Kesadaran Waktu Manusia Jawa

Oleh Tjahjono Widarmanto

Tradisi dan kultur Jawa menempatkan waktu di tempat yang istimewa dalam kehidupan manusia Jawa. Hal ini bisa dilihat dari simbol-simbol yang menandai jangka waktu yang ditempuh manusia Jawa sejak dalam kandungan hingga kematian, seperti tradisi tingkeban, selapan, sepasaran, tedhak siten, midodareni, pitung dinan, patang puluh dinan, nyatus, nyewu, pendhak, dan sebagainya. Simbol-simbol penanda waktu yang seperti disebut di atas semuanya melambangkan dan mengingatkan bahwa waktu harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya untuk menjaga keseimbangan alam sekaligus digunakan untuk mengingat Tuhan, asal muasalnya dan kemana manusia akan kembali (sangkan paraning dumadi dan mulih marang aran nira).

Kebudayaan dan perkembangan orang Jawa merupakan sebuah perjalanan peradaban yang terbentuk dari pertemuannya dengan pelbagai kebudayaan yang kelak akan menjadi bagian dari kebudayaan makro bangsa Indonesia. Pertemuan kebudayaan Jawa dengan kebudayaan Budha dan Hindu mengantarkan peradaban Nusantara, khususnya Jawa, pada tradisi tulis yaitu dengan dikenalnya huruf Palawa dan bahasa Sankrit (Sansekerta). Persinggungan tersebut juga membawa struktur sosial masyarakat, yaitu sistem kelembagaan dengan raja.

Ketika Majapahit yang menjadi simbol dan benteng terakhir kerajaan Hindu-Budha runtuh dan digantikan oleh Islam, maka eksistensi raja digantikan sultan yang memposisikan para Wali untuk memberi warna pada kebijakan kerajaan. Perubahan iklim kebudayaan dan keagamaan baru tentu saja berdampak pada perubahan kehidupan dan adat istiadat masyarakat. Peradaban Islam semakin membuka peluang dialektika kebudayaan yang lebih pluralis. Peradaban Hindu tidak hilang begitu saja, namun beradaptasi dan melahirkan sinkritisme dan hibrida budaya.

Keraton atau kerajaan masih menjadi sentral kehidupan politik dan kebudayaan. Dominasi kerajaan cenderung dominan dan cenderung mewarnai kebudayaan di luar keraton / kerajaan. Namun walaupun dominasi kerajaan masih kuat, sosok sultan sebagai istilah penggganti raja, tidak lagi dianggap sebagai wakil dari Dewa tapi disimbolkan sebagai “pengatur agama” dengan dipakai gelar Sayidin Panatagama pada gelar sultan.

Pengaruh agama Islam dan persinggungannya dengan kebudayaan Hindu dalam kebudayaan Jawa dapat dengan jelas dilihat dari upaya Sultan Agung Hanyokrokusuma yang mengawinkan sistem kalender Saka (penanggalan Jawa asli-Hindu) dengan kalender Hijriah (penanggalan Islam). Perkawinan kalender Saka dan kalender Hijriyah ini kemudian dikenal dengan nama tarikh atau kalender Jawa. Perubahan kalender ini terjadi dan dimulai pada tanggal 1 Sura tahun Alip 1555 yang bertepatan dengan tanggal 1 Muharrom tahun 1043 Hijriyah, atau tepat pada tanggal 8 Juli 1633 Masehi (Hersapandi:2005). Sistem penanggalan baru ini merupakan karya besar Sultan Agung yang dilatarbelakangi oleh sikap Sultan yang muslim dan penguasaan ilmu falaq yang amat baik. Kalender Jawa pengganti kalender Saka tersebut berdasar sistem lunair atau Kamariah (bulan) yang terdiri atas 12 bulan yaitu Sura, sapar, Mulud, Bakda Mulud, Jumadilawal, Jumadilakhir, Rejeb, Ruwah, Pasa, Sawal, Dulkangidah, dan Besar. Karena perpaduan dari dua sistem kalender Saka dan Hijriyah maka kalender Jawa memiliki tingkat kerumitan yang tinggi.

