Sebuah Buku Dan Cinta Kepada Kota

Oleh Halim HD*

Betapa sulitnya menyintai suatu kota di negeri ini. Kita hanya bisa merasakan sendiri. Paling jauh berbagi perasaan dengan teman dekat. Juga tak tentu bisa menangkap apa yang kita rasakan. Mungkin berbeda dengan yang saya alami. Setiap orang memang punya pengalaman dan persepi tentang perubahan suatu kota. Sebagai pejalan dan penggiat kebudayaan yang selama 40-an tahun lebih, dan hingga kini saya masih berusaha mencoba bukan hanya menyapa tapi juga menikmati melalui kunjungan dan pertemuan dengan banyak teman, walapun sekarang saya memiliki keterbatasan karena usia dan juga enerji yang kian terbatas. 

Mengunjungi suatu kota bagi saya merupakan kegembiraan yang mendekati eforia personal, yang membawa saya kepada berbagai pembayangan yang akan saya nikmati, dan akan saya gali semua hal semampu saya. Kunjungan merupakan pertemuan dan itu menjadi bagian dari proses saya untuk belajar dan kembali belajar memahami pengalaman mutahir yang saya cecap dan resapkan. Gairah berkunjung dan bertemu dengan teman-teman dan siapa saja selalu membuka cakrawala pikiran melalui obrolan yang nampak remeh temeh namun menciptakan denyar syaraf yang bergetar, bahwa ada sesuatu yang baru. Hidup memang penuh dengan ketakterdugaan.

Makassar telah begitu banyak memberikan asupan kepada kehidupan saya pribadi dalam banyak hal yang bisa berpuluh halaman jika saya menuliskannya. Saya merasa bersyukur dengan pertemuan, silaturahmi, berbagi pengalaman, dan tak terhitung yang telah memberikan kepada saya makna kehidupan dari perjumpaan yang selalu memukau tentang tarian, makanan, bacaan dan selingan anekdot yang membuat segar serta gossip politik yang membikin pikiran bertambah dengan pertimbangan tentang makna apa sesungguhnya tugas dan kewajiban seorang warga di suatu kota.

Betapapun saya tak cukup memahami bahasa Makassar, Bugis (juga Mandar dan Toraja) walaupun bertahun-tahun saya bermukim di Sulsel dan khususnya Makassar, rasanya kota itu seperti kampung sendiri. Dalam banyak guyonan dengan teman-teman di Jawa, ketika saya ingin ke Makassar, saya bilang ingin pulang kampung, mudik, menengok tetangga dan kerabat dan menghirup kembali spirit yang pernah memberikan inspirasi kerja kebudayaan. Mereka tertawa, dan kami melepaskan makna guyonan yang ditangkap oleh banyak teman, bahwa hal itu memang bukan sekedar guyonan.

Menyintai suatu kota sesungguhnya kita mereguk seluruh yang ada, betapapun sulitnya, di dalam suatu ruang kehidupan. Bahkan yang tak kita senangipun harus kita terima sebagai realitas yang ada dan yang tak bisa kita tolak. Anggapan saya ini diilhami oleh sebuah buku. Saya teringat kepada suatu bacaan yang semula saya dengar dari ceramahnya Arief Budiman pada peristiwa Kaum Urakan pada tahun 1971 di Pantai Parangtritis, pesisir Yogyakarta bagian Selatan. Peristiwa yang diselenggarakan oleh Bengkel Teater dengan figur Rendra bagai magnit yang menyedot dan disitulah ratusan seniman hadir. Saya waktu itu hanyalah seorang siswa SMA yang tertarik dan bolos sekolah bersama empat teman saya (Joko Suwarso, Sulistyo, Sukiman dan Sutarto). Kami bersepeda sejauh 40-an Km dan dua hari kami menghadiri sesuatu yang sesungguhnya tak sepenuhnya kami pahami. Kami mengenal nama Rendra yang selalu memukau, figur fenomena jaman yang kata-kata dan pernyataannya dan seluruh gerak geriknya membuat publik memperhatikannya. Rasa tertarik dan rasa ingin tahu itulah yang membuat kami nekad membolos. Di situlah, diantara debur ombak yang memukau dan pasir yang halus bersih serta sentuhan angin serta kerumunan kaum muda, seseorang bicara tentang makna cinta. Saya seperti ingat pembicara itu, tapi samar. Baru belakangan tahu pasti. Semula hanya menduga-duga karena wajahnya saya lihat pada gambar majalah Horison dan foto yang selalu menyertai tulisannya di koran Jakarta, Arief Budiman. 

