Amir Kiah: Kematangan Seorang Penata Artistik

Oleh A. Zainuri

Lahir di Kupang, Nusa Tenggara Timur, 16 Agustus 1952. Selepas SMA dia mulai aktif berkesenian, dengan belajar melukis di LIA (Lembaga Indonesia-Amerika) – Painting Circle yang diasuh pelukis Krishna Mustajab. Lalu bergabung di Bengkel Muda Surabaya sebagai tata artistik teater. Semua sutradara yang ada di Bengkel Muda, tata artisiknya selalu ditangani Amir Kiah. Jadi bisa dirasakan kematangan Amir Kiah dalam melihat panggung rupa sebagai ruang yang bergerak.

Amir setiap menggarap tata artistik tidak mengusung kemauannya kedalam panggung tapi keadaan panggungnya bisa dirasakan kehadirannya, kalau tata artistik tersebut hasil dari sentuhan Amir Kiah. Dari berbagai sutradara yang ada di Bengkel Muda Surabaya, dia menggarap panggung teater mulai bentuk garapan yang absurd sampai yang realis sekali. Kebutuhan sutradara sebagai pembawa gagasan benar-benar bisa di-ikat lewat pemahaman keartistikannya. Cara membayangkan gambar bergerak lewat kesederhaan sangat matang sekali. Sehingga lewat sentuhannya dengan tata ruang yang sederhana menjadi sangat bersahaja. Demikian juga ketika ruang panggung hadir bersama-sama perangkat teater mulai aktor dan gagasan sutradara, kemolekan peristiwa menjadi kenyataan yang dinamis.

Kehadiran artistik Amir tidak hanya sebagai benda-benda dan warna-warna yang menempel di atas panggung, namun benda dan warna tersebut juga bisa ikut menentukan peristiwa dramatik di atas panggung itu sendiri. Bahkan saat-saat tertentu ketika panggung tanpa ada penghuni pemain, tiba-tiba kelindan artistik memerankan sebagai ruang yang hidup. Dari sini artistik sudah jadi bagian dari cerita yang dipentaskan. Tata artistik menentukan sekali dramatik impac-nya pertunjukan. Panggung jadi lembut dan terasa berwibawa karena kesadaran ruang artistik menjadi daya tafsir tersendiri dengan keseimbangan visual pemain. Keramahan ini menjadi kaitan yang bersambung untuk menghadirkan seni rupa yang bergerak dalam gagasan penggarapan cerita.

Tata artistik Amir Kiah, bukan performance yang luar biasa atau spektakuler tapi pengejawantahan peristiwa yang sederhana yang menjadi bagian penting dalam sebuah gagasan garapan. Sehingga meskipun benda-benda yang dihadirkan di atas panggung tidak menunjukan kelebihan kesenirupaan namun ketika mendapat sentuhan perangkat yang lain bisa menjadi peristiwa penuturan yang lengkap dalam sebuah senirupa bergerak. Amir Kiah sangat tajam sekali daya bayangnya dalam mengawal sebuah narasi keartistikannya. Bahkan satu tata letaknya bisa menghadirkan berbagai peristiwa, bisa menghadirkan keleluasaan ruang yang melampaui kebutuhan gagasan.

Semua ini upaya Amir dalam menjaga keutuhan agar dirinya merasa menemukan kesetaraan dalam melihat peristiwa yang magis. Amir selalu terlibat dalam proses, bahkan porsi latihan fisiknya juga setara dengan para aktor yang sedang berlatih selama berproses. Baginya lebih penting memahami peristiwa daripada hanya merespon gagasan garapan yang masih setengah jadi. Gagasan adalah bahan untuk dimengerti dalam sebuah penggarapan sedangkan proses adalah pencarian untuk mendekatkan pada pemahaman, dinamisasi rasa. Kesenian adalah rasa dimana membutuhkan kedalaman proses yang sangat dalam dan tak terukur ketajamannya.

Mengalami Seni 
Baginya masuk ruang kesenian bukanlah sesuatu yang asing karena sejak kecil sudah lekat dengan pengalaman semacam itu. Membuat kerajinan tangan, nonton ludruk,nonton wayang, nonton misri, nonton tandak, nonton jaran kepang, sudah menjadi kesenangan. Makanya ketika masuk kawasan seni yang letaknya di Balai Pemuda ini dia merasakan menemukan kecocokan.