Pertemuan antara kebudayaan Jawa dan Islam dalam kalender Jawa tampak dalam penentuan pergantian tahun. Pergantian tahun Jawa yang jatuh pada tanggal 1 Sura bertepatan dengan tahun baru Hijiriyah yaitu pada bulan Muharam. Berkaitan dengan nilai-nilai spiritualitas Islam dalam menyikapi bulan Muharam atau Sura, orang Jawa memandangnya sebagai waktu untuk instropeksi diri. Dalam bahasa Arab hijriyyah diartikan sebagai meninggalkan sebuah perbuatan atau menjauhkan diri dari pergaulan atau berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Hijriah dimanefestasikan dalam bentuk upaya meninggalkan semua larangan Allah, mengasingkan diri dari perbuatan jahat dan sia-sia atau berpindah menuju tempat yang lebih ‘bersih’.

Berdasarkan pemahaman tersebut, tidak mengherankan kalau konsep nilai spiritual hijriyah dalam islam tidak jauh berbeda dengan konsep laku prihatin dan membersihkan diri dari perbuatan kotor. Memasuki bulan Sura atau pergantian tahun, utamanya pada saat malam menjelang tahun baru, sebagian besar masyarakat Jawa akan melakukan laku prihatin berupa berbagai laku tirakatan dengan berbagai cara, misalnya tidak tidur sepanjang malam, berpuasa, tapa bisu, berendam di tempuran dua sungai, berjalan sepanjang malam, berjalan mengelilingi benteng atau intropreksi diri di tempat-tempat yang hening, dan sebagainya. Berbagai ragam laku tirakatan tersebut berpijak pada knsep keseimbangan dunia mikrokosmos dan makrokosmos (jagat gedhe jagad alit). Masyarakat Jawa memandang pergantian tahun sebagai menghadapi ketidakpastian hidup.

Karena menghadapi ketidakpastian hidup, maka dalam memasuki tahun baru mereka mengawalinya dengan instropeksi diri, menyucikan diri, memperbanyak berbuat kebajikan, dan muhasabah yaitu membuat perhitungan dan koreksi diri terhadap tatalaku hidupnya yang telah dilakukan di tahun sebelumnya. Bulan sura bagi orang Jawa dianggap sebagai bulan yang memang khusus untuk melakukan instropeksi diri sehingga mereka menganggapnya sebagai dimensi waktu yang kurang baik melakukan suatu hajatan yang berkaitan dengan siklus kehidupan. Bulan Sura bagi masyarakat Jawa merupakan sebuah jeda untuk merenung dan menata batin dan laku kehidupannya.

Keyakinan bahwa bulan sura merupakan bulan yang khusus untuk instropeksi diri dan tidak baik untuk melakukan hajatan yang berkaitan dengan siklus kehidupan melahirkan anggapan bahwa bulan Sura adalah bulan yang bersifat wingit dan sakral. Pada bulan Sura inilah masyarakat Jawa melakukan upaya memperbaiki dirinya sendiri, baik sebagai mahluk sosial maupun individual sekaligus memperbaiki kesadarannya terhadap keseimbangan alam. Upaya-upaya tersebut diwujudkan dalam berbagai tradisi yang lazim disebut tradisi suran. Dalam tradisi suran tersebut (yang bentuknya beraneka ragam namun selalu bernuansa spiritual), masyarakat Jawa melakukan interaksi sosial secara kolateral dan vertikal.
Cara kolateral adalah pendekatan melalui perasaan bahwa hidup di dunia tidak sendirian namun berdampingan dengan manusia lain bahkan berdampingan dengan mahluk lain. Oleh karena itu harus dikembangkan sikap tenggang rasa sebagai sebuah pendekatan personal yang penting. Sedangkan cara vertikal adalah sikap hidup yang bersifat dua macam, yaitu bersifat spiritual dan yang bersifat patrimonial.

Cara vertikal yang bersifat spiritual berkait erat pada hubungan manusia dengan Tuhannya. Dalam tradisi suran cara vertikal yang bersifat spiritual dikembangkan dengan simbolisasi bentuk-bentuk perenungan diri terhadap sangkan paraning dumadi, yaitu merenungkan kembali asal muasalnya sebagai manusia dan tujuan hidupnya sebagai manusia.

