Yang Hilang dalam Ekosistem Tari dan Sejumlah Masalah Kesenian

Oleh: Halim HD.

Bagaimana dengan perkembangan dunia tari kita. Sejauh mana seni panggung yang diyakini sebagai ekspresi tubuh ini berkembang. Adakah perkembangannya merunut kepada jejak sejarah yang pernah ada, dan sejauh manakah jejak itu ditekuni dan menghasilkan karya baru. Pada sisi lainnya, sejauh manakah interaksi para penari dan koreografer dengan sesamanya dari negeri lain, atau dari daerah lain dalam lingkup wilayah nusantara. Sejumlah pertanyaan bisa kita susun berdasarkan pengalaman kita dalam beberapa dekade terakhir ini melihat kegiatan tari diberbagai kota yang dianggap memiliki basis produksi intensif dan melakukan pembaharuan. Tapi satu dan hal lainnya, kita tak bisa menampik jika kita, minimal saya pribadi menyatakan bahwa dunia tari kita mengalami sejenis “involusi” di dalam dirinya. Tentu ada pihak yang tak sependapat dengan saya. Dalam konteks perbincangan itulah saya ingin menyampaikan buah pengamatan saya sebagai penggemar dan publik tari.

Yang paling menggembirakan pada dua dekade terakhir ini bermunculan begitu banyak koreografer muda di berbagai daerah, dan sekaligus kemunculan mereka berkaitan juga dengan pembentukan grup, atau sejenis company. Di Solo ada puluhan grup, seperti juga di Yogyakarta, Surabaya, Bali, Makassar, Padang, Medan, apalagi di Jakarta. Bahkan di kota-kota yang semula dianggap tak pernah memiliki grup tari, kita bisa menyaksikan pergelaran sanggar-sanggar di kota Pasuruan, Tulungagung, Malang, Sidoarjo, Banyuwangi, Banyumas, Tegal, Semarang, Cirebon, untuk menyebut beberapa kota. Jika kita melacak lebih jauh, sesungguhnya sanggar-sanggar tari nampak menjadi trend di kalangan kaum remaja dan muda. Anda bayangkan suatu kota, Barru Namanya, dengan populasi 300-an ribu di Sulawesi Selatan ada sekitar ribuan remaja dan kaum muda lainnya yang menggemari dunia tari. Yang paling “menarik” untuk kita simak, Bandung, betapa anehnya kota ini yang memiliki kampus kesenian, ISBI dengan sejarah STSI dan ASTI dan jurusan tari sejak tahun 1970-an tapi jarang atau bahkan tak pernah terdengar suaranya. Tapi kalau bicara soal tari tradisi, tentu Bandung harus kita perhitungkan, walaupun gemanya jauh dibandingkan dengan Solo, Yogyakarta dan Bali. Belakangan saya dengar, sejak beberapa tahun terakhir ini di Bandung ada banyak lokakarya tari dan tatakelola. Tapi nampaknya hanya sampai disitu.

Itulah perbincangan umum tentang dunia tari dengan basis tradisi, dan melalui basis itu kita menyaksikan perkembangan dunia tari. Dalam konteks perkembangan yang saya anggap “involusi” itu, berkaitan dengan, kenapa dunia tari yang memiliki basis tradisi yang demikian kaya dan demikian kokoh itu tak beranjak lebih jauh dalam kaitannya dengan kapasitas mereka untuk menjadi karya kontemporer. Ada banyak orang yang berkilah bahwa tradisi itu sendiri sudah kontemporer. Mungkin benar, saya tak menolaknya. Karena suatu konsepsi ke-kontemporer-an memang bisa dibentuk oleh suatu kelompok berdasarkan kebutuhannya. Cuma dan hanya saja masalahnya, bahwa suatu konsepsi ke-kontemporer-an yang dibutuhkan oleh suatu kelompok atau seorang koreografer itu, sejauh mana membentuk suatu perkembangan tehnik dan cara berpikir yang bisa ikut mempengaruhi lingkungannya juga, minimal berpengaruh kepada sanggar lain atau para penari yang sedang mencari dirinya. Bagi saya, ke-kontemporer-an bukan hanya suatu teknik menari yang disajikan, tapi lebih dari itu adalah suatu cara berpikir tentang karya kesenian yang memiliki konteks dengan zaman dan kebutuhan untuk menguak ruang dalam dan ruang luar dari kaum penari, koreografer, pengamat dan lingkungan masyarakatnya.

