Puisi-Puisi Afnan Malay

REINETA

matahari jatuh di bayang-bayang
tubuh. bergerak pejalan kaki, mimpi
mimpi melangkah pergi: kemana?

kami menungu meja terisi. menu-menu
memburu.dari balik jendela le flaubert
kursi putih kududuki, masih membisu

berbagi isyarat gadis resto mendekat
bercakap-cakap, tapi tak jua terungkap
begitu susahkan memesan makanan?

seleraku serasa tercekat. membayang
negeri-negeri dalam peta. yang tersodor
negeriku sendiri. bergegas menuju apa?

putuskan, apa yang mungkin kita makan
sergah sahabatku di seberang meja kami
reineta? bagai keindahan menunggu hari

dua keping sayatan. reinata memanjakan
lidah. orang lalu lalu lalang, satu dua tiga
pasang, beradu lidah. melepas kisah: tuntaskah?
reineta, reineta lenyap seketika. keindahah
masih meninggalkan bayang-bayang. kulihat
sesekali orang berlarian, mengejar waktu

Santiago, 22

 

SAN CRISTOBAL

kereta gantung membelah lembah
di bawahnya gedung-gedung tengadah
rapi tersusun. rerimbunan. tidak menyimpan
rahasia apa-apa. tumbuh meninggi. ringkih
menjulang sunyi.

tertatih menaiki anak-anak tangga menuju
bunda. maria, maria, maria lantunan haru
menyesak hati. menuntun ke puncak diri
menapaki belokan yang menikam. tajamnya
meneguhkan kaki

hingga tidak menyurut langkah. bunda menanti
kesia-siaan menepi. bangku-bangku kosong
sembunyi di sehamparan taman. persiapkan
keluhmu. atau tersimpan di kereta menggantung
sekian tanjakan lagi

dalam dekapan putih
maria, maria, menggemuruh
dada. tubuhku tertunduk luruh.
di ketinggian bukit terdaki

Santiago, 22

 

PARQUE DEL ESCULTURA

di taman yang membujur sisi kota
aku menjadi lelaki berkacamata
menegaskan jarak. larut memandangi
patung-patung instalasi menancap, pesonanya
apakah tenggelam. dihanyutkan adam hawa
berdekapan di bawah pohon-pohon kuldi
rumput-rumput yang rubuh terhimpit, bercerita
cinta untuk apa disenyembunyiikan. pun
tak menunggu waktu untuk diungkapkan

patung-patung memahat kisah, impian
impian.ada potongan-potongan diri kita
yang tersaput. masa terus bergerak
pohon-pohon tetap terjaga. kalaupun
lenyap didesak bangunan-bangunan kota
taman ini, suka-cita yang hening
patung-patung suntuk, orang-orang kusuk
membangun surganya sendiri. kasih senyap
geloranya tidak berkobar. rasa lapar
dijajakan tidak. adakah yang luput dicukupkan
oleh cinta?

taman ini adalah surga tanpa kunci. kendaraan
hilir mudik teperangkap dunianya. dari taman
terlihat dunia berpacu, yang melaju melongok
orang-orang sirna mengemas waktu: yang berdetak
jantung-jantung kalbu. disaksikan patung-patung beku

Santiago, 22

 

VICTOR JARA

petikan gitarmu menyayat penguasa
kalut. mereka renggut yang terkapar di bawah
jendela. saat jemari tangan meraih pintu bergegas
terbuka. masuk meninggalkan kekejian purba
menyeret darah berceceran dimana-mana
lawan, lawan, lawan. gitarmu hanyutkan nestapa
mendengung-dengung bangkitkan yang rubuh
getarkan jiwa-jiwa terkapar, luruh

lawan, lawan, lawan. tiada dingin buatmu gigil
berkawan panas, senar gitarmu mememanggil
adalah rimbun dedaunan mencengkram ranting-
ranting tak getas tak meranggas. senar-senar
gitarmu menanam akar di dinding-dinding rumah
di kafe-kafe terbuka di gereja-gereja di taman-taman
kota: di jiwa-jiwa terluka. tak jengah tak patah-patah

suara desing peluru meburu, satu petikan gitarmu
melepas pilu bertalu-talu. mengiris telinga tentara-
tentara dungu..ganas tank-tank menggilas semua..
dua petikan gitarmu menderas suara, “rampaslah
raga-raga kami, sukma-sukma terjaga menjadi-jadi
sebanyak yang kalian rampas, tak sekepingpun jiwa
kami terpapas.” petikan ketiga gitarmu, petikan keempat
gitarmu, petikan kelima gitarmu. lawan, lawan, lawan:
melengking-lengking. lumat yag keji yang laknat

senjata adalah kedua kepal tanganmu, ruhnya
petikan demi petikan senar-senar gitarmu. dihembuskan
angin menusuk-nusuk yang terkutuk. sang kalap remukkan
tanganmu: yang terkulai para durjana. dari stadion itu suara
gitarmu mendera-dera. lawan, lawan, lawan. tujuh petikan
sepuluh petikan, seratus petikan, ribuan petikan gitarmu
mencabik-cabik, yang pongah terperangah. lucha, lucha
lucha, lucha. lucha membahana: luchador menggedor-gedor

