Foto Bukit Khulutiyauw di Papua

Situs Megalitik Khulutiyauw Sentani Papua

Arekolog Hari-Suroto

Hari-Suroto (Sumber Foto: www.goodnewsfromindonesia.id)

Pendahuluan

Situs arkeologi dapat diartikan sebagai suatu bidang lahan yang mengandung tinggalan arkeologi (Hole dan Heizer, 1973; Sharer dan Ashmore, 1979: 68-100).  Tinggalan arkeologi tersebut, baik yang dapat ditemukan di permukaan atau di dalam tanah atau pun yang tidak utuh atau utuh, dijadikan petunjuk atau bahkan bukti bahwa di tempat ini suatu komunitas pada masa lalu pernah melakukan kegiatan tertentu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (Mundardjito, 2002: 34).

Secara umum, situs-situs arkeologi dapat diklasifikasi menjadi dua tipe,  yaitu stratified sites dan surface sites. Stratified sites adalah situs-situs yang  secara geologik berada dalam konteks langsung, sedang surface sites adalah situs situs yang berada di atas permukaan tanah, tanpa konteks geologik. Kedua tipe  situs ini dapat diklasifikasi dalam berbagai cara. Berdasarkan fungsi dan jenis aktivitasnya, situs-situs arkeologi dapat dibedakan menjadi: situs hunian, situs  perdagangan, situs penambangan, situs penguburan, situs seremonial dan situs  perbengkelan (Hole dan Heizer, 1973; Sharer dan Ashmore, 1979: 68-100).   

Menurut Martin Heidegger dikutip oleh Salam (1988:29), dalam hubungan kesadaran manusia tentang eksistensinya, terdapat tiga buah jenis eksistensi manusia, yaitu a. eksistensi kultural yang merupakan kesadaran manusia bahwa untuk tetap lestari dalam hidup dan menaklukan alam ini, yang merupakan landasan pokok terciptanya kebudayaan manusia, b. eksistensi sosial adalah kesadaran manusia bahwa dalam hidup dan kehidupannya di dunia ini, manusia itu serba terhubung dengan manusia lain, manusia saling tergantung dengan sesamanya, yang merupakan dasar hakiki timbulnya masyarakat, c. eksistensi religius adalah kesadaran manusia tentang keterhubungannya sebagai makhluk dengan penciptanya, yaitu Tuhan Yang Maha Esa, sebagai sumber adanya agama.

Pada masa prasejarah, posisi Indonesia yang strategis dan terbuka dari segala sisi mengakibatkan gelombang migrasi pembawa budaya megalitik dapat masuk ke kawasan ini dari berbagai tempat. Munculnya kekayaan dan keragaman megalit tidak akan terlepas dari keterkaitan dengan kawasan-kawasan yang ada di sekitarnya. Untuk itu dalam konsep penulisan megalitik Indonesia perlu mengamati fenomena perkembangan yang terjadi secara kontekstual dalam kaitannya dengan perkembangan kawasan (Prasetyo, 2015: 21).

Masyarakat megalitik Kepulauan Indonesia menempati relung-relung ekologi yang khas serta beranekaragam. Pola hidup mereka tidak terlepas dari adaptasi dirinya terhadap lingkungan alam. Akibatnya corak dan perkembangan budayanya dipengaruhi oleh kondisi lingkungan. Pengaruh lingkungan geografi Kepulauan Indonesia membatasi kontak dengan budaya luar semakin memperkuat ketergantungan dengan lingkungan, sehingga memicu terjadinya pertumbuhan budaya-budaya khas kelokalan sebagai proses adaptasi terhadap lingkungan (Simanjuntak, 2012 36).

Riesenfeld menyatakan bahwa Papua telah menerima pengaruh megalitik dari Asia Tenggara melalui dua jurusan. Pengaruh pertama datang dari barat melalui Kepulauan Indonesia sebelah selatan, lewat Kepulauan Maluku menuju bagian barat Papua. Pengaruh kedua menyebar ke Mikronesia, sebelum membelok ke arah barat menuju daerah Sepik di Papua Nugini melalui Filipina, Sulawesi Utara dan Halmahera. Arus dari arah barat mempengaruhi daerah pantai selatan, barat, dan utara Papua hingga Sungai Mamberamo, sedang arus dari arah Mikronesia mempengaruhi seluruh Papua dengan batas sebelah baratnya ditentukan di daerah Sentani, karena di Danau Sentani terdapat pula beberapa unsur dari arus utara, seperti pemahatan-pemahatan pada batu, adat mas kawin dan rumah panggung (Soejono, 1963).

