Estetika Seni Rupa Indonesia, Sebuah Jalan Putar

Oleh Stanislaus Yangni

Pengantar

Mengamati pergerakan seni rupa Indonesia1 kini, dengan beragam kemunculan karya-karya yang “menghebohkan,” atau kontemporer istilah trennya kira-kira di hampir satu dekade terakhir, ada dua kegelisahan yang menimpa saya, yaitu di ranah pemikiran (estetika dan kajian) dan di ranah berkesenian (seniman dan penciptaan). Tanpa adanya saling-kelindan yang sehat di antara keduanya, seni rupa Indonesia tidak akan pernah ada. Jalinan keduanya merupakan unsur penting pembentuk apa yang sementara ini saya istilahkan “estetika seni rupa Indonesia.”2 Di balik megahnya pameran, beragamnya karya, seni rupa kita mengalami satu bahaya vital bagi kelangsungan hidupnya: stagnasi.

Untuk menelusuri estetika seni rupa Indonesia, di sini kita akan masuk melalui sejarah seni lukis (modern) yang sarat polemik. Dalam sejarahnya, “pembunuhan” atau “duka cita” atas seni lukis Indonesia terjadi di berbagai zaman, antara lain masa kolonial (1600-1945), penjajahan Jepang (1942-1945), Orde Lama (1945-1965) hingga Orde Baru (1966-1998). Seni lukis Indonesia hampir selalu dianggap tidak ada dalam konteks dan maksud yang berbeda. Mula-mula oleh P. A. J. Moyen 1928, kemudian Hopman (1947), Oesman Effendi 1969 karena melihat lesunya seni lukis Indonesia,3 lalu GSRB 1975 yang menyatakan duka cita atas seni lukis Indonesia. Di zaman globalisasi ini, terjadi kematian yang mutakhir terhadap seni lukis, yaitu oleh teknologi. Relevansinya, hilangnya ekspresi yang inheren dalam karya seni.

Esai ini akan meneliti kenyataan itu dalam konteks yang lebih khusus, mungkin sedikit memutar, yaitu melalui seni lukis dan pemikiran di balik seni lukis dan berkesenian yang diusung Sudjojono, Affandi, dan Nashar. Melalui “Realisme jiwa ketok” Sudjojono, ekspresionisme plototan cat Affandi, dan “Tiga Non” Nashar, kita akan melihat embrio estetika seni rupa Indonesia yang lahir dari kesadaran berkesenian seniman pada zamannya.4 Ini tantangan bagi kita semua, yaitu bagaimana lewat mereka kita menemukan estetika seni rupa Indonesia di abad 21 – era yang sudah lama meninggalkan problem “seni lukis Indonesia tidak ada” itu untuk memberi semacam “ancang-ancang” jawaban, atau semacam problematisasi lebih jauh atas apa yang Sanento simpulkan hampir 50 tahun silam, bahwa ada sesuatu yang salah dengan kritik seni lukis di Indonesia.

Esai ini terbagi menjadi tiga bagian. Pertama, “Polemik” yang memaparkan beberapa momen di mana seni lukis Indonesia selalu dianggap tidak ada, Kedua, “Corak,” mengetengahkan perihal corak dan kelahiran lukisan, Ketiga, “Estetika,” melihat kaitan antara corak, otonomi seni, dan jalan lain yang ditawarkan oleh seni lukis (modern).

Polemik

“Semua orang melihat adanya seni lukis di Indonesia sejak permulaan abad ini. Tapi banyak orang tidak melihat adanya Indonesia dalam seni lukis. Itulah sebabnya seni lukis baru di Indonesia sejak mula adanya senantiasa berhadapan dengan kritik-kritik yang asing terhadapnya: dari waktu ke waktu seni lukis Indonesia berhadapan dengan kritik yang menyatakannya tidak ada. Ada sesuatu yang salah dengan seni lukis kita, Anda dapat menarik kesimpulan. Barangkali demikian. Yang pasti, saya menarik kesimpulan: ada sesuatu yang salah dengan kritik seni lukis di Indonesia.5

Indonesia, 1928, dan dua puluh tahun sebelumnya. Dua tonggak bersejarah dari benih pergerakan telah timbul di benak kaum muda Indonesia. Boedi Utomo 1908 tercatat merupakan organisasi gerakan intelektual yang pertama, walau pada masa itu tak bisa dilepaskan dari imbas politik etis (politik balas budi) “Edukasi”6 Belanda di Indonesia awal abad 20. Politik Etis “Edukasi” memiliki tujuan “mendidik,” mengajar. Oleh karena itu mereka membangun sekolah, dan memberi kesempatan beberapa pemuda Indonesia untuk bersekolah di negeri Belanda.

Tapi sejarah seni lukis Indonesia mencatatkan dirinya sedikit lebih awal dari hari Kebangkitan Nasional itu. Peristiwa ini berawal dari pertemuan A. A. J. Payen (1792-1853), pelukis Belgia yang didatangkan dan ditugaskan untuk melukis pemandangan alam Pulau Jawa oleh pendiri Kebun Raya dengan Raden Saleh (1807-1880), bocah keturunan ningrat Semarang yang bakat melukisnya menarik hatinya. Pada 1929, menjelang berakhirnya Perang Jawa Diponegoro, Payen memfasilitasi Raden Saleh ke Belanda untuk belajar melukis potret dan teknik melukis realis yang paling handal di zamannya. Demikianlah Raden Saleh akhirnya menjadi pelukis “pewaris” naturalis-romantik Eropa yang pertama kali ada di Indonesia pada waktu itu. Karena kemampuan melukis dengan teknik Barat yang tergolong sempurna inilah Raden Saleh dijuluki “Bapak Seni Lukis Indonesia Modern.”

Zaman kolonial di Indonesia diwarnai oleh kedatangan guru gambar, ilustrator, arsitek, desainer asal negeri-negeri Eropa khususnya Belanda yang punya keterampilan menggambar. Mereka dipekerjakan di Indonesia, ditugaskan khususnya untuk membangun dan merencanakan bangunan publik kota, mendokumentasi alam Indonesia dan isinya lewat gambar,7 serta membuat gambar ilustrasi dan sampul untuk buku-buku pelajaran sekolah.8 Pola “mencatat” alam lewat gambar ini mau tidak mau mempengaruhi cara pelukis Indonesia melukis.

Tak hanya teknik menggambar yang diwariskan, melainkan juga isi, tema. Apa yang digambarkan mula-mula adalah “kepentingan” dokumentasi Belanda yang dengan mata mereka melihat Indonesia, hingga terinternalisasi dalam benak pelukis Indonesia. Impian melihat “keindahan alam tropis” itu “menular” secara tak disadari. Hasil paling tampak berupa lukisan dengan corak yang kita sebut mooi indie itu, marak di 1925-1935an.