Membicarakan tentang cinta yang disampaikan oleh Arief Budiman dan ingatan kepada peristiwa itu, kembali terulang pada obrolan tahun 1972 di lamping selatan Gedung Pusat Universitas Gajah Mada di Bulaksumur, disela-sela menunggu perkuliahan di Fakultas Filsafat UGM. Mas Habib Chirzin, salah seorang rekan kuliah dan pengajar di Ponpes Pabelan, Muntilan, membuka obrolan itu. Seketika ingatan terkuak, dan kembali rasa ingin tahu lebih jauh menggelitik pikiran saya: dimana buku itu bisa saya dapatkan, bagaimana saya bisa mengenal lebih jauh seorang bernama Erich Fromm yang menulis buku The Art of Loving.   

Pada tahun 1974, seperti tahun sebelumnya saya menjadi panitia Pekan Orientasi Studi Mahasiswa (Posma) UGM, menjadi koordinator 140 mahasiswa baru dari berbagai fakultas. Salah seorang diantaranya, mahasiswa Fakultas Ekonomi berasal dari Kediri. Banyak jalan menuju ke Roma, dan jalan mendapatkan buku tentang cinta saya dapatkan dari mahasiswa yang saya bimbing. Suatu malam, sekitar hampir sebulan sesudaah Posma, saya jalan ke Malioboro, dan seperti biasanya mampir ke toko buku Hien Hoo Sing, selatan perpustakaan umum Yogyakarta, melihat jejeran buku dan tiba tiba di hadapan saya, di balik lemari-rendah pembatas hadir sang mahasiswa Fakultas Ekonomi itu, sambil menanyakan, apakah saya tertarik dengan buku Erich Fromm. Dua kali saya terkejut. Pertama saya baru tahu kalau dia tinggal di toko buku Hien Hoo Sing, dan kejutan kedua yang bikin hati saya berdebar. Buku saku dengan warna merah muda dengan gambar bunga, saya raih dan saya buka-buka. Ini buku jenis terbitan murah, pocket book, tapi tetap saja uang saya tak cukup untuk membeli buku edisi bahasa Inggris. Nampaknya kejutan itu tak hanya dua kali terjadi, dan bersambung dengan kejutan ketiga. Nampaknya dia membaca raut wajah saya, antara berharap memiliki tapi tongpes. Silahkan saja bawa, dia menawarkan buku itu. Saya tak punya uang, jawab saya. No problem, katanya, bawa saja. Lalu dia mengambil kantong kertas sejenis amplop agak tebal dan memasukan buku itu dan menyerahkan kepada saya. Singkat cerita, buku itu dengan hati berdebar gembira saya bawa pulang ke rumah kost di Bumijo, langsung saya sampul. Dan singkat cerita pula, tak satu sen pun buku itu saya bayar. Bulan berikutnya, setelah saya punya uang cukup untuk membayar hutang, setelah berulang kali lewat toko buku itu tapi tongpes, saya mampir, menemuinya dan ingin membayar. Dia menolak, katanya, itu hadiah, sambil mengajak saya ke pojok dan ngobrol tentang buku The Art of Loving.