Berkaitan dengan hal itu, jika kita telusuri dalam dua dekade terakhir basis sosial dunia tari sejak makin banyaknya dan berkembangnya kampus-kampus kesenian yang memiliki jurusan atau prodi tari yang diiringi dengan kajiannya, kita bisa menyimpulkan sebagian besar pendukung dunia tari yang ada di negeri ini merupakan produk kampus-kampus kesenian. Sesuatu yang kita anggap menggembirakan bahwa produk kampus kesenian mengembangkan dirinya ke dalam dunia profesi yang akan mengarah kepada profesionalisme dengan kompetensinya. Tapi lagi lagi kita menemukan kenyataan yang lumayan pahit. Misalnya melalui pertanyaan, bagaimana relasi antara dunia tari dengan kajiannya, sejauh manakah kedua hal itu saling memiliki korelasi logis dalam menunjang perkembangan tehnik dan pemikiran. Dengan kata lain, sejauh mana basis pendidikan para penari dan koreografer yang secara teoritik kian canggih bisa menjadi dasar dan material bagi perkembangan pemikiran dan tehnik serta metode pengolahan tubuh, tematik dan sistem produksi?

Seiring dengan begitu banyaknya grup yang bermunculan yang didirikan oleh para penari dan koreografer sejauh itu pula pengembangan lokakarya tatakelola dan berbagai tematik dari gagasan serta konsep diperbincangkan dan dikupas. Tapi, adakah itu berlanjut kepada sistem produksi? Kadang, atau bahkan sering saya terlongong oleh begitu banyaknya lokakarya serta dukungan penyelenggaraan pengembangan tatakelola dan kajian gagasan, tehnik, konsep dan lainnya oleh Ditjenbud. Namun saya tak cukup mendapatkan informasi peristiwa kelanjutan dari program itu menuju sistem produksi. Jikapun ada, misalnya dalam kasus Dana Indonesiana, disini saya menemukan ironi yang paling kelam.

Dana Indonesiana atau sejenisnya yang datang dari Ditjenbud untuk para koreografer dalam mengembangkan dirinya, terasa seperti limpahan dana tanpa suatu monitoring tatakelola serta monitoring konsepsi karya. Kasus karya Othniel dan Miroto (alm), misalnya, bagi saya jauh dari harapan saya. Kedua karya itu tak cukup layak untuk dijadikan khasanah pemikiran dan tehnik, kecuali jika kita ingin mencaci makinya. Salah satu kelemahan dari Ditjenbud dalam memberikan dana itu tak diiringi oleh monitoring proses kerja yang memadai. Kepercayaan yang diberikan oleh Ditjenbud nampak tak diiringi oleh proses kerja yang secara tatakelola memadai dan secara tehnikal berkaitan dengan proses karya dalam kaitannya dengan tematik yang berkorelasi dengan tahnik, yang sesungguhnya koreografer membutuhkan sejenis partner dalam berproses. Ratusan juta bahkan lebih setengah miliar, dana itu hanya untuk karya yang secara tehnikal gagap. Transgender sebagai tematik, misalnya kasus Othniel, sekedar “pasar isu” yang kedodoran cara menyajikannya. Pertanyaannya, kenapa pula suatu tematik bisa lolos seleksi dari kaum doktor dan professor serta seniman kondang tanpa diiringi oleh pemantauan dalam proses kerja? Betapa dahsyatnya kepercayaan itu telah diraih dari instansi dan kaum pakar, dan publik, minimal saya merasa dibodohi oleh isu yang digarap secara sembrono.

