Maestro dari Pelosok Jambi dan Kalimantan

Oleh Seno Joko Suyono

Panggung Maestro 2024  menampilkan para penari sepuh tradisi dari desa-desa yang jauh di Jambi dan Kalimantan. 

Ibu itu tampak ringkih. Tubuhnya kecil dan paras mukanya keriput. Maka dari itu saat ia melakukan gerak sulit mengangkat kakinya dengan tempo lambat atau dari posisi berdiri tiba-tiba mengambil posisi rendah setengah jongkok, lutut ditekuk ke lantai atau badannya miring ke belakang atau ke depan rendah dengan lengan sejajar pinggang, penonton menahan nafas. Itulah penampilan Siti Rahela di Teater Wahyu Sihombing, Taman Ismail Marzuki. Umurnya 81 tahun. Ia penari Klik Lang dari Jambi. 

Tari Klik Lang terinspirasi dari gerakan elang yang terbang mencari mangsa. Tari ini berkembang di dusun-dusun kawasan kabupaten Tebo jambi. Siti Rahela berasal dari kelurahan Pulau Temiang, Kecamatan Tebo Ulu, Kabupaten Tebo Jambi. Para peneliti tari menyatakan di kelurahan itu tari Klik Lang masih ditampilkan sampai sekarang di acara-acara perkawinan dan sebagainya. Dan dari banyak penari, Siti Rahela yang belajar Klik Lang sejak umur 10 tahun kepada neneknya di ladang sampai kini masih aktif mewariskan tarian ini ke anak-anak muda.

Penampilan Siti Rahela. (Foto: Yayasan Bali Purnati)

Tahun lalu Panggung Maestro yang merupakan hasil kerjasama Yayasan Bali Purnati dan Direktorat Perfilman, Musik dan Media Kementrian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi dilaksanakan dua kali di Gedung Kesenian Jakarta. Pada kali pertama, Juli 2023 menampilkan seniman-seniman sepuh Rapai Pase dari Aceh, Gending Sriwijaya Palembang dan Topeng Cirebon. Pada kali kedua, Desember 2023 menampilkan seniman sepuh tari Golek Montro Surakarta, tari Legong Kraton, Karang Asem dan tari Pakarena Bura’ne Kasuwiang, Pagandarang dan tari Keso-keso dari Gowa, Sulawesi Selatan. 

Dan kini, mengawali Panggung Maestro 2024  Jumat-Sabtu pekan lalu beragam tari tradisi  Jambi dan Kalimantan Selatan sekaligus ditampilkan. Berselang seling sepanggung mereka hadir. Seperti para maestro tahun lalu, beberapa penari, karena usianya naik di panggung dengan kursi roda. Ibu Ino Isah, 80 tahun, dari Kabupaten Merangin, Jambi, seniman tradisi Betauh dan ibu Ayu Manit (80 tahun ) penari Tari Kain Kromong dari Mandiangin, Kabupaten Sarolangun, Jambi misalnya.  

Selain kosa kata gerak dan latarbelakang penciptaannya, yang juga menarik, dari tari-tari yang berada nun jauh di desa-desa Jambi dan Kalimantan itu kita juga mendapat adanya imajinasi sejarah mikro yang ada kaitannya dengan interaksi lintas pulau Nusantara. Wayang kulit Banjar yang kisahnya tetap bersumber dari Mahbrata dan Ramayana misalnya disebutkan muncul di Banjar setelah seorang bangsawan dari Majapahit pada abad 14 M Bernama Pangeran Suryanata datang ke Banjar dan kawin dengan putri setempat Puteri Junjung Buih dari Kerajaan Dipa. Di Kawasan Banjar, memang ada situs Candi Agung  diperkirakan arkeolog sisa kerajaan Hindu Dipa. 

Pertunjukan wayang kulit Banjar. (Foto: Yayasan Bali Purnati)

Berkaitan dengan ini juga menarik inovasi-inovasi pembuatan topeng yang dilakukan Dalang Zandri, dalang wayang topeng carita banjar (pertunjukan topeng dengan sosk-sosok karakter yang diambil dari tokoh wayang kulit). Kita melhat para pemain topeng Banjar pimpinan Zandri malam itu mengenakan topeng kuda, raksasa dan lain-lain namun bentuk topengnya berbeda dengan topeng-topeng Panji yang hanya menutup muka dari depan, melainkan seperti “helm” – kepala bisa dimasukkan semua. Efeknya memang berbeda. Penari yang mengenakan topeng kuda misalnya terasa surealis saat bergerak.     

