Apa yang dialami dari sesuatu baru-baru ini tentu memiliki keserupaan dengan sesuatu yang lain yang pernah dialami sebelumnya. Keserupaan itulah tipifikasi dan juga merupakan hasil tipifikasi. Secara sosial, berbagai tipe yang muncul dalam SoK dibentuk terutama oleh orang lain, entah orang yang hidupnya sebelum individu atau sezaman dengan individu tetapi di tempat yang jauh.

Sebagai SoK, kumpulan tipe-tipe, misalnya konsep-konsep sosial, seperti agama, keluarga, cinta, persahabatan, atau peran-peran sosial, seperti orangtua, petugas pajak, guru, atau polisi, menjadi warisan sosiokultural yang diturunkan kepada individu melalui masyarakat yang di dalamnya individu lahir dan dibesarkan. 

SoK yang berisi tipe atau tipifikasi tersebut menjadi pengetahuan atau pengalaman tidak langsung dari individu. Semakin tidak langsung jarak antara individu dengan tipe-tipe atau tipifikasi-tipifikasi itu, semakin bergantung ia pada SoK tersebut. Tentu, jika ia di suatu waktu berjumpa dengan konsep atau peran sosial tertentu yang selama ini hanya ia kenal secara tidak langsung, ia punya kesempatan untuk memverifikasi atau memfalsifikasinya. 

Ketika individu berjumpa dengan, misalnya, seseorang yang berprofesi sebagai petugas asuransi, ia akan menggunakan asumsi SoK yang ia miliki sebagai acuan dalam berelasi dan berkomunikasi. Ia akan berasumsi bahwa petugas asuransi, berdasarkan SoK yang ia miliki, akan melakukan ini-itu dan sebagainya. Entah, ia akan memperoleh verifikasi atau falsifikasi, ia akan memperluas cakrawala SoK yang dimilikinya terkait peran sosial tersebut.

Sekarang, kita bisa mengandaikan bahwa banyak orang di Amerika Serikat—juga di tempat lain —tidak atau jarang memiliki kesempatan untuk bertemu dengan polisi, detektif, atau aparat hukum para umumnya. Dalam benak Alfred Schutz, orang-orang ini bisa mengadalkan SoK yang mereka punyai, terutama melalui informasi yang mereka dapatkan: buku, koran, dan televisi. Dengan demikian, publik akan mengandalkan SoK yang paling dekat dan mudah yang bisa mereka peroleh. 

Foto Alfred Schutz

Foto Alfred Schutz (2)

Televisi, sebagai media yang lebih mudah dijangkau ketimbang buku dan koran (apalagi jika masyarakatnya malas membaca), dengan segala film dan hiburannya, bisa menyediakan segudang SoK yang “siap pakai” mengenai polisi. Alhasil, peran sosial polisi seperti yang digambarkan di dalam film-film televisi muncul sebagai “personal ideal type” dari semua polisi yang ada di dunia nyata. Di dalam relasi yang “tidak langsung”, orang lebih gampang untuk membayangkan tipe ideal suatu peran sosial daripada repot-repot mencari tahu bagaimana sebenarnya peran itu dimainkan dalam dunia nyata—tentu suatu waktu mereka akan berjumpa juga di dunia nyata.

Televisi dengan begitu menjadi agen penyebaran SoK yang efektif. Ia memberikan tipe-tipe dan beragam tipifikasi atas berbagai peran sosial, termasuk polisi. Jika ingin diselidiki lebih jauh ciri-ciri spesifik mana yang ditipifikasikan oleh film-film televisi bergenre dunia hukum sehingga muncul “personal ideal type”, tentu kita harus mengambil beberapa contoh dengan pengamatan yang terbatas.

Berikut ini adalah suatu penafsiran subjektif dan terbatas dengan metode sederhana non-ilmiahatas beberapa film yang dipilih secara acak (tetapi berdasarkan preferensi juga). Kita mencoba melihat ciri-ciri tokoh yang kerap muncul dalam film-film tersebut.