Religi asli orang Sentani, seperti yang dikonsepsikan dalam pandangan kosmosnya, menggambarkan bahwa pada mulanya alam semesta ini merupakan alam gelap gulita yang dihuni baik oleh manusia, roh-roh leluhur maupun oleh mahluk-mahluk gaib dan sakti. Di antara mahluk-mahluk gaib itu muncul seorang tokoh dewa pencipta bernama Hokaimiyea yang dapat mengalahkan mahluk-mahluk gaib lainnya serta memisahkan dunia gaib dengan dunia nyata tempat ia dan keturunannya tinggal, sedangkan mahluk-mahluk halus tetap tinggal di alam gaib (Mansoben, 1995:200).

Menurut kepercayaan masyarakat Sentani, mahluk-mahluk halus yang hidup di dunia gaib atau dunia yang tidak kelihatan itu terdiri dari bermacam-macam roh, seperti roh-roh leluhur (mahe), roh-roh yang berada di sekitar kampung dan tempat-tempat yang tidak jauh dari kampung (uarofo), roh-roh yang berada di dalam air danau (seumoi dan siburu), dan roh-roh yang berada di hutan dan gunung-gunung (siakhe). Adapun roh-roh leluhur (mahe) dan arwah dari semua orang yang meninggal dunia bertempat tinggal di suatu tempat yang disebut halewayo kunduwayo (negeri kekal bahagia) di bawah pimpinan roh leluhur yang pertama (Siregar, 1987: 62).

Roh-roh dan kekuatan gaib itu dikategorikan dalam dua kategori, yaitu yang mempunyai sifat baik terhadap manusia dan yang tidak. Kategori pertama dapat membantu dan melindungi manusia apabila mendapat perhatian, tetapi dapat juga tidak membantu atau melindungi apabila tidak mendapat perhatian dari manusia. Pelaksanaan ritus secara teratur menurut norma-norma yang telah ditetapkan dalam tradisi, merupakan perwujudan nyata dari perhatian manusia terhadap roh-roh. Kelalaian untuk menyelenggarakan ritus, penyimpangan dalam melaksanakan ritus atau penyelewengan terhadap nilai dan norma adat merupakan pertanda ketidak pedulian manusia terhadap roh-roh dan kekuatan-kekuatan gaib. Hal ini dapat menimbulkan kemarahan roh-roh leluhur. Akibatnya mereka akan mendatangkan berbagai bencana yang menimpa kehidupan manusia (Mansoben, 1995:200).

Tulisan ini akan membahas data terbaru tentang temuan Situs Megalitik Khulutiyauw di tepi Danau Sentani bagian selatan. Situs ini baru ditemukan pada 2021, untuk kawasan yang Danau Sentani, tinggalan megalitik juga dijumpai di Danau Sentani bagian barat yaitu di Bukit Tutari, Doyo Lama.

Pembahasan

Penelitian Balai Arkeologi Papua di Kampung Abar, Distrik Ebungfauw, Kabupaten Jayapura berhasil menemukan tinggalan megalitik di Bukit Khulutiyauw. Bukit Khulutiyauw berada di sebelah barat Kampung Abar. Untuk menjangkau situs ini, dilakukan dengan berjalan kaki menyusuri jalan setapak sekitar 30 menit. Khulutiyauw merupakan sebuah bukit yang ditumbuhi ilalang. Pada permukaan Bukit Khulutiyauw ditemukan pecahan-pecahan gerabah, cangkang moluska laut, cangkang siput danau, gigi babi, tulang binatang dan tinggalan megalitik.

Foto Bukit Khulutiyauw

Foto Bukit Khulutiyauw (Sumber Foto: Arsip Penulis)

Tinggalan megalitik di Bukit Khulutiyauw terdiri atas menhir, papan batu, jalan arwah, dan lumpang batu. Tinggalan megalitik di Bukit Khulutiyauw dideskripsikan sebagai berikut:

Menhir

Menhir terletak di puncak Bukit Khulutiyauw, pada ketinggian 89 m dpl. Terletak pada koordinat S 020 381 48.5411 E 1400 311 03.7811. Menhir ini berupa batu tegak yang dibuat dari bongkahan batu, didirikan dan di atas permukaan tanah. Berukuran tinngi 57 cm dan lebar 28 cm. Menhir yang terdapat di Situs Khulutiyauw berdiri sendiri (tunggal). Menhir ini dikelilingi bongkahan-bongkahan batu yang letaknya tidak beraturan. Menurut Prasetyo (2015:28), menhir semacam ini biasanya menandakan sebagai pusat ritual. 

