Rubrik Situs_Nunus Supardi

(1) Theodoor Van Erp Menuju Pemugaran Candi Borobudur

Oleh Nunus Supardi

/1/ Pengantar

Hubungan antara nama Theodoor van Erp dengan candi Borobudur tidak dapat dipisahkan lagi. Seperti sumber air yang tak pernah kering, kedekatan antara keduanya tidak habis-habisnya diulas dan ditulis. Namanya tidak hanya dikenal di kalangan arkeolog tetapi telah merambah ke lingkungan masyarakat luas. Setelah menyelesaikan pemugaran pada 1911, van Erp dikenal sebagai seorang perintis pemugaran candi Borobudur.  Pria kelahiran Ambon 26 Maret 1874 dan berlatar belakang pendidikan militer itu telah menyumbangkan sebagian besar waktunya untuk menyelamatkan candi peninggalan wangsa Syailendra itu dari keruntuhan yang lebih parah.

Rintisan pemugaran itu sendiri sebenarnya merupakan lanjutan dari kegiatan yang dilakukan oleh H.C. Cornelius. Setelah candi itu berusia 1000 tahun lebih itu (diperkirakan didirikan abad ke-8) tidak dikenali lagi dan telah berubah bentuk menjadi “bukit” yang ditumbuhi pepohonan.  Tho-mas Stamford Raffles Gubernur Jenderal Kolonial Inggris (1814) yang menerima laporan itu, meme-rintahkan Cornelius untuk melakukan penelitian.

Theodoor van Erp

Theodoor van Erp (Sumber: A.J. Th. Guus van Erp) .

Dengan bantuan tidak kurang dari 200 penduduk desa, Cornelius melakukan pember-sihan. Di sela-sela rimbunnya tetumbuhan dite-mukan batu-batu berukir yang besar dan dalam jumlah yang banyak. Selain batu-batu itu   saling bertindihan, sebagian lagi masih tampak tersusun membentuk suatu bangunan besar. Dari upaya Cornelius itulah akhirnya disimpulkan bahwa berita yang disampaikan kepada Raffles ketika berkunjung ke Semarang itu merupakan tinggalan bangunan candi. Raffles sendiri baru tahun berikutnya (1815) berkunjung ke situs yang kemudian dikenal sebagai candi Borobudur.

Sembilan puluh tiga tahun setelah candi Borobudur “ditemukan kembali” oleh Raffles, pada 1907 pelestarian secara serius keberadaan candi itu dimulai. Meskipun pemugaran yang dipercayakan kepada van Erp dilaksanakan dalam waktu 4 tahun saja (1907-1911) dan bersifat pekerjaan darurat untuk menyelamatkan candi dari keruntuhan yang lebih parah, tetapi hasil pekerjaan yang dilakukannya kemudian menjadi catatan penting bagi ilmu arkeologi, arkeolog, arsitek, sejarahwan dan tekno arkeologi. Jerih payahnya memugar candi dengan menerapkan teori “anastylosis” menjadi titik awal pengembangan ilmu arkeologi dan pemugaran di Indonesia.

/2/   Kolonial Inggris lebih gesit

Sebelum menginjak pada paparan mengenai berbagai persiapan menuju pelaksanaan pemugaran candi Borobudur oleh Theodoor van Erp ada baiknya disinggung sedikit mengenai perbedaan pendekatan dalam melaksanakan pemerintahan antara kolonial Belanda dan Inggris terhadap tinggalan budaya di Nusantara. Penemuan kembali candi Borobudur oleh Raffles yang baru 3 tahun menjabat sebagai Gubernur Jenderal mengundang pertanyaan, dan sekaligus menunjukkan adanya perbedaan konsep kedua bangsa itu dalam menempatkan posisi negeri jajahan.

