Penyair Isbedy Stiawan ZS,

Puisi-Puisi Isbedy Stiawan ZS

LAMPU ITU MUNGKIN MASIH MENYALA

lampu yang kuhidupkan di taman
hatimu, dulu, mungkin masih
menyala. meski minyak habis
dan aku lupa mengisi. kasihmu
adalah bahan bakarnya,
kesetiaanmu sumbu yang menjaga
agar api tetap menerangi waktu

kau bisa membaca jam dinding
mengeja gerak yang pelan
mendekat. lampu itu selalu
mengirim tanda. “apakah cinta
masih gelora?”

mungkin nanti lampu itu padam
ketika aku lupa menjaga dan
mengisi bahan bakar: kasih sayang
itu, kalimatkalimat yang mujarab
untuk dibaca dan dihapal

sebab, kau tahu, lahirku diterangi lampu
ariariku dipestai terang pada malam
dan matahari di waktu siang

 

SERATUS TAHUN USIA MENUNGGU
: Dedy Dero Rohman dan Indra Pradya

bahkan, jika aku punya dua abad,
seratus tahun usiaku untuk menunggu
kuberi padamu. kau akan paham bahwa
menanti bukan menyiksa; bagiku adalah
pelangi di langit, keriangan sewaktu berdendang

sebab itu aku hibur setiap detik berjalan
dengan siul dan bernyanyi. dinding ruang ini
kunyalakan dengan lelampu, kupanggil penari
agar ia berdansa. seratus tahun hanya sepicing
mata. aku abadi dalam penantian. di kursi sendiri
dan meja yang terus saja sunyi

ayo! kau tertidur?
aku akan menunggumu, hatiku masih riang
tiangtiang waktu kubiarkan bergerak
langit malam berarak: putih kelam
dari kelam ke putih lagi

bukankah bulan padaku selalu sayang?
aku ditemani bukan sebagai pungguk
seorang lelaki yang menanti
kawan yang siang tadi telah janji
: ia jàdwalkan selepas magrib di suatu tempat
tiada seorang pun khianat

 

MIMPI ITU DATANG

ternyata mimpi itu datang
ia datang lagi, berulangulang
hampir ada niatku untuk membunuh:
kusiapkan parang yang sudah kuasah
berjamjam di malam jumat kliwon
aku berpikir, sapi besar dan garang
akan putus lehernya saat kusembelih
begitu pun mimpi; si kurus yang lehernya
mungil. akan meregang jika parang kutebaskan

mimpi yang datang ini lebih licin dari pencuri
kambuhan. lebih sigap dari seluruh hewan lincah
mimpi datang, diamdiam, karena memang tak
kuundang. berulangulang. datang lalu menghilang

sudah kusiapkan parang di sebelah kepalaku
di bawah bantal. tanganku selalu siaga dekat
parang. begitu datang, kepalanya hilang
(maksudku terpisah dari raganya)
cuma mimpi sebentar datang. ia tahu,
pikirku, nasib sialnya menanti. segera
ia lari
“kau tak akan lagi datang, takut ini parang,”
kataku. tersenyum. dalam tidur

kelak akan kudaur mimpi itu
seperti barangbarang bekas

 

PULANG

1

aku ingin pulang
ke rawa subur
di sana aku lahir
ibu mengasuh
ayah membasuh

dikelingi pepohonan
rawa subur seperti
kebun — kelapa, petai,
dan lainnya. sampai
jadi dusun berdepan
dengan dusun lain
: kebon jahe

aku mau pulang
ke rawa subur
tanah kelahiran
di sana dibesarkan
ibu memeluk
ayah menuntun
di kepalaku tumbuh
kotakota. ayah
mengisahkan
dari korankoran

kalau kelak aku
benarbenar tualang
tangan ayah menunjuk

jika kelak benarbenar
aku terbang ke kota lain
ibu yang memberi sayap

diikhlaskan aku merantau
kata ibu: “sampai terpukau
boleh kembali ke sini.”

