Agus Dermawan T.

Selera Estetik Bung Besar

(Secarik Surat untuk Bro Hendro)

Oleh: Agus Dermawan T.

Kompas Minggu edisi 30/5/2021, 13/6/2021, 27/6/2021 dan 11 Juli 2021 memuat korespondensi Aminudin TH Siregar, Hendro Wiyanto, Yuswantoro Adi, dan Asmujo J Irianto. Empat surat itu lantas disambung oleh Hajriansyah lewat portal BWCF. Karena itu korespondensi, maka sah apabila isinya berupa curahan hati, rerasan (membicarakan orang lain), dan bahkan gerutu akibat sakit hati. 

Semua pasti mafhum, membaca rerasan dan gerutu dari “surat orang” adalah pekerjaan mengasyikkan. Apalagi jika yang disuratkan itu mengusik dan menyimpan kekeliruan. Suatu hal yang mendorong tangan untuk nebeng mengungkap tanggapan.  

Oleh karena kekeliruan itu ada beberapa, maka dalam surat ini saya ingin membahas satu saja. Yakni ketika Bro Hendro menulis bahwa : “…selera estetik Soekarno berhenti hanya sampai lukisan-lukisan Basoeki Abdullah…”

Dahulu kala saya pernah punya persepsi seperti itu. Tetapi berjalan bersama waktu, persepsi tersebut pelan-pelan luntur. Dan musnah ketika sejak 20 tahun silam saya dilibatkan dalam proyek penelitian koleksi Bung Karno (begitu saya seterusnya memanggil) di tujuh Istana Presiden, yang lalu diformulasi dalam buku Rumah Bangsa (2004), dan kemudian dalam 5 seri Singgahsana Seni yang semoga muncul tahun ini. Sebuah keterlibatan yang mengharuskan saya mendalami kosmologi seni rupa Bung Karno, lengkap dengan aspek selera visual dan selera konten yang mewarnai ribuan koleksinya. 

Untuk membuktikan kekeliruan Bro Hendro yang biasanya sangat cermat itu, yuk baca beberapa cerita faktual di bawah ini.

Pada tahun 1957, tanggal 9 dan 10 Februari, Claire Holt, peneliti seni dari Cornell University, Amerika Serikat, berkunjung ke istana-istana Presiden untuk mengamati koleksi. Kunjungan itu berkait dengan hasratnya menulis buku Art in Indonesia: Continuities and Change. Dalam kunjungan itu ia berdialog dengan Sukarno. Dalam catatannya Holt memberi kesan bahwa koleksi Bung Karno sangatlah beragam. Di Istana Merdeka ia melihat lukisan Henk Ngantung, Affandi, Kartono Yudhokusumo, Sudjana Kerton sampai Mochtar Apin. Di Istana Negara ia melihat lukisan Abdullah Suriosubroto, Surono dan Soedibio. Di Istana Bogor ia bertemu dengan karya Antonio Blanco sampai Giovanetti. Juga “lukisan Jawa”, yang oleh Holt diasumsikan sebagai junjungan Bung Karno atas Ki Hadjar Dewantara.

Atas keberbagaian gaya itu Holt lantas bertanya kepada Bung Karno, mana lukisan yang paling disukai. Bung Karno dengan cepat menunjuk karya Roland Strasser, “Bebotoh dengan Ayam Jagonya”. Siapa pun tahu, bahwa karya Strasser yang ekspresif, kasar, berwarna kelam dengan jejak vibrasi vitae itu sangat berbeda karakter dengan lukisan Basoeki Abdullah yang lembut, “awam” dan memanjakan mata. Catatan pribadi Holt itu pernah dipajang di Galeri Nasional, Jakarta, bersamaan dengan pameran koleksi Istana Presiden “17:71 – Goresan Juang Kemerdekaan”, Agustus 2016.

Lukisan Roland Strasser

Lukisan Roland Strasser, “Bebotoh dan Ayam Jagonya”. Lukisan kesayangan Bung Karno (Foto: Arsip Agus Dermawan T.)

Pada 1947 Bung Karno mendorong sanggar SIM (Seniman Indonesia Muda) pimpinan Sudjojono untuk melukis kisah perang kemerdekaan rakyat Indonesia. Agar segera terealisasi, Bung Karno menginstruksi Kementerian Penerangan Republik Indonesia mengguyur dana sebesar Rp1.500, untuk satu lukisan. Lalu lahirlah jajaran lukisan yang menggambarkan revolusi dalam berbagai gaya. Lukisan-lukisan yang disebut Bung Karno sebagai “mijn ware ziel” (jiwa sejatiku) itu kemudian dipajang di berbagai istana. 