Mengapa Raffles yang justru datang belakangan langsung menggebrak dunia arkeologi Indonesia dengan menemukan kembali candi Borobudur yang tergolong spektakuler? Selain itu Raffles lebih dahulu menemukan candi Sojiwan (1813) setelah menerima laporan anak buahnya, Kolonel Colin Mackenzie.  Disusul kemudian penemuan candi Dieng pada tahun 1814 juga berdasarkan laporan anak buahnya. Setahun kemudian, ditemukan situs candi Sukuh oleh Residen Surakarta, Johnson (1815) yang kala itu memang secara khusus ditugasi oleh Raffles.

Sementara itu, kolonial Belanda yang sudah ratusan tahun menguasai wilayah Nusantara, termasuk wilayah Yogyakarta dan Jawa Tengah, jumlah temuannya masih tergolong kecil. Wilayah sekitar Borobudur sudah dikuasai sejak abad ke-18 setelah menerima penyerahan wilayah kadipaten Kedu dari Sultan Mataram setelah VOC memadamkan pemberontakan. Nama kadipaten ini kemudian berubah menjadi karesidenan Bagelen. Beberapa candi yang ditemukan Belanda sebelum Raffles datang adalah candi Prambanan oleh CA. Lons pada 1733 pada 1733 di kedalaman tanah lebih dari 6 meter, disusul kemudian 1740 Loten menemukan kompleks Candi Gedong Songo. Disusul berikutnya situs Ratu Boko pertama kali dilaporkan oleh Van Boeckholzt pada 1790, sementara candi Kalasan pertama kali ditemukan pada 1806 oleh HC. Cornelius.

Setelah serangkaian “temuan” candi dan disusul dengan langkah nyata yang dilakukan oleh Raffles, pihak kolonial Belanda mulai menaruh perhatian lebih besar lagi terhadap tinggalan purbakala dibandingkan sebelumnya. Seperti yang tercatat di dalam Encyclopedia of Archaeology: History and Discoveries (Tim Murray, 2001: hal. 648), selama abad kesembilan belas, di Hindia Belanda mulai ada peningkatan aktivitas dalam bidang arkeologi. Selain melakukan kajian yang mendalam terutama berkenaan dengan keberadaan candi Hindu-Buddha, juga melakukan pendalaman mengenai metode tentang pelestarian peninggalan purbakala.

Dari gambaran sepintas mengenai kebijakan pemerintahan antara kolonial Inggris dan Belanda menunjukkan bahwa Raffles sebagai Gubernur Jenderal lebih gesit dibandingkan dengan pemerintahan masa kolonial Belanda. Hal ini mengindikasikan adanya perbedaan konsep dan sifat penjajahan yang diterapkan oleh pemerintah Inggris dengan Belanda. Perbedaan konsep itu dapat dilihat dengan membandingkan masa pemerintahan Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels dengan Raffles.

Pada masa pemerintahan Daendels (1808-1811), tugas utamanya adalah memperkuat pertahanan dan keamanan dan menjadikan kota Batavia sebagai benteng pertahanan. Proyek-proyek besar seperti pembuatan galangan beserta kapalnya di Surabaya, membangun pelabuhan Cirebon, Tanjung Priok, dan Tanjung Perak, serta membangun jalan raya dari Anyer sampai Panarukan menunjukkan bahwa pada masa pemerintahannya lebih mengutamakan pendekatan pertahanan dan ekonomi.

Sementara itu, kebijakan utama Raffles lebih diarahkan pada pendekatan budaya. Di bidang pertanian kepada petani pribumi diberikan kebebasan menanam tanaman apa saja, baik kebutuhan sendiri maupun tanaman ekspor dan sewa tanah (Landrent). Pembaharuan kebijakan juga diterapkan oleh Raffles di bidang pemerintahan, ekonomi dan keuangan, hukum dan di bidang sosial dan budaya. Di bidang sosial, antara lain dihapusnya kerja rodi, perbudakan dan   peniadakan hukuman yang kejam dan menyakiti (Perjanjian Tuntang, 1811).