Demikian juga dengan aktivitas keorganisasian kepemudaannya dia merasa pas dan tidak asing di saat dinamika pergerakan jadi bagian proses yang ada. Begitu, saya, menyoal cerita pergerakan. Amir jadi lancar mengutarakan masa lalunya saat masih sekolah di sekolah dasar. Dia terkesan sekali dengan guru kelasnya yang selalu memberi pembelajaran tentang berkesenian yang benar. Demikian juga latar belakang politik guru kelas ini yang kebetulan adalah Pemuda Rakyat sehingga pelajaran dinamika berorganisasi, menjadikan pengalaman yang berharga bagi dirinya di kemudian hari.

Guru kelas ini bersahaja sekali dalam menyampaikan tehnik-tehnik memahami sesuatu. Misalnya, bagaimana belajar baca puisi yang benar, belajar deklamasi yang benar. Dalam artian, cara pembacaan yang benar tersebut dikembalikan pada konsistensi dan kondisi realitas yang ada pada murid itu sendiri. Tidak perlu meniru, tidak perlu dienak-enakan, tidak perlu diasing-asingkan dan tidak menuntut kejuaraan. Semua ada koridornya sendiri-sendiri yaitu memahami apa yang ada dan yang dimiliki. Demikian juga dengan pelajaran menggambar, suatu hari murid-murid dibawa keluar kelas dan menggambar hal-hal sederhana yang ada disekitarnya. Sehingga suasana belajar jadi sehat dan pelajaran serba memenuhi porsinya.

Menurut Amir Kiah, Guru kelas ini juga memberi pelajaran tentang kerja kerasnya tokoh-tokoh. Seperti; Ho Ci Min, Mao Tse Tung, dengan mengesankan sekali sehingga memunculkan rasa kagum. Mulai dari sinilah Guru kelas ini membentuk anak-anak untuk belajar menjadi aktivis, hingga pada akhirnya ada gerakan menurunkan kepala sekolah dari jabatan. Saat itu kepala sekolahnya seorang kader PSI(Partai Sosialis Indonesia) dan dia mundur sebagai kepala sekolah, tapi kepala sekolah ini juga punya indikasi siapa yang menggerakkan dan merekayasa semua ini.

Awal mula ceritanya, dimulai sang Guru kelas tersebut tidak masuk mengajar atau sengaja tidak masuk mengajar. Kelas jadi kosong, biasanya kelas kalau kosong yang mengisi pelajaran adalah kepala sekolah. Entah keinginan apa yang ada pada kepala sekolah saat itu dengan memberi soal pelajaran berhitung, yang semua siswa tak satupun mampu mengerjakan soal-soal yang ditulis di papan tulis. Suasana belajar ini jadi tegang. Bahkan dua siswa yang paling pandaipun di kelas,juga tidak bisa mengerjakan.

Begitu jam sekolah menjelang usai sang Guru kelas muncul dan melihat dua papan tulis besar yang berjajar penuh dengan soal-soal berhitung. Dia langsung meraih penghapus dan dengan teateral semua tulisan yang ada di papan dibersihkan dalam waktu sekejab. Semua murid terperangah campur perasaan lega dengan kehadiran guru kelas yang bisa mencairkan ketegangan. Dan dengan tenangnya keluar kata-kata dari mulutnya “belum waktunya pelajaran macam ini”. Keadaan demikian menjadikan rasa simpati dan kekaguman kepada Guru Kelas makin besar.

Tanpa terasa anak-anak sudah mulai terbentuk. Sudah mulai terbiasa setiap menjelang pulang Guru Kelas memberi pembekalan tentang belajar yang benar. Dari sini anak-anak menemukan kenyamanan belajar sehingga pelajaran penutup ini membawa semangat tersendiri bagi semua murid. Suatu saat sang Guru kelas cerita tentang Nasakom. Dengan segala aktingnya mulai merancang, anak-anak juga mulai merasa ingin tahu. Dengan melongokkan kepala seperti mencari sesuatu, sang Guru kelas memanggil salah satu murid bernama Edi. Edipun maju ke depan kelas berdiri menghadap kawan-kawan, lalu ibu jari sang Guru kelas ditempelkan di kening Edi sambil sedikit ditarik ke atas,”Kamu Nas…… (Nasional)”. Anak-anak dan begitupun Edi jadi kagum campur surprise. Bagaimana tidak? Edi memang keluarganya nasionalis (Ayahnya anggota PNI).

