Regenerasi Topeng Jabung, Tradisi Topeng Alusan Kaum Agraris

Oleh Muhammad Nasai

Jabung adalah sebuah pedesaan yang kian berkembang, letak geografisnya yang berada di lereng perbukitan Bromo menjadikan wilayah ini dikenal mempunyai banyak panorama keindahan alamnya, air terjun, sungai dengan aliran air jernih membelah perbukitan, menjadi satu daya tarik wisata modern saat ini. Jabung, mempunyai keelokan alam itu semua.

Lereng pegunungan menjadikan Jabung menjadi daerah yang sangat subur. Anugerah Tuhan akan Lahan tanah garapan hijau membentang, membuat masyarakatnya giat berprofesi sebagai petani.

Jabung sendiri adalah sebuah kecamatan di wilayah Kabupaten Malang yang letaknya disebelah timur tenggara dari Kota Malang. Kecamatan Jabung terdiri dari 15 desa yang letak keseluruhanya diperbukitan dan wilayah lembah-lembah di lereng barat gunung Bromo. Desa Sukolilo, Desa Kemantren, Desa Jabung, Desa Slamparejo, Desa Kemiri, Desa Pandansari, Desa Kenongo, Desa Ngadirejo, Desa Sidorejo, Desa Taji dan desa Sukopuro. Hampir semua desa memiliki bukit dan lembah dengan aliran air dari pegunungan Tengger. Kontur tanah yang subur dan cukup air, menjadikan wilayah Jabung sangat sejuk dan membentang persawahan yang luas.

Kehidupan manusia tidak akan pernah lepas dari kesenian dan budaya, semua tindak tanduk dan laku manusia dalam mengarungi kehidupan di dunia adalah seni itu sendiri. Ekpresi manusia dalam melihat dan menggambarkan alam menjadi satu bentuk kesenian yang akhirnya menjadi satu budaya yang mendapat apresiasi oleh kelompok manusia tersebut. Oleh karena itulah budaya dan kesenian di setiap daerah akan berbeda dengan daerah lainnya. Dalam kamus bahasa Indonesia, seni dijelaskan sebagai buah pikir, cipta, rasa dan kehendak manusia. Dan ini bisa dipahami bahwa seni tradisi adalah buah pikir leluhur dahulu dalam menciptakan suatu kesenian yang sangat erat dengan kehidupan mereka di masa lampau.

Kehidupan pedesaan dan masyarakat petani yang sangat dekat dengan alam menjadikan kesenian selalu lekat dengan kehidupan sehari hari dan alam itu sendiri. Jabung adalah desa yang dari dulu telah menyimpan dan menjaga seni Tradisi wayang topeng. Sejarah perkembangan seni wayang topeng di Jabung memang bila ditelusuri ke belakang akan mendapati peran sosok Punden Topeng dari Polowijen, Condro Suwono (Mbah Reni).

Hal ini dikarenakan ditahun 1910-an atau beberapa tahun sebelumnya, putra dari Mbah Reni yang bernama Beji, Mbah Beji lebih dikenal Beji Ruminten (karan anak), Mbah Ruminten pergi ke Jabung dan mengembangkan kesenian yang selalu membawakan cerita sastra Panji, Menak dan purwa ini. Penulis mempunyai anggapan awal Mbah Beji ke Jabung tak lain adalah nobong wayang Topeng (Ngamen), dahulu kesenian memang dibawakan oleh senimannya ke desa-desa yang sedang panen raya, dan disitulah kesenian dimainkan untuk menghibur masyarakat petani yang selesai beraktifitas di ladang maupun sawah.

Dan sejak itulah mbah Beji menemukan sosok buah hati di Jabung, dan akhirnya menikah serta mengembangkan kesenian wayang topeng di Jabung. Dari pernikahan ini Mbah Beji mempunyai anak yaitu Ruminten, Darso, Darsi, Mbok Suki, Darlan, Darlin dan Kangsen, dari ke delapan (8) putra Mbah Beji hanya tiga orang yang mewarisi kesenian Topeng yaitu Mbah Darso, Darsi dan Kangsen.