Karena itu, “murid-murid” mereka, baik Mas Pirngadie (1875-1936) yang pernah diajak berkeliling Indonesia oleh J. E. Jasper untuk membuat gambar berbagai kain tenun dan benda kerajinan lain,9 maupun Raden Saleh, yang kendati beda generasi, akhirnya memiliki tradisi teknis melukis dan hasil lukisan yang serupa. Bersama dengan seniman seangkatan, meski beda wilayah, anak Wahidin Sudirohusodo, Abdullah Suriosubroto (1878-1041), yang disekolahkan di Belanda, dan Wakidi (1889-1979), murid Van Dick di Kweekschool, Bukittinggi, Sumatera Barat, yang juga mengajar di sana, terbentuklah wajah seni lukis Indonesia masa kolonial.10

Dalam melukis, waktu itu, tampak belum tumbuh kesadaran bahwa lukisan memiliki nilai lain selain dokumentasi. Dengan kata lain, melukis hanya keterampilan memindahkan apa yang ada di luar ke atas kanvas, sepersis mungkin. Melukis adalah perihal mengingat, memotret.

Karena itu, mungkin tak heran jika P. A. J. Moojen (baca: Moyen, 1879- 1955), arsitek Gedung Kuntskring dan Masjid Cut Meutia yang pernah bersekolah di Antwerp itu menyebut masa 1928 yang bertepatan dengan Sumpah Pemuda adalah muram. Muram bagi apa? Bagi tumbuhnya “seni Jawa Nasional,” (sebut “Indonesia Nasional”).11 Sebab ia, yang juga melukis, melihat lukisan dari Raden Saleh sampai Pirngadie tak jauh berbeda. Teknik masih sama, hanya kalau Raden Saleh cenderung menggambar obyek, kejadian, peristiwa, Pirngadie melukis pemandangan alam. Dan teman-teman “seangkatan”nya, seperti Abdullah Surio Subroto, dan Wakidi, hasil lukisannya juga serupa dengan lukisan para “ahli gambar” asing yang ditugaskan membuat dokumentasi tentang alam Indonesia.

Moyen melihat ada yang salah dalam pendidikan seni Indonesia hingga ia seakan putus asa, tak punya harapan untuk masa depan. Ia mengatakan bahwa pelukis kalangan Bumiputera telah “salah asuh, salah arah” maka kesenian mereka jadi terasing dari jawa.

Lalu datanglah Regnault, yang koleksi lukisannya dipamerkan sekitar 1934-1938, hingga pelukis-pelukis Indonesia zaman itu, seperti Oesman Effendi, Sudjojono, Agus Djaja, dan lainnya mulai mengenal apa yang ada dalam lukisan selain dokumentasi. Mereka berkenalan dengan lukisan Van Gogh, Renoir, Cezanne, Degas, Utrillo, Chagall, dan beberapa pelukis Eropa lain. Perlahan disadarilah bahwa lukisan tak sekadar gambar (yang sering difungsikan juga sebagai ilustrasi buku) yang selama ini dibuat oleh para arsitek, desainer, juru gambar, dan sebagainya itu. Di dalam lukisan koleksi Regnault itu, terlihat ada banyak cara, kemungkinan, dan kebebasan mewujudkan. Lukisan bukan sekadar rekaman obyek, bukan pula sebatas tema, tapi cara. Dan cara bukan pula sebatas teknik menggambar seperti yang diajarkan juru gambar Belanda itu.

Demikianlah Sudjojono menyadari ketidakberesan yang ada di dunia seni lukis kita. Maka melalui PERSAGI nya yang muncul di tengah polemik kebudayaan rentang 1933-1939,12 ia bicara mengenai kesadaran itu. Kain tenun, ritual keagamaan, petani membajak sawah, pegunungan, lautan, nelayan, jembatan, dan lain sebagainya adalah kenyataan yang ada di Indonesia, sekitar kita. Dan itulah yang digambar para pelukis dokumenter itu. Lalu apa kita pelukis yang sedang mencari corak ini tidak boleh menggambar itu semua? Boleh, kata pelukis PERSAGI, asalkan cara menggambarkannya berbeda. Sudjojono menegaskan bahwa “Bukan tema, tetapi cara.”13 Cara apa? Cara mewujudkan, kata Sudjojono, dan ini berbeda dari sekadar teknik (cara) menggambar. Pendek kata, bukan cara menggambar (teknik), melainkan cara menggambarkan (melibatkan rasa seniman). Karena itu, katanya “Djadi gambar ini soeatoe boeah dari pekerdjaan proces djiwa kita dan boekan gambar klise dari optische opname mata kita sadja.14 Bukan hanya mata, kepala, dan teknik menggambar saja, melainkan melibatkan watak, jiwa, dan rasa. Begitu singkatnya yang hendak ditekankan Sudjojono. Sebab mata, pengetahuan dalam kepala, dan teknik bisa seragam, tapi watak, jiwa dan rasa berbeda di setiap orang.

Itulah sebabnya saat cucu dari Wahidin, anak dari Abdullah Surio Subroto, Basoeki Abdullah yang terhitung satu generasi dengan PERSAGI, muncul masih dengan corak ayahnya yang “mooi indie,” melukis obyek dengan persis, melukis cerita mitologi seperti gambar ilustrasi buku, dan tubuh perempuan yang dilukiskannya molek, serta masih menonjolkan kehalusan teknik, Sudjojono sengit.

Periode polemik kebudayaan di tengah kolonialisme itu berlanjut hingga masuknya Jepang ke Indonesia, 1942, yang “mengajak” Indonesia membangun “Asia Timur Raya.” Di zaman yang telah berubah itu, tumbuhlah kesadaran lain, yaitu seni harus mampu memenuhi fungsi sosial propaganda. Apa yang muncul pada zaman Jepang, Keimin Bunka Shidoso, POETRA, hingga setelahnya, Pelukis Rakyat, Lekra, dan berbagai lembaga kerakyatan lain berfokus pada gerakan kerakyatan. Di masa ini, lukisan yang tidak digarap jelas seperti foto, atau poster, apalagi abstrak, dianggap tidak bisa dipahami rakyat, dan tidak berguna. Maka teknik realis-fotografis di periode 1950-1960an menjadi hal yang harus dikuasai para seniman. Kondisi tersebut dipengaruhi juga oleh tradisi realisme-sosialis yang memiliki karakter gambar poster yang kuat. Para seniman Indonesia pada masa itu akrab dengan tradisi realis-sosialis-marxis, dan banyak dipengaruhi oleh keberadaan para cendekiawan muda rentang 1950-1960an, antara lain Soekarno, Sjahrir, Hatta, M. Natsir, Tan Malaka, dan sebagainya. Seni lukis sarat gerakan kebudayaan. Di masa itu seni tak berdiri sendiri. Ia (harus) “mengabdi” pada sesuatu yang lain: politik, kekuasaan, rakyat. 15

Tapi lagi-lagi Sudjojono menegaskan bahwa lukisan juga tidak sekadar membuat rakyat paham. Ia percaya bahwa apa yang kita cari demi munculnya corak Indonesia adalah yang “murtad” dari itu semua. Maka, para pelukis waktu itu setengah ‘dipaksa’ agar bisa keluar dari perangkap realis-fotografis yang pesannya jelas untuk propaganda, juga mooi indie dengan teknik yang memanjakan mata. Sebab hanya dengan itu, menurut Sudjojono, kita bisa menemukan corak.