Santiago, 22

 

MEMORIA

di dalam rumahmu
adakah yang dirahasiakan
bau amis ikan yang melekat
di meja makan, untuk apa
kita simpan. anak-anak butuh
kisah. penguat langkah
pagar rumah yang patah
atau kecamuk api membakar
halaman yang kita sulut
apakah salju merahasiakan
dinginnya? mau kemana matahari
menyembunyikan sinarnya dari
mekarnya bunga-bunga
apa yang mau disangkal dari
Pinochet yang membasuh
mukanya dengan darah
duka Allende mengiringi lirih
kata perpisahan, terbata-bata
tak ada yang layak dirahasiakan
fakta adalah soal asap cerutu
mengepul aroma pekat. bukan
menanam persepsi tentang tembakau
dan para penghisapnya. di rumah
kebenaran tidak akan berdebat
rahasia adalah laut terbuka
bentangan sunyi

Santiago, 22

 

LAUT NERUDA

seperti laut, kata-katamu hanyut
memecah ombak berdebur di batavia
diakah bunga yang pohonnya tidak kau
tanam sendiri, tapi harumnya memburu
nafasmu. atau kau sedang menggarisi laut
tak berjejak mengalir kemana-mana

seperti laut, seperti puisi: adakah tepi
melarutkan birunya memupus kata-kata
kau angin yang menyelinap pada pohon-pohon
berbisik. di kafe-kafe, tereguk dalam gelak tawa
gelas-gelas kosong memerah kembali. mengalir
seperti laut, tak surut. asap cerutu melukisi udara

suara laut, kau dengar menjilati batu-batu
hitam. tampak dari ruang makan rumahmu
berbagi sunyi biru laut dengan hamparan kusam
membentang langit di atasnya. bunga-bungamu
mengepung halaman berwarna-warna

kau terbujur menghadap laut, biruya tidak
terpisahkan. sebiru langit kadang dilipat kusam

Isla Negra, 22

 

NYANYIAN GABRIELA

pada bukit-bukit sansai
kulihat pendakianmu mengurai
tanah keras. naik turun untuk apa
bergegas. seperti ibu merajut
baju, pakaian putra-putrinya
jarum memandu benang

pada pohon-pohon rimbun
kurasakan suaramu tumbuh
di dedaunan hijau. saat ranting
ranting patah, daun-daun gugur
tidak pernah sia-sia. terkulai
penguat akar, memanjang
jauh ke dalam sukma

pada sungai-sungai membelah
kota. kau tuliskan bait puisi, mengalir
jernih. arusnya deras bagai darah
pembuka nadi-nadi yang tersumbat
di dinding-dinding tua. di rumah-
rumah berkawan nestapa

pada bangku-bangku sekolah
panjang tanganmu menutup buku-
buku lusuh dan usang. menyelami
kata-kata, tidak terbenam dibalik
huruf-huruf. tegak, mengeja semesta

Gabriela, kaulah ibu. penata batu-
batu bagi rumah penghalang panas
yang mendera. di bilik-bilik kamar
kau sembunyikan pilu dan airmata
kau patrikan dinginmu, di tangga-tangga
rumah. terkucil pada pintu-pintu, kaulah
ibu. penghalang tubuh-tubuh menggigil

Gabriela, Gabriela: kau lupa menyeka
air mata: meleleh menghapus duka
di taman-taman

Santiago, 22

 

APAKAH AKU RINDU

apakah aku rindu, pada negeri
yang menunggu hujan tiba. ketika
datang digulung duka, mecerca pohon
tumbang yang mereka tebang sama-sama

apakah aku rindu, pada negeri
yang dirasuk kemarau. hutan-hutan
terbakar. api tak padam pada mulut-
mulut membara, lidahnya hangus

apakah aku rindu, pada negeri
yang terkesima kisah raja. ketika pangeran
menyunting jelita. mimpi dalam jamuan
terjaga sebelum subuh bertandang

apakah aku rindu, pada negeri
yang berseteru warna laut. pantang surut
dihantam gelombang. batu-batu karang
basah kuyup dilamun buih-buih

apakah aku rindu ?