Dari kedelapan putra dari Mbah Beji ini semua mendukung keberlangsungan wayang topeng di Jabung. Meski yang paling menonjol dari delapan anak ini hanya tiga orang yang disebut diatas, namun semua ikut andil keberlangsungan topeng, sebut saja Ruminten, meski tidak menari dan mendalang tapi dirinya lebih fokus menjadi wiyogo tiap pagelaran wayang Jabung. Darlin, putra lain mbah Beji, lebih mendalami tatah ukir kulit dan dirinya yang membuat tekes atau irahan topeng Jabung, selain itu Darlin juga suka mengukir wayang kulit dan membuat topeng. ketika itu topeng jabung semakin terkenal, dan ditangan Rusman sang pengendang andalan kelompok itu, Grup Topeng Jabung diketuainya. Rusman tak lain adalah putra dari Ruminten. Rusman lebih dikenal dengan sebutan Kik Tir (karan anak), anaknya bernama Tirtonoto.

Berdasar penelitian yang ditulis oleh A. Munardi. BA dalam bukunnya “Dramatari Topeng Jabung” tahun 1975 menerangkan bahwa Kik Tir atau Pak Rusman mulai memimpin grup wayang Topeng Jabung dari tahun 1915 hingga tahun 1958. Sepeninggal Pak Rusman tampuk kepemimpinan Topeng Jabung dipikul oleh Kangsen. Dari kedelapan putra Mbah Beji ini mempunyai andil sendiri sesuai kemampuan dan keahlian masing masing yang dicurahkan kepada wayang Topeng Jabung. Lambat laun Topeng Jabung mulai ramai dan dikenal banyak kalangan. Ditangan Kangsen kesenian ini mulai banyak di kenal oleh banyak orang, terutama dilingkup pemerintahan, hal ini tak lain karena Kangsen juga merupakan kepala desa di Jabung. Sebagai seorang pemimpin desa dirinya juga mengemban seni Topeng dari Polowijen yang turun temurun di ajarkan dari Mbah Beji. Jauh sebelum Kangsen menjadi lurah, seni topeng di Jabung, telah mampu mengenalkan desa Jabung ke beberapa daerah di sekitarnya dengan adanya kesenian wayang Topeng Jabung.

Mbah Samud, tokoh perekat (Raket) seniman Topeng Brang Wetan

Dengan keberadaan seni wayang Topeng Jabung, secara tidak langsung menjadikan daerah disekitar Jabung juga mulai mengenal dan mengembangkan kesenian ini, karena banyak pemain atau penari topeng Jabung yang berasal dari luar Jabung. Mereka belajar dan nyantrik topeng di Jabung, salah satu contohnya adalah desa Duwet, Gubugklakah dan daerah lain yang berada di lereng bromo ini. Para sepuh dan pemangku topeng daerah ini tak lain dahulunya adalah murid atau anak wayang Topeng Jabung. Setelah dirasa mampu, mereka pulang ke daerahnya dan mulai membangun grup wayang topeng di desanya.

Geliat kesenian Wayang Topeng Jabung semakin berkibar dan mulai menyerabah ketika topeng Jabung dibantu oleh Mbah Samud. Mbah Samud yang kelahiran Kebonsari, Pakis, juga merupakan generasi Topeng Pucangsongo, Grup Topeng yang pernah terdokumentasi dalam tulisan Sejarahwan dan peneliti Belanda, Pegoet. Mbah Samud mulai intens melatih tari di Jabung, dengan tidur di kediaman Kangsen. Sosok Mbah Samud sangat besar perannya dalam mengembangkan dan membesarkan seni tradisi Wayang Topeng di Jabung serta daerah sekitarnya. Dengan stay dan menetap di Jabung memudahkan Mbah Samud dalam melatih tari anak-anak wayang Topeng Jabung.