Penampilan topeng Banjar. (Foto: Yayasan Bali Purnati)

Namun pertunjukan paling semarak dan hangat malam itu disajikan oleh Said Zen Al Jufri (70 tahun) dan para penari Dana Syarah dari Pelayangan, Seberang, Jambi. Pada masa lalu Pelayangan, merupakan pintu masuk bagi para saudagar Arab untuk berdagang di Jambi, Di kawasan itu muncul tarian dengan iringan musik puji-pujian terhadap nabi Muhammad SAW dengan nuansa kombinasi hadrah dan gambus namun nuansa geraknya unsur Melayu.

Penampilan Said Zen Al Jufri. (Foto: Yayasan Bali Purnati)

Lihatlah betapa hidupnya suasana saat sang Abah Said diiringi musik yang dimotori akordion dan tabuhan rebana membawa suasana melodis dan riang. Ia seperti bersijingkat melompat lompat, menelusup cekatan ke sana kemari. 20 tahun ia tidak menari namun telapak kakinya lincah ringan Said Zen Al Jufri dikatakan menempa dirinya dengan berlatih Dana Syarah di depan Masjid tiap hari dari selepas Isya sampai larut malam. Ia menari-nari sembari berdzikir atau wiridan. Itu menandakan tari  ini adalah juga medium untuk jalan tarekat. Malam itu para penari anak muda yang mengenakan kopiah dan sarung yang kemudian muncul mengiringi Said Zen Al Jufri makin menguatkan bahwa khazanah Islam luwes, mampu berasimilasi dengan kelokalan, kemelayuan bahkan dengan instrument barat seperti akordeon. Penampilan mereka membuat perasaan ingin turut melantai.

Penampilan Said Zen Al Jufri bersama penari-penari muda. (Foto: Yayasan Bali Purnati)

Sehari-hari Said Zen Al Jufri dan Ibu Siti Rahela adalah orang kecil biasa. Abah Said sehari-hari berprofesi sebagai pembawa perahu ketek – transportasi – untuk menyebrangi Sungai Batanghari. Akan halnya ibu Siti adalah seorang buruh perkebunan. Menari bagi mereka mungkin juga bagian dari proses katarsis dari kehidupan sehari-hari yang keras.  Para kurator acara ini, Sulistyo Tirtokusumo, Restu Imansari Kusumaningrum  dan Endo Suanda mengambil definisi maestro yaitu mereka para seniman yang sampai sepuh mengabdikan diri untuk menekuni suatu bidang seni tradisi dalam jangka waktu lama (sekurang-kurangnya 35 tahun) secara terus menerus. Dan orang-orang demikian yang hidup seharinya kekurangan namun terus setia menjaga tradisi, tak ingin amanat leluhur mati, bertebaran di pelosok-pelosok desa Nusantara.

Foto bersama Bapak Mahendra, Direktur Direktorat Perfilman, Musik dan Media Kementrian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi. (Foto: Yayasan Bali Purnati)

Seperti penampilan ibu Siti Rahael itu. Sesungguhnya gerak-gerak yang ditampilkan biasa saja. Tapi tubuhnya adalah tubuh yang memancarkan pengabdian dan kesetiaan tanpa pamrih. Ada keletihan di tubuhnya, ada kehalusan, ada martabat, ada kejujuran. Di situlah rasa hormat timbul pada diri kita menyaksikan geraknya. Maka tak mengherankan begitu ibu Siti Rahael mampu menjaga keseimbangannya saat menyajikan gerakan elang mengintai mangsanya yang cukup sulit dan membutuhkan tenaga untuk umur sesepuh dia. Segera tepuk tangan penonton membahana. Tepuk tangan berbaur rasa haru.

*Seno Joko Suyono. Pernah kuliah di Fak Filsafat UGM dan tinggal di Bekasi.