Sajak-Sajak Wirja Taufan

Setiap Waktu

Setiap waktu. Gelombang putih muncul
membawa kenangan. Dari kejauhan pelabuhanku
Badai memeluk kerinduanku
Mencium dedaunan, bunga dan rumput lautku
Hari-hari menetes tanpa sajak

Setiap waktu. Aroma laut asinku
Memberiku tetes asin garam, membangkitkan
harapanku. Berlayar melalui gelombang rapuh
Menembus celah-celah jiwaku

Setiap waktu. Aku masih menunggumu di sini
sebagai pantai. Menyalakan lampu-lampu
yang terbuat dari mimpi. Karang laut memantulkan
bayanganmu. Tanpa sayap, aroma dan kata-kata
Memeluk kerinduanku

Setiap waktu. Tanganku tenggelam dalam lukaku
Bersama nyanyian batu, ganggang, ular air
dan burung-burung mencium gelombang
Menghangatkan waktu dan hidupku

Medan, 2020

 

Aku Berlari Di Balik Mimpiku

Aku beralari di balik mimpiku
Suara udara menembus kuping dan dadaku
Menusuk dengan kerinduan yang dalam

Di lautku, tetesan hujan gemetar di bawah
ciuman karang merah muda. Membasahi kata-kata
puisi-puisiku, membentuk airmatamu
Menetes seperti embun yang menetes

Aku berlari di balik mimpiku
Mencari belaian dan pelukan
Kenangan yang terlipat bersama waktu

Medan, 2020

 

Sampai Tidak Ada Lagi Pandemi Di Bumi

Ada bunga berdarah di dadaku
Membanjiri hari-hari pelukanku
Masuk ke celah-celah lubang jiwaku

Tak ada apa-apa, kecuali jiwaku dalam sajak
Terbungkus bayangan dan banyak luka
Memeluk jiwaku, memeluk semangatku

Mari lari untuk tidak mati tanpa warna, katamu
dengan gema tanpa suara. Menyusun vokal dan konsonan
dalam satu alpabet, dalam sajak-sajak
Cinta dan kebenaran

Semua orang harus bangkit, semua orang harus bisa
membuka pintu dan jendela-jendela mereka
Dimana jiwa kita bersatu dalam api matahari
Bersama-sama melangkah membangun kehidupan baru
dari kematian tanpa warna

Mari buka dada kita untuk bersama menyalakan jiwa
Membangun energi ribuan cahaya
Planet-planet jiwa yang terbuat dari asteroid dan komet
Mengiringi langkah ke depan
Sampai tidak ada lagi pandemi di bumi

Medan, 2020

 

Di Hutan Insomniaku

Di hutan insomniaku
Aku berharap tidak menjadi sesuatu yang singkat
Memeluk impianku yang basah
Menjauhkan kematianku

Ada yang bergerak dalam bayangan
Dimana udara dipenuhi sirene ambulan
Orang-orang berlari meninggalkan detak jantungnya
Mengumumkan kematianmu

Di hutan insomniaku
Aku berlayar di kapal yang terluka
Seperti hutan tanpa burung, tanpa pohon-pohon
Keheningan memeluk teriakan lukaku

Aku bangkit. Kematian memberiku kehidupan
Menyeberangi hari-hariku dengan sebuah ciuman
Menyalakan mataku
Menyalakan pohon dan bunga-bunga

Medan, 2020

 

Menangislah Untuk Cinta

Aku berjalan dengan kaki telanjang
Di bawah keheningan bayang-bayang
Membangunkan mimpi dari malam-malam
yang kosong. Tetes airmata yang terbakar
dan berdarah

Aku harus sampai ke jantungmu. Ke jantung
semua orang. Menyalakan kembali ribuan pelangi
dari kuburnya yang berlubang
Memberikan udara segar untuk bernafas
Langkah-langkah kita adalah tarian
di gelombang laut kita

Berjalan. Langkah-langkah kita kembali
berjalan. Sepanjang pagi dan malam yang kau tunggu
Sebuah jam yang telah mati
Menuliskan kata-kata di langit dan udara yang terbuka
Bahwa kita masih terus hidup
Dengan pelukan dan ciuman mimpi anak-anak kita
Kebesaran sejarah mereka
Dari kehidupan dan kematian yang berulang
Beribu-ribu waktu

Menangislah untuk cinta. Seribu pelukan
dan ciuman persaudaraan kita
Tanpa kebencian atau balas dendam
Meski hujan dan kabut di matamu

Padang, 2018

 

Supernova Barus

Pagi membangunkanku di halaman hutan
pohon-pohon kampar. Mengubah suara hujan
menjadi irama puisiku. Membangkitkan esensi jiwa
seribu kata-kata

Kata-kata meleleh dalam detak jantungku. Pohon-pohon
kampar memancarkan atom. Sayapnya terbuat dari puisi
Bangkit dari situs dan prasastimu. Menyalakan jam
Untuk mengikuti waktu

Barus tak akan pernah mati. Walau mereka menguburmu
Berabad abad. Terkubur dalam darah alam semesta
Meninggalkan kata-kata, bahasa dan jejak kaki
Jam waktu dan riwayat kehidupan

