Nunus Supardi

Hari-Hari Terakhir Willem Frederik Stutterheim

Oleh Nunus Supardi

/1/ Pengantar

Di kalangan ahli arkeologi, tanggal 14 Juni telah diakui sebagai Hari Purbakala Indonesia. Tanggal itu disepakati menjadi hari penting bagi dunia akeologi Indonesia karena pada tanggal itu berdiri sebuah lembaga De Oudheidkundige Dienst in Netherlandsch-Indië. Di kalangan bumiputra nama itu biasa disingkat OD, dan diindonesiakan menjadi Dinas Purbakala atau Lembaga Purbakala. Pendirian lembaga ini ditetapkan dengan Surat Keputusan Pemerintah Hindia Belanda No. 62, pada tanggal 14 Juni 1913.

Stutterheim pernah menjabat Kepala OD pada periode 1936-1942. Stutterheim banyak melakukan penelitian dan pendokumentasian tinggalan purbakala di Indonesia. Karya-karyanya tetap aktual dan dijadikan bahan rujukan banyak orang. Tetapi di balik berbagai tulisan yang mengupas tentang prestasinya, masih ada pertanyaan yang perlu dicari jawabnya. Bagaimana keadaannya menjelang akhir hayatnya pada 10 September 1942? Di Di mana ketika Stutterheim ditahan Jepang? Penyakit apa yang diderita, dan di mana ia dimakamkan? Tampaknya pertanyaan-pertanyaan sederhana itu belum banyak diketahui orang, termasuk di kalangan  purbakalawan sendiri.

/2/ Orang Hebat

W.F. Stutterheim termasuk orang hebat yang banyak diakui orang. Di dalam artikelnya yang dimuat di Jaarboek, 1946- 1947, Amsterdam, halaman 150158, Dr. F.D.K. Bosch, senior dan juga Kepala OD yang digantikannya, secara khusus menulis tentang Stutterheim dengan judul Levensbericht W.F.Stutterheim (Life Message from W. F. Stutterheim). Di dalam tulisan itu Bosch memaparkan kehebatan Stutterheim mulai dari saat muda, kuliah, bekerja, berkarya dan meninggalnya. Ketika ia belajar di Utrecht bidang ilmu yang dipilih adalah ilmu sastra dan sejarah seni Belanda, selama tiga tahun. Karena pecah perang dunia, saat akan mengambil ujian kandidat terpaksa batal. Secara diam-diam dia dipanggil untuk didedikasikan belajar bahasa Sansekerta. Ia menjadi mahasiswa di Universitas Leiden, dididik langsung oleh profesor Snouck Hurgonje, Vogel, Hazeu Van Ronkel, dan Krom untuk pelajaran bahasa dan sastra India, saat akan mengambil ujian kandidat terpaksa batal. Secara diam-diam dia dipanggil untuk didedikasikan belajar bahasa Sansekerta. Ia menjadi mahasiswa di Universitas Leiden, dididik langsung oleh profesor Snouck Hurgonje, Vogel, Hazeu Van Ronkel, dan Krom untuk pelajaran bahasa dan sastra India.

Pada 1924 ia dipromosikan untuk mendapat gelar doktor di bawah bimbingan Prof. Krom dengan disertasi berjudul “Rämalegenden und Rämareliefs in Indonesien“.   Disertasi itu kemudian didokumentasikan dalam serial “Der India Kulturkreis” dalam bentuk yang sangat artistik oleh seorang arsitek terkenal dan penikmat seni Siam, bernama Karl Döhrmg. Sang arsitek adalah teman karib sejati yang banyak memberikan saran dan pertimbangan sepanjang hidupnya. Menurut konsep pemikirannya kebudayaan Indonesia kuno harus dianggap sebagai kebudayaan Indonesia, sedangkan pengaruh India yang betapa pun besarnya hanyalah merupakan tambahan saja.

Dr. Willem Frederik Stutterheim

Dr. Willem Frederik Stutterheim. (Sumber: Stutterheim, W.F. 1948: hal.iv).