Bagi Erich Fromm ada empat hal dalam proses kita menyintai. Penulis yang produktif dengan sekitar 40-an judul buku dari pemikir Psikologi-Humanis ini menjadi dasar bagi siapa saja di dalam menciptakan relasi antar manusia agar tak tercipta suatu kondisi hubungan yang tak manusiawi. Care, kepedulian merupakan unsur pertama dalam kita menciptakan relasi dengan orang lain, dan tak harus lawan jenis. Kepedulian kepada orang lain merupakan wujud dorongan dari unsur Responsibility, rasa tanggungjawab. Dan karena kita memiliki rasa tanggungjawab sebagaimana pihak lain juga memiliki perasaan itu, maka kita saling berbagi pengalaman, dan saling menimbang perasaan dan pemikiran masing-masing. Disinilah proses berbagi pengalaman dengan isian pengetahuan, Knowledge. Knowledge, pengetahuan akan menjadi kekuasaan yang bisa memaksa. Bukankah Francis Bacon, filsuf Inggris itu pernah menyatakan, ilmu pengetahuan adalah kekuasaan, Knowledge is Power. Jangan biarkan kekuasaan merajalela dalam diri kita ketika menciptakan hubungan personal dan sosial. Namun manusia sering khilaf dan bahkan masuk ke dalam lingkaran setan kekhilafan itu dan membawa diri kita ke dalam nafsu kuasa untuk menguasai orang lain. Jika ilmu pengetahuan tak didasarkan kepada rasa hormat, Respect, ujar Fromm, kepada yang lain, dia akan merajalela menguasai, melakukan eksploitasi terhadap orang lain. Rasa hormat itulah yang kita butuhkan untuk mengimbangi dan menahan laju kehendak kuasa.  

Lalu apa hubungannya sebuah buku favorit dengan sebuah kota. Menyintai kota bukan hanya memujinya. Kepedulian yang didorong oleh rasa tanggungjawab mengharuskan siapa saja untuk memberikan pemikiran dan seluruh perasaannya, bahwa kota harus dijaga melalui pikiran yang sehat dan pikiran yang sehat yang memiliki kandungan ilmu pengetahuan bisa disampaikan kepada pengelola kota, bahwa ada sesuatu yang mungkin keliru di dalam pengembangan ruang dan tatakelola wilayah. Kepedulian dituntut bukan hanya oleh warga tapi juga pengelola kota yang memiliki wewenang dan kekuasaan. Dan kekuasaan itulah yang perlu kita perhatikan secara cermat, sejauh manakah kekuasaan itu didasarkan kepada rasa hormat kepada warga yang sesungguhnya menjadi pemilik kota? Bukankah jika tanpa warga, tak ada wilayah yang bisa kita sebut kota? Bukankah pengelola kota menjadi memiliki kuasa karena telah dipilih oleh warga? Dan bukankah yang kita sebut kota adalah perwujudan tata ruang peradaban yang didukung oleh kesadaran budayawi? Bukankah makna budayawi merupakan tatanan nilai yang didasarkan kepada makna khasanah tradisi yang menghormati bukan tentang masa lampau, tapi kandungan nilai yang menuntun kita untuk memiliki rasa hormat kepada orang lain.

Jika kita memperbincangkan posisi-fungsi kota masa kini yang kian sulit kita anggap sebagai ruang peradaban, kita menggelar argumentasi dan kita melontarkan gagasan dan kritik tentang kondisi kota, sesungguhnyalah bahwa kita menerapkan praktek rasa hormat, bahwa ruang peradaban perlu dijaga dan dilestarikan, dan bahwa untuk menjaga dan melestarikan kota membutuhkan partisipasi warga dalam mengelolanya. Dan partisipasi sudah pasti tak bisa hanya melalui instruksi. Partisipasi hanya bisa berjalan jika ada keterbukaan, ada kehendak dialog dari pengelola kota yang menyadari keterbatasannya. Yang lebih penting lagi, dialog dan partisipasi itu merupakan kehendak untuk mengembalikan makna dan hikmat kekuasaan kepada warga sebagai pemilik kedaulatan. Betapa sulitnya untuk berendah hati dan membuka telinganya untuk mendengarkan suara yang lain. Politik telah membeku. 

Menyintai kota dan meresapkannya melalui berbagai pengalaman dan merenunginya sebagai pengetahuan, rasanya tak cukup mudah untuk menyampaikannya. Gema dari perasaan dan pikiran yang saling berkelindan berputar seperti pusaran angin beliung di dalam diri. Saya tak tahu, atau lebih tepatnya, inilah cara saya untuk menyampaikan perasaan cinta saya, walau pernyataan perasaan dan pikiran saya hanya sampai menjadi gema di dinding dinding tembok kota yang menjulang dan terasa angkuh.

I Love You.

-o0o-

*Halim HD, Networker-Organizer Kebudayaan