Foto : Muhammad Nasai

Mbah Samud sendiri tak lain dikenal sebagai penari yang andal dalam membawakan tarian Gunung Sari dan Potrojoyo. Beberapa orang tua di Jabung yang dahulu mengenal sosok Mbah Samud selalu menceritakan bila mana Mbah Samud menari Gunung Sari tidak ada yang mampu menyaingi keluesan dan kegagahan tariannya. Dan beberapa sepuh Topeng Jabung mengatakan bahwa kisah cerita Gunung Sari Kembar, muncul awal kali di Jabung, dan itu ketika Mbah Samud melatih tari Gunung sari Mbah Jumain langsung di Panggung.

Dengan itu masyarakat penonton dan pendukung Topeng Jabung yang saat itu hadir akhirnya menasbihkan kemunculan Tarian Gunung Sari yang diperankan Mbah Samud dan Pak Jumain kala itu sebagai cerita Gunung sari Kembar. Sejak itu, lakon Gunung Sari Kembar kerap dimainkan di Jabung, yang sekaligus kesempatan Mbah Samud melatih Pak Jumain lagsung di panggung atau saat gebyak Topeng Jabung berlangsung.

Foto: Muhammad Nasai

Penulis sangat minim data tentang sosok Mbah Samud ini, hanya berdasarkan cerita tutur dari beberapa murid atau orang tua di Jabung yang dahulu pernah satu generasi dengan Mbah Samud. Berdasarkan cerita mereka tentang Mbah Samud, penulis banyak mendengar tentang sepak terjang Mbah Samud. Perkembangan seni Topeng di wilayah Jabung terutama tlatah timur Malang sangat bergantung pada peran Mbah Samud. Berperawakan besar, tegab, selalu mengenakan sarung dan mbah samud juga dikenal kemayu (waria). Meskipun sosoknya sebagai waria namun semua murid tarinya sangat segan dan taklim pada sosok gemulai namun tegas itu.

Dengan militan Mbah Samud selalu berpindah-pindah dan menginap di desa-desa wilayah pegunungan dalam mengajarkan tari Topeng di tempat yang dirinya singgahi. Beberapa desa yang pernah dilatih tari oleh Mbah Samud antara lain Jabung, Nduwet, Gubugklakah, Tumpang, Glagahdowo, Banjarsari, Jambesari dan masih banyak lagi.

Mbah Samud yang merupakan seorang petani ini mahir dan memang mempunyai kemampuan mengajar tari, dan hingga kini jasa-jasanya terus di kenang oleh banyak sepuh Topeng yang dahulu pernah mendapat pengajaran olehnya. Ada satu kebanggan bisa menjadi murid dari Mbah Samud, Mbah Samud meninggal ditahun 1974 karena sakit.

Ditahun 1971 dengan hadirnya tim Dewan Kesenian Surabaya yang datang ke Jabung, yang awalnya memang mencari kesenian “kuno” terkagum-kagum dengan adanya seni Wayang Topeng Jabung. Akhirnya sejak itu A. Munardi. BA dan beberapa tim dari Dewan Kesenian Surabaya mulai meneliti kesenian ini.

Foto: Muhammad Nasai

Munardi yang kala itu sebagai Proyek Officer Tari di Dewan Kesenian Surabaya akhirnya mengadakan penjajagan dan penelitian, 26 mei 1972 rombongan Wayang Topeng Jabung diminta mengadakan gebyakan di Jabung, dan saat itu tim DKS mendokumentasi serta meneliti, selain itu DKS juga mengundang beberapa wartawan untuk mengabarkan keberadaan sendra tari Kuno yang berada di Jabung. Kesenian teater tradisi  Topeng yang masih kedapatan lengkap, jangkep dan orisinil.

Banyak orang terkagum, termasuk media yang waktu itu hadir dan mendampingi Dewan kesenian Surabaya dalam penelitian. Teman-teman pers pun yang juga mempopulerkan penggunaan nama “Topeng Jabung” saat itu. Sejak itulah beberapa istilah Topeng Jabung populer di masyarakat media dan akademisi terutama Dewan Kesenian Surabaya dan Malang.