Bahkan lukisan Sudjojono, “Kawan-kawan Revolusi” dipajang di kamar kerjanya, dan selalu dibanggakan. Kepada para pemimpin negara sampai rombongan kesebelasan Lokomotif dari Uni Soviet. Ketika fotografer Henri Cartier-Bresson mengajak Bung Karno berfoto-ria di depan koleksi, Sang Bung memilih berada di depan lukisan Sudjojono itu. Begitu pula ketika ia dipotret oleh Nikolai Draculic. Siapa pun bisa melihat, seluruh lukisan revolusi itu, apalagi lukisan Sudjojono, sangat beda gaya, mood dan atmosfir dengan lukisan Basoeki Abdullah. 

Bung Karno di depan lukisan Sudjojono

Foto Henri Cartier-Bresson, Bung Karno di depan lukisan Sudjojono, “Kawan-kawan Revolusi” (Foto: Arsip Agus Dermawan T.)

Bung Karno di depan lukisan kesayangannya

Bung Karno di depan lukisan kesayangannya. Foto Nikolai Draculic (Foto: Arsip Agus Dermawan T.)

Sejak tahun 1950-an Bung Karno sangat menyukai karya Walter Spies. Karena itu ketika mendengar ada tiga karya Spies dipamerkan di Jerman pada 1964, ia memerintahkan Lukman Hakim (duta besar Indonesia untuk Republik Federasi Jerman) agar karya itu dibeli semua. (Baca : Portal BWCF – Sahabat Museum & Galeri (edisi 4 Juli 2021). Siapa pun memahami, karya Spies berbeda nun jauh dalam segala aspeknya dengan lukisan Basoeki Abdullah.

Bung Karno pada mulanya kurang mengapresiasi lukisan tradisional Bali. Namun setelah “dijebak” oleh antropolog Roelof  Goris dan fotografer PL Dronkers (penyusun buku Bali, 1954), Bung Karno jadi sangat mencintai lukisan tradisional Bali. Mengoleksi lukisan Bali akhirnya jadi bagian penting dari aktivitas budaya Bung Besar ini. Meski akuisisinya acap dilakukan dengan susah payah. 

“Pada 1963 Bapak ingin beli lukisan Anak Agung Gde Sobrat. Karena tak punya uang, Bapak minta tolong Menteri Urusan Bank Sentral Tuan Jusuf Muda Dalam untuk menyediakan duit. Ya, agar lukisan itu bisa dibeli oleh Negara,” cerita Lim Wasim, pendamping Lee Man Fong sebagai Pelukis Istana Presiden sejak 1962. Kita tahu, tidak ada kedekatan watak antara lukisan tradisional Bali dengan gubah manis Basoeki Abdullah, yang harus diakui sebagian besar tidak kurang-kurang bagusnya.

Pada suatu kali, ketika memikirkan pendirian patung monumen di Jakarta, Bung Karno berujar, “Kreasi kultural yang berbentuk kesenian janganlah dianggap sekadar sebagai hiburan, sebagai hulpmiddel voor de lol (alat bersuka-suka) saja. Karena sesungguhnya kesenian adalah sumber utama dari kerja penguatan jiwa dan pengayaan wawasan. Dan semuanya adalah bagian esensial dalam proses nation building!” 

Berkait dengan itu, pada 1950 Bung Karno mengundang pematung Jepang-Amerika terkenal, Isamu Noguchi. Ia tahu bahwa Noguchi yang berpengalaman membuat patung publik di New York akan bisa memberikan masukan untuk pembuatan patung kota di Jakarta. Sebagai pengenalan, Isamu diminta menggubah patung kepala (wajah) Bung Karno secara on the spot. Patung pun jadi. Wajahnya lantas terbentuk halus, ganteng dan manis, bagai lukisan Basoeki Abdullah!

Gembirakah Bung Karno? Ternyata tidak! Patung wajah itu dikembalikan kepada Noguchi. Dari selipan dokumen pengamat seni Amir Sidharta saya menemukan selembar surat Kedutaan Besar Indonesia di Washington DC yang ditandatangani Sekretaris Pendidikan dan Kesenian, Raden Suwanto, tanggal 6 November 1951. Isi surat menyatakan bahwa patung itu dibalikin, meski Noguchi tetap dibayar 2.500 dolar. 

Begitulah Bro Hendro, sobat saya. Selera Bung Karno begitu kaya, sehingga dalam 2.800 karya seni yang dikoleksi, berbagai aliran seni, dari realisme fotografis, impresionis, ekspresionis, surealis sampai yang kubistis, ada! 

Bro Hendro, saya khusus membicarakan Bung Karno karena saya rindu kepada semangatnya dalam melihat, memelihara, dan menyimpan kesenian di dalam lubuk hatinya yang terdalam. Dan lantas mendistribusikan rasa cinta seni itu kepada khalayak, lewat upaya pembudayaan para “pembantu”nya, atau para menterinya. 