Stutterheim dapat dikatakan memulai karir ilmiah pada 1924, ketika ia berusia 32 tahun yang ditandai dengan dipublikasikannya karya disertasi tersebut. Ia meninggal pada tahun 1942. Ini berarti Stutterheim “diizinkan” oleh Yang Maha Kuasa untuk berkarya di dunia akademik hanya selama delapan belas tahun saja. Meski dalam waktu yang relatif singkat, tetapi berkat kegeniusan dan keseriusannya, masa hidup yang relatif singkat itu kemudian justru terbukti menjadi lebih panjang lagi. Dengan dilandasi ketekunan dan energi yang tak pernah padam, ditambah dengan bakat multifaset, karya-karyanya tetap dikenal dan dikenang orang hingga sekarang. Selain karya disertasi yang terkenal itu, ia telah menghasilkan sejumlah karya ilmiah lainnya. Antara lain, “Tjandi Baraboedoer, Naam, vorm en beteekenis” (1929), “A Javanese Period in Sumatra History” (1929), “Oost-Java en de Hemelherg” (Djawa 1926), “Oudheden van Bali” (1930), “Indian Influences in old-Balinese Art” (1935), dll. Berbagai tulisan juga dimuat di banyak terbitan seperti Tijdschrift van het Bataviaasch Genootschap, de Bijdragen van het Koninklijk Instituut, de Oudheidkundige Verslagen, Djawa, de Acta Orientalia, Indian Art and Letters, dll.

Sebagai Kepala OD yang mempunyai misi melindungi tinggalan purbakala, Stutterheim telah melakukan  rekonstruksi candi Ciwa di kompleks candi Lara Jonggrang, dilanjutkan dengan serius, penggalian dan investigasi situs Gunung Wukir, Ratu Baka, Candi Jawi, publikasi tentang benda-benda temuan di Gunung Penanggungan, dll. Karya terakhir, satu tahun sebelum meninggal dari hasil penilitian tentang kerajaan Majapahit dari abad 14, oleh Bosch disebutnya sebagai karya paling penting. Karya yang ditulis pada 1941 itu ditulis dengan analisis yang akurat dari karya Mpu Prapanca, Nägarakretägama, dengan membandingan data yang diekstraksi dari data yang ada di Bali dan di Vorstenlanden, untuk rekonstruksi kerajaan yang benar-benar masuk akal.

Tidak hanya Bosch yang memunji karya terakhir Stutterheim itu. Bertiga, yaitu Amrit Gomperts seorang sarjana (menulis Old Javanese and Javano Sanskrit texs and Archaelogy), Arnoud Haag (ahli hidrologi dan Irigasi Asia Tenggara), dan Peter Carey (penulis buku tentang Diponegoro) mengulas tulisan Stutterheim dalam artikel berjudul “Stutterheim’s enigma The mystery of his mapping of the Majapahit kraton at Trowulan in 1941”. Karya itu disebutnya sebagai sebuah teka-teki Stutterheim dan misteri tentang keraton Majapahit di Trowulan. Menjadi teka-teki karena dari sekian banyak pendapat ahli yang mencoba merekonstruksi tata letak kerajaan Majapahit, belum ada yang mampu menawarkan identifikasi lokasi yang tepat.

Pada tahun 1941, W.F. Stutterheim membuat rekonstruksi secara rinci lokasi kerajaan itu. Menjadi misteri karena Stutterheim tidak menunjuk lokasi secara tepat tetapi telah memberikan pencerahan dengan menyajikan identifikasi situs berdasarkan karya monumental Mpu Prapañca. Atas dasar argumen yang diajukan dalam artikel itu, Amrit Gomperts dkk menyimpulkan bahwa cara Stutterheim menyajikan bukti monografinya itu dengan meninggalkan pertanyaan yang tak mudah dijawab. Amrit mengakhiri tulisannya dengan pertanyaan: “Mengapa arkeolog yang terhormat ini tidak ingin mengungkapkan semua rincian yang sangat penting ini pada tulisannya di bulan Juli 1941?