Santiago, 22

 

PEJALAN KAKI

dua pasang kaki-kaki tua itu mengayun pelan
menghitung senti demi senti panjang usia jalan
di trotoar, degup jantung berdebar tik tok kudengar
suara tongkat berterima kasih pada tuan dan nyonya
yang menjadikan mereka sepasang kekasih
dari kayu, hutan berbeda. puluhan tahun
memandu setia. kemanapun dibawa pergi
lelaki tua parlente, topi bareta sujud di kepalanya
bersama perempuan menggelayut syal di lehernya
sekian tikungan dilalui kaki renta. berhenti di pertigaan
bagunan kantor pos kota. menyapa mereka perlahan:
nyonya, dia kerap kemari sambil melirik tuan membenarkan
letak kerah lehernya yang menekuk, surat-surat untukmu
selalu aku sampaikan. senyum tipis nyonya matanya berbinar
mereka berjalan hingga dihadang lampu merah, menunggu
hijau. sesabar mereka melihat dedaunan berguguran jatuh
di bangku-bangku taman. patung-patung sejarah tersenyum
hai, kalian mengunjungi kami lagi. burung merpati merubungi
hitam-putih terbang berganti-ganti. nyonya menyandarkan kepala
rubuh di bahu lelaki tua, seperti bayi terlelap diselimuti helai-helai
rambutnya. sepasang tongkat merengek menuju kafe terdekat
di sana mereka bisa berpelukan erat, dimasukkan di satu tempat
bersama tongkat-tongkat lain. berbagi kisah menahan penat
tuan dan nyonya beradu gelas mereguk kehangatan, sepanjang
kaki melangkah, rahasia-rahasia baru terus ditatah

Valdivia, 22

 

BERLAYAR

ia berlayar di air jernih, membayang pantulan
tubuh perahu. kayu kemudi di tangannya
sungai meliuk di antara lekukan pulau-pulau
keindahan yang memukau, hanyut mengintai
di hadapan laut menganga

barisan pepohonan di bibir sungai. menjulang
teduh menerpa laju perahu. bangunan-bangunan
penyaksi saat tanganmu menentukan haluan jauh
burung-burung hinggap, kecipak air penanda
di mana kau akan sampai atau terkulai

Valdivia, 22

 

RUMAH

jalan panjang kepergian yang kita
tempuh, hanyalah menuju rumah. hapalan
kita sejak kanak-kanak. menapaki tangga-tangga
itu-itu juga. kadang kita berlarian tergopoh-gopoh
mewarnai dinding-dinding dilaburi mimpi-mimpi
kita panjat tiap hari. bukit-bukit dihimpit rumah-rumah
laut biru, menyapa kaku. dari rumahmu kapal-kapal
tegas, menunggu keraguanmu tuntas di tiang-tiang
melayang. burung-burung mematuk-matuk kalbu

menuruni anak-anak tangga, ketentuan hari-hari. mengisi
penuh kenangan dengan gambar-gambar, coretan liar nelangsa
lukisan sekenanya di tembok-tembok, tampak menyeringai
menguntit kepergian, menggantang harapan. matahari
membagi keluh terhisap tubuh. bayangan jatuh, lalu tegak
tiap-tiap langkah menjejak-jejak diri. ratusan kilometer
busur anak panah dilepaskan, berharap tumbuh di tanah-
tanah kering memeram kehidupan. dari musim berganti
musim. rumah mengetuk-ngetuk tidak berlalu

Valparaiso, 22

 

NOCTURNO:
ORKESTRA KEMATIAN

bulan setengah hati merambati daun-daun
sinar sabitnya terpotong sampai ke batang pokok
tua. pengelana terus berdatangan membangun
tahta baru. dalam kematian nisan-nisan sunyi

kemarilah, mendekat padaku sesosok berjubah
hitam keluar dari semak belukar, tongkat berkelebat
bayangan pekat menuntun suara berat. ia masuk ke dalam
tuhan. kotbahnya menyeret tubuh-tubuh tidak bernyali

terhuyung menembus gulita. perjalanan mencatat sederetan
nama-nama, lidah kelu menyusun kata jawaban menyongsong
pertanyaan kosong: yang tidak pernah ada. kalian akan datang tanpa
diminta. penjaga kuburan menyeru jenaka, menyapu debu batu nisan

bulan sabit dikitari awan hitam, menghindar dipeluk kelam. sekeping sinar
memerak meluncur di atas rambut. jangan kemana-mana kataku, apakah
kalian bisa kemana-mana. suara jubah hitam melengking parau. ikuti saja
kulihat tubuhnya terbang perlahan, tongkatnya lepas. berderit sepanjang jalan

Santiago, 22

 

DIHANYUTKAN JAZZ

kami duduk-duduk memangku penat
mengantar tubuh terhenyak di pojok ruang
tidak lebih dari belasan meja, dikitari pengunjung
kudapan dan anggur hilang gairah menunggu
sentuhan. piring dan gelas mematut-matut
diri ikuti irama bahu, tubuh yang terayun lembut
bagai riak kecil tertatih-tatih mengejar pantai
suara terompet melengking perih, lamat-lamat
menyayat-nyayat kayu penyangga kafe di antara
kursi-kursi yang kami duduki. denting piano
meliuk-liuk serasa mengikuti kaki-kaki hujan mulai
membasahi kepala yang mengangguk-angguk
hentakan kecil penabuh drum menyentak jeda
ditingkah petikan gitar dari senar yang berlapis
hanya kepada celotehan jazz, aku ikut hanyut

Santiago, 22

 

*Afnan Malay, penyair, pencipta Sumpah Mahasiswa. Puisi-puisi ditulis di Chili saat mengikuti program Residensi Puitika selama Desember 2022. Tinggal di Yogyakarta