2019-2020

 

2

aku ceritakan tentang
rawa subur

di salah satu tanah ini
aku dilahirkan. ibuku
bernama ratminah
perempuan dari
winduaji sindanglaut
cirebon. ia ummi — buta
huruf — tapi tak pernah
salah jika soal uang

ibu dinikahi ayah saat
usianya ranum, serupa
buah baru masak. ayahku
berdarah bengkulu,
namanya zakirin senet;
keduanya bertemu
di jakarta, saat keduanya
merantau di jakarta. kawin
dan satu anak lahir. memilih
rawa subur tanah datuk
dipenuhi pepohonan. ayah pun
jadi juragan tanah dan kebun
sampai semeter demi semeter
tanah di rawa subur jadi
milik orang. “ayahmu amat
perasa. ada yang datang
padanya numpang buat
gubuk di tanahnya diberi,
sampai bukan milik ayah
tanpa membeli…” ibu bercerita

seperti belanda, dari
menumpang lalu memiliki

dari semester akhirnya
puluhan meter dikuasai

“ayahmu hanya diam,
tiada mengusir orang.”

ayahmu berucap, kampung
ini mesti ramai agar hidup

“kita ditakdirkan berkelompok
maka lahirlah keluarga, rumah,
kemudian kampung. Tuhan
menciptakan manusia agar
saling mengenal satu sama
lainnya, jadilah wilayah,
kotakota, dan negara,” kata
ayah disampaikan ibu

rawa subur pun riuh
tiap waktu gemuruh
kereta api lewat
persis di depan rumahku

2020

 

KETIKA PUISI MENJADI TAMU
solilokui bersama agusri junaidi

ketika puisi menjadi tamu
di waktu malam atau siang
aku pun telah jadi penyair
ditulis dalam halaman buku
di laut disebut, di langit
dibenderangkan, di kotakota
aku dirayakan;
padamu aku dicium bertubi

lalu aku — puisi dan penyair — jadi
halaman di jalanjalan. jadi kekasih
di setiap lembar buku, panggung,
juga kotakota. berdua selalu
dalam tiap gambar yang kau kirim

di setiap baris puisi, orangorang
menduga sebuah percintaan
puisi dan penyair yang melahirkan
tanda (lambang) bagi semesta

nikmati mesra ini. masuk ke tubuh
puisi dan menetap dalam penyair;
bawalah ia jalanjalan

2021

 

HUJAN AKHIR TAHUN

/1/ Tanpa Air Mata

lalu hujan mengunjungiku
setiap hari — tiap waktu —
di akhir tahun; kausebut
desember kelabu, bulan
kelahiranku. lelaki dari
bebukitan batu. kelak pun
mati di perbukitan dekat
kota yang sudah lama mati

hujan selalu berkunjung
tiap waktu setiap hari
di bulan akhir tahun. air
membentuk anakanak sungai
mengalir lalu menenggelamkan
hunian + lahan + ladang. tanah
rawa…?

ada duka. tapi tanpa lagi
air mata. turut hanyut
dibawa banjir. seperti rumah
yang sendu. gigil. serupa
perahu yang karam

2020

 

/2/ Hujan Istirahat

bahkan hujan akan istirahat
meluruskan kakikakinya
menyimpan lelahnya di tanah
atau kesahnya diserap akar,
batubatu, juga di dalam rumah

maka ketika itu kita bergegas
tinggalkan hujan yang kesepian
terkubur di tanah, diserap akar,
batubatu, atau sembunyi di dalam
rumah penduduk

kini kita yang memburu ke jalan
mengeringkan dengan kakikaki
yang rindu perjalanan; mesra
di antara kotakota yang pernah
kita singgahi. dulu

sebelum datang hujan
atau kita berbasah oleh hujan

alangkah mesra…

2021

 

SEPASANG PUISI

sepasang puisi yang telah menjelma
jadi burung, kini makin tinggi
terbang. dikepaknya sayap menembus
kabut, gerimis, awan. ditinggalkan
reranting pepohonan, genting, tiang
listrik

— menciptakan penyair, melahirkan —

sepasang penyair telah menciptakan
perahu di tubuhnya. disusuri sungai,
muara, laut lepas. ke pulaupulau jauh
ke dermaga sunyi disandarkan

— menulis puisi lagi, menulis —

sejoli puisi, sepasang penyair. di rimba,
di laut, di awanawan dikepakkan sayapnya
menaburkan puisi di bumi sebagai benih
ribuan kasih dan cinta;