Giliran kedua dia memanggil Amir (Amir Kiah). Dengan gaya dan akting yang sama sang Guru kelas menempelkan ibu jarinya di kening Amir, dan berkata,”A……. (Agama)”. Anak-anak makin terperangah……dan yang ketiga sang Guru kelas memanggil anak yang bernama Lasmono, dan kata-kata yang keluar, ”Kom…….. (Komunis)”. Lengkaplah ‘Nas-A-Kom’, “jadi semua kita ini nasakom” begitu sang Guru kelas mengakhiri jam pelajaran hari itu. Murid-murid pulang dengan perasaan tersanjung, gagah, dan lain sebagainya, wong namanya juga anak-anak.

Saat sudah SMP (Sekolah Menengah Pertama) Amir dan beberapa kawannya masih sering berkumpul hingga menjelang ujian akhir. Salah satu yang mereka bincangkan adalah kiprah sang Guru kelas saat masih di sekolah dasar. Dari bincang-bincang itu mereka jadi mengerti dan tahu, apa yang mereka peroleh, tidak saja ilmu-ilmu pelajaran dasar tapi juga yang lebih dan diluar dari itu. Dan mereka baru sadar kalau telah digiring-giring sejak kelas 4 sampai kelas 5 SD (dahulu masih menggunakan nama SR, Sekolah Rakyat).

Suatu hari, pagi-pagi sekali murid-murid sudah banyak yang datang, dan suasana di kelas ramai. Dua papan tulis besar yang berjajar sudah penuh dengan berbagai coretan, tulisan dan gambar menuntut kepala sekolah mundur dari jabatan. Guru kelas hari itu tidak datang mengajar. Seperti biasanya kepala sekolah menggantikan. Begitu masuk ruang kelas, melihat coretan, tulisan dan gambar-gambar yang menyudutkan dirinya memenuhi papan tulis, sang Kepala sekolah langsung undur diri tidak jadi mengajar. Dua hari kemudian sang Kepala sekolah mengundurkan diri.

Bagi Amir Kiah, pengalaman ini tidak dipakai untuk keseniannya tapi untuk komunitas iya, hanya untuk proses pendewasaan diri saja. Kesenian punya ruang sendiri tapi juga butuh gesekan semacam ini untuk diendapkan. Tinggal mempertemukan kebutuhannya apa……… Dan medianya apa……….. Bentuk apapun keseniannya bisa dijelajahi tergantung pengendapannya dan ini harus dilakukan dengan ketulusan. Laku semacam ini sudah terbiasa dilakukan, Amir, bisa mencapai kerja seni dengan tingkat kesulitan hanya dengan ketulusan. Ketulusan bisa tercapai harus bisa menemukan kerilekskan dan tidak mikir apa-apa.

Garapan-garapannya lebih merespon gagasan-gagasan orang yang sedang terlibat, baik terlibat garapan maupun menaruh perhatian pada proses kerjanya. Karena dia sadar bahwa respon semacam itu bagian dari keleluasaan. Sedangkan kreativitas sendiri muncul karena adanya keleluasaan. Amir menganggap garapannya adalah obsesi dan tidak pernah menemukan aktualisasi yang utuh, yang kuat hanya pada bentuknya.

Sebenarnya Bengkel itu butuh Lab (Laboratorium). Dan itu terjadi pada masa-masa sutradara Hare Rumemper. Pada masa itu antara; kemauan, kebutuhan, kepentingan, sangat tulus sekali dilakukan di Bengkel. Jadi wajar saja kalau interaksi kebersamaan terdukung mulai pemikiran, proses hingga jadi.