Catatan untuk hal tersebut, kenapa Ditjenbud yang banyak melibatkan KSI (Koalisi Seni Indonesia) tak menggerakan KSI untuk terlibat dalam pemantauan. Bukankah pengujian suatu proses kerja produksi merupakan bagian dari sistem strategis dalam kaitannya sebagai pencarian model kerja, model tatakelola dan pengembangan khasanah pemikiran? Dan bukankah seperti yang diungkapkan oleh salah satu pemikir KSI, Abduh (alm) bahwa KSI bergerak pada bidang bidang strategis? Adakah ini masalah birokratis yang mengganjal? Catatan lain, KSI yang kita harapkan benar-benar mempraktekan kerja-kerja strategis harusnya juga memiliki landasan kerja profesional dan didasarkan kepada kompetensi. Pernahkah anda membayangkan seseorang yang ingin membereskan festival dunia tari di Palembang, begitu ungkapannya “sang petugas” KSI dari dunia senirupa, tanpa dia mengetahui kota Palembang dan tak memiliki jaringan kontak, dan kembali berulang “sang petugas” memasuki wilayah lain di Sulawesi Selatan dalam kaitannya dengan Dana Indonesiana. Jika KSI benar-benar suatu organisasi yang mendasarkan diri kepada pemikiran strategis, kenapa pula jejaringnya tak digunakan secara organik: para anggotanya harus membentuk jejaring organik yang benar-benar mengetahui masalah di wilayahnya secara geografis dan secara profesi. Sebab, Cerita Dari Blora, suatu tajuk yang diangkat dari karya sastra pengarang besar Indonesia, Pramudya Ananta Toer, hanya menjadi acara musikalisasi, lokakarya penulisan, anjangsana ke perdesaan, sementara spirit Pramudya dalam konteks menciptakan ruang kesejarahan melalui refleksi rumah kelahiran pujangga sastra moderen itu tak terasa. Hal itu karena anggota KSI yang menjadi programer tak memahami dunia sastra dan sejarah. Inkompetensi terjadi, seperti juga pada Festival Gamelan Internasional di Solo dengan dana miliaran, beberapa tahun yang lalu, pinjam ungkapannya Djadug Ferianto (alm), “nggak kedengaran”. Masalahnya memang terletak kepada percaya diri yang berlebihan kaum akademisi kampus ISI Surakarta yang menganggap gamelan dunianya, demikianlah adanya. Tapi Ketika gamelan memasuki ruang sosial yang harus dibentuk, disini terjadi kegagapan kaum akademisi yang sudah terbiasa oleh fasilitas yang disediakan, bukan pencipta ruang kesenian alternatif yang memiliki ketakterdugaan dalam peristiwa kesenian. Aspek proyek juga menjadi dominan, maka kuping hanya disediakan untuk rekan lingkungannya sendiri.

Kembali Dana Indonesiana membuat peristiwa menarik. Tentu serdadu juga senang sama dunia tari, mereka juga senang joget. Tapi kalau suatu festival tari di suatu daerah di NTT sampai dijaga oleh barisan serdadu karena dikhawatirkan melahirkan konflik, muncul pertanyaan, kok bisa festival yang merupakan buah kegembiraan dan rasa syukur warga menjadi bahan konflik sosial? Ternyata ada politik lokal yang tak terbaca oleh antropolog yang disewa oleh koreografer dan ditugaskan oleh Dana Indonesiana untuk memetakan masalah kultural.

Dalam konteks proyek itu pula, Ketika Parekraf menyelenggarakan bantuan dana untuk seniman dalam pengembangan sarana studio, misalnya, kita menyaksikan betapa kaum seniman tak mampu menghindari diri dari godaan dan tak mampu pula bersikap dalam menerapkan tata kelola dalam konteks bahwa tatakelola bukan hanya bersifat manajerial produksi, tapi juga suatu praktek penerapan kode etik(a), bahwa dana bantuan dari pemerintah haruslah dihadapi dan dikelola dengan prinsip moral. Sambil hahahehe seorang komponis perempuan, doktor dan dosen karawitan dan etnomusikologi di ISI Solo menyatakan bahwa proposal pengajuannya disusun oleh tim arsitek yang disediakan oleh Parekraf, seperti juga koreografer dari kampus yang sama, maka miliaran meluncur untuk membangun studio. Kenapa tim Parekraf? Karena kalau disusun sendiri, tak mungkinlaaaaah. Kapasitas menyusun suatu proposal yang canggih dan rasional kaum seniman dalam semua aspek memang lemah, betapapun doktornya. Maka diserahkan saja kepada tim penilai Parekraf. Jadi terdapat sejenis timbal balik kepentingan. Sementara itu, koreografer lain yang mendapatkan bantuan gamelan, mengeluh, kok cuma setengahnya, padahal kami meminta gamelan lengkap, dan menandatanganinya, keluh isteri koreografer penggagas Festival Hujan di Kartasura.

Berkaitan dengan hal itu, barangkali sangat menarik jika KSI memiliki keterlibatan dalam pemantauan tatakelola bantuan. Sebab niat baik sejak Ditjenbud melakukan reorganisasi instansinya dan salah satu segi adalah bagaimana memberikan perhatian kepada kaum seniman dalam aspek ekonomi dengan pertimbangan agar profesionalisme bisa berkembang. Maka kelimpahan dana bantuan dalam berbagai wujudnya melalui Parekraf dan Ditjenbud sangat membutuhkan pemantauan, saling kontrol supaya tatakelola lebih sesuai dengan dasar moral dan tujuan kebudayaan. Sekali lagi, hal itu karena saya teringat perbincangan dengan Abduh yang sangat antusias bahwa kita membutuhkan suatu tujuan yang dirancang secara rasional dalam wujud pengelolaan kebudayaan dalam berbagai seginya.