Sementara itu, Bosch menambah data uraian tentang sisi lain di luar profesi Stutterheim sebagai ilmuwan, yang tampaknya belum ditulis orang. Sebagai orang dekat dan mengenal kepribadiannya, Bosch menyatakan bahwa Stutterheim memiliki jiwa seni yang kuat kemudian bertemu dengan pikiran jernih dan bakat ilmiah. Kelebihan inilah yang menjadikan Stutterheim dapat mendekatkan diri dengan banyak bidang. Pada usia muda ia telah berkembang menjadi pianis yang berjaya, pengagum dan pengapresiasi karya-karya komponis terkenal, terutama seorang komponis Jerman, Johann Sebastian Bach. Ia juga memiliki bakat yang hebat di bidang seni menggambar dan melukis, sampai-sampai menurut Bosch sudah lama sebenarnya ia cenderung mengarah ke bidang ini, sebelum beralih ke bidang ilmu pengetahuan. Jangan ditanya lagi tentang seni sastra. Di dalam dirinya seni sastra berkembang dengan baik, ditambah dengan selera humor meskipun tidak terlalu menonjol. Sebagai ahli yang menguasai bahasa Sansekerta ia mendapat tugas untuk mendirikan dan mengepalai sebuah sekolah Algemene Middelbare School disingkat A.M.S. yang dirancang sebagai sekolah gaya baru dengan membuka jurusan Sastra Timur di Solo. Pada kesempatan ini Stutterheim berhubungan dengan Pangeran Mangkunegara VII. Berkat kedekatannya itu ia kemudian menjadi ilmuwan yang menggemari dan mendalami kebudayaan Jawa.

Faktor-faktor kelebihan itu telah melengkapi kecerdasannya sehingga menjadikan kualitas tulisan dan pembicaraan tentang kebudayaan menonjol di antara teman-temannya sesama penulis. Ketika segala kelebihan itu bersentuhan dengan arkeologi, lahirlah penemuan dan pendapat yang kadang mengejutkan, dan tidak jarang menimbulkan konflik serius dengan pendapat mapan dari para pendahulunya. Berkat penguasaan dan keluasan pengetahuan ilmu arkeologi dan bidang-bidang lain itu menurut Bosch Stutterheim telah berjalan cepat tetapi tetap pada rel keilmuan. Tidak dapat disebut sebagai langkah ambisius meski pendapatnya kadang bertolak belakang dengan pendahulunya seperti J.H.C. Kern dan J.L.A. Brandes.

/3/ Orang Belanda menjadi tawanan

Pada tanggal 8 Maret 1942 Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang. Dengan demikian seluruh wilayah Hindia Belanda jatuh ke tangan Jepang. Yang tidak banyak diketahui orang adalah bagaimana Jepang mengatur dan menyelesaikan ratusan ribu orang Belanda, dan orang-orang pendukung Belanda, serta para Indo Belanda dalam status tawanan perang. Mereka bertebaran di seluruh wilayah sampai ke pelosok-pelosok daerah. Mereka terdiri atas pria, wanita, orang tua, anak-anak dan remaja. Mereka juga terdiri atas berbagai profesi, tentara, polisi pegawai, dokter, ilmuwan, seniman, buruh, teknisi, dll.

Sebagai lawan yang kalah perang, nasib mereka berada di tangan Jepang, dalam hal ini menjadi tanggung jawab Biro Tawanan Perang dari Kementerian Perang Jepang. Selain ada yang melarikan diri atau mati dalam pertempuran, kebanyakan menjadi tawanan (interniran) Jepang. Pertanyaannya, mereka diinternir di mana saja? Dari hasil penelusuran yang dilakukan oleh Institut Dokumentasi Perang Belanda (Nederlands Instituut voor Oorlog Documentasie atau NIOD) berdasarkan pada arsip, inventaris sampai pada buku harian para interniran disimpulkan jumlah kamp di wilayah Hindia Belanda dikelompokkan menjadi 7 wilayah. Pertama, wilayah Jawa terdiri atas: Kamp di Jawa Barat berjumlah 174 buah; Kamp di Jawa Tengah berjumlah 191 buah; Kamp di Jawa Timur, 179 buah. Kedua, kamp di Sumatera, 180 buah; Ketiga, kamp di Kalimantan 50 buah; Keempat, kamp di Sulawesi, 39 buah; Kelima, kamp di Sunda Kecil, 26 buah; Keenam, kamp di Maluku 20 buah; dan Ketujuh, Kamp di Papua (New Guenia) berjumlah 5 buah. (sumber: https://www.indischekamparchieven.nl/).

