Penyair Novan-Leany

Puisi-Puisi Novan Leany

Djumri Obeng dan Sajak Senja Kuning

: Loa Kulu 1888

Aku mengenalmu, Djumri
seorang Kai’
melarangku buka pintu
tentang hikayat kota
yang memendam
setengah
mitos-mitos pilu
dari hidup cucumu

Bisikkanlah sebuah tanya
di telingaku, semisal
mana yang rawan kepuhunan
selain tak mencicip
sebutir nasi?
Mahakam meriang,
gubang karam,
atau senja kuning
yang lelap
diam-diam

Dapatkah dikau bentangkan
zaman pilu di kepalaku?  Loa Kulu,
adalah rumah yang belum
memberi kenangan apa pun,
kecuali ingatan masa kecilmu
tentang mayat dibuang ke sumur
jadi tontonan Oost Borneo Maatschappij

Dalam mata sajakmu
masih kupandang,
sebuah musim berombak pada 1888
bocah legam berlarian
dengan koreng basah
di lutut dan siku
juga paras wajah buruh
yang kesedihannya
masih nampak
sebagai ruh
yang merintih
menantang riuh
awak Marite
(kuharap juru mudi itu,
bukan ayahmu)

Kai Djumri,
kelak kepada siapa sajak ini
akan kusampaikan?
Apakah kepada lumut di tugu,
yang sampai kini
merasakan jejak darah
dan hawa tubuh
tragedi pembantaian massal
saudaramu itu?

2021/2022

 

Ratu Juliana di Gedung Stamboel Straat

Halalang telah menyerahkan hijaunya
menyarungi halaman depan gedung ini,
dan peristiwa jadi ganjal
antara nganga
pintu dan jendela
yang aku duga
seorang lupa menutupnya

Masih ingat,
tiap kali ingin ke ruang rapat?  Kau tersedu
saat kertas kian kuning
juga mesin tik
dengan huruf yang tak lengkap
adalah sisa-sisa suasana
yang masih terbawa angin
sebagai tengik amis darah
yang memengapkan
kenang di ruang  ini,

Di sini,
pernah kecolongan
sebelum tahun 1908
Ratu Juliana,
yang murung di ujung panggung,
ingin kucium punggung tanganmu
yang bau tanah basah
dari hujan dibawa pergi
bulan berganti
“ Pernah aku rayakan
ulang tahun di sini
namun kau lupa,“katamu

Maaf Juliana,
kalender itu kumal
seperti raut pilu pegawai pensiun
di wajah musim yang lesi,
aku coba mendekat
sedang cemas makin lekat
antara tanggal yang aku lingkari

Di meja rapat ini Juliana,
juga kau temukan
sinar mata lilin yang remang,
seperti masa depan kota ini,
kau ingin meniupnya?

Maka, dekatkan tubuhmu
kepada dingin yang tersalib
di jerjak-jerjak gedung ini,
dan kau harus ingat
tiap kali ingin ke ruang rapat
Stamboel Straat sempat
membelah masa kanak moyangku
di kota yang koyak ini,

2021

 

Dingin Kenangan di Pegunungan Muller
Anton Willem 1894

Terra
incognita!
Lantang budak Sultan
kepada Kapten Belanda
yang terhuyung murung
di Jeram Bakang

“Muller,
kusebut namamu
kepada debu
yang merahasiakan
daun-daun hijau
juga bisik amarah
yang terperam
dari dua belah gunung”,
Kata Anton sembari
melipat kembali
sobekan kain biru

Plung,
di antara riak Barito dan Mahakam
ada yang menimbai kerikil
semua tersentak
sedang Anton menatap langit
“Tuhankah itu,
atau gigil kakiku?”

Kami mengenangmu Mayor,
sebagai aroma amis darah
dari lembing-lembing tertinggal
di hulu Kapuas
sebab kami berkecambah
dari janda syahbandar
yang dibiarkan hidup
dalam keadaan lapar
Ah, seharusnya
umpat lenyap
kami ditombak
serupa Tingang

Hingga tiba 1950
ingatan menjauh
bagai kilas aroma rempah
di tubuh budak Sultan
yang mengantar
sarapan pagi
kepada kelasi

Tatkala malam
dan angin makin runcing
di pegunungan piatu ini
akan datang pada kami, katamu
generasi mengeluh
tentang ufuk sejarah
yang kian padam
serupa redup matahari
dilindung punggung
Belian jatuh
tebasan
suku Suy’uk

“Sudahlah meneer,
ini Kalimantan
ladang tanam batang
tumbuh pohon Gulden “
kata seorang Prajurit Jawa
sembari menyalakan api
dan menggorok leher
Banteng Sungai Boh

