Ignas Kleden

Oleh: Riwanto Tirtosurdarmo*

 

Dalam sebuah percakapan dengan Salman Rushdie, mungkin menjadi wawancara terakhir sebelum wafat karena penyakit leukemia yang dideritanya, Edward Said, mengkritik penggunaan istilah intelektual publik – yang menurutnya “redundance”. Edward Said mengatakan bahwa seorang intelektual sudah dengan sendirinya publik, tidak ada seorang intelektual yang tidak publik.

Daniel Dhakidae, Mochtar Pabottingi dan Ignas Kleden adalah tiga orang intelektual yang saya kagumi. Hidup mereka sederhana, tidak saya dengar mereka memiliki rumah atau mobil mewah. Tidak pernah saya dengar mereka menjadi konsultan politik partai, menerima pemberian jabatan, seperti menjadi dirjen atau wamen, komisaris perusahaan ini atau itu, duta besar negeri ini atau itu; sebagai balas budi dari seorang presiden yang barangkali pernah didukungnya.

Ketiga intelektual yang saya kagumi itu berpengaruh karena pikiran jernih yang dituliskan dalam teks-teks berupa esai, kolom, makalah dan buku-buku; bukan karena tampangnya yang sering nongol di berbagai acara “talk show” di TV, atau menjadi populer di sosial media karena komentar nyinyir tentang apa saja yang menurutnya jelek di negeri ini. Secara akademik mereka juga telah membuktikan diri meraih gelar doktor, sebuah pencapaian tertinggi seorang yang mengaku sebagai akademisi, dari universitas terkenal di dunia.

Saat ini, jagad intelektual Indonesia telah melebar dan meluas sejalan dengan perubahan sosial yang cepat pasca lengsernya Presiden Suharto pada tanggal 21 Mei 1998. Dalam waktu kurang dari tiga dekade Jakarta perlahan-lahan meleleh tidak lagi bisa dikatakan sebagai pusat intelektual lagi. Mungkin munculnya generasi baru kelompok intelektual yang pertumbuhannya berjalan seiring dengan berkembangnya dunia aktivisme di berbagai ranah sosial politik itu berhubungan dan berjalan paralel dengan desentralisasi politik pasca Orde Baru.

Peran media sosial yang antara lain memudahkan mobilisasi pendapat dan gerakan sosial sangat besar dalam memperluas dan memperbesar jumlah kaum intelektual di Indonesia. Mungkin menarik melihat perubahan dan pergeseran yang terjadi antara generasi intelektual yang tumbuh pada periode Orde Baru dan Pasca Orde Baru sekarang ini.

Kita tahu sejak awal tahun 1970-an telah ditandai oleh kemunculan kaum intelektual kritis terhadap Orde-Baru. Dalam konteks ini kita tidak boleh melupakan peran Gubernur Jakarta Ali Sadikin, seorang Sukarnois, yang dalam kapasitasnya sebagai seorang gubernur menjadi patron bagi elit intelektual Jakarta dengan membentuk berbagai lembaga kebudayaan, seperti Akademi Jakarta, Taman Ismail Marzuki, Institut Kesenian Jakarta, disamping membangun Gelanggang Remaja sebagai ruang pengembangan anak-anak muda di bidang kesenian dan olahraga.

Ali Sadikin yang antara lain didampingi Ciputra seorang arsitek sekaligus pengusaha yang visioner, mendorong berkembangnya media-media tempat intelektual berkiprah seperti Majalah Budaya Jaya, Tempo dan Prisma. Perlu dicatat juga peran tokoh media yang penting saat itu Jacob Oetama, PK Oyong dan Swantoro; yang bekerja di balik Harian Kompas, sebuah harian yang berhasil mengkombinasikan bisnis berita dan intelektualitas.

Ignas Kleden yang dibesarkan di Pulau Flores dan menempuh pendidikan di Seminari/ Sekolah Tinggi Filsafat Ledalero, memilih meninggalkan perjalanan karirnya sebagai calon Romo Katolik, dan pindah ke Jakarta menjadi intelektual. Modal dasarnya yang diperolehnya baik dari ayahnya seorang guru, maupun dari seminari yang dikenal luas memiliki tradisi “liberal arts” yang kuat terbukti telah menjadikannya sebagai pemikir yang tangguh di Jakarta, pusat dari segalanya saat itu di negeri tropis ini. Pekerjaan yang ditekuninya tidak jauh dari dunia pemikiran dan perbukuan, sebagai editor, penulis kolom; hal-hal yang berkaitan dengan intelektualitas. Dalam waktu relatif cepat Ignas Kleden menjadi bagian dari elit intelektual Jakarta.