Dengan skala E = 0-20, D = 21-40, C = 41-60, B = 61-80, dan A = 81-100 (skor sempurna), kita bisa melihat bagaimana tipifikasi ciri-ciri aparat hukum di dalam film-film bergenre ini di Amerika Serikat. Walaupun ini bukan metode ilmiah (jika ingin ilmiah, seharusnya dibuat kuesioner yang disebar ke banyak orang dengan menanyakan berbagai ciri-ciri tipe ideal di atas terkait film-film tersebut) dan sangat subjektif, orang bisa melihat bahwa setidaknya dalam sembilan film seri tersebut, polisi, aparat hukum, atau detektif mendekati nilai sempurna hampir di semua ciri tipe ideal yang digolongkan di atas. Law & Order memperoleh semua skor A karena mungkin film ini mencoba menggambarkan tokoh-tokoh dari dunia hukum yang nyata secara I deal —tidak heran jika banyak publik di Amerika Serikat yang menyukainya. Sementara itu, bahkan film-film yang bersifat karikatural seperti Sledge Hammer! Pun memiliki tingkat keberhasilan yang cukup sempurna. 

Film Serial Sledge Hammer!

Poster Film Serial Sledge Hammer!

Penutup: Bagaimana dengan Indonesia?

Apa yang disukai orang dari film-film bergenre kepolisian atau dunia hukum pada umumnya? Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk mengulas secara lengkap dan mendalam atas pertanyaan itu. Namun, jurang antara dunia maya dan dunia nyata seolah-olah terisi dengan film-film yang para karakternya selalu mampu memecahkan masalah yang mereka hadapi. 

Publik mungkin tidak tahu atau tidak mau tahu mengenai betapa berbeda antara tipifikasi aparat hukum di layar kaca dengan yang ada di dunia nyata. Sepanjang mereka tidak atau jarang berjumpa dengan satu atau beberapa di antaranya, figur-figur dalam film mungkin sudah cukup menjawab bagaimana petugas publik bisa memerankan tugasnya secara sempurna. Kasus George Floyd yang terjadi tahun 2020 akan dianggap sebagai catatan kaki kecil dari kehebatan institusi kepolisian di negeri Paman Sam tersebut. 

Tentu agak sulit membayangkan bagaimana hal seperti itu bisa kita cari padanannnya di Indonesia. Selain karena film-film televisi bertema kepolisian atau dunia hukum lumayan jarang di Indonesia, persepsi publik di sini mungkin belum memiliki “stock of knowledge” yang representatif atas peran sosial polisi atau aparat hukum. Lebih tepatnya, mungkin, SoK representatif yang dimiliki publik Indonesia lebih banyak diberikan oleh berita-berita di berbagai media massa, bukan film-film entah televisi atau bioskop. Jika ditanyakan kepada seseorang (yang belum pernah berurusan dengan aparat hukum secara langsung), “bagaimana persepsi Anda terhadap polisi Indonesia? Apakah mereka memenuhi tugasnya secara baik, begini-begitu?”, ia mungkin akan menjawab berdasarkan referensi berita-berita yang pernah dibacanya mengenai aparat hukum. Seberapa jauh media-media massa melalui pemberitaannya memberikan tipifikasi pada polisi Indonesia, itu di luar lingkup tulisan ini.

———–

Referensi

Epstein, Adam. 2020. “Half of US Broadcast Network Dramas Are about Cops”. Quartz.Com

Fitria Akhmerti Primasita dan Heddy Shri Ahimsa-Putra. 2019.  “An Introduction to the Police Procedural: A Subgenre of the Detective Genre”. Jurnal Humaniora (Vol. 31, No. 1).

Grady, Constance. 2020. “How 70 years of Cop Shows Taught Us to Valorize the Police”. Vox.Com

Martins, Ana Beatriz, dan Victor Piaia. 2020. “Time, Social Theory and Media Theory: Contributions of Schutz to the Understanding of New Social Realities”. Jurnal Networking Knowledge Vol 13 (2).

Schutz, Alfred. 1970. On Phenomenology and Social Relations. Chicago: The University of Chicago Press.

Schweitzer, N.J. dan Michael J. Saks. 2007. “The CSI Effect: Popular Fiction about Forensic Science Affects the Public Expectations about Real Forensic Science”. Jurimetrics Vol. 47.

Sepinwall, Alan. 2020. “A History of Violence: Why I Loved Cop Shows, and Why They Must Change”. RollingStone.Com

Vanarendonk, Kathryn. 2020. “Why Is TV So Addicted to Crime?”. Culture.Com

 

*Penulis adalah chief editor buku populer-humaniora di sebuah penerbit. Cerpennya berjudul “Omongan” terpilih sebagai salah satu cerpen terbaik dalam Lomba Cerpen Nasional Bertemakan Bebas oleh Rumahkayu Publishing. Terbit dalam buku “Tarian Hujan: Kenangan yang Terus Bersemi” (Rumahkayu Publishing, 2015).