Foto Menhir di Papua

Foto Menhir (Sumber Foto: Arsip Penulis)

Papan batu

Papan batu terletak di puncak Bukit Khulutiyauw. Papan batu berupa lempengan batu tebal yang tidak dikerjakan yang berfungsi sebagai meja. Berukuran panjang 180 cm, lebar 134 cm dan tebal 34 cm. Pada masa prasejarah, papan batu menjadi tempat saji dan pemujaan kepada roh nenek moyang. Papan batu ini dikelilingi oleh papan batu lainnya yang diperkirakan sebagai tempat oleh tetua adat dalam melakukan pertemuan maupun upacara dalam hubungan pemujaan arwah leluhur. 

Foto Papan batu di Papua

Foto Papan batu (Sumber Foto: Arsip Penulis)

Jalan arwah

Jalan arwah berupa susunan jalan batu dari kaki bukit menuju puncak Bukit Khulutiyauw. Jalan arwah ini berupa struktur batu kerakal yang disusun satu lapisan, memanjang pada permukaan lereng dari kaki bukit hingga puncak bukit. Puncak Bukit Khulutiyauw berada pada 90 m dpl

Jalan arwah ini memiliki panjang 30 meter dengan lebar 2 meter. Berorientasi utara-selatan. Jalan arwah terletak pada sisi selatan Bukit Khulutiyauw. Jalan arwah ini merupakan peninggalan megalitik. Pada masa prasejarah, jalan arwah ini berkaitan dengan religi, berfungsi sebagai media perjalanan arwah dari dunia manusia yang digambarkan sebagai dunia bawah yang ada di kaki bukit menuju puncak bukit sebagai dunia atas yang dianggap suci atau sakral. Menurut Soekmono (2012:83), roh nenek moyang biasanya digambarkan di atas dunia ini, juga di atas gunung, puncak bukit atau tempat tinggi lainnya. 

Foto Jalan arwah

Foto Jalan arwah (Sumber Foto: Arsip Penulis)

Lumpang batu

Lumpang batu adalah sebongkah batu yang diberi empat lubang, dengan diameter lubang 15 cm. Permukaan batu yang rata diberi lubang. Pada masa prasejarah, lumpang batu ini dipergunakan untuk menumpuk ramuan. 

Foto Lumpang batu di Papua

Foto Lumpang batu (Sumber Foto: Arsip Penulis)

Megalitik Khulutiyauw merupakan bagian dari proses inovasi dan ciri kelokalan dengan karakter manusia prajarah yang menghuni tepi Danau Sentani. Megalitik Khulutiyauw berkaitan dengan keyakinan yang berhubungan dengan sistem nilai budaya dan sesuatu yang dianggap keramat. Konsep religi megalitik Khulutiyauw adalah penghormatan terhadap arwah nenek moyang. Menhir di Situs Khulutiyauw dianggap sebagai manifestasi perwujudan nenek moyang dan menjadi pusat pemujaan roh nenek moyang. 

Menurut Simanjuntak et. al. (2012:331), megalitik semula dianggap sebagai pengaruh luar yang datang dan menyebar ke seluruh Kepulauan Indonesia, karena proses yang cukup panjang akhirnya menjadi bagian dari budaya asli Indonesia. Untuk mengenali keaslian budaya dan pengaruh luar dalam perkembangan megalitik di kawasan ini tidaklah demikian mudah. Pengertian asli dan pengaruh luar, akhirnya pada suatu tahap perkembangan cenderung akan dianggap asli dan menjadi titik tolak perkembangan pada tahap selanjutnya.

Sementara itu, Sander dan Marino (1970), mengungkapkan bahwa pengertian budaya asli dan pengaruh luar perlu diberi nilai konseptual sebagai hasil evolusi dan difusi. Proses evolusi budaya dilihat sebagai perubahan oleh adanya inovasi di dalam sistem nilai budaya itu sendiri, sehingga proses adaptasi internal atau unsur-unsur asli itu sendiri yang sebenarnya menjadi pendorong perubahan dan lebih berperan dalam perubahan budaya. Sementara itu, proses difusi dilihat sebagai proses perubahan karena upaya peniruan atau pengadopsian unsur budaya dari luar.