Potret Ignatius Nasu Kleden “Ignas Kleden”.

Tulisan-tulisannya, baik yang berbentuk esai maupun makalah, tidak terhitung jumlahnya, terbit di berbagai media, baik yang mainstream maupun yang pinggiran. Saya ingat, mungkin pertengahan tahun 1970-an, bertemu Ignas Kleden di kantin Asrama Mahasiswa UI Daksinapati Rawamangun. Saat itu dia sedang asyik berbincang dengan Pamusuk Eneste, mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UI. Rupanya mereka sedang membicarakan isi jurnal sastra yang diterbitkan mahasiswa sastra UI dimana Ignas sering mengirimkan tulisannya.

Saat itu saya sudah sering membaca tulisan-tulisannya, dan seingat saya saya baru saja membaca esainya yang terbit di majalah basis, kalau tidak salah judulnya “Sebuah Esai tentang Cinta”. Esai itu tidak panjang tetapi menurut saya indah, dan saya sampaikan hal itu kepadanya. Saya lihat Ignas senang dengan pujian saya itu. Seperti Pamusuk Eneste yang esai-esainya sudah sering dimuat di Harian Kompas, esai-esai Ignas Kleden juga telah mewarnai jagad intelektual tahun 197O-an, ketika usia mereka masih tergolong muda dan sebagian masih menjadi mahasiswa.

Pada tahun 1980-an ketika saya mulai bekerja di Leknas-LIPI yang kantornya masih berada di Jalan Gondangdia Lama 39, tulisan-tulisan Ignas, seperti halnya Daniel Dhakidae dan Mochtar Pabottingi, selain bisa ditemukan di Harian Kompas, Majalah Tempo, juga mewarnai Jurnal Pemikiran Prisma, yang kalau tidak salah kantornya masih di Jalan Jambu di Menteng, tidak jauh dari Gondangdia. Saat itu dunia ilmu-ilmu sosial boleh dikatakan identik dengan dunia intelektual. Para intelektual yang mewarnai jagad intelektual saat itu boleh dikatakan adalah para ahli ilmu sosial yang kolom-kolomnya mendominasi tulisan-tulisan dalam gaya ilmiah populer di Kompas, Tempo dan Prisma.

Dalam jajaran ini bisa disebutkan penulis-penulis seperti Umar Kayam, Onghokham, Taufik Abdullah, Thee Kian Wie, Alfian, Melly G. Tan, Juwono Sudarsono, Dorodjatun Kuntjorojakti, Toeti Heraty Noehadi, Dawam Rahardjo, Aswab Mahasin, Nurcholish Madjid, Nono Anwar Makarim, Ismid Hadad dan Farchan Bulkin. Diatas semua itu Soedjatmoko yang dari segi usia memang paling tua dianggap dikalangan para intelektual sekaligus ahli-ahli ilmu sosial itu sebagai dekannya. Kala itu, para ahli ilmu sosial itu juga mendirikan organisasi, Himpunan Indonesia untuk Pengembangan Ilmu Ilmu sosial Indonesia yang disingkat HIPIIS. Ignas Kleden bisa dikatakan salah satu bintang dalam jajaran bintang-bintang intelektual dan sekaligus tokoh ilmu sosial saat itu.

Posisinya sebagai ahli ilmu sosial terkemuka telah dikukuhkannya dengan gelar doktor yang diperolehnya dari Universitas Bielefeld di Jerman,setelah sebelum mendapatkan gelar master di bidang filsafat di Universitas Muenchen, juga di Jerman. Barangkali latar belakang pendidikannya yang hampir semuanya berasal dari daratan eropa, sejak masih mendalami filsafat di Seminari Ledalero, di kampungnya di Flores, yang kuat mencerap tradisi pemikiran Barat dengan bahasa latin itu, membuatnya sedikit berbeda dengan para kolega seangkatannya seperti Daniel Dhakidae, Mochtar Pabottingi dan Farchan Bulkin yang memperoleh gelar doktornya dari universitas-universitas di Amerika Serikat.