Berbagai kebijakan Raffles dalam menerapkan konsep pemerintahan kolonial Inggris tersebut menurut peneliti Nadia Wright dari University of Melbourne Australia (Nadia Wright, 2008: hal.1) menjadikan Raffles sebagai “orang luar biasa” (extraordinary man). Selain sebagai Gubernur Jenderal dan pendiri Negara Singapura, juga menaruh perhatian besar pada bidang pene-litian tumbuh-tumbuhan (mengembangkan Kebun Raya Bogor, menemukan bunga Rafflesia) serta penelitian sejarah dan kebudayaan Nusantara hingga pada 1817 berhasil menerbitkan buku History of Java sebagai sebagai karya masterpiece.

Raffles selama sekitar 6 tahun memerintah sebagai Gubernur Jenderal, menunjukkan perhatian besar terhadap bidang sosial dan budaya Nusantara. Langkah itu kemudian menjadi motor penggerak bagi pemerintah kolonial Belanda untuk melakukan hal yang sama terhadap tinggalan budaya di Jawa, khususnya candi Borobudur. Para ilmuwan Belanda antara lain melakukan pendokumentasian bangunan candi, dengan melakukan penggambaran oleh HC. Cornelius, HN. Sieburgh, CJ. van der Vlis, FC. Wilsen, pemotretan oleh J. van Kinsbergen, inventarisasi oleh F. Junghuhn, restorasi bangunan candi seperti candi Mendut, dan penggalian candi di situs Dieng.  Selain itu juga melakukan survei dan pendokumentasian berbagai situs lainnya secara sistematik oleh JFG. Brumund, C. Leemans, Groeneveldt WP., RDM. Verbeek, J. Crawfurd, dll. Juga penerapan metode pendokumentasian data situs seperti yang dilakukan di Eropa, antara lain dengan cara pembuatan negatif kaca tentang monumen Borobudur oleh A. Shaefer pada 1845.  Selain itu, berturut-turut menemukan candi Mendut (1836), Ceto di Karanganyar 1842 oleh Van de Vlies, dan candi Ijo 1886 oleh HE. Doorepaal.

/3/   Beberapa aktivitas sebelum pemugaran oleh van Erp

Ada beberapa kegiatan persiapan sebelum dilaksanakannya pemugaran candi, yaitu yang berkenaan dengan pembentukan panitia, pembersihan candi, pengumpulan data, penelitian kondisi fisik candi, perencanaan dalam hal teknis pemugaraan dan anggaran. Enam tahun setelah Inggris meninggalkan Nusantara, Belanda membentuk sebuah komisi (1822) diberi nama Commissie tot het Opsporen, Verzamelen, en Bewaren van Oudheidkundige Voorwerpen atau Komisi Penelusuran, Pengoleksian dan Pemeliharaan Benda Arkeologi.  Mungkin karena lembaga ini dinilai tidak sukses dalam melaksanakan misinya, maka jarang disebut seperti halnya lembaga atau komisi yang lain. (Nunus Supardi 2013: hal. 106). Tetapi peristiwa berdirinya komisi yang berlabel “oudheidkundige” patut dicatat sebagai lembaga khusus bidang kepurbakalaan pertama di Indonesia.

Berdirinya lembaga ini telah menjadi peletak dasar penelitian dan pengembangan bidang arkeologi, sebagai salah satu disiplin ilmu di Indonesia.  Seperti dicatat di dalam Encyclopedia of Archaeology lembaga ini disebutnya sebagai: “The foundations for the development of archaeology as a discipline in Indonesia were created by the Dutch in the fields of documentation, restoration, excavation, and interpretation”. (Tim Murray, 2001: hal. 648). Sementara kalau menurut Sadiah Boonstra, baru pada 1862 pemeritah Belanda dan KBGKW secara serius menaruh perhatian terhadap tinggalan purbakala dengan meluncurkan kebijakan baru di bidang arkeologi (a new archaeology policy). (Sadiah 2009: hal.366).

Kondisi candi Borobudur sebelum Theodoor van Erp melakukan pemugaran.