Untuk memenuhi kebutuhan tempat penawanan, berbagai bangunan difungsikan sebagai tempat tahanan atau kamp. Fasilitas seperti penjara, banteng, pabrik, gudang, barak militer, hingga rumah tinggal, rumah sakit, dan bahkan hotel disulap menjadi tempat tahanan. Bila fasilitas itu tidak juga mencukupi dibuatlah barak-barak darurat dengan atap rumbia, berpagar ayaman bambu (Jawa: gedheg) untuk menampung mereka. Kamp tahanan dibedakan atas tahanan militer dan sipil. Juga dibedakan antara kamp untuk orang dewasa, serta wanita dan anak-anak.

Dapat dibayangkan betapa tahanan orang-orang Belanda itu mengalami “shock” karena mereka yang sebelumnya hidup “bak seorang raja”, tiba-tiba mereka harus bertekuk lutut dan menunduk kepada orang Jepang dalam segala hal. Dari catatan para interniran didapatkan kesan dan pengalaman yang bermacam-macam. Mereka harus hidup tanpa listrik, di ruang yang pengap, tanpa selimut, banyak nyamuk, makanan kurang, air sulit bahkan tidak ada air untuk mandi. Pantas bila ada eks interniran yang menulis “sakit hati dengan perlakuan Jepang, sehingga bersumpah akan membenci dan akan menjadi musuhnya sampai kapan pun”. Pernyataan ini bagi orang bumiputra menjadi terasa lucu, karena Belanda rupanya lupa atau tidak menyadari betapa pahit dan sakitnya orang bumiputra yang dipenjara Belanda dengan penuh siksaan. Tidak sedikit yang meninggal karena ditembak, sakit atau kepalaran.

/4/ Stutterheim ditawan

Dari ratusan ribu orang Belanda yang ditawan Jepang, termasuk W.F. Stutterheim. Dari berbagai tulisan belum ada yang menjelaskan tentang nama kota dan kamp tempat ia ditahan. Di dalam tulisan R. Soekmono juga hanya didapat keterangan singkat saja: “…dengan ditawannya semua tenaga Belanda, Stutterheim dilepas lagi selama beberapa bulan dengan mendapat tugas di Jakarta untuk menyusun laporan dan saran-saran tertulis tentang usahausaha pemeliharaan peninggalan purbakala,…”. (Soekmono:1977: hal.11) Ditahan di manakah sebelum Stutterheim dilepas? Di Jawa Tengah, Jawa Timur, atau di Yogyakarta? Untuk dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan itu ada baiknya dirunut melalui hasil pengumpulan data tempat interniran yang dilakukan oleh NIOD. Perhatian dapat langsung diarahkan pada kamp yang ada di wilayah Yogyakarta. Menurut NIOD kamp yang ada di wilayah Yogyakarta ada 22 tempat. Nama kamp-kamp itu adalah: Bantul, Barongan A, Barongan B, Barongan C, Jalan Baciro (Batjiroweg), Bintaran, Boro, Demakijo, Benteng Vredeburg, Ganjuran, Seminari Agung, Sekolah HBS, Kaderschool, Kretek, Jalan Lawu, Muja-Mujo, Pundung, Penjara Jogyakarta, Sanden, Sewu Galur, Surabajan, dan Cebongan. Mereka yang ditawan adalah orang Belanda yang berprofesi sebagai pegawai negeri sipil, pegawai polisi, bankir, dan pegawai negeri sipil, termasuk yang bekerja untuk Kesultanan.

Lalu, dari 22 nama kamp itu kamp yang mana yang digunakan menawan Stutterheim? Untuk menjawab pertanyaan ini F.D.K. Bosch dan NIOD sedikit memberikan informasi. Pada saat itu Stutterheim sedang berada di Yogyakarta, kemudian ditangkap oleh Jepang. Awalnya ia ditempatkan di dalam penjara Djokjakarta. Selanjutnya, dari penjara Jogyakarta, pada akhir Juni 1942 seperti ditulis oleh Bosch “…Stutterheim, untuk ditawan di penjara di benteng di Yogyakarta…”. Bertolak dari tulisan Bosch dan nama-nama kamp di Yogyakarta yang dihimpun oleh NIOD dapat disimpulkan bahwa Stutterheim dari penjara Jogyajakarta dipindahkan ke dalam benteng Vredeburg, karena nama benteng ini hanya satusatunya yang digunakan untuk kamp interniran. Tempat penahanan di Benteng Vredeburg dijaga oleh Personil polisi pribumi dan sejumlah heiho. Yang ditunjuk sebagai pimpinan dari para tahanan bernama F. Adam dan Snellenberg.