Barangkali hanya dengan Daniel Dhakidae Ignas Kleden bisa disetarakan karena keduanya berangkat tradisi pendidikan Katolik yang kuat dengan latar belakang filsafat Yunani yang masih diajarkan melalui bahasa latin di Flores tempat mereka dididik untuk menjadi Romo tapi keduanya kemudian memilih menjadi orang biasa. Ketika memilih topik disertasi sosiologinya di bawah bimbingan Hans Dieter Evers, tentang karya-karya dan pemikiran Clifford Geertz, antropolog Amerika terkenal yang mengawali karirnya dengan menulis tentang agama dalam masyarakat Jawa. Ignas Kleden ibarat seorang pemburu muda yang memilih untuk membidikkan panahnya, tidak tanggung-tanggung, pada binatang buruan yang paling besar di hutan belantara ilmu-ilmu sosial dan humaniora di tingkat dunia.

Disana tidak dapat disembunyikan keinginan dan ambisinya untuk menjadi ilmuwan sosial yang besar, dan saya kira itu telah dicapainya. Ignas Kleden juga saya kira tidak bermaksud menyombongkan diri ketika mengaku sebagai seorang yang mungkin paling dekat dengan Soedjatmoko, dekan fakultas pemikiran bebas Indonesia. Dalam sebuah kesempatan Ignas menceritakan, mungkin juga tidak hanya kepada saya, bahwa Soedjatmoko bilang bahwa dia bisa menemuinya sewaktu-waktu tanpa perlu melalui sekretarisnya.

Kedekatan Ignas dengan Soedjatmoko saya kira dibuktikannya ketika Ignas bersama-sama dengan Daniel Dhakidae, Vedi Hadiz, Hilmar Farid dan Benny Subianto mendirikan Yayasan SPES (Society for Political Economic Studies) semacam pecahan dari LP3ES (Lembaga Pendidikan Penelitian Pelatihan Ekonomi dan Sosial) yang salah satu kegiatannya antara lain membuat seri diskusi tentang berbagai isu sosial politik dengan salah satu narasumber tetap, Soedjatmoko. SPES adalah sebuah lembaga diluar kampus yang memulai kegiatannya dengan mengupas habis karya-karya ahli Indonesia mancanegara tentang Indonesia. Vedi Hadiz misalnya mengupas habis karya-karya Ben Anderson, dan Ignas Kleden tentang karya-karya Clifford Geertz yang kemudian menjadi awal tesis doktornya.

Tesis doktornya yang sangat tebal, bisa dikatakan telah menganalisa tuntas buku-buku Clifford Geertz, dan merupakan kritiknya terhadap tesis involusi Geertz yang dinilainya sebagai involutif. Sayang sampai sekarang para peminat ilmu sosial di Indonesia belum dapat membaca terjemahan tesis doktor Ignas Kleden yang sesungguhnya sangat penting ini. Dalam sebuah kesempatan Ignas kalau tidak salah mengatakan bahwa ada bagian dari disertasinya yang menurutnya mungkin cukup sensitif bagi pembaca Indonesia. Menurut hemat saya tesis doktor Ignas Kleden perlu diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia sehingga bisa dibaca oleh para peminat ilmu sosial dari generasi yang lebih muda yang saya yakin telah cukup dewasa dalam menerima perbedaan pendapat dan juga apa yang dianggap sensitif oleh Ignas Kleden sendiri dalam disertasinya.

Di saat dunia intelektualitas dipenuhi oleh para demagog yang hanya pandai bersilat lidah, dunia kampus dipenuhi akademisi yang bangga dengan ke-profesor-an yang bukan rahasia penuh percaloan, universitas yang pragmatis dan menjadi penampung ledakan bonus demografi dan pengangguran terselubung; tak ada yang lebih baik bagi orang seperti Ignas Kleden untuk mewariskan buku-bukunya bagi segelintir anak-anak muda yang masih mau berpikir kritis, di dalam atau di luar kampus.

Mungkin saja Indonesia sedang menyongsong zaman yang besar namun sayangnya yang ada hanya orang-orang yang kecil. Ketika mereka yang menyebut diri pemimpin politik hanya terlatih untuk berdebat kusir, berkelit ketika ditanyakan masalah pokok negeri ini yaitu ketimpangan yang menganga dan semakin menjauhnya cita-cita proklamasi kemerdekaan, keadilan sosial dan kemakmuran bagi seluruh warganegara.

Mataram, Lombok 20 September 2023

 

*Riwanto Tirtosudarmo merupakan seorang peneliti.