Kondisi candi Borobudur sebelum Theodoor van Erp melakukan pemugaran. (Sumber: Arsip Penulis).

Dalam hal pembersihan candi nama Hartman sebagai Residen Kedu yang menjabat sejak 1832 masuk dalam catatan. Mulai tahun 1834 ia memimpin pembersihan seluruh situs. Berkat usahanya berubahlah pemandangan di desa Borobudur. Ketika itu disebutnya Borobudur bagaikan mahkota yang menghiasi perkebunan dan sawah penduduk sekitar candi.

Pada 1885 berdiri lembaga bernama Archeologische Vereeniging van Djogdjakarta. Yang ditunjuk sebagai ketua adalah Ir. J.W. IJzerman. Lembaga swasta itu dapat terbentuk berkat dukungan Sultan dan Isaäc Groneman, seorang dokter resmi Sultan Hamengkubowono VI. Pada tahun yang sama Isaäc Groneman sendiri mendirikan lembaga yang diberi nama Vereeniging voor Oudheid, Land, Taal en Volkenkunde te Djogdjakarta. Misi utama lembaga ini adalah melakukan penelitian dan pendokumentasian kebudayaan, khususnya budaya Jawa. Buku berjudul Beschrijving der oudheden nabij de Grens der Residentie Soerakarta en Djogdjakarta yang terbit 1891 merupakan hasil penelitian Ijzmerman selama tinggal di Yogyakarta.

Atas perintah IJzerman Archeologische Vereniging van Djogdjakarta melakukan penggalian bagian kaki candi Borobudur dan menemukan dinding dasar yang berisi 160 panel relief, berisi kisah tentang Karmavibhangga. Kisah itu merupakan penggambaran kehidupan manusia dalam lingkaran lahir – hidup – mati (samsara) yang tidak pernah berakhir. Oleh agama Budha rantai itu akan diakhiri untuk menuju kesempurnaan.

Relief yang sarat ajaran tentang hidup itu tidak memiliki alur cerita tunggal dengan karakter yang permanen, dan dimaksudkan sebagai pedoman hidup bagi penduduk pada umumnya, sehingga pemahat memiliki kebebasan untuk menggambarkan adegan dengan model yang diambil dari kehidupan nyata di lingkungan sosial saat itu. Dilihat dari aspek ini pembangunan candi Boro-budur beserta reliefnya memang dirangcang sebagai sebuah “informasi” tentang kehidupan sehari-hari. (Edi Sedyawati: Innovations at Borobudur 2009: hal. 1)

Sebelum hasil temuan itu ditutup kembali, relief itu diabadikan dalam bentuk foto oleh seorang fotografer bernama Kassian Cephas. Hingga saat ini, dokumentasi relief candi karya Cephas itu merupakan rujukan utama dalam kajian candi Borobudur. Langkah melakukan penggalian – meskipun tidak dilanjutkan dan ditimbun kembali – penelitian kemudian diikuti dengan pendo-kumentasian, menunjukkan suatu awal kesungguhan para ahli Belanda untuk mengetahui lebih dalam tentang keberadaan candi.

Tetapi selain itu ada pula pihak yang menyampaikan saran yang berbeda.   Akibat kondisi candi yang tidak stabil dan maraknya pencurian pada 1882 kepala inspektur artefak budaya menyarankan agar Borobudur dibongkar seluruhnya dan reliefnya dipindahkan ke museum.  (John Miksic, Marcello Tranchini, Anita Tranchini (1996). “Borobudur Golden Tales of the Borobudur”: Tuttle publishing. hlm. 29. http://id.wikipedia.org/wiki/Borobudur). Mengenai terjadinya pencurian atau lebih tepat penjarahan artefak di Borobudur itu pada dasarnya lebih disebabkan oleh kurangnya perhatian dalam waktu yang cukup lama.