— dari paruhnya berdarah,
ada luka semesta —

2020/2021

 

Bagaimana Bisa
Kutinggalkan Ibu?

aku rumini, usia 28 tahun
asal desa candipuro
lumajang di kaki Semeru
namaku kemudian
tercatat di langit
dikenang di bumi

sejak anakanak, ustad
mengajarkan cintailah ibu
karena rasulullah menganjurkan
“cintai ibu melebihi dari
manusia di bumi ini.”

demikian, tiga kali kanjeng
nabi menyebut ibu ketika
ditanya siapa yang patut
dicintai di dunia ini? “lalu ayahmu!”

lelaki yang menikahi ibu
hingga menjadikan aku ada,
adalah orang yang keempat
untuk dicintai

jadi bagaimana bisa kutinggalkan
ibu sendiri, dengan tubuh
rapuh. tak lagi bisa berjalan
apalagi lari dari buruan lumpur pamas
yang disemburkan semeru?

meski berkalikali ibu menyuruhku
lari dari kematian ini
berulang ia tolak tanganku
memeluk untuk membawanya;
“ibu bahagia ada di rumah
ini, menjaganya,” seakan
ibu membisikkan itu di telingaku

aku menatap wajah ibu
ke dalam matanya yang
bening. di situ, ya Allah,
kukihat sajadah terbentang
hingga ke langit lengang
“begitu terang,” gumamku
dan jalanjalan terbuka
ke satu pintu: illahi

lalu kupeluk erat ibu,
wajahnya lekat di dadaku
dan kuciumi ibu berjuta
kali. tak kurasa lagi ketika
empasan lumpur panas
mendorongku dan ibu
ke dekat dapur. berpeluk
dan wajah kami berpupur
lumpur. legam

“tapi, kuyakin Tuhan
menerima kami bahagia;
tangan malaikat membopong
kami…” suara Rumini
kini kami dengar
dan mencatat:

perempuan indonesia,
menginspirasi setiap anak..

namaku rumini
hidup di candipuro
lumajang kaki semeru
kau saksikan aku mati
memeluk ibu amat kukasihi
erat sekali
ibu yang bernama salamah
tertimbun dan mutung
oleh lahar panas

2021

 

*Isbedy Stiawan ZS,lahir di Tanjungkarang, Lampung, dan sampai kini masih menetap di kota kelahirannya. Ia menulis puisi, cerpen, dan esai juga karya jurnalistik. Dipublikasikan di pelbagai media massa terbitan Jakarta dan daerah, seperti Kompas, Republika, Jawa Pos, Suara Merdeka, Pikiran Rakyat, Lampung Post, Media Indonesia, Tanjungpinang Pos, dan lain-lain.

Buku puisinya, Kini Aku Sudah Jadi Batu! masuk 5 besar Badan Pengembangan Bahasa Kemendikbud RI (2020), Tausiyah Ibu masuk 25 nomine Sayembara Buku Puisi 2020 Yayasan Hari Puisi Indonesia, dan Belok Kiri Jalan Terus ke Kota Tua dinobatkan sebagai 5 besar buku puisi pilihan Tempo (2020), dan Kau Kekasih Aku Kelasi (2021), Buku Tipis untuk Kematian (basabasi, 2021), Masih Ada Jalan Lain Menuju Rumahmu (Siger Publisher, 2021), dan Tersebutlah Kisah Perempuan yang Menyingkap Langit (Teras Budaya, 2021)

Buku-buku puisi Isbedy lainnya, ialah Menampar Angin, Aku Tandai Tahilalatmu, Kota Cahaya, Menuju Kota Lama (memenangi Buku Puisi Pilihan Hari Puisi Indonesia, tahun 2014): Di Alunalun Itu Ada Kalian, Kupukupu, dan Pelangi.

Kemudian sejumlah buku cerpennya, yakni Perempuan Sunyi, Dawai Kembali Berdenting, Seandainya Kau Jadi Ikan, Perempuan di Rumah Panggung, Kau Mau Mengajakku ke Mana Malam ini? (Basabasi, 2018), dan Aku Betina Kau Perempuan (basabasi, 2020).