Merayakan 100 Tahun Bante Ashin Jinarakkhita

Tahun ini adalah tepat 100 tahun kelahiran almarhum Bante Ashin Jinarakkhita. Bante Ashin dikenal sebagai seorang bikhu yang memperjuangkan gagasan non sekretarian, egalitarian dan  inklusivitas. Bante Ashin lahir di  Bogor 23 Januari 1923 dan wafat 18 April 2002. Bante Ashin bisa disebut bante pertama dari Indonesia yang ditahbiskan di zaman modern. Dari semenjak zaman runtuhnya Majapahit sampai Indonesia merdeka belum terdapat seorang bante atau biksu Buddha asli Indonesia lagi. Dan Bante Ashin semenjak penahbisannya sebagai samanera pada umur 29 tahun di tahun 1953 sampai akhir hayatnya – sebagai biksu tak kenal lelah mengembangkan agama Buddha yang membumi di Indonesia.

Sosok Bante Ashin karismatik. Cambang dan janggutnya putih memanjang seperti bhiku sepuh-sepuh perguruan Shaolin yang beraliran Mahayana. Namun ia mengenakan jubah saffron Theravada. Sebuah perpaduan yang tak lazim. Sebagai keturunan Tionghoa peranakan, Bante Ashin memiliki pandangan atau visi kenusantaraan yang kuat. Ide-idenya tentang toleransi dan akulturasi Budhisme dalam sejarah Indonesia sangat kontekstual. Beliau adalah sosok yang berani berpendapat terbuka bahwa  agama Buddha sesungguhnya  memiliki akar-akar yang kuat di nusantara. Buddha adalah juga agama pribumi bagi masyarakat nusantara dan memiliki dimensi Ketuhanan yang tinggi.

Bhante Ashin Jinarakkhita (Sumber: https://blog.nalandafoundation.net)

Lahir dengan nama asli Tee Boan An, riwayat pendidikannya Bante Ashin cukup kaya. Ia pernah kuliah di Universitas Groningen Belanda, Departeman Matematika dan Ilmu Alam jurusan Kimia. Kuliahnya itu tidak ditamatkan lantaran di  Belanda ia lebih aktif melakukan aktivitas kerohanian Teosofi. Ia banyak melakukan perjalanan ke loji-loji Teosofi di Eropa. Di Belanda, seperti pernah ditulis John MacDougall ia pernah menghadiri ceramah Khrisnamurti yang memikatnya. Sepulang di Indonesia ia  menjadi Wakil Ketua Pengurus Pemuda Teosofi. Ia kemudian mendalami agama Buddha dan menjadi ketua organisasi Sam Kauw Hwee Indonesia (Organisasi Buddhisme, Konfusianisme dan Taoisme).  

Setidaknya menurut Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) ada enam hal yang membuat pemikiran dan kerja-kerja  kebudayaan dan teologi Bante Ashin sangat penting bagi keindonesiaan kita sekarang. Dan mengapa pada 100 tahun hari kelahirannya ini patut dibaca ulang dan direnungkan kembali.

Pertama, seperti dikatakan di atas Bante Ashin adalah seorang biksu yang gigih memperjuangkan Buddha di Indonesia sebagai agama inklusif dan non seretarianiasme. Ia berusaha keras menjauhkan citra Buddha sebagai agama yang hanya banyak dianut oleh komunitas keturunan Tionghoa Indonesia. Ia tidak ingin agama Buddha Indonesia menjadi agama eksklusif kalangan Tionghoa Indonesia. Bagi Bante Ashin, agama Buddha Indonesia bukan hanya bagian dari budaya warga Tionghoa Indonesia tapi budaya nusantara. 

Bante Ashin aktif melakukan perjalanan jauh ke pelosok-pelosok daerah pedesaan di Jawa dan Sumatra menyusuri komunitas-komunitas pedesaan yang masih memeluk agama Buddha. Ia berkunjung ke warga Tengger di Gunung Bromo sampai komunitas-komunitas kebatinan dan “Budho Jawa” di desa-desa kota Jawa Timur dan Jawa Tengah seperti Probolinggo, Purworejo, Kutoarjo, Boyolali, Semarang dan lain-lain. Ia juga mencari desa-desa sisa keturunan pelarian Keprabuan Majapahit  yang masih  menganut Hindu-Buddha.  