Namun setelah PERSAGI muncul pun, seni lukis Indonesia masih dianggap tidak ada. Salah satu kritik yang keras datang dari J. Hopman: “Jika saya mengatakan bahwa kita dengan tiba-tiba saja berhadapan dengan seni  lukis Indonesia, sebetulnya perkataan saya itu salah. Seni lukis itu belum ada, dan untuk sementara waktu ia juga tidak akan ada.”16 Bagi Hopman, lukisan kelompok PERSAGI yang ia lihat pada pameran di Gedung Kunstskring pada 1947 itu masih meniru Barat. Dalam tulisannya ia juga mengatakan, “Ada dua hal pasti: di Indonesia sekarang ada minat pada seni bentuk dan kecakapan.”17

Menurut Hopman, lukisan Indonesia baru sampai pada “layak dilihat” belum sampai pada tingkatan mencari “hakekat pribadi,” hingga belum muncul kekhasannya.

Sudjojono yang telah mati-matian menggugah kesadaran seniman pada masa itu akan keberadaan yang personal, yang hakiki dalam lukisan itu tentu saja marah. Sudjojono tidak menolak teknik Barat, bahkan ia menyadari betapa pentingnya teknik. Ia juga tidak menolak bahwa lukisan memiliki fungsi sosial. Namun ia menegaskan juga bahwa kelahiran lukisan butuh lompatan seorang seniman dari apa yang teknis itu. Maka ia dengan keras menjawab Hopman, “Kita bangsa Indonesia mengakui, bahwa corak seni lukis di sini bercorak Barat sekarang. Tetapi untuk dikatakan bahwa ini bukan seni lukis Indonesia, ini tidak benar.”18

Pada masa selanjutnya, visi “pencarian corak” PERSAGI ini seakan “dihentikan” dan “digantikan” oleh generasi kampus ASRI yang pada 1974. Mereka membuat peryataan Desember Hitam dengan menyematkan tulisan pada karangan bunga sebagai bentuk duka cita atas seni lukis Indonesia. Gerakan Seni Rupa Baru (GSRB) adalah nama yang mereka gunakan untuk membawa argumen “Kematian seni lukis Indonesia” itu.

Seni “baru” jenis apa yang dicita-citakan kaum muda yang tergabung dalam GSRB itu? Seni yang “Menolak lirisisme, kedalaman (deepness), ketunggalan, penciptaan yang dilakukan oleh tangan seniman,” kata FX. Harsono, corong bicara GSRB waktu itu.19 Karena itu, “keunikan dari jiwa seniman yang terpancar tidak lagi dianggap sebagai sesuatu yang penting,” lanjutnya. Mereka menyebut jenis seni yang “dianut” GSRB adalah eksperimen. Karena itu, muncul berbagai karya kolaborasi, performance art, seni aktivisme, protes sosial, dan sebagainya yang mengutamakan pesan dengan berbagai simbol.

Tak hanya itu, GSRB juga menegaskan perbedaan angkatannya dengan angkatan sebelumnya. Ia menganggap angkatan sebelumnya penganut modernisme, yang di dalamnya terdapat pencarian identitas keindonesiaan yang “… menghadirkan gaya dekoratif yang direpresentasikan dengan dipakainya unsur-unsur ornamen, relief candi, topeng-topeng, kesenian tradisional, dan semua yang dianggap benda tradisi.”20 Kalau Sudjojono mendengar ini, tepat jika ia sinis, sebab ternyata GSRB salah kaprah memahami pernyataannya beberapa tahun silam persis mengenai pencarian corak.21 Perihal ini, Basoeki Resobowo menandaskan, “Keindonesiaan itu tidak usah ditujukan atau didasarkan kepada yang lama (tinggalan-tinggalan semacam arca-arca, golek, atau wayang beber, dan lain-lain).22

GSRB yang anggotanya kaum muda kampus ASRI itu ingin bertindak lain. Bagi mereka, seni harus bisa melawan kekuasaan Orde Baru yang tumbuh sejak 1966. Selain menolak “tangan seniman,” mereka juga menolak seni yang dikatakannya “memuat jiwa seniman.” Bagi mereka, seni adalah sebuah aktivisme subversif ketimbang ekspresi pribadi. Seni sarat eksperimen tapi tidak personal. Pendek kata, seni harus tidak personal jika ia ingin punya fungsi luas. Kematian seni lukis pada 1974 ini bisa berarti kematian ekspresi dalam bentuk yang dimaksud GSRB: jiwa, kedalaman, dan tangan seniman.

Di balik yang subversif dan sarat kepentingan, seni modern memuat aspek “otonomi” yang ditolak oleh GSRB. Namun, seni diam-diam mengelak dari “keharusan” menjadi “budak” kepentingan. Sebab ia (seni) punya apa yang Sanento sebut “otonomi,” “Seni lukis mempunyai distansi dari aktualitas: otonomi.”23 Otonomi sudah demikian adanya, semacam keniscayaan yang melekat dalam seni (modern). Perihal otonomi ini kerap disalahpahami, baik dalam rangka “modernisme” maupun dalam konteks polemik kebudayaan ketika terjadi benturan antara “seni untuk seni” dan “seni untuk rakyat.” Pandangan mengenai otonomi dan seni, dan klaim “ideologi modernisme” yang ditujukan GSRB pada PERSAGI itu, kendati mungkin belum sempat ditulis Sanento, ternyata telah menambah daftar panjang dari kesimpulan yang Sanento tarik empat puluh lima tahun silam itu.

Corak

Carilah tjorak mewoedjoedkan kita itoe agar bisa  tjorak Indonesia itoe terlihat. Pakailah tjara saudara sendiri-sendiri oentoek mendapat nasionalisme seni loekis kita itoe.” (Sudjojono)24

Setelah uraian pandangan-pandangan seputar “kematian” seni lukis di atas, kita akan masuk lebih jauh menelusuri estetika seni rupa Indonesia. Di sini kita akan “Otonomi senilukis berarti djuga bahwa senilukis, sebagai suatu bidang kegiatan atau pengalaman yang chas, memiliki kategori-kategori dan penilaian sendiri dan bukan merupakan bidang jang adanja ditetapkan atau beralasan pada perannja sebagai alat dari bidang kegiatan lain. Meskipun, umpamanja, senilukis berpengaruh pada perbaikan moral atau pada kesejahteraan masjarakat, namun kategori-kategori dan nilai- nilai moral atau politik bukanlah kategori2 dan nilai2 artistik dan tak dapat menggantikannja.” menelusuri perihal corak yang berkaitan langsung dengan otonomi seni (modern) yang problematis tapi tak terelakkan.

