Mereka yang Menunggu di Banda Naira: Pertemuan Ideologis di Negeri Buangan

Oleh Irfan Suparman

Seseorang akan kaget mendengar cerita tentang Banda Naira, kenapa? Sebuah pulau yang indah permai ini dulunya adalah tempat pengasingan bagi tahanan politik dalam masa pemerintahan Hindia-Belanda. Orang menyebut Indonesia sebagai Hindia, tempat kongsi dagang Vereenigde oost Compagnie (VOC) memulai koloninya di tenggara Asia.

Banda Neira merupakan salah satu dari sepuluh pulau vulkanik di Kepulauan Banda, Provinsi Maluku. Banda Naira pernah menjadi penghasil rempah satu-satunya di dunia bernama Pala. Untuk itu Netherland datang ke Banda Naira sebelum ke Batavia. Harga satu buah Pala hampir seharga dengan segenggam emas. Itu dahulu, jauh sebelum Indonesia merdeka.[1] Kemegahan Pulau Banda Naira ini dirasakan oleh pejuang pemikir bangsa, yaitu Sutan Sjahrir, Moh. Hatta. Mereka diasingkan karena kegiatan politiknya yang membahayakan pemerintahan Hindia-Belanda yang dipimpin oleh Gubernur Jenderal De Jonge.

Gubernur Jenderal Hindia-Belanda, Bonifacius Cornelis De Jonge memerintah antara tanggal 12 September 1931 sampai 16 September 1936. De Jonge merupakan Gubernur jenderal yang keras terhadap gerakan kemerdekaan Indonesia dan tak segan melakukan pembredelan terhadap sejumlah media cetak yang mendukung pergerakan.[2] Sebelum De Jonge berkuasa, Partai Komunis Indonesia (PKI) pada tahun 1926 membuat pemberontakan terhadap pemerintah kolonial yang membuat semangat baru bagi para pelajar Indonesia saat itu untuk mendirikan organisasi yang bergerak melawan Belanda.

Berkat semangat itu lah pada tahun berikutnya, Ir. Soekarno mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI). Partai itu dibentuk oleh Soekarno dengan ideologi nasionalisme sekuler dan membawa gagasan baru dari hasil evaluasinya terhadap pengalaman di Sarekat Islam (SI) dan PKI.[3] Namun, usia PNI tidak lama, ia harus terpecah karena berbagai masalah salah satunya Soekarno ditangkap pada tahun 1929 karena membahayakan pemerintah kolonial Hindia-Belanda dan pada tahun 1931 pimpinan PNI digantikan oleh Sartono yang pada akhirnya PNI diganti menjadi Partai Indonesia (PARTINDO). Hatta dan Sjahrir tidak sependapat dengan Sartono, mereka membentuk PNI menjadi Pendidikan Nasional Indonesia (PNI-Baru) pada tahun yang sama. PARTINDO bergerak dengan kekuatan massa aksi, sedangkan PNI-Baru dengan pendidikannya ekonomi.[4]

Munculnya organisasi dan partai-partai yang menggelorakan semangat kemerdekaan membuat pemerintah kolonial khawatir dengan pemberontakan baru setelah pemberontakan yang dilakukan PKI gagal. Situasi politik pada tahun 1934 mulai berubah, Gubernur Jenderal De Jonge mengambil keputusan untuk menangkap 13 aktivis PNI-Baru. Hatta akhirnya dibawa ke penjara Glodok, dan Sjahrir ditahan di penjara Cipinang-Batavia. Pada 23 Januari 1934, mereka berdua diasingkan ke Boven Digul, tempat para tahanan politik (tapol) yang menentang pemerintah Hindia Belanda. Mereka diasingkan selama satu tahun di tengah hutan yang ganas, sungai yang penuh buaya, dan daerah berpenyakit, yang akhirnya membuat mereka berdua menderita malaria.[5]