Megalitik hadir dalam keseharian kehidupan masyarakat baik dalam bentuk materi serta dalam bentuk konsep yang menyangkut kegiatan religi berupa gagasan kepercayaan terhadap pemujaan nenek moyang (Prasetyo, 2015:177). 

Nilai yang dapat dipelajari dalam perilaku masyarakat megalitik adalah sikap gotong royong. Menurut Prasetyo (2015: 180), secara umum megalit didirikan dalam konteks pesta jasa, maupun pesta-pesta lain seperti pendirian rumah, ucapan syukur, serta upacara kematian. Dalam kegiatan upacara ini akan terjadi proses timbal balik antara pimpinan atau tetua dengan masyarakat. Para pemimpin dalam kegiatan-kegiatan upacara memberikan kesejahteraan kepada masyarakat, sedangkan masyarakat memberikan imbalan dengan bekerja untuk kepentingan pemimpin secara seimbang. Proses timbal balik ini akhirnya menciptakan hubungan sosial yang harmonis.

Koentjaraningrat (1993:44) menyatakan bahwa sistem ritus dan upacara dalam suatu religi berwujud aktivitas dan tindakan manusia dalam melaksanakan kebaktiannya terhadap Tuhan, dewa-dewa, roh nenek moyang, atau makhluk halus lainnya, dan dalam usahanya untuk berkomunikasi dengan Tuhan dan penghuni dunia gaib lainnya itu. Ritus atau upacara religi itu biasanya berlangsung berulang-ulang, baik setiap hari, setiap musim, atau kadang-kadang saja. Tergantung dari isi acaranya, suatu ritus atau upacara religi biasanya terdiri dari suatu kombinasi yang merangkaikan satu-dua atau beberapa tindakan, seperti berdoa, bersujud, bersaji, berkorban, makan bersama, menari dan menyanyi, berprosesi dan berseni drama suci.

Pada masa prasejarah, tempat yang tinggi seperti puncak bukit merupakan tempat bersemayamnya roh nenek moyang atau tempat tinggal dewa-dewa. Orientasi jalan arwah di Situs Khulutiyauw mengarah ke Gunung Cyclops yang ada di sebelah utara Danau Sentani.
Selain batu yang disusun, pada struktur jalan arwah ini juga ditemukan pecahan-pecahan gerabah berdinding tebal. Gerabah berdinding tebal ini  merupakan tempayan. Tempayan berfungsi sebagai wadah untuk menyimpan air. Jika dikaitkan dengan konteks jalan arwah, maka diperkirakan gerabah ini berkaitan dengan upacara religi di situs Khulutiyauw.

Puncak bukit Khulutiyauw paling tinggi terdapat tinggalan megalitik berupa menhir dan papan batu. Papan batu ini orientasi arahnya ke matahari terbit. Hal ini berkaitan dengan matahari sebagai sumber kehidupan dan penguasa kehidupan manusia, sehingga perlu disembah.

Berdasarkan pengamatan terhadap jenis batuan pada menhir, papan batu, jalan arwah dan lumpang batu, jenis batuan ini mudah didapatkan di sekitar perbukitan Abar.  Keletakan tinggalan megalitik di Bukit Khulutiyauw yang berada di puncak bukit, dapat dipastikan memang sengaja diletakkan dalam posisi demikian. Untuk membawa dan meletakkan megalit di puncak bukit, pada masa lalu dilakukan oleh sekelompok orang, tentu saja dengan cara bergotong royong. Dalam hal ini, terdapat seorang pemimpin yang bisa mengkoordinasi masyarakatnya untuk membawa batu ini di puncak bukit.

Konsepsi pemujaan nenek moyang melahirkan tata cara yang menjaga tingkah laku masyarakat di dunia akhirat selain menambah kesejahteraan di dunia fana. Pada masa ini organisasi masyarakat telah teratur. Pengetahuan tentang teknologi yang berguna dan nilai-nilai hidup terus berkembang. Sikap hidup selalu berkisar pada persoalan-persoalan manusia, bumi, hewan, dan tabu. Perkampungan merupakan pusat kehidupan setelah pola hidup mengembara ditinggalkan sama sekali (Soejono, 2010: 251). Berdasarkan hal ini, maka dapat dipastikan bahwa manusia pendukung Situs Khulutiyauw telah hidup menetap.