Berhubungan dengan ini baru saja BWCF mengunjungi Vihara Paramitha milik warga Tengger di Desa Ngadas, Gunung Bromo. Vihara ini adalah tempat beribadah dan beraktivitas para warga Tengger beragama Buddho Jawa di Desa Ngadas. Agama Buddha yang mereka anut adalah sinkterisme antara kepercayaan Tengger lama dan penghormatan terhadap Sakyamuni atau Siddharta Gautama. Dari penjelasan tetua vihara, BWCF mendapat info bahwa  sampai hari ini seorang  biksu dari Buddhayana (organisasi yang didirikan oleh Bante Ashin) secara regular mengunjungi dan membimbing mereka. Itu artinya kunjungan Bante Ashin ke Tengger lebih 70 tahunan lalu masih memiliki kontinuitasnya sampai sekarang. Bante Ashin sendiri dari berbagai perjalanannya ke desa-desa yakin bahwa agama Buddha merupakan agama yang memiliki akar pribumi. Bahkan Bante Ashin mewasiatkan jika meninggal –  jenasahnya dikremasi di Lampung karena Sumatra adalah bekas wilayah Kedatuan SriwijayaIa yang berorientasi Buddha.  

Kedua, Bante Ashin – dalam beragama sangat mengenal mazhab Theravada maupun Mahayana. Dalam sejarah agama Buddha mazhab Theravada dan Mahayana/Vajrayana sering saling menempuh jalan sendiri-sendiri. Pada titik ini Bante Ashin tidak ingin terjebak  dalam dikotomi. Ia berusaha melakukan kerja-kerja lintas batas yang menjembatani umat Theravada maupun Mahayana dan Vajrayana. Bante Ashin sendiri secara teologis pemikirannya berada baik di Theravada maupun Mahayana. Tatkala  menjadi samanera di Vihara Vaipulya Sasana, Jakarta, Juli 1953 ia ditahbiskan dalam tradisi Mahayana Tiongkok dan belajar meditasi Chan atau Zen. Selanjutnya ia belajar meditasi Theravada di Yangon, Burma dibawah biksu terkenal Mahesi Sayadaw. Di Burma ia ditabiskan oleh Mahesi Sayadaw sebagai biksu penuh. Kata Jinarakkhita menurut penulis buku: Kiprah Para Maha Biksu, Jack Meng-Tat Cha adalah nama pemberian Mahesi Sayadaw yang berarti: Seseorang yang Berjaya dan Dilindungi. Bagi Bante Ashin, meski doktrin dan tradisi Theravada dan Mahayana berbeda semuanya menuju jalan tunggal pencerahan. Baginya seperti pernah dikatakannya kepada Dalai Lama ia tidak memihak kepada mazhab tertentu Budhisme namun semuanya. Ia adalah Pelayan Buddha.

Ketiga, Jasa Bante Ashin untuk menghidupkan kembali Borobudur sebagai tempat ritual agama Buddha sangat besar. Bante Ashin bisa disebut – bahkan sejak ia belum ditahbiskan sebagai samanaera adalah orang yang berusaha kuat mengaktivasikan lagi Borobudur sebagai tempat sakral agama Buddha bukan hanya sekedar reruntuhan arkeologis. Ia inisiator perayaan Waisak   di Borobudur. Pada 22 Mei tahun 1953, sewaktu masih bernama Tee Boan An dan anggota Teosofi, ia berhasil menginisiasi   seremoni Waisak di Borobudur dengan skala besar yang dihadiri oleh ribuan warga. Bisa disebut di tahun 1953 itulah untuk pertama kalinya sebuah Waisak dirayakan secara terbuka oleh ribuan umat Buddha semenjak era Majapahit. Bahkan Bante Ashin muda saat itu melakukan promosi besar sampai mengundang delegasi kedutaan besar Burma, Srilanka, India, Singapura dan Thailand. Sebelumnya perayaan Waisak di Borobudur hanya dilakukan segelintir anggota Teosofi dan belum pernah semassal yang dilakukan oleh Tee Boan An. 