Benteng Vredeburg

Benteng Vredeburg Yogyakarta. Di dalam benteng ini WF Stutterheim, Kepala Dinas Purbakala (Oudheidkundige Dients) 1936-1942 ditahan oleh Jepang kemudian dipindahkan ke Batavia. (Sumber: Arsip Penulis).

Stutterheim dipindahkan ke dalam benteng bersama dengan tahanan yang lain. Jumlah tahanan makin bertambah banyak, termasuk orang-orang “Eropa” lainnya yang berasal dari Yogjakarta dan sekitarnya, hingga mencapai 897 orang. Untuk mengurangi kepadatan hunian kamp pada akhir September sebagian dari tahanan sipil dipindahkan ke penjara Bubutan di Surabaya. Sebagian dari internir sipil lainnya pada pertengahan Februari 1944 dipindahkan ke kamp Cimahi, dan Stutterheim “dibebaskan” tetapi dipindahkan ke Batavia.

/5/  Stutterheim meninggal

Mengapa Stutterheim “dibebaskan” dari penahanan? Dalam hal penahanan ternyata Jepang mengeluarkan kebijakan memberikan dispensasi kepada orang Belanda (Eropa) untuk tidak ditahan di dalam kamp. Kepada orang-orang yang memiliki profesi khusus dan diperlukan oleh Jepang seperti tenaga medis, buruh pada operasionalisasi alat-alat vital seperti pabrik, transportasi, listrik, perkebunan dan pertanian tidak dimasukkan ke dalam kamp, tetapi tetap dalam pengawasan Jepang.

Alasan untuk “melepaskan” Stutterheim menurut istilah Soekmono karena ia mendapat tugas untuk menyusun laporan dan saran-saran tertulis tentang usaha-usaha pemeliharaan peninggalan purbakala. Sementara itu, menurut Bosch karena Stutterheim diminta oleh Jepang untuk memberikan saran tentang lanjutan restorasi candi Borobudur. Dari balik alasan pemberian dispensasi itu menunjukkan bahwa Jepang sangat menghargai tenaga ahli arkeologi Belanda, sehingga untuk tahanan tertentu dibebaskan dari masuk kamp. Tampaknya Stutterheim telah mendapatkan perhatian khusus dari pemerintahan militer Jepang.

Meskipun demikian, dari hasil penelusuran NIOD, nama Stutterheim tetap tercantum di dalam daftar (list) tahanan Jepang. Di dalam daftar buku besar yang jumlah tawanannya mencapai 4914 (dari No. 1 – 4914), nama W.F. Stutterheim berada di urutan No. 3849. Di dalam tabel itu ia tertulis seharusnya ditahan di kamp Cideng dan tercatat berkebangsaan Belanda. Selain alasan profesi, dispensasi itu diberikan karena kondisi kesehatannya yang menurun. Ia tidak dimasukkan ke rumah sakit melainkan ditempatkan di sebuah kamar hotel, bernama Benvenuto. Hotel itu sudah dibongkar, dan di atas lahan itu sekarang berdiri gedung Indosat, di sudut Jln. Medan Merdeka Barat dengan Jln. Budi Kemuliaan.

Hotel Benvenuto, tempat W.F. Stutterheim “diinternir” dalam keadaan sakit.

Di belakang tampak hotel Benvenuto, tempat W.F. Stutterheim “diinternir” dalam keadaan sakit. Hotel itu kemudian berubah menjadi hotel Barito, Hotel Monas, dan kemudian dibongkar dibangun gedung baru ditempati oleh Indosat. (Sumber: Arsip Penulis).