Sedikit menyinggung awalnya, sejarah seni lukis kita dimulai dari gambar (teknis). Entah itu untuk kepentingan dokumentasi, ritual, pesan propaganda, dan sebagainya. Karena gambar harus memuat pesan, dan dipahami oleh orang lain, maka perwujudannya juga seragam: ada kaidahnya. Perihal ekspresi personal, “sapuan kuas” itu baru pada masa Sudjojono disadari, benar-benar digali, ditekankan demi penemuan “corak.” Maka sanggar, sebagai bentukan awal dari pendidikan seni lukis era PERSAGI, melatih anggotanya untuk melukis di luar tanpa teori dulu sebelumnya. Lukisan adalah ekspresi. Dan dalam ekspresinya itu, seorang seniman telah memuat kehidupan masyarakatnya. Itulah pentingnya berinteraksi dengan kondisi sosial-budaya masyarakatnya. Atas dasar ini, salah satu alasannya, konon, sketsa lahir. Pendek kata, dalam sanggar, “gambar” yang teknis itu berusaha “dilampaui,” diganti dengan “sketsa” yang lebih menekankan spontanitas.25

Affandi (1907-1990), Sudjojono (1913-1985), dan Nashar (1928-1994) hidup dan berkarya dalam satu masa yang sama. Karena karya dan pemikirannya, mereka bisa dikatakan tiga pelopor pembentuk wajah “seni lukis Indonesia baru” yang lahir dari tradisi sanggar.

Affandi dan Nashar adalah dua seniman yang “berkebalikan” di mata Sudjojono. Sementara ia kagum dengan Affandi, saat melihat pertama kali lukisan cat airnya, sebaliknya Nashar. Ia dikatakan Sudjojono sebagai “tidak berbakat.”

Corak, atau stijl, kata Sudjojono, tidak bisa dilepaskan dari nasionalisme diri masing-masing pelukis. Ia memuat “rasa hidup, filsafat, perasaan warna, …”26 dan sebagainya yang mempengaruhi eksekusi (cara mewujudkan) lukisan. Lukisan lahir saat corak lahir. Dan corak tak bisa dilepaskan dari lingkungan tempat seniman itu tumbuh dan berkembang. Karena itu, Sudjojono mengatakan “Carilah tjorak mewoedjoedkan kita itoe agar bisa tjorak Indonesia itoe terlihat. Pakailah tjara saudara sendiri-sendiri oentoek mendapat nasionalisme seni loekis kita itoe.” Lalu bagaimana caranya?

Dari itoe lebih baik kita peladjari hidoep ra’jat djelata di kampoeng2, desa2 dan djoega gambar-gambaran berwarna anak-anak kita dari kelas 1 sampai kelas 5 sekolah rendah atau sekolah Schakel, jang masih toelen rasa warna dan tjoraknya dan beloem diroesak oleh peladjaran goeroe-goeroe menggambar jang berasa warna Barat.27

Kemudian Sudjojono menegaskan juga, “Di merekalah terletak kesenian jang merdeka, segar, dan hidoep. Tengoklah kesoekaaan warna mereka, kesoekaan tjorak pakaian mereka, kesoekaan lagoe dan rasa sajoer mereka.28 Dalam pencarian corak itu Sudjojono juga menekankan nasionalisme. Nasionalisme dalam konteks ini menjadi semacam keniscayaan yang ada pada seniman yang sedang mencari corak, dan menemukan coraknya.

Karena itu, saat melihat lukisan cat air Affandi untuk pertama kalinya, yang Affandi katakan hanya “membesarkan foto” saja, seraya memuji “Bagus sekali,” Sudjojono berkata pada dirinya sendiri bahwa itu sudah lukisan.29 Mengapa? Sebab di sana Sudjojono melihat adanya “corak.” Di sana ada “jejak tangan.” Jika Affandi “menyalin” atau “mengkopi” foto, tentu hasilnya mirip, tapi ia dengan cat airnya mampu tidak sekadar memindah gambar. Ada “kecelakaan” lain dengan media cat air, kertas, dan tangan Affandi sendiri yang membuat itu menjadi “lukisan.” Penemuan corak berarti juga mengatasi apa yang diistilahkan Deleuze sebagai “representasi” (gambaran mapan yang sudah ada, foto dalam konteks Affandi di atas).

Kalau Affandi mengatasi “gambar” (representasi) dengan eksekusi visual langsung di atas kertas lukis, Nashar berbeda lagi. Di “Surat Kelima” kumpulan Surat-Surat Malamnya, Nashar menceritakan bagaimana ia mengamati lagi dua lukisan yang menurutnya tidak jalan dalam hal imajinasi dan fantasi. Nashar mencari sebabnya. Ia menelusuri ingatannya saat melukis itu, obyek yang ingin ia lukis – di sebuah kampung yang pernah ia tingali dalam waktu lama, berharap ia dapat merasa mengalaminya lagi. Tapi ia tiba-tiba sadar, jika ia mengingat- ingat, lalu bagaimana keadaannya saat itu saat melukis? Bukankah akhirnya ia hanya “terperangkap” oleh pikirannya saja? Akibatnya, perhatiannya juga terbagi, antara di kampung itu dan di atas kertas lukis yang sedang dihadapinya. Nashar menemukan:

“Akhirnya jalan yang kutempuh, ialah setelah ada beberapa garis tentang obyeknya, maka tentang kampung itu aku tinggalkan sama sekali. Aku hanya memperhatikan kemungkinan- kemungkinan yang ada di atas kertas lukis itu saja. Hasilnya, aku merasa lancar dalam melukis. Cara yang sama, ialah aku mengambil beberapa garis dari sebuah sketsaku, kemudian sketsa itu aku lupakan. Aku kembali menghadapi kertas lukis lagi. Apakah cara begini dapat dipertahankan untuk hariku mendatang, aku tidak tahu. Sebenarnya aku ingin tahu juga bagaimana kemungkinan-kemungkinannya nanti.”30

Penyatuan dengan kertas lukis dan alat lukislah yang membebaskan Nashar dari bayangannya tentang kampung dan obyek kampung itu. Ia berusaha “mengatasi” “gambar-gambar siap pakai” kampung yang telah mapan di kepalanya. Beberapa garis “mengenai” kampung itu hanya sebagai pemantik yang harus dilepaskannya saat ia mulai melukis. Nashar sadar bahwa melukis bukan memindahkan gambaran kepala ke atas bidang lukis, melainkan situasi jiwanya saat itulah yang harus dimunculkannya. Mungkin, lapisan warna-warna, dan kontur yang saling kelindan di lukisannya itulah hasil dari “penyatuan”nya.