Bhante Ashin Jinarakkhita (Sumber: https://bali.suara.com)

Pada 20 Mei 1932, misalnya sekelompok kecil anggota Teosofi di antaranya E.E Power, Ir Mengelaar Meerteens, Pandita Josias Van Deist pendiri asosiasi Budhis Java  memperingati Waisak di Borobudur. Borobudur saat itu masih belum sepenuhnya terestorasi. Setelah pada tahun 1911 (dari April tahun 1907) Theodore Van Erp selesai  mememimpin tim Belanda   menanggulangi  sebagian kerusakan Borobudur, masih banyak korosi, perembesan air, dan pelapukan batu-batu terjadi di Borobudur. Tahun 1932 itu adalah tahun menjelang krisis ekonomi global dan meletusnya Perang Dunia 2. Masa-masa itu   perbaikan-perbaikan di Borobudur berhenti.

Teosofi sendiri adalah gerakan kebatinan internasional yang mulanya didirikan oleh seorang tokoh spiritual asal Ukrania Helena Petrovna Blavatsky di Newyork tahun 1875 dan kepemimpinannya kemudian dilanjutkan oleh Annie Besant di Adyar, Chennai, India sejak tahun 1882. Teosofi memiliki cabang dimana-mana. Adalah menarik loji pertama Teosofi di Indonesia berdiri di Pekalongan tahun 1883 – setahun sesudah loji pusat berdiri di India. Menyusul Pekalongan, di Indonesia  kemudian berdiri loji-loji Teosofi di  Semarang, Jakarta, Bandung, Klaten, Medan, Malang. Madame Blavatsky disebut tiga kali pernah berkunjung ke Jawa – bahkan sebelum pembentukan organisasi Teosofi di Newyork, yaitu sekitar tahun 1853, 1858 dan 1883 (tentang hal ini, ada yang menyebut kunjungan terakhir Blavatsky di tahun 1862). Ia dikabarkan mengunjungi Borobudur, Mendut dan bermalam di Pesanggrahan Limpung tak jauh dari Pegunungan Dieng. Tokoh kakap Teosofi lain yang pernah mengunjungi Borobudur adalah C.W Leadbeater.

C.W Leadbeater adalah seorang clairvoyance yang bersama Annie Besant menemukan sosok spiritualis besar Khrisnamurti. Ia awalnya menempa spiritual Khrisnamurti di masa kecil  karena percaya Khrisnamurti bakal menjadi juru selamat meski kemudian setelah dewasa Khrisnamurti menolak. Setelah menengok Candi Mendut dan Borobudur, C.W Leadbeter menulis  risalah: The Occult History in Java (Sejarah Gaib Pulau Jawa). Dalam penerawangannya ia menulis ada kemungkinan sebuah terowongan panjang dari Mendut ke Borobudur. Peter Levenda dalam  bukunya: Tantric Temples Eros and Magic in Java menyebutkan boleh jadi kepergian C.W Leadbeater ke Jawa, Borobudur dan Mendut untuk mencari pengganti Khrisnamurti yang tak mau lagi diarahkan sebagai mesias.

Tahun 1938, para anggota Teosofi masih tercatat melakukan Waisak di Borobudur. Selama pendudukan Jepang, perayaan Waisak di Borobudur berhenti. Buku Jack Meng-Tat mengatakan pada  tanggal 6 Mei  1955, Bante Ashin kembali menginisiasi perayaan Waisak di Borobudur secara massal. Ia mengundang umat Buddha Jawa, Bali, Makassar. Dia meminta Radio Republik Indonesia menyiarkan upacara Waisak tersebut. Menurut Jack Meng di Borobudur tahun 1955 itu Bante Ashin memimpin umat mendaras syair tentang kemenangan (Jayamangala-gatha) dan penyalaan lilin. Di puncak Borobudur, tempat stupa-stupa ia mendaras lima sila Buddhis. 

Tahun berikutnya, 24 Mei 1956 kembali Ashin Jinarakkhita memimpin perayaan Waisak d Borobudur. Bisa disebut di tahun  1956, perayaan Waisak mendapat momentum besar karena bertepatan dengan 2500 tahun agama Buddha atau Buddhajayanti. Pukul 6 sore saat itu, ribuan umat Buddha berkumpul di Candi Mendut. Ashin Jinarakkhita kemudian memimpin mereka prosesi jalan kaki menuju Candi Borobudur. Mereka sampai ke Borobudur malam hari. Dan kemudian di Borobudur, Bante Ashin memimpin meditasi sepanjang malam sampai detik-detik Waisak. Dalam penelitian Jack Meng, jumlah umat Buddha yang mengikuti Waisak di Borobudur tahun 1956 itu lebih dua kali lipat dibanding tahun 1953. Di tahun 1953 hanya sekitar 3000 warga kemudian di tahun 1956 tersebut menjadi sekitar 7000 an umat Buddhis.  