Foto: Muhammad Nasai

Meskipun Topeng Jabung telah lebih satu abad namun data dan dokumentasi tentang riwayat Topeng Jabung sangatlah minim. Hanya ada beberapa tulisan yang mengupas sedikit tentang Topeng Jabung. Salah satu diantaranya adalah artikel dari pengamatan Pigued ditahun 1930-an yang menceritakan keberadaan Topeng Jabung, Onghokham (budayawan), Munardi ( Dewan Kesenian Surabaya 1972), dan beberapa artikel koran yang mengupas tentang  Topeng Jabung di tahun 1980-an. Selain itu, tulisan hasil wawancara beberapa sepuh Topeng Jabung selama bergiat dalam kesenian Topeng ini.

Meskipun minim literasi tentang Topeng Jabung, Semoga tidak menyurutkan niat dan tekat penerus Topeng di Jabung terus mengembangkan dan menguri-uri warisan tradisi ini. Dan menjadikan kebesaran nama Topeng Jabung sebagai cemeti semangat untuk terus berkarya oleh generasi Topeng Jabung saat ini.

Menurut para sepuh kesenian wayang Topeng yang saat ini selalu diuri-uri oleh kalangan rakyat jelata ini, di masa lalu merupakan kesenian para raja dan bangsawan. Dalam kitab Negarakartagama yang ditulis Slamet Mulyono sebagai tafsir sejarah; “Bahwa pertunjukan topeng menjadi kegemaran kaum bangsawan dan dipagelarkan di kalangan istana” (Slamet Mulyono Nagarakertagama dan tafsir sejarahnya tahun 1979).

Topeng Jabung pecah menjadi dua.

Topeng Jabung semakin dikenal oleh kalangan masyarakat luas, kehadiran Tim Dewan Kesenian Surabaya dan Dewan Kesenian Malang yang mulai meneliti dan mendampingi grup Topeng Jabung menjadikan Topeng Jabung seakan menjadi kesenian primadona di waktu itu. Berdasarkan wawancara para sepuh Topeng Jabung, kala itu hampir tidak ada putusnya dalam sebulan yang namanya Tanggapan. Atau beberapa seniman tarinya juga sering mendapat undangan menari di hotel-hotel atau dalam acara seremonial di kabupaten yang di bawa oleh orang-orang dari DKS.

Meskipun begitu, dalam kurun waktu tahun 1980-an kepala Desa Jabung, Kangsen yang juga sebagai tetua grup Topeng Jabung, menolak niatan DKS untuk menggarap Topeng Jabung. Dan sejak itulah berangsur-angsur para penggiat dari DKS berpindah ke Pakisaji dan mulai mengembangkan Topeng Pakisaji. Hal ini dikarenakan mereka kecewa oleh peryataan sikap Kangsen yang kekeh mempertahankan keorisinilan Topeng Jabung.

Meski mulai ditinggalkan oleh para penggiat dan peneliti kesenian dari Lembaga pendidikan dan DKS. Grup Topeng Jabung masih tidak ada jeda dalam tanggapan. Hampir dalam waktu sebulan penuh jadwal gebyak, yang menuntut para pemain tidak pernah pulang.

Foto: Muhammad Nasai

Dengan padatnya tanggapan, para pemain Topeng sampai tidak tahu kabar perkembangan di kampungnya, ada kejadian saat Topeng Jabung main di Gubuk Klakah, salah satu kerabat yaitu mbah

Mengenai perkembangan Topeng Jabung yang sejak sepeninggal Kangsen, Topeng Jabung seakan kehilangan induk dan terbagi menjadi dua grup Topeng. Terbaginya grup topeng jabung menjadi dua grup ini lantaran disatu sisi di tahun setelah Kangsen meninggal geliat Wayang Topeng Jabung bisa dikatakan ramai tanggapan, dan yang kedua adalah alasan beberapa seniman yang awalnya kurang nyaman selama ikut dalam managemen Pak Kangsen, akhirnya membuat grup topeng sendiri.