Dalam konteks penciptaan lukisan, corak menjadi kemungkinan- kemungkinan yang kerapkali tak terduga. Sebab itu Nashar pun menanti berbagai kemungkinan yang akan muncul. “Kemungkinan” demikian ini juga mendebarkan bagi setiap pelukis yang masih setia dengan “tangan”nya. Perihal kemungkinan yang tak terduga ini bisa dilihat paling jelas pada lukisan Affandi yang “sarat” kecelakaan. Dibandingkan dengan Sudjojono dan Nashar, Affandi yang paling spontan dalam melukis. Seluruh lukisannya bisa dikatakan “persoalan yang nyaris selesai-tidak jadi selesai-hancur-nyaris selesai-tidak jadi selesai,” dan seterusnya. Garis-garis dari plototan catnya yang langsung dari tube terus menerus saling timpa, saling kelindan, saling menghancurkan- menebus-menghancurkan-menebus … Sampai ritme lahir dari yang khaos itu, tanpa Affandi pun berpretensi membentuknya, lukisan begitu saja selesai karena tenaga Affandi juga sudah habis. Demikianlah lukisan muncul, membawa seluruh kemungkinan yang dihadapi Affandi dengan sangat cepat di atas kanvas.

Dibanding lukisan Affandi yang penuh “perang,” tegangan, dan energi, lukisan Nashar tampak diam, membatu. “Figur”nya muncul sebagai hasil dari lapisan warna yang ia hadapi di atas kanvas, penimpaan warna cat akrilik yang sebagiannya dibiarkan transparan, dan sapuan kuas yang “seret” seperti meninggalkan bekas oil pastel (krayon). Figur itu berupa bidang yang saling timpa, hasil dari Nashar yang menginginkan ritme ada dalam lukisannya. Sejak 1975, ia belajar, dan memutuskan untuk mengolah ritme ini lebih khusus. Nashar pelan-pelan meninggalkan “benda bergerak” yang selalu ingin ia lukis, dan bergeser untuk “melukis gerak.”

Pilihan itu lebih tampak saat ia bertemu Putu Wijaya. “Kolaborasi” antara keduanya melahirkan karya bagi masing-masing. Putu menghasilkan “Nol,” “Entah,” dan “Lho,” sedangkan Nashar dengan bentuk yang nonfiguratif, nondefinitif, dan nonnaratif. Dari sana Nashar seakan memiliki kredo bahwa kebebasan, pada saatnya, akan membatasi dirinya sendiri.31 Begitulah kelahiran ritme dalam lukisan Nashar, juga Affandi: terjadi dengan sendirinya. Setelah “pergumulan” yang mengatasi teknis, yang estetik itu muncul dalam bentuk yang tak naratif. Ia jauh dari “Forma Ideal” yang kita bayangkan, bahkan cenderung luput.

Apa hubungan corak dengan ritme? Corak bisa dikatakan sebentuk ritme, semacam keniscayaan painting yang lahir dari perpaduan antara optikal mata dengan tangan dan berelasi dengan jiwa. Ini kesadaran yang bisa dibilang baru dalam tradisi melukis seniman Indonesia setelah sebelumnya melukis diyakini adalah menggambar dan hasilnya harus “indah,” atau memuat pesan yang dapat dipahami khalayak.

Penghayatan Nashar atas ritme, terhadap irama kehidupan yang selalu ia renungkan menghasilkan “Tiga Non:” Non konsep, non estetik, dan non teknis. Nashar bukannya tidak percaya pada konsep, teknik, dan yang estetik, dan mungkin juga ia “dituduh” tidak mampu mencapai ketiganya – tapi lebih dari anggapan itu, yang terpenting adalah bahwa ketiganya itu telah menjadi tolok ukur dalam seni rupa, dan berpotensi “menghambat” seniman dalam berkarya. Sebab itu, bagi Nashar, ketiganya itu harus diatasi dengan cara menyatukan diri dengan lingkungannya.

Corak juga bukan pola mapan yang menjadi panduan, atau ciri khas. Meskipun lukisan Affandi punya “corak” yang dikenali, tapi pada setiap kanvas, problem yang dihadapi berbeda, dan sering terjadi varian corak yang tak sepenuhnya bisa didefinisikan. Perihal “varian corak”32 ini bisa dilihat lebih banyak pada Sudjojono. Ada realisme-fotografis, misalnya Mengungsi (1957), Gedung Volksraad (1978) ada juga yang realisme-ekspresif, misalnya, Cap Go Meh (1939/40), Kawan-Kawan Revolusi (1947), Perusing a Poster (1956). Ada pula yang ekspresionis-abstrak dengan tidak meninggalkan bentuk, misalnya Petani (1979), Pengemudi Becak (1981), realisme-yang ekspresif dengan muatan surealis, antara lain Rontok (1978), realisme-ekspresif-bermuatan abstrak, Ramai-Ramai Masuk Surga (1985), Parodi (1974), dan sebagainya yang semuanya adalah varian dari “realisme jiwa ketok”nya.33

Corak bagi Sudjojono juga merupakan sebuah nasionalitet. Perushing a Poster (1956), sebuah “potret” rakyat jelata Indonesia yang beramai-ramai melihat ‘pengumuman’ di ruang publik, mungkin trotoar, atau pojokan jalan. Manusia-manusia itu digarap dengan teknik realis, tampak sangat dekat dengan sekitar kita. ada peristiwa di sana, kita tidak tahu pasti apa, namun yang pasti, rakyat sedang ada bersama di tempat umum, seperti menanti dan ingin tahu sesuatu. Yang tidak biasa adalah latar belakangnya, juga beberapa bagian tubuh figur juga “sekenanya” tampak tak perlu diselesaikan. Lukisan Saya dan Tiga Venus (1974) kalau diamati lebih jauh, merupakan semacam “manifesto politik” Sudjojono dalam berkesenian. Itulah momen saat “panas” nya GSRB dan seni kontemporer yang mereka ramaikan. Dalam lukisan-lukisannya, tampak metode “Turba,” alias “Turun ke Bawah” yang menjadi metode Lekra, banyak dilakukan oleh seniman PERSAGI dan ex PERSAGI masa itu.

Zonder melepaskan tjinta pada manoesia lain di doenia internasional kita boleh mengatakan diri kita seorang internasionalis, sesoedah kita bisa mendjadi seorang nasionalis jang bagoes. Bagaimana seorang seniman hendak menggambarkan kesoesahan doenia besar, kalau rasa dia ta’ sanggoep mengerti dan ta’ berani menggambarkan kedjelekan keadaan nenek-nenek, iboe-iboe, bapak-bapak, anak-anak, paktjik-paktjik, teman-teman, adik-adik, dan bangsanja di doenia ketjil ini, jang orang seboetkan Indonesia?”34

“Pergi ke Realisme” yang diteriakkan Sudjojono pada 1949 itu seakan merupakan titik mulai lagi dalam berkesenian. Ia menyadarkan seniman Indonesia bahwa realismelah yang cocok dengan masyarakat kita zaman itu. “Realisme bukanlah kepunyaan Barat saja, realisme adalah kepunyaan kita bersama, kepunyaan tiap-tiap manusia,”35 kata Sudjojono. Realisme yang seperti apa dan bagaimana, itu yang perlu dicari.

