Puisi-Puisi Iyut Fitra

selisih arus

setelah lekuk-lekuk curam. bulan tahun bersilangan
batang jua menjurai ke sungai. pohon beringin tak surut
oleh angin. begitu hulu selalu menitip rindu

lalu sampan lalu ikan
setiap kepergian pun telah kembali
bagai arus berselisih. putaran waktu tiada pasti

berapa banyak cita-cita telah dirantaukan
sejarah silang-pintang. legenda membusuk
pulang pun sekedar mengenang layang-layang

di lekuk itu. hanya arus berputar-putar
tak pergi, tak kembali, tak memberi
selain keangkuhan terus didendangkan

“apa kabar anak-anak di muara
bila petang memanggil pulang. adakah berubah
ranah di tepian?”

“apa kabar bangau-bangau senja
sepekat apakah rindu
pada kubangan?”

musim berganti-ganti
pergi, kembali. berselisih-selisih arus
hulu gagu menahan ngilu

 

jembatan

bagaimana mengisahkan sungai bila tak bercerita
tentang jembatan. titian bambu
akar lilit bersigantung. orang-orang menatap ke seberang

di mana rumah. ke mana tempat bermalam
bilik-bilik bersemenda. surau telah terkunci pula
ke dalam mitos mereka berjalan

bagaimana akan bertemu bila mencari hanya sebatas ragu
air dinaikkan kincir. membasah sawah-sawah
orang-orang membangun pematang

melambai karena tangan tak sampai
di seberang terbayang kampung dengan padi bergoni-goni
rantau dengan segala janji

bagaimana tak akan pergi bila hati telah terbagi
tinggal tanah tingal ranah
buntalan menjadi kawan kesepian

 

arus salah arah

“luruskan niat, lalu berangkatlah!”
pesan anak tangga terakhir rumah gadang
tunggak tua. di paran beranda tanggal dicatat

ibu menangis di jendela. mamak melambai dari pematang
lelaki tanggung terisak-isak pergi
melunasi imbau usia di ambang

“kemarilah! riuh di sini tak ada tepi
bila kemudian janji membuncahi rasian
sesaat kelak tinggal jejak dihapus dilupakan….”

kota-kota dituju. pintu-pintu dibuka
segala terbawa serta telah diberikan. beribu pada ambisi
bermamak pada mimpi

di linang-linang rantau
pada tahun-tahun saat pulang
telah ia lupakan jalan ke tepian

 

dendang air

selamat petang, kawan-kawan
sebentar lagi matahari kan bersalam malam
pergantian-pergantian berulang. waktu terasa sederhana

atau menakutkan. serupa ungags-unggas bergegas
ke peraduan. disambut dingin
bulu burung hantu

berapa jarak antara jejak dengan menuju
perahu-perahu pergi
memisahi rumah-rumah sungai di tepi

rantau ternyata alangkah dekat. kepergianlah
terasa betapa jauh
sejauh koak bangau lupa jalan pulang

selamat petang, kawan-kawan
di hulu di muara kita pernah bertemu
barangkali seumpama alir. serupa dendang air

 

sampan tiris

beginilah lagu orang penggalas. berjaja kaba tengah malam
tentang sampan tiris. dikayuh lelaki penggali
siang melintang sungsang. matahari pongah tegak gagah

disusurlah batang itu
galah pengayuh basah berpeluh. gayung untuk penimba
betapa jauh tujuan baru kan sampai. sekedar hidup lepas dari sangsai

semakin ke dalam sampan kian rasa tenggelam
diulang-ulang mimpi ditimba. selalu diulang-ulang
sebab rantau terasa jauh. pergi hanya merusuh hati

di rumah istri menunggu. anak-anak tak lagi sekolah
sampan tiris. pasir tiada terbawa
para lelaki menua di pelabuhan. tapi rantau bukanlah jelangan

 

jerat pemikat

digetah-getah hari. dicari daun tungkus nasi
mendengunglah dendang
tengah padang

jangan mengaku orang pemikat bila seekor balam tak punya
o, lagu mahkluk terkurung. sempit sangkar
memintas segala bunyi segala desau

diteroka belantara
ketitiran, jalak, kutilang, hingga bulu ragam warna
di mana wahai dikau sumber setiap kicau

mari mendekat
di pohon berbuah masak, air haus tergenang, pintu sarang rayap
injak ini getah

jarak hanya sebatas jengkal. begitu jauh dari lebih
di hutan-hutan tepi sinama. bila petang berbagi tempat
burung-burung melambai

anak masih merah. telur belum dieram
di pasar tengkulak menunggu dengan harga tak tentu
pohon-pohon, gunung menangis pada perpisahan berulang-ulang

setiap pagi. orang pemikat mencari daun
tungkus nasi
sementara hutan-hutan terus menungkus sepi

 

*Iyut Fitra. Lahir di Payakumbuh 16 Februari. Karya-karyanya dalam bentuk puisi dan cerpen telah diterbitkan di berbagai media. Ia mendapatkan Anugerah Sastra dari Balai Bahasa Padang tahun 2009 sebagai pegiat yang telah berjasa membina dunia sastra dan penulisan kreatif di Sumatra Barat. Beberapakali diundang ke even-even nasional dan internasional seperti Mimbar Penyair Abad 21 di Jakarta, Pertemuan Penyair 8 Kota di Jakarta, Festival Kesenian Yogyakarta, Pertemuan Sastrawan Nusantara di Johor Bahru Malaysia, Pesta Gendang Nusantara di Melaka Malaysia, Dunia Melayu Dunia Islam di Malaysia, Ubud Writers and Readers Festival di Bali, Bienale Sastra Salihara di Jakarta, Bali Emerging Writers Festival di Bali, Worstromn di Darwin Australia dll. Ia menjadi kurator Ubud Writers and Readers Festifal di Bali 2011, kurator Antologi Puisi Rohingnya di Jakarta, kurator Pertemuan Penyair Asia Tenggara I & II di Padang Panjang, kurator Antologi Puisi Kampar Kiri di Riau, kurator Antologi Puisi Pematang Siantar di Sumatera Utara, kurator Pertemuan Sastra Bengkulu dll. Buku Puisinya Mencari Jalan Mendaki mendapat penghargaan dari Perpusnas RI tahun 2019. Serta buku puisinya Lelaki dan Tangkai Sapu meraih Penghargaan Kemendikbud RI tahun 2020. Karya terbarunya adalah kumpulan puisi Kepadamu Kami Bicara (2022). Narahubung: 082268734402