Grup Topeng Wirobakti diketuai oleh Suparjo putra dari Darlin yang dirawat oleh Kangsen, dan Grup Topeng Darmo Langgeng diketuai oleh Misdi. Sejak inilah topeng jabung semakin mengepakan sayapnya, dengan dua grup topeng di Jabung ini menambah semakin luas dan jauh nama jabung dikenal. Ditahun 1980-an dewan kesenian dan Wilwatikta mencoba mengembangkan seni Topeng Jabung dan mulai mengenalkan ke ranah pendidikan. Dan inilah yang menjadikan sosok petani seperti Misdi, Kari, Jumain dan banyak penari yang kesehariannya bertani bisa menginjakan kaki di tempat-tempat terhormat. Kantor gubenuran, Hotel-hotel berbintang, Taman Mini Indonesia dan banyak tempat lain yang mereka singgahi untuk menari topeng.

Topeng membuat mereka menjadi sosok yang dipuja, topeng menjadikan mereka istimewa, topeng menjadikan mereka lebih tinggi derajatnya dihadapan banyak orang. Lambat laun seni topeng jabung berkembang dan dikenal hingga ke tingkat pusat. Ditahun 1980-90-an Topeng Jabung seakan diatas puncak kejayaannya, meski dengan dua grup topeng namun semua penuh dengan tanggapan. Parjo dan Misdi menjadi sepuh topeng yang paling sering diundang dalam berbagai kegiatan, lomba ataupun sebagai pemateri. Bahkan Misdi yang notabene tidak lulus sekolah dasar bisa menjadi dosen istimewa di SMKI Surabaya. Hal ini penulis membahasakan sebagai bentuk apresiasi dan penghargaan dunia pendidikan khususnya SMKI Surabaya kepada pelaku dan penari topeng Jabung (Malang).

Mereka semua menuai kebaikan dari perjuangan dalam terus memegang seni leluhurnya, seni nan indah pujaan para raja. Perjalanan hidup memang tidak terus menerus diputaran atas, ada kalanya terjerembab di bawah. Sama halnya denga topeng Jabung, setelah era keemasan ditahun 1990-an topeng jabung mulai tenggelam, dengan banyaknya seniman sepuhnya yang meninggal dan problematika di dalam grup topeng itu sendiri.

Sepinya tanggapan juga menjadi satu alasan kesenian ini mulai sayup sayup tidak terdengar. Dan tim Dewan Kesenian Surabaya serta beberapa instansi akademisi ditahun itu juga sudah mulai fokus dalam pengembangan Topeng di Kedungmonggo, Pakisaji. Topeng Jabung sedikit banyak agak kurang di perhatikan, hanya sesekali atau beberapa senimannya yang diundang di hadirkan ke beberapa kegiatan DKS.

Tahun 1990-an Topeng Jabung masih greget dan bergiat, meskipun Kangsen telah meninggal, ditangan Mbah Giran, Suparjo dan Misdi serta seniman sepuh lainnya Topeng Jabung hingga kini masih bisa dirasakan dan dilihat serta pelajari.

Tiga tahun ini, di Jabung terasa kuat aura kebangkitan Topeng Jabung. Generasi mudanya mulai mencari dan mulai mempelajari kesenian yang telah membawa nama Jabung di kenal seantero negeri. Generasi muda Jabung mencoba membawa Topeng Jabung ke permukaan setelah sekian lama tak berkegiatan dan fakum. Hal ini lantaran banyak sepuh Topeng Jabung yang telah berpulang, dan sejak tahun 1990-an kurang bisa teregenerasi, hingga menyebabkan Topeng Jabung tidak banyak muncul di belantara seni Topeng Malang.