Seperti dinyatakan oleh Dr. F.D.K. Bosch pada waktu pembukaaan Museum Sonobudoyo 1935 penjarahan itu bahkan dilakukan oleh lembaga Archeologische Vereniging van Djogdjakarta.  Dalam pidato peresmian, dengan judul “De Ontwikkeling van het Museumwezen in Nederlandsch Indië”. disebutkan oleh Bosch bahwa lembaga itu atas anjuran dan petunjuk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenshappen (BGKW) menghimpun barang-barang purbakala untuk membangun museum ilmu purbakala (Djawa, Th. 1935: hal. 209-221). Ide itu diterima oleh Residen Djogdjakarta tahun 1885 dan diberikan tempat untuk mendirikan bangunan untuk museum. Tetapi baru tahun 1896 museum benar-benar terwujud. Tetapi museum ini tidak lama usianya karena BGKW menemukan data bahwa ada beberapa arca yang diambil dari beberapa situs. Beberapa artefak itu akhirnya dikembalikan ke tempat semula dan yang lain di bawa ke museum van het BGKW (Amir Sutaarga, 1962: hal. 12).

Perhatian Belanda mulai serius untuk melakukan pemugaran candi Borobudur mulai muncul setelah membaca laporan Mr L. Serrurier pada tahun 1899, yang disampaikan kepada BGKW tentang kondisi beberapa monumen penting di Jawa Tengah. Berdasarkan laporan itu G.G.W. Rooseboom – mantan Jenderal Zeni Militer Tentara Belanda – dan Letjen H.P. Staal, komandan Zeni pada tentara K.N.I.L. tertarik untuk mengunjungi Borobudur.

Dari hasil kunjungan Rooseboom itu pada tahun 1900 dibentuk Borobudur Commissie. Anggota Komisi terdiri atas 3 orang yaitu Prof. Dr. J.L.A. Brandes, Mr. Van de Kamer dan Theodoor van Erp. Masuknya nama van Erp sebagai salah satu dari tiga serangkai (saat itu van Erp berusia 26 tahun) karena tugas utama Komisi adalah menetapkan kebijakan utama “menyelamatkan dan melestarikan monumen Borobudur”. Dasar dari pemilihan jatuh pada diri Theo karena ia seorang yang berjiwa militer, ahli di bidang teknik (Zeni Angkatan Darat) dan ahli di bidang rekayasa. Selain itu, van Erp memiliki minat dan kecintaan pada bidang arkeologi dan pemugaran candi.  Pada periode 1902-1903 van Erp sudah bekerja pada penyelamatan candi Siwa di kompleks Prambanan dan kompleks candi Sewu serta terlibat dalam pemugaran candi Ngawen, Selagriya dan Pringapus.

Sementara itu, minat untuk meneliti dan mendalami arkeologi di wilayah Hindia Belanda khususnya di wilayah Jawa dan Madura menjadi semakin gencar. Pada tahun 1901 dibentuklah sebuah komisi bidang arkeologi yang baru. Melalui Surat Keputusan Pemerintah (Gouvernement Besluit van 18 Mei 1901 No. 4) dibentuklah sebuah komisi yang disebut Commissie in Neder-landsch Indie voor Oudheidkundige Onderzoek op Java en Madoera. Yang ditunjuk sebagai pimpinan komisi itu ialah Dr. Jan Laurens Andries Brandes. Tugas komisi itu adalah melakukan penyusunan dan penulisan kepurbakalaan di Jawa dan Madura dari segi arkeologis dan arsitektonis, membuat gambar-gambar, foto-foto sejauh belum dilakukan pemugaran, pembuatan pedoman dan memberikan peralatan untuk pemeliharaan peninggalan-peninggalan kepurbakalaan yang terdapat di Jawa dan Madura. Berbagai hasil kerja lembaga itu dijadikan bahan masukan bagi persiapan pemugaran candi Borobudur.