Setelah 1956, sejarah mencatat tahun 1959 perayaan Waisak di Borobudur yang diadakan Bante Ashin juga sangat besar. Pada tahun 1959, kali ini Waisak didahului pentahbisan pertama kalinya para bhikku dan samanera Indonesia. Acara itu diselenggarakan di Jakarta dan Semarang. Bante Ashin mengundang 14 biku ternama dari Srilangka, Kamboja, Thailand, Burma dan Jepang termasuk Mahasi Sayadaw dari Burma dan Narada Mahathera dari Srilangka untuk ikut menahbiskan mereka. Setelah penahbisan tersebut, Bante Ashin kemudian mengajak 14 bikhu agung Asia itu mengikuti Waisak di  Borobudur. Proses diawali persembahyangan di Candi Mendut kemudian dilanjutkan berjalan kaki dari Mendut ke Borobudur sembari membawa bunga, lilin, dupa. Setelah sampai Borobudur, para bante melakukan pradaksina mengelilingi Borobudur tiga kali seputar arah jarum jam.   

Keempat, jasa Bante Ashin yang luar biasa adalah berani mengemukakan pikiran bahwa agama Buddha di Indonesia berketuhanan. Bante Ashin mengangkat kembali kitab-kitab Buddha kuno era Syailendra sampai Majapahit untuk menunjukkan bahwa dalam uraian-uraian teks tersebut dimensi ketuhanan sangat kental dan menjadi tujuan perenungan utama. Di antaranya adalah kitab Sang Hyang Kamahayanikan. Kitab Mahayana-Tantrayana ini disusun di zaman Mpu Sindok antara tahun 929-947 Masehi oleh Mpu Shri Sambhara Surya Warama dari Jawa Timur.

Bante Ashin menunjukkan di dalam teks Sang Hyang Kamahayanikan terdapat konsep Sang Hyang Adi Buddha. Sang Hyang Adi Buddha adalah semacam konsep ilahi tertinggi. Konsep ini dapat disebandingkan dengan Tuhan Yang Maha Esa. Tuhan yang tidak memiliki ciri dan karakteristik. Tuhan yang kekal abadi tak berawal tak berakhir. Tuhan yang menyebabkan penciptaan alam semesta. Adi Buddha ternyata tidak hanya disebut dalam  kitab Sang Hyang Kamahayanikan tapi juga dalam mantra-mantra Bali kuno. Dalam buku “2500 Buddha Jayanti” terbitan PUUI (Persaudaraan Upasaka Upasika Indonesia) Semarang tahun 1956 disebut salah satu mantra itu adalah mantra: Pranamya Satatam Buddham. Adapun bunyi doanya adalah sebagai berikut: 

 Praṇamya satataṃ Buddham, Ādi-Buddha-namas-kāram sattva-sattvaka-puṇyakaṃ, vakṣye vakṣye dhanaṃ param. Yang artinya: Setelah terus-menerus bersujud kepada Buddha, sebagai penghormatan kepada Ādi Buddha, yang merupakan kebajikan bagi para makhluk hidup, besar dan kecil, aku harus menghormat pada kesempurnaan-tertinggi. PUUI sendiri adalah sebuah lembaga Buddhis bagi perumah tangga yang didirikan Bante Ashin pada tahun 1955. Dengan menunjukkan bahwa di dalam teks-teks kuno Budhisme di Jawa dan Bali sangat dikenal konsep Adi Buddha, Bante Ashin ingin menandaskan bahwa  dalam sejarahnya umat Buddha Indonesia mengalami pergumulan Ketuhanan yang berbeda dengan umat Buddha di negara lain. Teks-teks itu menunjukkan bahwa agama Buddha di nusantara mengenal adanya zat tertinggi yang menciptakan alam semesta.  