Mereka bilang tidak. Tapi aku katakan bahasa
menetas di sini. Mereka hanya membaca Barus dalam bahasa
milineal. Tanpa merasakan aroma dokumen
dan buku catatan. Tanpa masuk ke dalam situs dan prasastimu
yang penuh kata-kata yang terbuat dari kupu-kupu

aku tawarkan sekarang kepadamu: “riwayat yang mati
terkubur, atau masa depan yang tetap mengapung”

Aku berharap seperti bunga dan kupu-kupu
Melihatmu setiap waktu dalam pelukan sajak-sajak
Pohon-pohon kampar yang menuangkan akarnya
Setiap pagi kepadaku

Hari ini matahari memberikan cahayanya
ke dalam kegelapan bayang-bayang. Semua dimensi
mengepakkan sayap dan jiwa
Membuat supernova di jari-jariku
Melahirkan gelombang dari tubuh kata-kata
Menulis ulang riwayat dan kehidupan

Medaan, 2020

 

Aku Berharap Menulis Riwayatmu Kembali

Waktu berjalan dalam keinginan detak jantungmu
Pohon-pohon Kampar memelukku. Menyalakan jiwaku
dengan tatapanmu. Dari laut ke hutan pohon-pohon
Mencium langit yang terbuat dari bunga dan daun-daun

Sidik jariku terus berjalan. Memasuki situs
dan prasastimu. Mengeja kata-kata yang terkubur
berabad-abad. Jejak yang ditinggalkan ciuman
Membungkam dalam kabut

Buku-buku meremas jiwaku. Kata-kata mengingatkanku
Bahwa sejarah terkubur di tengah matahari dan hujan

Aku berharap menulis riwayatmu kembali. Menulis sajakku
di sel-sel kapur barusmu. Membangkitkan suara-suara
dalam diam. Memancarkan ribuan pelangi dari situs
dan prasastimu

Medan, 2020

 

Tak Ada Yang Bisa Menggantikanmu

Aku tetap berdiri di sini. Di tanah airku
Tanpa keraguan, atau was was
Kebenaran mengalir dari darah dan tulang-tulang
Tahun ke tahun sampai abad ke abad

Tak ada yang bisa menggantikanmu
5 sila yang diwariskan para leluhur. Menyalakan atomku
Dengan ribuan bunga hijau memeluk sajak-sajakku
Mencapai neptunus, mencapai planet lainnya

Aku terus tulis di udara terbuka, ribuan sajak
untukmu. Di bawahnya, gelombang bernyanyi
Untuk kebersamaan dan kedamaian
Pelukan tangan-tangan yang memeluk jiwa

Tak ada yang bisa menggantikanmu
Cakrawala laut membentengi jiwaku
Di bawah matahari di bawah sayap kupu-kupu
Alam semestaku mencium sidik jari leluhurku
Memancangkan 5 sila warisannya
Di sini, di dadaku yang terbuka

Medan, 2020

 

Bumi

Hujan menjadi api di bumi
Jalan dan gedung-gedung saling berpelukan
Gelombang sampah membawa kecemasan laut
Menuangkan pagi untuk bumi
Aromanya menembus dadaku

Medan, 2020

 

Wirja Taufan, tercatat dalam buku LEKSIKON SUSASTRA INDONESIA oleh Korrie Layun Rampan (Balai Pustaka, 2000), APA DAN SIAPA PENYAIR INDONESIA (Hari Puisi Indonesia 2017 dan 2018) dan dalam buku JEJAK KREATIF 100 SENIMAN SASTRAWAN SUMATERA UTARA (Fosad, Mei 2018). Lahir di Medan, 15 September 1961, dengan nama Suryadi Firdaus.

Mulai menulis sejak 1980 di berbagai surat kabar lokal dan nasional, majalah sastra Horison, dan dalam blog website International Writer Association (IWA) Bogdani dan International Forum for Creativity and Honored (IFCH) dalam terjemahan bahasa Inggris.

Puisi-puisinya juga banyak dimuat dalam antologi puisi bersama dan sebagian telah diterjemahkan ke dalam bahasa Spanyol, Inggris, Uzbekistan dan Bangla, antara lain untuk antologi puisi bersama AMOR EN PRIMAVERA (Amazon, 2020), ANTHOLOGY OF LOVE IN SPRING (Amazon, 2020), STRIVING FOR SURVIVAL (Our Poetry Archive Anthology of Poetry 2020), THE THIRD ANTHOLOGY OF WORLD GOGYOSHI (Amazon, Januari 2021), majalah sastra khusus puisi AZAHAR, Spanyol, surat kabar KITOB DUNYOSI, Uzbekistan, surat kabar harian ASIA BANI, Bangladesh dan NBM BANGLA TV, Bangladesh.

Tahun 1984 menerima Hadiah Kreatifitas Sastra Bidang Puisi dari Dewan Kesenian Medan (DKM). Buku puisi terbarunya ‘Bunga, Kupu-kupu, Mimpi dan Kerinduan’ (Imaji Indonesia, Juni 2020).