/4/ Pengaruh konsep pemugaran van Erp bagi ilmu purbakala

Mulai 1907 pemugaran candi Borobudur secara resmi dimulai dan diakhiri 1911. Dari sepak terjangnya selama memugar candi Borobudur menunjukkan van Erp memiliki pendirian yang kuat. Ia menyesalkan kejadian tahun 1896 ketika Raja Siam Chulalongkorn datang ke Borobudur dihadiahi 8 gerobak arca dan fragmen candi Borobudur. Artefak yang diboyong ke Siam antara lain, lima arca Buddha bersama dengan 30 batu dengan relief, dua patung singa, beberapa batu berbentuk kala, tangga dan gerbang, serta arca penjaga dwarapala. Selain itu van Erp juga menghentikan praktek peman-faatan batu candi untuk dijadikan bahan bangunan seperti untuk pengerasan jalan, pagar pembatas, bahan bangunan pabrik gula dan pemanfaatan lainnya seperti yang terjadi di Prambanan.

Salah satu keuntungan dari posisi Borobudur dibandingkan dengan candi Prambanan menurut van Erp adalah Borobudur berada di bukit dan tertutup tanah, abu dan tumbuh-tumbuhan, sementara batu candi Prambanan lama terserak di tempat rata dan terbuka. Dengan demikian bebatuannya mudah dimanfaatkan untuk proyek-proyek bangunan baru di daerah tersebut. Antara lain digunakan untuk penguat rel kereta api dan pabrik gula. Dalam hal ini van Erp mengatakan bahwa Borobudur ditakdirkan sedikit saja batunya yang dijadikan “candied” atau “gula-gula”. (Guus van Erp 2011: hal. 5). Dalam hal menghadapi kerusakan komponen candi yang rusak atau hilang dijarah orang, van Erp berpegang teguh pada teori anastylosis, sebagai suatu istilah di bidang arkeologi untuk memulihkan kembali bangunan kuno yang hancur dengan cara secermat mungkin menggunakan unsur-unsur bangunan asli.

Hal lain yang menunjukkan keteguhan sikap van Erp dalam memuliakan tinggalan purbakala adalah ketika menolak konsep pelestarian candi Borobudur yang diusulkan oleh Kamer sebagai anggota Komisi.  B.W. van de Kamer yang bekerja di Departemen Pekerjaan Umum (Waterstaat) mengusulkan agar dibangun atap untuk melindungi Borobudur dari hujan tropis dengan cara menutup seluruh struktur dengan atap berbentuk piramid dari bahan lempengan besi dengan didukung oleh 40 tiang baja pada titik-titik tertentu. Terlepas dari keuntungan candi terhindar dari keganasan curah hujan di bukit Budur, van Erp menilai konsep itu sebagai “monstrosity” atau “keganjilan” dilihat dari sisi estetika. (Guus van Erp: hal. 3). Menurut van Erp ketika Gunadharma sang “arsitek” memilih bentuk candi Borobudur pada abad kesembilan seperti itu dan menempatkan di lokasi itu karena bila dilihat dari punggung bukit pegunungan Menoreh akan tampak siluet candi yang megah dan indah.

Theodoor van Erp memang hanya melaksanakan pemugaran pada bagian-bagian tertentu saja. Antara lain membongkar dan membangun kembali tiga teras melingkar dan stupa di bagian puncak, menegakkan kembali dinding-dinding yang miring pada tingkat pertama, serta memperbaiki gapura-gapura, relung-relung, dan stupa-stupa yang rusak. Meskipun pekerjaan hanya berhenti sampai di situ, tetapi karya van Erp mempunyau gaung yang luas.

Tidak hanya penting bagi akademisi dari Barat tetapi juga bagi kaum cendekiawan bumiputra. Bahkan penemuan kembali dan pemugaran itu menjadi ajang studi tentang candi Borobudur oleh para sarjana Belanda. Situs Borobudur menjadi media untuk bersaing dengan ilmuwan-ilmuwan lain lintas-bangsa yang meneliti bidang arkeologi di tempat lain seperti di India, Ceylon, Siam (Thailand) dan Negara-negara Asia Tenggara lainnya. Pekerjaan pemu-garan yang dilakukan van Erp menjadi “ruang kelas” dan “lembaran buku terbuka” bagi siapa pun yang berminat belajar ilmu purbakala dan pemugaran. Teori yang diterapkan dalam pemugaran candi itu telah menjadi bahan diskusi dan menjadi acuan dalam pemugaran bangunan bersejarah di Indonesia, termasuk dalam pelaksanaan pemugaran Borobudur tahap dua, 1971-1983.