Barangkali dari Tanjung,
Muller pernah berkata,
“Suatu saat nanti
Teeh atau Mpatung Mensia
tanpa kepala itu,
diam-diam kami miliki
suatu, saat, nanti”

2021

 

Topi Pet Kapten Soedjono AJ
Tata Nirbaya Anantaboga

Dikenakannya topi pet
dalam rasa cemas, yang
tak pernah diketahui
hingga mutakhir

Sedetak jantung waktu 1960
barangkali Kapten Soedjono,
bergetar penanya ketika
menuliskan kata
anantaboga sebagai perlambang

“Apa tanda tangan ini,
dapat menjelma beras, gandum,
atau daging pengganjal perut
para buruh dari rantau?” katanya,
sembari menyapu peluh di kening

Dua puluh bulan lawasnya Kapten,
seperti kedipan mata, kesedihan
Kotapraja terdengar talu
retas risau yang berlantas
di dapur rumah sanak hulu

Dalam malam diam
di punggung Mahakam
segantang putih purnama
melekukkan awak kapalmu

bagai logam dan melambungnya
ke langit Borneo
di sana buyutmu bersampan,
mendayung sejarah kota
dan menimba-nimba
tentang Tuhan di kepalanya
yang kosong

Tapi Kapten,
akukah yang ngigau
meminang malam galau
sebab siapa sanak wani
menunggang gelombang
banyu tawar ini?
Kuharap esok hari
Letkol Ngoedio
tak merunduk, meski
tak ada daun luruh
di atasnya

2021

 

 Di Teluk Lerong 
: Perang Gerilya Samarinda 1947

Binar Lampion Garden
ialah girang mata meneer
sedang pesta lepas penat
di pesanggrahan Gunung Habang

Dari gusar,
dan sebuah keinginan
ia ziarahi Tugu Palagan, yang
berlumut masa lampau
tentang timbaian granat
dari 30 prajurit ragu
sebelum aba-aba Sandiau

Di aspal ini seorang
pernah tergeletak, Ali Loho
sebab tubuhnya
adalah lampu
yang, berulang kali,
disasar peluru Bren
kapten Binkhuysen

Kepahitan bergelayut
di ranting zaman ini,
tembang-tembang sumbang
pengamen Tepian
dari perut kembung seharian
atau selongsong peluru
temuan NICA Belanda Tangsi Lama
bagai musim hujan menjarum
genangan bah Kalimantan

Dari gusar,
ia katakan ini tragedi
setengah jam meneer..
sedang di Teluk Lerong ini,
bujang begayaan malam-malam
saat sepasang telinganya memekak
dari tangis kumpi
yang karam

2021

 

Sungai Karang Mumus

Aku anak kota yang rindu
bau tawar sungai ini,
dan gemericik batajun bocah
bergelayut di Jembatan
bagai gugur durian panen
di bulan Januari

Di bantaran Odah Bekesah
pohon nyiur tak berdaun kandas
juga ketinting penambang pasir
yang tersadai di malam
dalam kecemasan

Seandainya,
anak sungai ni
berada di mataku,
sudikah kau bekunyung di sana?
Juga wajahku; tanah lempung
sebelum lebam oleh sisa nasi basi
minggu terakhir sanak batang

Dan, suatu hari nanti,
bah tempat kau menyepah ini
menjelma telaga air mata
sanak penadah periuk
yang melingkari puri
sebagai gelagat cinta

2021

 

*Novan Leany asal Samarinda, Kalimantan Timur. Pegiat seni dan pencinta kopi. Telah menerbitkan buku pertamanya “Eufolina” pada tahun 2019. Sempat berguru dengan Marhalim Zaini. Puisinya sempat beredar di media massa seperti Koran Tempo, Jawa Pos, Matapuisi, Bacapetra.co Buruan.co, dll dan puisinya yang berjudul “Datuk Tunggang Parangan” memperoleh juara 2 cipta puisi tingkat Nasional yang diadakan Lampu Tidur dan pakar semiotika dan antropolog ITB Bandung, juga yang berjudul Sebelum Mappanre Temme’ Tahanlah Sahaya Pergi, juara 1 nasional yang diadakan Universitas Airlangga Surabaya. Kini bergiat di komunitas TerAksara. Dalam waktu terdekat pula sedang berproses untuk persiapan buku antologi puisi keduanya dan sekarang menetap di Yogyakarta melanjutkan pendidikan studi S2 psikologi. Email: m.novan1997@gmail.com