Dari Boven Digul, mereka dipindahkan ke Banda Naira tempat mereka bertemu Des Alwi, Iwa Kusuma dan Tjipto Mangoenkoesoemo, tepatnya pada tahun 1936. Pertemuan itulah yang pada akhirnya dipentaskan ke dalam pementasan teater berjudul Mereka Yang Menunggu di Banda Naira yang dimainkan oleh Reza Rahadian sebagai Sutan Sjahrir, Lukman Sardi sebagai dr. Tjipto Mangoenkoesoemo, Tanta Ginting sebagai Mohammad Hatta, Verdi Solaiman sebagai Iwa Koesoema Soemanteri, Willem Bevers sebagai Kloosterhuis, Julie Estelle sebagai Maria Ducjtaeau, Aktiva Sardi sebagai Des Alwi. Pementasan ini disutradarai oleh Wawan Sofwan dan naskah ditulis oleh Wawan Sofwan dan Gunawan Maryanto. Mereka Yang Menunggu di Banda Naira merupakan pementasan dari Titimangsa yang ke-52. Pertunjukan ini dapat ditonton gratis di kanal Youtube IndonesiaKaya selama enam bulan terhitung dari Jumat, 17 Desember 2021.

Pementasan Mereka yang Menunggu di Banda Naira

Foto 1 – Pementasan Mereka yang Menunggu di Banda Naira. (Sumber Foto: Tangkapan layar kanal YouTube IndonesiaKaya)

Cerita dimulai ketika Sjahrir dan Hatta bertanya kepada Des Alwi, di mana rumah dr, Tjipto Mangoenkoesoemo. Namun, Des Alwi malah memberitahu bahwa rumah dr. Tjipto jauh dan lebih dekat ke rumah Iwa Koesoema. Hatta bertanya kepada Sjahrir, apakah ia pernah mendengar nama Iwa Koesoema. Hatta mengetahui lebih banyak dari Sjahrir, kemudian Sjahrir terkesima melihat kitab suci umat Islam ada di rumah Iwa terbuka jelas seperti habis dibaca. Sjahrir mengetahui kalau Iwa Koesoema Soemantri sangat dekat dengan Marxisme. Kita semua ketahui kalau Karl Marx sendiri seorang penulis buku Manifesto Komunisme pernah berujar yang cukup fenomenal dan diinterpretasi bebas, yaitu Agama adalah candu.

Singkat cerita, dr. Tjipto menjelaskan kepada Hatta dan Sjahrir kalau semenjak di Banda Naira, Iwa jadi lebih rajin beribadah, katanya, marxisme jalan terus tapi ibadah makin taat. Pementasan yang mempertemukan tokoh-tokoh yang memiliki pandangan berbeda menjadi satu laku dalam kehidupan keseharian di Banda Naira. Tempat pengasingan para tokoh nasionalis, komunis, sosialis dan pejuang pemikir lainnya yang dijadikan tahanan politik oleh Gubernur Jenderal De Jonge.

Dalam pementasan ini, dapat diketahui bahwa Iwa Koesoema sangat menyukai sastra Rusia karena pada saat berkuliah di Moskow, Rusia, Iwa dekat dengan perempuan kelahiran Ukraina, Anna Ivanova. Iwa banyak mengenal sastra Rusia melaluinya. Ia dikenalkan dengan tulisan Maxim Gorky, Leo Tolstoy, Fyodor Dostoyevsky dan penulis besar lainnya. Penggambaran tokoh Iwa Koesoema Soemantri oleh penulis naskah Wawan Sofwan dan Gunawan Maryanto sangat riang juga melankolis. Kepergian Anna Ivanovna membuat Iwa tersedu sedan saat ia menceritakannya kepada Sjahrir, ketika waktu itu Sjahrir menceritakan tentang kasihnya Maria Ducjteaeu.

Julie Estelle berhasil memainkan Maria Duchteau dengan sangat baik. Kegetiran yang pahit dialami oleh Maria berhasil dibawakan lewat dialog-dialog yang gemetar ketika dilafalkan. Kisah Maria dan Sjahrir bukan persoalan cinta semata, tapi juga ada persoalan politik, ideologi serta budaya yang mengisi pertikaian batin hati keduanya.