Gagasan tentang Sang Hyang Adi Buddha yang ditawarkan Bante Ashin ini sangat kontoversial mengingat dalam konsep Theravada misalnya tidak dikenal konsep Tuhan. Akibatnya pemikiran Bante Ashin banyak ditentang oleh para sahabat-sahabatnya sendiri  baik dari dalam dan luar negri. Dalam agama Buddha terutama Theravada tidak dikenal suatu konsep teisme. Hanya agama-agama samawi seperti Katolik dan Islam yang secara teologis bertolak dari konsep teistik. Pemikiran Bante Ashin mengenai Sang Hyang Adi Buddha maka dari itu oleh banyak biksu dianggap menyeleweng dari agama Buddha. Mereka rata-rata yang menentang berusaha mempertahankan Budhisme murni, Buddhisme asli sebagaimana diajarkan Siddharta Gautama yang tidak dicampuri oleh pemikiran-pemikiran kebudayaan lokal. Namun Bante Ashin Jinarakkhita tetap kokoh dengan pendiriannya. Ia tetap mempromosikan pemikiran bahwa agama Buddha di nusantara mengalami proses sejarah dan pergulatan keimanan dan pergulatan sosial yang berbeda dengan agama Buddha di lain tempat. 

Dewasa ini studi-studi mengenai kitab Sang Hyang Kamahayanikan telah berkembang luas. Tiga scholar asal Indonesia  yang mengkaji tentang teks Sang Hyang Kamahayanikan di antaranya adalah  Dr Noerhadi Magetsari, Hudaja Kandahjaya Phd, Bante Budi Utomo Ditthisampanno Phd. Disertasi Noerhadi di Univesisitas Indonesia berjudul : Candi Borobudur : Rekonstruksi Agama dan Filsafatnya membahas hubungan Sang Hyang Kamahayanikan dengan Borobudur. Akan halnya disertasi Bante Budi Utomo Ditthisampanno di Universitas Mahachulalongkornrajavidyalaya, Thailand membahas: Sang Hyang Kamahayanikan Translation and Analytical Study. Adapun  Hudaya Kandahjaya Phd, peneliti sejarah agama Buddha asal Indonesia yang kini bekerja di Numata Center, Berkeley, Amerika baru saja menerbitkan buku yang secara khusus menganalisa Sang Hyang Kamahayanikan berjudul: Tiada Dharma Mendua, Kajian dan Terjemahan San Hyang Kamahayanikan. Semuanya menunjukkan adanya konsep transenden dalam kitab itu. 

Dalam artikelnya Adi Buddha dalam Agama Buddha Indonesia, Hudaja  menyebut Adi‐Buddha merupakan Budddha primordial Yang Esa, atau dinamakan juga Paramadi Buddha (Buddha Yang Pertama dan Tiada Terbandingkan). Sebutan lain adalah Adau‐Buddha(Buddha dari permulaan), Anadi‐Buddha (Buddha yang tidak diciptakan), Uru‐Buddha (Buddha darisegala Buddha). Juga disebut Adinatha (Pelindung Pertama), Svayambhulokanatha (Pelindung dunia yang ada dengan sendirinya), Vajradhara (Pemegang vajra), Vajrasattva (Mahluk Vajra), Svayambhu (Yang ada dengan sendirinya), atau Sanghyang Adwaya (Tiada duanya). Konsep Adi Buddha menurut Hudja berkembang dalam Vajrayana. Embrio konsep ini sudah ada dalam teks-teks di India dan Nepa. Menurut Hudaja  tulisan yang dianggap paling awal mengenai Adi Buddha terdapat dalam Kitab Namasangiti yang diperkirakan merupakan karya abad ke‐7. Kitab‐kitab lain di antaranya GunaKaranda Vyuha, Svayambhu Purana, Maha Vairocanabhisambodhi Sutra, Tattvasangraha Sutra, Guhya‐samaya Sutra dan Paramadi‐buddhoddhrta‐sri‐kalacakra Sutra. Sementara di n usantara selain Sang Hyang Kamahayanikan, konsep Adi Buddha juga diuraikan dalam teks Namasangiti versi Candrakirti dari Sriwijaya. 

