Puisi-Puisi Akhmad Sekhu

Memo Kecemasan untuk Ronggowarsito

Berkas-berkas kertas kini hanya bertuliskan cemas
Anak-anak sudah tak lagi bebas pergi ke sekolah
Tak ada lagi belajar, semua tenggelam permainan layar
Curahan hati orangtua didedahkan pada media sosial
Tak ada lagi komunikasi, semua asyik sibuk sendiri
Jurang-jurang kesenjangan semakin lebar menganga
Memperlihatkan kengerian jiwa penuh keterasingan

Rumah-rumah menutup pintu-jendela begitu gelisah
Tak ada lagi kehangatan keluarga, semua sangat resah
Memandang masa depan makin muram penuh tanda tanya
Tak ada lagi tegur sapa, semua hanya bicara di dunia maya
Begitu menutup layar baru terasa kehidupan sangat ambyar

Inikah zaman kalabendu yang telah kau ramalkan sejak dulu
Begitu terasa sangat lara betapa kesengsaraannya tiada tara
Zaman yang tampak semakin edan dengan tindak kejahatan
Perilaku di luar nalar sudah menjadi peristiwa kelaziman
Perang urat syaraf sudah semakin membuat kram otak
Tak ada lagi kemanusiaan, semua melebihi ekspetasi kasihan
Kita harus bagaimana lagi untuk menghadapi cuaca buruk
Tak ada lagi ketenangan, Pandemi Covid-19 ini di luar prediksi
Keadaan sudah sedemikian parah untuk dinamakan lumrah

Pengadegan, Pancoran, Jakartra Selatan, 18 Maret 2020

 

Scene Luar Layar

Akhirnya, aku dengar juga suaranya sampai luar layar
Lebih merdu dari lagu, meski ia tidak sedang menyanyi

Jarak bioskop dengan kehidupan nyata begitu panjang
Aku tak tahu sudah berapa adegan disajikan, tapi yang pasti
Kita selalu perhatikan adegannya penuh pesona primadona

Decak kagum selalu muncul, betapa memang tak terelakkan

Dari jauh sudah terdengar gemuruh orang-orang mengelu-elukan
Suaranya dari luar layar langsung disambut penuh ingar-bingar
Orang-orang bersorak menyebut namanya begitu sangat sensasional

Jarak fiksi dengan kenyataan begitu sangat dekat, seperti sahabat
Aku tak tahu sudah berapa bercakap-cakap mengekalkan keakraban

Akhirnya, ya akhirnya, meski aku tak ingin dengar terakhir
Suaranya sampai luar layar menjadi getar rasa tak terkatakan
Sampai wawancara usai, dan ia pergi menjadi berita istimewa

Pengadegan, Pancoran, Jakarta Selatan, 2020

 

Scene Kopi Pahit

: in memoriam Iman Budhi Santosa

Kita pendam diam-diam pahitnya kehidupan, kopi yang teraduk
Menyerap hakekat perjuangan, mengecup pasang-surutnya hidup
Betapa pahitnya kopi menjadi pengalaman hidup untuk kita reguk

Kita aduk kopi berulang kali dalam persenyawaan kenikmatan
Seiring imajiner percakapan kita yang guyub tak berkesudahan
Mendedahkan permasalahan yang membuat kita tetap semangat
Berjuang, jangan pernah menyerah, betapa pengalaman hidup
Seperti kopi pahit, tiada henti kita selalu semangat berusaha
Seiring takdir bergulir karena ujian Tuhan tanda sayang pada kita
Hingga mengangkat harkat kita ke taraf hidup yang lebih tinggi

Kita pendam diam-diam pahitnya kehidupan, kopi yang teraduk
Hikmat prosesi menghayati suka dan duka dalam kehidupan kita
Pasrah pada kenyataan, karena roda kehidupan terus berputar
Mari kita terus reguk kopi, yang pahitnya matangkan perenungan
Seiring denyut hakekat laku bathin kita yang terus berlanjut

Yogyakarta-Jakarta, 2020

 

*Akhmad Sekhu lahir 27 Mei 1971 di desa Jatibogor, Suradadi, Tegal, Jawa Tengah. Kini bekerja sebagai wartawan di Jakarta. Menulis puisi, cerpen, novel, esai sastra-budaya, resensi buku, artikel arsitektur-kota, kupasan film, telaah tentang televisi di berbagai media massa daerah maupun pusat. Memenangkan Lomba Cipta Puisi Perguruan Tinggi se-Yogyakarta (1999). Puisinya telah tersebar di berbagai buku antologi bersama. Buku puisi tunggalnya; Penyeberangan ke Masa Depan (1997), Cakrawala Menjelang (2000), Golden Scene (manuskrip buku puisi tunggal untuk menandai umur 50 tahun). Kumpulan cerpen Semangat Orang-orang Jempolan (siap terbit). Novelnya: Jejak Gelisah (2005), Chemistry (2018), Pocinta (siap terbit)