Menurut Geldern mengenai tradisi megalitik di Asia Tenggara dan Pasifik mengatakan fungsi megalitik ternyata lebih kompleks dari dugaan semula. Penggolongan tradisi megalitik dalam dua tradisi besar, yaitu Megalitik Tua yang berusia kurang lebih 2.500 – 1.500 SM dan Megalitik Muda yang berusia kira-kira millennium pertama SM. Megalitik Tua masuk ke dalam masa Neolitik. Tradisi ini didukung oleh para pemakai bahasa Austronesia. Sedangkan Megalitik Muda berkembang dalam masa perundagian (Soejono, 2010:249).

Berbicara tentang megalitik Pasifik, Bellwood melaporkan tentang adanya bentuk-bentuk megalitik yang tersebar di Kepulauan Oceania (Bellwood, 1978: 272-377). Mayoritas megalitik yang ditemukan berada di wilayah Melanesia berupa batu-batu yang disusun melingkar. Adapun bentuk-bentuk dolmen, batu tegak (menhir) dan peti batu juga ditemukan di Melanesia bagian tengah. Di wilayah Mikronesia, megalitik yang ditemukan berujud jalanan batu, punden berundak, monolit, dolmen, serta bongkahan batu yang dihias dengan wajah manusia. Di Polinesia tercatat bentuk-bentuk yang disebut dengan ahu dan marae (Prasetyo, 2015: 44).

Tentang budaya megalitik di Papua, Riesenfeld berpendapat bahwa kebudayaan megalitik dibawa oleh kelompok migran yang berbadan coklat kekuningan dan berambut berombak atau kejur, atau disebut juga sebagai light skinned stone-using immigrants (Riesenfeld, 1950:668-670). 

Para ahli lain menamakan mereka ini sebagai orang Melanesia asli, Melanesia primitif, atau Proto-Polynesia (karena gaya kebudayaan ini juga menyebar dari Mikronesia ke arah timur, yaitu Polinesia) (Soejono, 1963:45). Mereka ini berbahasa Austronesia (Melayu-Polinesia) dan diduga mereka membawa serta kebudayaan neolitik dan megalitik ke wilayah Papua (Mansoben, 1995: 67). Organisasi kemasyarakatannya pun sudah terstruktur dengan sistem hirarki di mana para pemimpin dijabat secara turun temurun (Muller, 2008:52). 

Berdasarkan penelitian Riesenfeld, orang-orang imigran ini membawa serta unsur-unsur kebudayaan, seperti adat perkembangan benda-benda megalitik, tanaman-tanaman yang dapat dimakan terutama kelapa, babi, lesung batu dengan penumbuknya, serta kepandaian membuat gerabah dengan metode coiling, kapak persegi, bermacam-macam adat upacara kematian, cerita asal nenek moyang, dan lain-lain. Migrasi terjadi dalam kelompok-kelompok dan gelombang-gelombang dalam jangka waktu yang panjang. Berdasarkan jenis dan corak penemuan prasejarah di Papua, migrasi ini dapat kita perkirakan terjadi berturut-turut sejak berakhirnya tingkat neolitik. Di Papua pengaruh kebudayaan dari luar ini terutama ada di daerah-daerah pesisir, sekitar 3500 tahun yang lalu (Soejono, 1963:45; Muller, 2008:63).

 

Penutup

Situs Megalitik Khulutiyauw di Kampung Abar, Distrik Ebungfauw, Kabupaten Jayapura berpotensi sebagai destinasi Festival Makan Papeda dalam Gerabah yang berlangsung setiap September. Situs megalitik ini berada di puncak Bukit Khulutiyauw, dengan pemandangan yang instagramable. Sekeliling Bukit Khulutiyauw berupa hamparan savana menghijau. Selain itu, dari puncak bukit ini, terlihat pemandangan Danau Sentani.

Pada bagian puncak bukit ini terdapat sinyal 4G, sehingga wisatawan milenial dapat siaran langsung di media sosialnya atau dapat berswafoto langsung diunggah di story media sosial. Uniknya, pada bagian lereng dan kaki bukit hanya terdapat sinyal 2G. 

Selama ini Abar dikenal sebagai kampung destinasi wisata di Danau Sentani dengan produk unggulan gerabah tradisional. Untuk mencapai kampung ini, dapat dilakukan dengan naik perahu motor dari Dermaga Yahim, Distrik Sentani sekitar 15 menit.