Seperti dikatakan Haryono Haryoguritno, narasumber ahli Bung Karno dalam pewayangan dan perkerisan: Bung Besar berkeyakinan, apabila Pemimpin Tertinggi Negara memeluk seni, dan para menteri menjunjung kesenian, maka para bawahan dan semua lapisan bawahan akan mengikuti. Ketika segenap aparat mengibarkan bendera kesenian, maka masyarakat seluruh Indonesia akan ikut memperhatikan kesenian. “Bung Karno ingin agar suar-suar seni dicahayakan dari pucuk pimpinan. Di manapun,” kata Haryono. Sebuah ihwal yang pada kemudian hari juga dikemukakan oleh penyair Sitor Situmorang. 

Bung Karno bersama para perupa

Bung Karno bersama para perupa di Yogyakarta (Foto: Arsip Agus Dermawan T.)

Bung Karno membayangkan: apabila pengelola negara di seluruh pelosok Indonesia terlibat, maka arus seni di berbagai daerah akan hidup. Sekat demografi Jawa-Bali (yang terlanjur jadi mitos) dengan sendiri akan terterobos. Sebuah aspirasi yang kira-kira mirip dengan yang diinginkan oleh Hajriansyah dalam artikel Melampaui Hijab Gerhana. (Portal BWCF – Diskusi/Polemik Seni, 21 Juli 2021).

Bung Karno memang tak putus menggiring para punggawanya, apa pun spesialisasinya, untuk sangat dekat dengan kesenian. Pada era kepemimpinannya, dokter spesialis penyakit-dalam Bahder Djohan didesak untuk sangat dekat dengan kebudayaan dan seni. Sampai Bahder akhirnya diangkat jadi Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan. Nyoto, politikus dan Menteri Negara, terus digosok untuk menguasai musik dan sastra. Adam Malik, wartawan yang dijadikan Menteri Perdagangan, terus diojok-ojok masuk jagad pengoleksian seni rupa. Ali Sastroamidjojo yang suka memprovokasi agar Bung Karno menyukai lukisan Bali, diposisikan sebagai Perdana Menteri. Dokter AA Made Djelantik yang ahli estetika secara khusus diinstruksi agar selalu menyuntikkan jarum kesenian ke lubuk lembaga kesehatan di Indonesia.

Pada bagian lain, Maladi, pemusik terkenal, penggubah lagu “Nyiur Hijau” dan “Serumpun Padi” yang melodius itu, dijadikan Menteri Negara urusan Pemuda dan Olahraga. Prijono (ayah dari sutradara Ami Prijono) yang ahli sastra, pemerhati budaya, dan pendiri Studenten Vereeniging ter Bervordering van Indonesische Kunst (Persatuan Pelajar dan Mahasiswa Pemaju Seni Indonesia), diangkat jadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Begitu juga Mohammad Yamin yang penyair dan pemikir bahasa, diposisikan di beberapa pos menteri. Sementara pelukis Henk Ngantung diangkat sebagai Gubernur Jakarta. 

(Meski tentu kita tidak boleh lupa: ada kalanya Bung Karno kebablasan, mengecam dan membungkam seni-seni tertentu, lantaran dianggap berlawanan dengan “garis besar revolusi”.)

Kebijakan “seni semesta menteri” Bung Karno diberangkatkan dari pernyataan Franz Kafka. Pengarang besar Ceko yang dikagumi ini berkata bahwa: hanya keindahan karya seni yang sanggup memperbaiki jutaan syaraf otak dan hati yang rusak, sehingga manusia tidak menjadi dangkal, mati rasa, dan bodoh. Dan hanya karya seni yang sanggup membawa orang ke wilayah absorpsi, ketenggelaman kepada hal yang menakjubkan. Sesuatu yang membuat manusia menjadi toleran.

Bung Karno juga pengagum Huizhong, yang dikenang sebagai kaisar tercinta Dinasti Song (960-1276). Sejarawan berkata bahwa Huizhong dicintai bukan semata karena kemampuannya dalam meredam perang, mengatur pemerintahan dan mencukupi ekonomi. Namun juga lantaran sanggup menyemarakkan rasa suka cita dan bahagia segenap rakyat lewat seni. Kaisar Huizhong memang pandai membuat syair dan melukis. Bahkan ia pula yang mendirikan Akademi Seni Lukis Kerajaan, yang konsepnya mengasimilasikan Aliran Selatan rintisan penyair Wang Wei dengan Aliran Utara rintisan (jenderal yang suka melukis) Li Shixun, era dinasti Tang (618- 906).

Lalu apabila ada yang bertanya : Dari mana dan mau ke mana kesenian Indonesia? Atau lebih spesifik : Dari mana dan mau ke mana seni rupa Indonesia? Jawab saya untuk sementara ini: Dari Bung Karno dan mau balik ke rumah spirit seni Bung Karno.

Ujung layang, salam hangat untuk Bro berlima yang tampak selalu sehat dan semangat. Janganlah dikau kluyuran sebelum korona pergi.*

*Agus Dermawan T., penghibur seni rupa, penulis buku “Karnaval Sahibulhikayat” (2021).

1 reply

Comments are closed.