Pengemis yang dilukis Affandi bukan semata obyek yang dilukis dengan teknik realis untuk menghadirkan belas kasihan orang, atau membuat pengemis menjadi “simbol” atau ikon dari penderitaan. Corak bukan ikon, simbol, atau representasi dari sesuatu. Affandi melukiskan pengemis yang telah menjadi- Affandi, bukan pengemis sebagai obyek diam. Karena itu, ingat kata Sudjojono yang ditegaskan juga oleh Basuki Resobowo bahwa memang “tidak banyak gunanya menggunakan barang-barang museu, wayang beber, atau apapun yang ada di museum.”

Lebih dari sekadar tema, narasi, obyek, corak juga tidak sekadar nama aliran, gaya, melainkan memuat “logic of painting” itu sendiri. Logika ekspresionisme plototan cat Affandi berbeda dengan logika ekspresionisme Munch, Kokoschka, Van Gogh, dan sebagainya. “Logika” ekspresionisme Affandi memuat tarikan, tekanan tangan pada tube cat, jangkauan tangan, cara Affandi menyapukan minyak pada kanvas, dan sebagainya – hal-hal yang dikatakan Sudjojojo sebagai “bekas tangan.” Logika ekspresionisme Affandi memuat udara, bau, warna, dan situasi sekelilingnya. Begitu pula “corak” Van Gogh, sapuan kuas dan tekstur, gerakan patah-patah kuasnya, dan campuran warnanya berbeda juga dengan Sudjojono yang menyapu kuasnya lebar-lebar dengan arah yang seringkali berlawanan. Demikian juga realisme Sudjojono berbeda dengan Coubert, Dullah, Trubus, dan sebagainya. Abstrak Nashar juga berbeda dengan abstrak Mondrian, Avrey, atau … walau memiliki kesaamaan bentukan (luar).

Melalui “corak,” painting “diselamatkan.” Ia dilahirkan kembali dari berbagai bahaya “gambar-gambar siap-pakai” (representasi). Keberadaan “corak” ini membuka jalan bagi kita untuk menelaah lukisan tidak linear (urutan tahun terciptanya), melainkan lewat corak, “logika”nya.

Maka, corak atau stijl menjadi fokus penting dalam perkembangan seni lukis Indonesia, baik dari segi karya maupun dari kritiknya. Bagi penemuan seni lukis Indonesia, corak ini menjadi hal vital sebab ia meleburkan antara yang personal-subyektif dengan yang obyektif. Apa kaitannya corak tersebut dengan otonomi? Mengapa seni harus otonom? Bagaimana seni – dalam otonominya, terhubung dengan masyarakat? Apakah seni harus memuat pesan untuk bisa terhubung dengan masyarakat? Seni hanya dapat terhubung dengan masyarakat jika ia punya otonomi, dan otonomi berarti ia punya “corak.” Asumsi itulah yang akan dijabarkan di bawah ini.

Estetika, Penutup

“Modern painting is an atheistic game.” (Francis Bacon) “When art is no more than art, it vanishes.” (Rancière)36

Dalam sejarah (masa) modern, ada kekhawatiran bahwa seni lukis tidak lagi terhubung dengan realitas masyarakatnya. Seni lukis ditempatkan sebagai sesuatu yang punya bahasa sendiri, analog, dan berbeda dari bahasa gambar, representasi, ilustrasi. Otonom. Di satu sisi, kesadaran akan posisi seni demikian ini penting karena kesadaran bahwa seni memiliki “nilai artistiknya sendiri itu “menyelamatkan,” “membebaskan” seni dari bahasa representasi. Seni “otonom” dalam arti dia memiliki “raison d’etre” istilah yang digunakan dalam skripsi Sanento (1968), semacam “logika sensasi,” istilah Deleuzian.

Di sisi lain, seni yang notabene “berbahasa analog” daripada “digital”37 itu seringkali membuatnya menjadi “barang asing.” Mengenai ini, Sudjojono dengan lantangnya telah menjawab, dan Affandi lewat karyanya juga telah membuktikan bahwa dengan “corak” yang seakan lukisan menjadi “barang asing” itulah lukisan mampu mengatasi kehidupan, dan pada saat yang bersamaan ia memuat kehidupan, sebab walau bagaimanapun, lukisan lahir dari kehidupan itu sendiri, terkait dengan kehidupan.

Lukisan modern itu ibarat permainan yang “atheis,” kata Bacon. Ya, lukisan (modern) bukan lagi sebagai “alat bantu” dari agama (Bacon mengatakan ini dalam konteks seni Barat Modern).38 Otonomi dalam seni bisa dibilang niscaya sebab ia memuat pengalaman. Dalam keniscayaan otonominya itu, seni memuat apa yang bukan seni. Ia harus mengatasi “kategori seni” itu sendiri untuk jadi seni. Seperti juga lukisan yang harus mengatasi segala “kaidah lukisan” itu untuk jadi lukisan. Inilah yang diperjuangkan (dan diperlihatkan) oleh antara lain Sudjojono, Affandi dan Nashar, yaitu bagaimana mereka menghidupi kehidupannya (bukan dalam arti materi, tapi sosial, politik, budaya) lewat melukis, dan lukisan.

Di bagian “Polemik” sudah disinggung mengenai Sudjojono yang percaya bahwa untuk mencari corak, dibutuhkan “murtad”nya lukisan39 dari setidaknya dua hal, pertama, dokumentasi yang digarap dengan kompetensi teknik, kedua, propaganda yang harus memuat pesan politik. Lalu di mana politik, agama, budaya, dan sebagainya itu? Ia termuat dalam “corak.” Karena lukisan “memuat” berbagai aspek itulah, maka ia tidak sekadar “gambar bercerita.” “In order for art to be art, it must be more than art, that is, carry this promise of impacting life.”40 Dengan kata lain, dia (seni) harus “murtad” karena dia melihat dan membentuk kenyataan itu dengan cara yang berbeda. Ia harus mengatasi hidup untuk bisa menyuguhkan (kembali) hidup. Dan corak adalah bentuk dari “penyuguhan” itu – sebagai bentuk dari pengatasan, dan dengan cara (mewujudkannya) yang unik.

Sketsa, yang menjadi tradisi sanggar saat para pelukis memulai belajar, bisa menjadi salah satu contohnya. Dalam sketsa, yang dilihat bukan isinya, melainkan garis dan spontanitasnya. Karena itu, yang muncul bukan lagi “Pasar Burung Ngasem di Yogyakarta,” atau “Pantai Parangtritis,” “Pelabuhan Semarang,” dsb, melainkan suasana pasar, keriuhan, gerak gerik orang, postur tubuh, dan sebagainya, yang selain sebagai “studi” tapi juga “riset” ekspresi personal, dan melatih kemampuan menangkap atmosfer – gerak masyarakat di sana. Itu yang dilakukan misalnya oleh Affandi, Lim Keng, dan sebagainya. Dalam sketsa, kebalikan dengan drawing (teknis), muncul garis yang tidak “patuh” pada bentuk. Tapi garis itulah (kontur) yang justru tampak “menghidupkan” bentuk.