Membaca kajian-kajian yang mendalam ini  ini makin terkuak bahwa memang konsep ketuhanan memang ada dalam kitab-kitab Buddhis kuno seperti Sang Hyang Kamayanikan, Sutasoma dan lain-lain. Banyak tudingan gagasan Adi Buddha dimunculkan Bante Ashin hanya semata sebagai  strategi menyelamatkan umat Buddha agar di era Orde Baru  tidak dituduh ateis. Para biku dan umat Buddha yang tidak setuju dengan pemikiran Bante Ashin menganggap pemikiran Bante Ashin mengenai Sang Hyang Adi Buddha adalah sekedar taktik memenuhi sila Ketuhanan Yang Maha Esa Pancasila dan sekedar politik keagamaan untuk menyelaraskan diri dengan kewajiban Orde Baru. Kita ketahui era Orde Baru sensitif terhadap komunisme. Agama yang tidak memiliki sendi kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa bisa dianggap simpatisan komunis. Kajian-kajian para ahli di atas mengenai Sang Hyang Kamahayanikan akan tetapi menguatkan bahwa pemikiran Bante Ashin tidak hanya sebatas konsep yang dibuat-buat atau dibikin-bikin agar agama Buddha dapat diterima Orde Baru tapi memang dimensi ketuhanan sangat lekat dengan Sang Hyang Kamahayanikan.  

Kelima, sehubungan dengan konsep Sang Hyang Adi Buddha di atas sumbangan besar Bante Ashin  lainnya adalah  Bante Ashin mendirikan majelis  Buddhayana, sebuah majelis yang berusaha menggabungkan atau mengombinasikan Theravada dan Mahayana dan juga dalam prakteknya percaya pada adanya Sang Hyang Adi Buddha. Buddhayana sampai kini masih eksis dan justru bertambah luas penganutnya. Vihara-viharanya ada di banyak provinsi di Indonesia. Buddhayana memiliki sejumlah universitas dan terus menerus mengembangkan sistem  keorganisasiannya. Buddhayana juga memiliki minat yang besar untuk meneruskan pengkajian kenusantaraan dalam agama Buddha. 

Buddhayana berusaha tidak menjadi organisasi yang a-historis melainkan organisasi yang sadar akan sejarah Buddha di Indonesia dan melanjutkan studi-studi Buddha yang sudah ada sejak zaman Sriwijaya dan Majapahit. Buddhayana bertujuan mengembangkan sebuah agama Buddha yang berkepribadian Indonesia. Yang paling menarik adalah umat Buddhayana dalam  kebaktiannya  selalu memulai doa dengan penghormatan atau pemuliaan kepada Sang Hyang Adi Buddha. Misalnya saat mendaraskan penghormatan kepada Buddha, Dharma dan Sangha yang umum dilakukan umat Buddha Theravada dalam bahasa Pali . Bila kebanyakan umat Theravada mengawali kebaktian dengan mengucapkan Namo Tassa Bhagavato, Arahato, Sammasambuddhassa. Maka umat Buddhayana lebih dahulu mengucapkan Namo Sanghyang Adibudhaya. Di sini Sang Hyang Adi Buddha dianggap lebih  tinggi. 

Keenam, Bante Ashin dikenal sebagai biksu yang memperjuangkan kesetaraan gender dalam hierarki  dunia biksu. Dia adalah orang yang menerima perempuan menjadi biksu atau biksuni. Dia adalah rohaniawan Buddha di Indonesia yang menahbiskan wiharawati Buddhis pertama di di Indonesia. Seperti dikatakan oleh Jack Meng-Tat Chia selama awal tahun 1960-an di seluruh penganut tradisi Theravada  Asia Tenggara masih terdapat polemik mengenai keberadaan biksuni. Sementara Bante Ashin berani mendorong munculnya biksuni di Indonesia.  

Demikianlah enam pemikiran utama Bante Ashin Jinarakkita. Masih banyak sumbangan pemikiran lain yang kami pandang sangat menguatkan Keindonesiaan. Namun enam  di atas adalah yang utama. Pemikiran-pemikiran dan kerja-kerja Bante Ashin  bagi Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) sejalan  dengan pemikiran keragaman dan kebinekaan dari Nurcholis Madjid, Abdurrahman Wahid sampai Syafii Maarif. Mereka sama-sama ingin membumikan keuniversalan nilai-nilai agama dalam perspektif  sejarah Indonesia. Dapat dimengerti saat Bante Ashin wafat, Gus Dur saat itu melayatnya. Mereka berdua tampak memiliki pandangan yang sejalan mengenai kebinekaan dan kenusantaraan.

Mari memperingati 100 Tahun kelahiran Bante Ashin Jinarakkhita.  

BWCF2023