Adapun cara vertikal yang bersifat patrimonial yaitu menata kembali sikap diri saat berhubungan dengan orang tua, panutan, atau pemimpinnya. Bagaimana masyarakat jawa menghormati orang tua dan pemimpinnya secara vertikal dapat dirunut dalam pupuh V maskumambang, bait 8-9 karya besar dari Sunan Pakubuwana IV, sebagai berikut:

Ingkang dhingin rama ibu kaping kalih
Marang maratuwa lanang wadong, kang kaping tri
Ya marang sedulur tuwa
Kaping pate ya marang guru sayekti,
Sembah kaping lima,
Ya marang Gusti nireki

Artinya:

Yang pertama kepada bapak ibu, yang kedua
Kepada mertua baik mertua laki-laki atau perempuan, yang ketiga
Kepada saudara tua,
Yang keempat kepada guru yang benar,
Sembah yang kelima,
Ya kepada Tuhanmu

Dalam pupuh tersebut tersirat bahwa setiap orang harus menempatkan diri pada kedudukan yang benar dan selaras, menghormati benar kepada orang tua dan saudara-saudaranya, berbakti pada gurunya dan pada akhirnya nanti sampai pada puncak sembah, yaitu pengabdian pada Tuhannya.

Segala bentuk tradisi suran yang dilakukan masyarakat Jawa, baik yang bersifat beraneka ragam laku, mulai dari tirakatan, tapa mbisu, nglanglang, labuh, melekan dan sebagainya, hingga bentuk-bentuk simbolismenya seperti terlihat dari beraneka ragam tumpeng, buceng, nyadranan, wayangan, dan sebagainya mencerminkan bahwa masyarakat Jawa tidak bisa dilepaskan dari pemahaman dimensi waktu yang bersifat dinamis. Sebuah perubahan waktu bagi masyarakat Jawa bukan merupakan peristiwa yang harus dirayakan dengan gegap-gempita namun merupakan jeda untuk mawas diri.

Mawas Diri Terhadap Waktu: Kesadaran Sejarah

Sikap mawas diri sebagai esensi dan makna terdalam dalam tradisi dan ritual suran, yang berabad-abad lamanya dianut masyarakat Jawa dalam menghadapi pergantian tahun dan pergantian waktu perlu dilestarikan dan dikembangkan. Sikap mawas diri inilah yang bisa menjadikan kita lebih arif memandang perjalanan waktu, perjalanan usia, sekaligus mereposisi kembali kedudukan kita di tengah pergaulan masyarakat, alam semesta, dan dihadapan Tuhan, sekaligus upaya untuk menata kembali tujuan hidup kita.

Sikap mawas diri mengisyaratkan satu hal yang sama yaitu: supaya kita jangan menyia-nyiakan waktu! Sudah seharusnya disadari bahwa perubahan waktu dan pergantian tahun harus dipandang sebagai kesadaran sejarah. Harus direnungkan sebagai sebuah pelajaran yang membimbing kita agar tidak melakukan kesalahan dan kecerobohan yang sama di catatan sejarah selanjutnya.

Bergulirnya harus dipandang sebagai sebuah kesadaran sejarah. Kesadaran yang menuntut kita untuk mempelajari masa lalu, berbuat terbaik dan lebih baik dibanding waktu lalu untuk tanggung jawab membentuk sejarah masa depan. Kesadaran sejarah adalah kesadaran untuk melihat dan berani untuk mulat sarira hangrasa wani; instropeksi diri, Berani menengok masa lalu, berani menengok segala kesalahan dan kebodohan masa lalu, berani belajar dari sejarah untuk kemudian dijadikan bekal dalam mencetak sejarah masa kini dan masa depan. Pramoedya Ananta Toer telah mengingatkan bahwa keengganan dan kemalasan berguru pada sejarah bisa melemparkan kita pada keranjang sampah peradaban.

 

*Penulis adalah sastrawan dan pendidik.