Garis kontur itu merupakan salah satu bentuk dari otonomi seni, mengelak untuk diseragamkan. Pada kontur termuat “penseel vooering” (istilah Sudjojono).41 Lukisan Affandi berisi “tumpukan” dan jalinan garis kontur, yang kadang memisah, mengikat. Lewat kontur pula ritme lukisan Affandi lahir. Dalam konteks inilah otonomi ditempatkan, yaitu sebagai “corak,” logic of painting yang memuat eksperimentasi “mencari corak” dan dalam pencariannya, seorang seniman terhubung dengan masyarakatnya.

Karena itu, lukisan, dalam bentuknya yang paling embrionik, sketsa, tampak otonom, tampak lepas dari kenyataan, berjarak, namun sebenarnya sarat memuat kenyataan itu. Ia tidak mirip, namun nyata. Dan untuk jadi “nyata” itulah ia tampak berjarak pada kenyataan, lalu mengatasinya. Jika gagal, ia hanya “menyalin” kenyataan itu.

Maka, alih-alih bicara mengenai keindahan, estetika di sini lebih spesifik ditempatkan dalam pencarian corak, sebuah “act of painting” yang sarat kemungkinan dan mendebarkan. Itulah sebabnya mengapa lukisan menjadi “haptik,” bukan lagi optik (digital), bukan lagi sekadar gerakan tangan (taktikal). Tapi keduanya telah melebur, dan menjadi yang lain.

Dalam coraklah termuat “distansiasi” dari realitas (otonom). Melalui distansiasinya ini, seni lukis (modern) Indonesia telah membuka jalan lain bagi kita, yang tidak jauh-jauh dari realitas: pertama, penemuan kembali lukisan melalui “corak,” dan pada saat yang bersamaan, nasionalisme Indonesia. Kedua, ia mengajak kita meninggalkan paradigma representasi, tidak hanya dalam ranah berkesenian (karya), juga ranah pemikiran (kajian, kritik seni). Sebab melalui peristiwa “pencarian corak,” perjalanan seni lukis (modern) Indonesia sendiri telah membuktikan bahwa ada sejarah yang perlu “diralat.” Mungkin juga ini “jawaban” dari kegelisahan Sanento mengenai kritik yang salah itu: bahwa seni lukis Indonesia selalu dianggap tidak ada karena ia dinilai melalui paradigma yang tak cocok, yaitu representasi.

*Penulis adalah Pengamat Seni Rupa

________________________________

 

1 Saya menyebutnya “seni rupa Indonesia” meskipun berbeda dengan “seni rupa di Indonesia.” Dalam konteks tulisan ini, penyebutan bisa bergantian sejauh sesuai dalam pembahasannya.

2 Mungkin pembaca akan bertanya mengapa harus ada “estetika Indonesia”? Mungkin juga langsung mengaitkannya dengan problem identitas. Esai ini tidak membahas secara khusus persoalan identitas, melainkan bertujuan langsung untuk membuktikan bahwa keberadaan “estetika seni rupa Indonesia” itu bisa menjadi titik pijak kita untuk melakukan otokritik dan membangkitkan seni rupa Indonesia.

3 Lihat tulisan Sanento Yuliman, “Mencari Indonesia dalam Seni Lukis Indonesia,” Seni Lukis Indonesia Tidak Ada (DKJ, 2007).

4 Ini akan menimbulkan pertanyaan, mengapa seni lukis? Pertanyaan ini akan diuraikan dan dijawab dalam esai ini.

5 Sanento Yuliman, “Mencari Indonesia Dalam Seni Lukis Indonesia,” dalam Seni Lukis Indonesia Tidak Ada, (DKJ, 2007) hal. 26

6 Dua lainnya adalah “Irigasi” dan “Migrasi.”

 7 Selain oleh A. A. J. Payen, Dokumentasi pemandangan alam indonesia dilakukan antara lain oleh Van Den Kherkoff (1830-1908), G Van Achterberg, dan J. Leo Eland (1884-1952).

8 Balai Pustaka 1920an mengeluarkan buku-buku pelajaran yang ilustratornya orang Belanda, ditambah sebagian kecil ilustrator Indonesia.

9 Indonesian Batik Designs, Dover Publications (Cornell University Press, 2006) adalah hasil dokumentasi dari J. E. Jasper dan Mas Pirngadie.

10 Konon, pada waktu itu juga sebenarnya telah hadir tak hanya juru gambar, ada juga pelukis asing seperti Max Fleischer, Isaac Israels yang gaya lukisannya berbeda, meski mungkin mereka tak banyak berhubungan dengan institusi akademis waktu itu.

11 Lihat tulisan Sanento, “Mencari Indonesia dalam Seni Lukis Indonesia” (1969) dalam Seni Lukis Indonesia Tidak Ada (Dewan Kesenian Jakarta, 2007)

12 Masa di mana keindonesiaan ditelaah. Di dunia sastra yang paling mengemuka adalah perdebatan yang diusung oleh Pujangga Baru 1933, diwarnai perdebatan paling ‘panas’ antara Sutan Takdir Alisyahbana dan Sanusi Pane.

13 Lihat “Menoedjoe Tjorak Seni Loekis Persatoean Indonesia Baroe,” dalam Seni Loekis, Kesenian dan Seniman (Indonesia Sekarang, 1946), hal. 10.

14 Sudjojono, “Menuju ke Corak Seni Lukis Persatuan Indonesia Baru,” dalam Seni Lukis Indonesia Tidak Ada, hal. 29

15 Pada 1960an ideologi kerakyatan menempati posisi dominan, utama, hingga ada penolakan terhadap seni abstrak. Seni abstrak dituduh Barat, produk imperialisme. Semboyan “politik adalah panglima” memperkuat seni “masuk” dalam propaganda politik. Lihat Sanento, Kritik Seni di Indonesia, Skripsi (Institut Teknologi Bandung, 1969.)

16 Lihat “Hari Kemudian Seni Rupa di Indonesia” terjemahan Suradji dari tulisan Hopman di majalah Uitzicht, Januari 1947 dalam Seni Lukis Indonesia Tidak Ada (Dewan Kesenian Jakarta, 2007)

17 Idem.

 18 Sudjojono, “Kami Tahu Kemana Seni Lukis Indonesia Akan Kami Bawa,” dalam Seni Lukis Indonesia Tidak Ada (Dewan Kesenian Jakarta, 2007).

19 FX. Harsono, “Desember Hitam, GSRB, dan Konmtemporer,” dalam gerakgeraksenirupa.wordpress.com (10 Nov 2014)

20 Idem.

21 “Saudara mungkin tertarik dan pergi mempelajari barang-barang di Museum Jakarta. Tetapi ingatlah Saudara, bahwa Saudara itu tak akan berhasil banyak mempelajari kesenian museum itu, sebab jiwa kesenian di situ sudah berbau kemenyan, beroncom, terbenam di jaman Majapahit, Mataram, Sriwijaya, dan kebesaran Indragiri. Dia tak hidup lagi.” (dalam Menuju ke “Corak Seni Lukis Persatuan Indonesia Baru”).