/5/   Penutup

Meskipun masih banyak kisah menarik tentang hubungan antara Theodoor van Erp dengan candi Borobudur, pada bagian penutup tulisan ini patut dikutip pengakuannya ketika menerima gelar Doctor Honoris Causa dari Fakultas Seni dan Filsafat Universitas Amsterdam tanggal 17 Sepember 1951. Ketika tiba pada acara penyampaian rasa syukur telah diberi gelar itu Dr. Theodoor van Erp mengungkapkan sepenggal kisah perjalanan hidupnya yang dinilainya paling berkesan dan sekaligus menunjukkan betapa besar cintanya pada bidang arkeologi dan candi Borobudur. Menurut van Erp tahun-tahun yang paling membahagiakan di sepanjang hidupnya adalah saat dekat dengan candi Borobudur. Diakuinya sebagai “the best years of my life, at the foot of the grey stupa” (Guus van Erp 2011: hal. 16).

Hubungan antara keduanya menjadi semakin lekat karena ia dibuatkan rumah tinggal tepat di kaki Borobudur. Dengan fasilitas rumah tinggal itulah Theodoor van Erp dapat bekerja secara fokus dalam merintis pemugaran candi Borobudur, dan didukung semangatnya oleh isterinya Betsy Grevers (putri Mayjen Infanteri J.A.P. Grevers) dan anak pertamanya John van Erp yang lahir di Magelang 1904.

Rumah tinggal Theodoor van Erp di kaki candi Borobudur.

Rumah tinggal Theodoor van Erp di kaki candi Borobudur. (Sumber: Arsip Penulis).

Lukisan rumah tinggal Theodoor van Erp di kaki candi Borobudur karya Emille van Kerckhoff.

Lukisan rumah tinggal Theodoor van Erp di kaki candi Borobudur karya Emille van Kerckhoff. (Sumber: A.J. Th. Guus van Erp).

Catatan: Keterangan Judul ‘Dikutip dari buku Bela Budaya II: Bidang Sejarah, Purbakala dan Museum, Nunus Supardi, (2017) hal.261-273′.

*Penulis adalah Budayawan dan Pemerhati dunia kepurbakalaan Indonesia

Bahan bacaan:

  1. Boonstra, Sadiah. 2008. Early Photography in the Dutch East Indies: Between Art and Objectivity, dimuat dalam Uncovering the Meaning of the Hidden Base of Candi Borobudur, Ministry of Culture and Tourism.
  2. Guus van Erp, A.J. Th. 2011: Life and Work of Theo van Erp, March 26, 1874 – May 7, 1958 Laren (N-H).
  3. Murray, Tim (Ed). 2001. Encyclopedia of Archaeology: History and Discoveries, Santa Barbara California, USA.
  4. Majalah Djawa, terbitan tahun 1935.
  5. Sedyawati, Edi, Prof. Dr. 2009. Innovations at Borobudur, dimuat dalam Uncovering the Meaning of the Hidden Base of Candi Borobudur, Ministry of Culture and Tourism.
  6. Supardi, Nunus. 2011. Kebudayaan dalam Lembaga Pemerintah dari Masa ke Masa, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
  7. Sutaarga, Amir. 1962. Persoalan Museum di Indonesia, Jawatan Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan.
  8. Wright, Nadia. 2008. Sir Stamford Raffles – Manufactured Hero?, The 17th Biennial Conference of the Asian Studies Association of Australia, Melbourne 1-3 July 2008.
  9. http://id.wikipedia.org/wiki/Borobudur