Selain itu juga terdapat jalan lingkar selatan Danau Sentani yang menghubungkan Distrik Heram, Kota Jayapura hingga Abar. Jalan lingkar selatan ini melewati obyek wisata Danau Love.

Namun jalan lingkar selatan ini masih berupa jalan tanah, sebagian berlubang dan beberapa titik longsor oleh aliran air hujan. Jalan lingkar selatan ini hanya dapat dilalui kendaraan roda dua, itupun saat kondisi kering tidak hujan. Saat hujan, jalan tanah liat licin dan banyak kubangan lumpur. Untuk mendukung Kampung Abar sebagai destinasi wisata Danau Sentani, maka infrastruktur jalan lingkar selatan perlu diperbaiki. Jalan lingkar ini terhubung dengan Danau Love, sehingga wisatawan yang berkunjung ke Danau Love bisa melanjutkan kunjungan ke Kampung Abar untuk membeli oleh-oleh gerabah atau menikmati kuliner khas Abar.

Kuliner ini berupa papeda daun jati lauk ikan louhan goreng, papeda ikan kuah kuning, kuliner ulat dan jamur sagu, ikan mujair presto gerabah, dan stik ikan gabus Sentani. Stik ikan gabus Sentani, sudah go internasional, juara nomor empat dalam festival kreasi makanan tradisional di Italia.

Situs Khulutiyauw perlu dilestarikan dan dilindungi, yaitu dengan pembuatan papan informasi bahwa situs dilindungi oleh Undang Undang No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Perlu dilakukan penelitian arkeologi bawah air di kawasan Danau Sentani, diperkirakan di dasar danau terdapat artefak lainnya.  

———

*Hari Suroto. Peneliti di Balai Arkeologi Papua

———

DAFTAR PUSTAKA

Bellwood, Peter. 1978. Man’s Conquest of the Pacific. Auckland: Wiliam Collins Publisher.
Hole, Frank dan Robert F. Heizer. 1973. An Introduction to Prehistoric Archaeology Third edition. New York: Holt, Rinehart  and Winston, Inc.
Kaplan, David dan Robert A. Manners. 2003. Teori Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Koentjaraningrat. 1993. Ritus Peralihan di Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Mansoben, Johszua Robert. 1995. Sistem Politik Tradisional di Irian Jaya. Jakarta:  LIPI –RUL.
Muller, Kal. 2008. Mengenal Papua. Daisy World Books.
Mundardjito. 2002. Pertimbangan Ekologis Penempatan Situs Hindu-Buda di Daerah Yogyakarta. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.
Prasetyo, Bagyo. 2001. Pola Tata Ruang dan Fungsi Situs Megalitik Tutari,  Kecamatan
Sentani, Kabupaten Jayapura, Provinsi Irian Jaya. Berita Penelitian Arkeologi No. 3. Balai Arkeologi Jayapura.
Prasetyo, Bagyo. 2015. Megalitik Fenomena yang Berkembang di Indonesia. Yogyakarta: Galangpress.
Riesenfeld, A. 1950. The Megalithic Culture of Melanesia. Leiden:Brill.
Salam, Burhanuddin. 1988. Filsafat Berfikir. Jakarta: Bina Aksara.
Sanders, William T dan Joseph Marino. 1970. New World Prehistory. Prentice Hall.
Sharer, Robert J. dan Wendy Ashmore. 1979. Fundamentals of Archaeology. California:
The Benjamin/ Cummings Publishing Company, Inc.
Simanjuntak, Harry Truman. 2012. “Prasejarah dan Penulisan Prasejarah,” dalam Harry
Truman Simanjuntak dan Harry Widianto (ed.), Indonesia dalam Arus Sejarah 1
Prasejarah. Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hove.
Siregar, O. M. T. 1987. Sistem Kepemimpinan Tradisional Masyarakat Sentani, Irian
Jaya: Suatu Studi di Desa Ajau Sentani Tengah. Skripsi. Jayapura: Universitas Cenderawasih.
Soekmono. 2012. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 1. Yogyakarta: Kanisius.
Soejono, R. P. 1963. “Prehistori Irian Barat” dalam Penduduk Irian Barat (Koentjaraningrat dan Harsja W. Bachtiar eds.). Jakarta: PT Penerbitan Universitas. Hlm. 39-93.
Soejono, R. P. 2010. Sejarah Nasional Indonesia 1. Jakarta: Balai Pustaka.