22 Lihat Sanento, “Mencari Indonesia dalam Seni Lukis Indonesia,” dalam Seni  Lukis Indonesia Tidak Ada, hal. 23.

23 Bagi Sanento, seni punya nilai lain, nilai artisik yang tidak bisa disamakan dengan nilai politik, moral, dan sebagainya. Lihat Skripsi Sanento hal. 134.

“Otonomi senilukis berarti djuga bahwa senilukis, sebagai suatu bidang kegiatan atau pengalaman yang chas, memiliki kategori-kategori dan penilaian sendiri dan bukan merupakan bidang jang adanja ditetapkan atau beralasan pada perannja sebagai alat dari bidang kegiatan lain. Meskipun, umpamanja, senilukis berpengaruh pada perbaikan moral atau pada kesejahteraan masjarakat, namun kategori-kategori dan nilai- nilai moral atau politik bukanlah kategori2 dan nilai2 artistik dan tak dapat menggantikannja.”

24 Sudjojono, “Menoedjoe Tjorak Seni Loekis Persatoean Indonesia Baroe,” dalam Seni Loekis, Kesenian, dan Seniman (Indonesia Sekarang, 1946).

25 Bukankah selama ini (saat zaman kolonial) juga mereka “menyeket” alam, menggambar apa yang ada di sekitar? Sketsa dalam tradisi sanggar PERSAGI (meskipun “Ahli gambar”) berbeda. Tak hanya gambar bentuk dengan ketepatan anatomis, volume, perspektif, melainkan juga ekspresi yang memperhitungkan tarikan garis, spontanitas. Yang dihadirkan bukan lagi harus tepat, tapi bagaimana relasi antara mata, tangan, dan kepala.

26 “Menuju ke Corak Seni Lukis Persatuan Indonesia Baru,” dalam Seni Lukis Indonesia Tidak Ada, hal. 29

27 Sudjojono, “Menoedjoe Tjorak Seni Loekis Persatoean Indonesia Baroe,” dalam Seni Loekis, Kesenian, dan Seniman (Indonesia Sekarang, 1946).

 28 Idem.

29 Lihat S. Sudjojono, “Tentang Affandi,” dalam Affandi 70 Tahun (DKJ, 1978), hal. 20. Di sana ia menulis, “Memang betul lukisan itu hanya pembesaran sebuah foto biasa, tapi gambar itu sudah lukisan.” Sudjojono telah menunjukkan bedanya antara “lukisan” dan “gambar.”

30 “Surat Kelima,” dalam Surat-Surat Malam, hal. 15-16

31 Lihat “Melukis Gerak Alam,” dalam Dari Khaos ke Khaosmos, Estetika Seni Rupa (Erupsi, 2012).

32 Perihal ini lebih detail bisa dilihat dalam “Realisme Jiwa Ketok sebagai Strategi Representasi dalam Seni Lukis Indonesia Baru,” dalam Dari Khaos ke Khaosmos, Estetika Seni Rupa (Erupsi, 2012).

33 “Realisme jiwa ketok” itu lebih menjadi semacam ideologi berkesenian, yang berkaitan erat dengan cara mewujudkan, bukan corak lukisan, gaya, atau aliran.

34 Sudjojono, “Seorang Seniman dengan Sendirinja Haroes Seorang Nasionalis,” dalam Seni Loekis, Kesenian, dan Seniman (Indonesia Sekarang, 1946)

35 Lihat Sudjojono, “Kami Tahu Kemana Seni Lukis Indonesia Akan Kami Bawa,” dalam Seni Lukis Indonesia Tidak Ada (DKJ, 2007), hal. 38.

36 Jacques Rancière, “The Aesthetics Revolution and it Outcomes” dalam Dissensus On Politics and Aesthetics (Continuum, 2010), hal. 123.

37 Lihat Logic of Sensation, hal. 117.

38 Lihat Logic of Sensation, hal. 8

39 Bdk. Francis Bacon dalam Deleuze, Logic of Sensation (hal. 8). Setidaknya ada dua hal yang membuat hubungan lukisan modern itu berbeda. Di masa kini, ia tak lagi memenuhi fungsinya sebagai “dokumentasi” karena teknologi fotografi jauh lebih kompeten untuk kebutuhan ini. Kedua, kepetingan religius yang dulu dimuat oleh painting, kini tidak ada (dalam seni lukis Barat). Dalam konteks itu, maka Bacon mengatakan bahwa lukisan modern adalah sejenis permainan yang atheis.

40 Joseph. J. Tanke. 2011. Jacques Ranciere: An Introduction. London: Continuum, hal. 84.

41 Berbeda dari garis outline yang dapat dipelajari dan sifatnya teknis.

——————————

Daftar Pustaka

Deleuze, Gilles. 2003. Francis Bacon: The Logic of Sensation (Trans. Daniel W. Smith). London: Continuum.

Dermawan T., Agus. 2009. Elegi Artistik: Tentang Nashar dan Lukisan- Lukisannya. Jakarta: Asosiasi Pecinta Seni Indonesia.

Hafiz & Ugeng T. Moetidjo (ed.) 2007. Seni Lukis Indonesia Tidak Ada. Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta

Harsono, FX. 2009. Seni Rupa, Perubahan, Politik. Magelang: Langgeng Iskandar, Popo. 1977. Affandi: Suatu Jalan Baru dalam Ekspresionisme. Jakarta:

Akademi Jakarta

Majalah TEMPO Edisi 30 September “Lekra dan Geger 1965.” Nashar. 1976. Surat-Surat Malam. Jakarta: Budaya Jaya

Nïcolaides, Kimon. 1969. The Natural Way to Draw: A Working Plan for Art Study. USA: Houghton Mifflin Company.

Paterson, Mark. 2007. The Sense of Touch, Haptics, Affects and Technologies

Bloomsbury Academic.

Rancière Jacques. 2010. Dissensus On Politics and Aesthetics. (Trans. Steven Corcoran). London: Continuum.

Rosidi, Ajip, Zaini, Sudarmadji (ed.). 1978. Affandi 70 Tahun. Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta

Sudjojono. 1946. Seni Loekis, Kesenian dan Seniman. Jakarta: Indonesia Sekarang

Tanke, Joseph. J. 2011. Jacques Rancière: An Introduction. London: Continuum. Yangni, Stanislaus. 2012. Dari Khaos ke Khaosmos: Estetika Seni Rupa.

Yogyakarta: Erupsi

Yuliman, Sanento. 1968. Beberapa Masalah Dalam Kritik Senilukis di Indonesia. (Skripsi tidak diterbitkan), Institut Teknologi Bandung.

Website:

FX. Harsono, “Desember Hitam, GSRB, dan Kontemporer” https://gerakgeraksenirupa.wordpress.com/2013/05/19/desember-hitam- gsrb-dan-kontemporer/ (diunduh 10 November 2014)

Joseph J. Tanke. “What is the Aesthetic Regime?” dalam parrhesiajournal.org/parrhesia12/parrhesia12_tanke.pdf