Tahun 2015 menjadi satu pembuka tumbuh kembangnya kembali seni tradisi Topeng Jabung, banyak anak muda yang mulai mencari dan mempelajari seni tradisi asli daerah agraris ini. Pergerakan anak-anak muda ini adalah pergerakan Gubuk Baca dan literasi, yang awalnya banyak bergiat di sisi letarasi mulai mempelajari seni tradisi. Banyak penggerak-penggerak gubuk baca yang mulai konsen di wilayah budaya tradisi. Para penggerak gubuk  baca Jabung ini akhirnya mulai belajar seni tradisi Topeng kepada sesepuh Topeng di Jabung. Mereka menamai diri sebagai Pasukan Gunung Sari, para penggerak gubuk yang tergabung di Pasukan Gunung Sari ini berjumlah sekitar 10 orang, Lyhonk, Fikri, Abit, Menyeng, Roni, Cipel, dan lainnya, rutin berlatih tari Topeng Jabung kepada alm Mbah Parjo.

Mbah Parjo yang meninggal pada 28 Februari 2020 ini merupakan tokoh Topeng Jabung yang masih canggah dari Mbah Reni Polowijen, dan Pasukan Gunung sari menuntut ilmu  tari pada beliau. Gunung Sari merupakan nama salah satu tokoh dalam wayang Topeng Malang, dan ternyata inspirasi penamaan Pasukan Gunung Sari memang dari nama tokoh ini. Mengapa pasukan gunung sari menjadi nama grup penggerak gubuk baca Jabung yang berlatih Topeng Jabung ini. Nama ini di ambil karena saat pertama berlatih tari kepada Mbah Suparjo, teman-teman penggerak Gubuk Baca ini diajari tokoh Gunung Sari. Inilah awal penamaan grup pasukan Gunung Sari yang hingga saat ini terus mempelajari dan uri-uri Topeng Jabung di wilayahnya.

Berbagai strategi para pergerakan literasi Gubuk Baca ini dalam uri-uri dan menularkan Topeng Jabung kepada anak-anak muda di Jabung. Komunitas Sanggar Baca Lentera Negeri (Gubuk Baca) yang di komandoi Gus Icroel secara progresif dan masif mengenalkan Topeng Jabung di masyakat akar rumput Jabung. Ide atau konsep dari Gus Icroel menjadi satu strategi teman-teman Pasukan Gunung Sari terus bergerak dalam pengabaran dan pembelajaran Topeng Jabung ke segala lini. Dari konsep Gebyak latar, yang mana berlatih pagelaran Wayang Topeng Jabung di halaman-halaman rumah dan secara berpindah-pindah desa menjadi satu strategi yang efektif.

Dari gebyak latar ini, warga semakin mengenal dan mencintai Topeng Jabung, hal ini terbukti dari banyaknya permintaan warga untuk di tempati pasukan Gunung Sari berlatih dan melakonkan wayang Topeng Jabung. Selain itu, dari gebyak latar ini mulai muncul regenerasi dan banyak seniman yang ikut bergabung tiap di adakan gebyak latar secara perpindah-pindah desa. Hingga kini regenerasi Topeng Jabung semakin kuat, dan yang menggembirakan, regenerasi Topeng di Jabung semakin lengkap (Jangkep) di mulai regenerasi penari, sinden, dalang hingga pengrawit yang semua anak-anak muda. Dan yang paling membungah hati seniman sepuh Topeng Jabung tak lain mulai bermunculan penerus-penerus Sungging Topeng di tlatah Jabung. Muhammad Sugeng, Sahroni, Fikri, Andik dan banyak lagi teman-teman dari komunitas ini yang kini mampu menyungging apik Topeng-Topeng Jabung. Mungkin, inilah buah dari doa-doa tulus sesepuh Topeng Jabung yang banyak berpulang dahulu yang mana di ujung umurnya tidak melihat anak-anak muda Jabung berlatih Topeng Jabung, dan hari ini Jabung mempunyai regenerasi Topeng yang aktif dan lengkap.

 

*Penulis adalah penggerak budaya di Jawa Timur.