Pementasan ini didominasi kisah Sjahrir yang mengalami keterasingan di Banda Naira karena perpisahannya dengan Maria Duchteau. Sjahrir sampai sakit memikirkan Maria dan Maria selalu hadir dalam mimpi kemudian berakhir dengan perpisahan. Selama Sjahrir sakit, Hatta sangat perhatian kepada Sjahrir. Ia merawat Sjahrir seperti adiknya sendiri, sampai pada sekali waktu ia meminta pil kina kepada dr. Tjipto Mangoenkoesoemo. Hal itu bawa kembali dalam pementasan Mereka Yang Menunggu di Banda Naira.

Julie Estelle berperan sebagai Maria Duchteau. Foto 2 – Pementasan Mereka yang Menunggu di Banda Naira. (Sumber Foto: Tangkapan layar kanal YouTube IndonesiaKaya)

Semua tokoh yang terlibat dalam pementasan ini sama-sama menginginkan kemerdekaan untuk Indonesia. Pemikiran paling radikal muncul dari dr. Tjipto Mangoenkoesoemo yang menolak iklim keraton yang feodalistik sehingga hampir diduga bahwa ia membenci kebudayaan Jawa. Tetapi, dr. Tjipto membantahnya sebab ia lahir dan besar dengan budaya Jawa. Selama berada di Banda Neira, mereka semua masih menentang pemerintahan Hindia-Belanda.

Sekali waktu dr. Tjipto sangat marah karena istrinya tidak diperbolehkan mengambil haknya berupa uang 15 gulden saat mendatangi kantor Gezaghebber (Gubernur Letnan). Hal itu membuat dr. Tjipto sangat gusar sehingga ia tidak mau mengemis pada Belanda, apalagi hanya 15 gulden. Hatta yang mengetahui hal itu langsung bertanya dan membantu dr. Tjipto untuk tidak terlalu emosi karena mempengaruhi kesehatannya.

Adegan itulah yang dilatarbelakangi saat Hatta meminta Pil Kina untuk Sjahrir. Sjahrir adalah kerabat Hatta sampai ia sama-sama diasingkan ke Banda Naira. Peran mereka cukup berarti bagi masyarakat Banda Naira, terutama bagi Des Alwi. Ia mengajarkan Des Alwi untuk belajar kemudian meminta Des untuk mengajak temannya untuk ikut belajar. Hatta dan Sjahrir mendirikan sekolah. Sekolah tersebut dikenal dengan Sekolah Sore, yang terletak di belakang rumah Hatta yang bersebelahan dengan sekolah Belanda. Rumah Hatta adalah bekas rumah milik Perkenier (Pemilik kebun tanaman Pala) Belanda.[6]

Foto 3 – Pementasan Mereka yang Menunggu di Banda Naira. (Sumber Foto: Tangkapan layar kanal YouTube IndonesiaKaya)

Usaha mereka untuk mencerdaskan masyarakat Banda Naira dinilai dapat membawa pengaruh buruk oleh pemerintah Hindia-Belanda. Hal itu diketahui saat mereka dipanggil ke kantor Gezaghebber yang saat itu dipimpin oleh Kloosterhuis. Seorang Belanda tua yang bengis. Sepak terjangnya sangat dibenci masyarakat, saat ia menjabat sebagai Kepala Distrik di Ternate, Maluku Utara. Dia mendatangi rumah penduduk untuk menagih pajak bulanan, jika tidak mampu ia akan memenjarakannya.[7] Sjahrir dan Hatta harus berhadapan dengannya, kemudian Kloosterhuis memberi tahu bahwa mereka tidak diperkenankan untuk bepergian keluar Banda Naira tanpa seizinnya.