Selama tinggal di hotel, Stutterheim diawasi kondisi kesehatannya oleh dr. Wulfepalthe. Selain itu, ia selalu didampingi dengan setia oleh sejawatnya Dr. Louis-Charles Damais, seorang ilmuwan, sejarawan dan ahli epigrafi. Damais karena berasal dari Prancis dan ilmuwan tidak termasuk yang ditawan oleh Jepang. Ia mendampingi Stutterheim sampai ajal menjemputnya. Stutterheim meninggal karena menderita penyakit yang menyerang otaknya, yang dikenal sebagai penyakit cerebrovascular. Dalam medis penyakit ini mempengaruhi pembuluh darah otak dan sirkulasi serebral. Menurut sahabatnya Dr. R. Goris, operasi yang dilakukan oleh dokter tidak berhasil menyelamatkan nyawanya (In Memoriam W.F. Stutterheim). Pada tanggal 10 September 1942 Stutterheim menghembuskan nafas terakhir, menyusul teman dekatnya pelukis Walter Spies yang meninggal 8 bulan 9 hari sebelumnya.

Selain bersahabat karib, keduanya juga mengalami nasib yang sama, merasakan hidup dalam tahanan. Hanya saja alasannya berbeda. Jika Stutterheim ditahan Jepang, Walter Spies sebagai orang Jerman ditangkap oleh pemerintah Hindia Belanda karena dianggap pro dengan Jerman yang menyerang Belanda. Ketika mau dipulangkan ke Jerman, kapal Van Imhoff yang mengangkutnya pada 19 Januari 1942 diserang oleh kapal Angkatan Laut Kekaisaran Jepang dan tenggelam bersama-sama dengan 477 orang tawanan yang terkunci dan 110 awak kapal. Jasad Walter Spies terkubur di perairan bagian barat Sumatera Utara, sementara jasad W.F. Stutterheim berbaring di makam Tanah Abang. Letak nisannya berdekatan dengan makam Jan Laurens Andries Brandes, seniornya, seorang filolog, leksikografer, pengumpul artefak serta pendiri dan ketua Commissie in Nederlandsch Indie voor Oudheidkundige Onderzoek op Java en Madoera,  cikal bakal lahirnya OD atau Dinas Purbakala.

Nisan W.F. Stutterheim di Museum Taman Prasasti

Nisan W.F. Stutterheim di Museum Taman Prasasti di Jln. Tanah Abang No. 1, Jakarta Pusat (Sumber: Museum Taman Prasasti).

/6/ Penutup

Stutterheim memang hanya 18 tahun secara serius dan terus menerus menggeluti bidang arkeologi. Ia telah tiada 77 tahun yang lalu, tetapi karya-karya tetap diingat orang. Nama Willem Frederik Stutterheim akan tetap dikenal dan dikenang oleh masyarakat arkeologi Indonesia. Ia telah meninggalkan sebuah teka-teki (enigma) mengenai lokasi kerajaan Majapahit. Seperti dikatakan oleh A.J. Bernet Kempers (1906-1992), rekan arkeolog dan penerusnya sebagai Kepala OD (19471953), …tidak mudah untuk memahami sepenuhnya seperti halnya pada orang yang banyak yang kita jumpai. Ia sangat hidup dan memiliki karakter yang begitu kompleks”.

Sementara itu, F.D.K. Bosch sebagai mantan atasannya, juga memberikan apresiasi yang tinggi terhadap mantan bawahannya. Bosch mengatakan bahwa kita tidak perlu menyatakan penyesalan atas apa yang harus terjadi dalam hidup yang dihadapinya. Kita harus bersyukur bahwa perpisahan dengan Stutterheim justru telah membawa kita untuk tetap mengingatnya. Ia akan terus hidup sebagai seorang pencari kebenaran yang gigih. Ia telah meninggalkan harta pengetahuan arkeologi, bidang yang begitu disayanginya. 

*Penulis adalah Budayawan dan Pemerhati dunia kepurbakalaan Indonesia

Sumber:

Bosch, F.D.K. Levensbericht W.F.Stutterheim Levensbericht W.F.Stutterheim. Jaarboek, 1946-1947, Amsterdam.

Gomperts, Amrit, Arnoud Haag dan Peter Carey. 2008. “Stutterheim’s enigma The mystery of his mapping of the Majapahit kraton at Trowulan in 1941”. Bijdragen tot de Taal-, Land-en Volkenkunde (BKI).

Soekmono. R (1977) dalam “50 Tahun Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional, 1913-1963”, Proyek Pembinaan Kepurbakalaan dan Peninggalan Nasional, Departemen P dan K.

Stutterheim, W.F. 1948. De Kraton van Majapahit. ‘S-Gravenhage-Martinus Nijhoff.

https://www.indischekamparchieven.nl/