Garapan-garapan dramanya:

Aduh (1986)
(Naskah : Putu Wijaya. Produksi Bengkel Muda Surabaya ke 37. Pemain: Farid Syamlan, Heroe Budiarto, Ipung, Budi Leres, Zainuri, Akhiyat, Joko Umbaran, Sri Yuliana Dewi, Nooer Salim, Anggraeni)
Ingin berbagi pengalaman baik dalam kehidupan maupun berteater. Saat itu Bengkel Muda masa kosong penyutradaraan sehingga anak-anak baru yang butuh menumpahkan ekpresinya kuat sekali. Dan Amir mengambil inisiatif untuk menularkan bermacam-macam pengalaman. Sedangkan ADUH adalah sebuah obsesi. Karena setiap dia menonton pertunjukan Aduh yang di garap teater lain, Amir, selalu kepingin membaca ulang naskahnya kembali. Garapan ini benar-benar ditafsirkan sebatas kemampuan awak panggung yang terlibat. Mulai menafsirkan naskah, membangun komunikasi pertunjukan, kostum, tehnik bermain, semua dikembalikan pada pemainnya sendiri-sendiri. Sutradara hanya memberi pandangan, sutradara hanya mengawal pengalaman, sutradara hanya membebaskan semua aktivitas pemain. Pemantasan ini terlihat bersahaja sekali dan menafsirkan peran Aduh menjadi multi pribadi sekali. Akhirnya naskah yang penuh dengan satire kecurigaan terhadap semua orang yang dianggap asing ini bisa berbalik menjadi mencurigai diri sendiri. Aduh………………..keterasingan yang dicemaskan ditengah-tengah massa yang tidak pernah berakhir.

Bersamadi (1987)
(Naskah di tulis abad 14, karya; Anonim dari Jepang.Produksi Bengkel Muda Surabaya ke 38. Pemain: Busro Yusuf, Dindy Sapardi, Akhiyat ).
Naskah Bersamadi tergolong naskah klasik dari Jepang, bahkan ceritanya sudah tidak asing lagi di teater tradisional kita. Naskah ini digarap sangat menghibur dan menyenangkan. Jadi hadirnya pertunjukan Bersamadi ini, seakan-akan diajak melihat kembali pada semangat tradisi. Namun bukan mmentaskan kembali teater tradisional tapi idiom-idiom tradisi itulah yang dibangkitkan kembali lewat gagasan-gagasan yang ada pada saat ini. Sehingga tuntutan naskah dipertimbangkan begitu liris dan yang muncul dialek-dialek masa lalu yang diaktualkan lewat penyampaian yang benar.
Pertunjukan jadi terasa ketika ruang dialek bisa tercipta dengan tepat dalam kondisi kekinian. Justru masa lalulah yang menjadi pelipur tersendiri dengan segala keuletan performens yang digarap untuk pertunjukan saat ini. Demikian juga segala pernik-pernik kostum dan artistik panggung yang penuh dengan gradasi warna yang dinamis. Musik; kendang, terbang, seruling, menghantar rana masa lalu yang menjadi dekat sekali dengan suasana batin. Garapan ini mewakili semangat pertunjukan tradisi dengan sentuhan kekinian.

Kecubung Pengasihan (1989)
(Omong-omong Panjang Diantara Kasih)
(Adaptasi dari konpulan cerpen ‘Godlod’ karya Danarto. Produksi Bengkel Muda Surabaya ke 39. Pemain : Zainuri dan Chusnul Huda Sholeh)
Menurut Amir Kiah, drama ini di buat karena ada pikiran jernih dalam kesederhaan pertunjukan. Sebuah komentar sosial yang di bangun atas jalinan realitas sosial dan realitas mistik. Seolah dua realitas, padahal – sesungguhnya – satu kesatuan yang hanya berbatas tirai.“Sebuah tabir lendir yang dingin besar lebar seolah pintu raksasa yang tegang kukuh”, menurut Danarto dalam cerpen Kecubung Pengasihan.
Secara garapan Amir Kiah memberi tekanan pada tokoh perempuan bunting bukan saja sebagai ujud penderitaan dan kebimbangan. Tapi sekaligus gambaran keutamaan dunia dalam kasih dengan keutuhan ketulusan yang prima. Meski pernyataan tentang kompleknya pengalaman manusia disampahkan dengan reprentasi simbolik, tapi tidaklah sulit mengembalikan imajinya menjadi realitas luar atau sebaliknya.

Masih menurut Amir Kiah, itu sebabnya kita tumbuhkan sikap terbuka dan itulah yang kita peroleh dari teater. “Tumbuhnya keterbukaan sikap terhadap realitas yang bagaimanapun………… Omong-omong. Omong-omong panjang di antara kasih……………”.

—–

*Penulis adalah Teaterawan