Demikian pemberitahuan itu disampaikan di kantornya. Kloosterhuis memberi mereka kabar yang baru saja dia terima dari pemerintah: Bahwa mulai sekarang orang-orang buangan tidak boleh pergi dari Pulau Banda Naira tanpa izinnya. Sjahrir kemudian bertanya apakah ini berarti orang buangan tidak bisa mendayung atau berlayar di teluk dalam Banda Naira.[8] Setelah itu kegiatannya mesti diawasi oleh polisi Hindia-Belanda. Dalam pementasan Mereka Yang Menunggu di Banda, Kloosterhuis menceritakan alasan yang tidak rasional, sebab perahu-perahu dicat merah putih dan itu termasuk penyebaran partai. Sjahrir tidak terima langsung membantah, bertanya, apa yang kamu ketahui tentang partai kami, kepada Kloosterhuis dan ia gelagapan menjawabnya. Momen yang tragis tapi sekaligus menjadi komedi dalam pertunjukan ini.

Foto 4 – Pementasan Mereka yang Menunggu di Banda Naira. (Sumber Foto: Tangkapan layar kanal YouTube IndonesiaKaya)

Pendudukan Jepang di negeri Belanda membawa kabar negatif bagi Kloosterhuis, sementara itu gagasan soal kemerdekaan terus didiskusikan oleh Sutan Sjahrir dan kawan-kawan seperbuangan di Banda, dr. Tjipto harus bergeser ke Makassar dan menyampaikan bahwa Indonesia harus merdeka. Kloosterhuis yang kepanikan menyampaikan kalau sekarang Sjahrir dkk, sudah bisa bepergian ke luar Banda Naira. Kalau sekali waktu pesawat Jepang tiba di Banda Naira, Sjahrir diminta Kloosterhuis untuk membantunya mengakomodasi masyarakat untuk menjauh dari Banda Naira.

Kabar tersebut sampai pada telinga Des Alwi, mereka pun berpamitan kepada Des Alwi dan menyampaikan kalau suatu saat mereka akan bertemu kembali. Pertunjukan itu diakhiri dengan perpisahan mereka di Pulau Banda Naira. Wawan Sofwan sebagai sutradara berhasil menyajikan pertunjukan yang magis dan realis ke dalam bentuk panggung arena. Dengan artistik panggung yang sederhana, akan tetapi kaya dengan makna. Pertunjukan ini juga diiringi dengan instrumen musik klasik dari Chopin dan sedikit lagu berbahasa Belanda.

Pertunjukan yang penuh dengan nilai sejarah serta peristiwa yang terjadi dibalik nama-nama besar dalam sejarah perjuangan bangsa ini penting sekali untuk diapresiasi. Banda Naira sebagai pulau penghasil rempah yang diduduki pertama kali oleh kolonial Belanda menanggung bekas luka tersendiri. Peristiwa di Banda Naira merupakan peristiwa penting yang menjadi saksi bagaimana pemerintahan Hindia-Belanda banyak merugikan rakyat. Kisah ini menunjukan bahwa perjuangan bangsa Indonesia tidak hanya melalui organisasi politik, tapi juga dengan penyebaran pendidikan di masyarakat.

*Penulis adalah pegiat Teater. Aktif di Teater Kafe Ide dan juga di organisasi Front Aksi Mahasiswa Untirta.

Daftar Referensi APA Edition

pastedGraphic.png

[1] Kemenparekraf/Baparekraf RI. (2021, Juni 29). Banda Neira, Surga di Timur Indonesia. https://kemenparekraf.go.id/ragam-pariwisata/Banda-Neira,-Surga-di-Timur-Indonesia

[2] Perpusnas. Bonafacius Cornelis De Jonge. https://bataviadigital.perpusnas.go.id/tokoh/?box=detail&id_record=70.

[3] Wahyuningrum, E. (1999). Pecahnya Partai Nasional Indonesia (PNI) Menjadi Partai Indonesia (PARTINDO) dan Pendidikan Nasional Indonesia (PNI-Baru). Skripsi FKIP Universitas

[4] Ibid, hlm. 17-18.

[5] Farid, M. (2020). Traces of The Socialist in Exile: Mohammad Hatta and Sutan Sjahrir. The Journal of Society and Media, 4(1), 133-155.

[6] Ibid, hlm. 139.

[7] Sutanto, S. (2021). Bung Di Banda. GagasMedia.

[8] Alwi, D. (2008). Friends and exiles: a memoir of the Nutmeg Isles and the Indonesian nationalist movement (No. 44). SEAP Publications..