Sudah pasti ada jarak antara Parekraf dengan Kemendikbud c/q Ditjenbud. Jarak itu bukan hanya dalam kaitannya birokrasi tapi juga terasa pada penerapan politik kebudayaan: antusiasme Parekraf terhadap kebudayaan didasarkan kepada bagaimana menjual kebudayaan dan menciptakan pasar. Dalam konteks inilah Parekraf terasa menerabas batas. Bukankah ruang wilayah bagi pengembangan kebudayaan merupakan ruang wilayah kerja Ditjenbud. Jadi, soal bantuan dana untuk pengembangan studio sesungguhnya melangkahi. Berkaitan dengan hal itulah mungkin posisi KSI bisa menjembatani. Mungkin tak mudah. Tapi bisa dibicarakan suatu rembugan untuk menyusun strategi bersama.

Catatan yang perlu saya berikan dalam perbincangan ini, sesungguhnyalah masalah kebudayaan dan kepariwisataan itu dalam suatu kementerian, yakni Kementerian Kebudayaan, agar rasionalitas kerja menjadi lebih jelas. Bukankah di berbagai negeri lain kepariwisataan berada dalam wilayah kerja kebudayaan, dalam instansi Kementerian Kebudayaan?

Kembali kepada perbincangan dunia tari, suatu dunia kaum muda yang dominan yang kian hari ditinggal oleh para Mpu-Maestro yang pupus oleh waktu. Dengan basis sosial sumber daya manusia (SDM) dari kampus kesenian, yang sayangnya kampus tak lagi menjadikan dirinya sebagai laboratorium. Proses Pendidikan yang formal dan pendekatan sikon kampus melalui deteksi sekuriti, membuat kampus hanya menjadi ruang kuliah, pertemuan formal. Tak ada lagi perbincangan informal yang intensif, tukar gagasan, karena kampus harus bersih setelah jam 21.00. Banyak orang yang tak menduga bahwa begitu banyak gagasan yang bernas dari proses perbincangan informal setelah kampus secara resmi tutup, waktu luang menjadi begitu berarti, dan tanpa sengaja tercipta dialog “yang bukan sekedar dalam rangka”: suatu perbincangan yang nampak main-main namun dilanjutkan oleh uji coba. Kasus Wayang Buddha yang digagas oleh Suprapto Suryodarmo di kampus Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI) Solo pada tahun 1970- an, misalnya, berasal dari perbincangan antara mahasiswa, dosen dan seniman non-kampus. Karya yang merupakan suatu proses kolaborasi antara dunia tari, karawitan dan teater senirupa bisa bertemu bukan di dalam ruang kuliah, tapi di pendapa dan warung. Sementara itu Wayang Sandosa gagasan Ki Sujadi Sabdoleksono dan Ki Bambang Suwarno, wayang kulit dalam Bahasa Indonesia, waktu luang ketika kampus kosong karena sebagian besar muhibah kesenian ke Eropa, beberapa dosen dan mahasiswa menggagas uji coba bahwa wayang kulit tak harus dalam Bahasa Jawa saja, tapi juga Bahasa Indonesia, dan dengan durasi yang padat. Sudah empat puluh tahun Sandosa yang lahir pada tahun 1984.

Dua kasus ini, diantara puluhan kasus lain, menjadi bukti dari jejak sejarah kesenian dalam suatu ruang sosial yang informal, ketika batas-batas administratif tak membelenggu dan relasi sosial tercipta karena ada relasi personal yang menghubungkannya melalui gagasan. Kenapa kampus sekarang menjadi begitu kering perbincangan, dan mengapa pembicaraan hanya sebatas hal-hal yang berkaitan dengan perkuliahan? Materi perkuliahan bukan hal yang jelek. Sangat mungkin materi perkuliahan bisa dijadikan bahan uji coba. Tapi, uji coba hanya bisa tercipta jika ada suatu relasi yang akrab dan tak terikat, longgar dan waktu yang memang tersedia untuk memperbincangkan suatu masalah. Singkat kata, kita Kembali kepada konsep kampus sebagai laboratorium, ruang uji coba dalam gagasan menuju konsep dan uji coba tehnikal dalam upaya untuk mencari cara berekspresi dan mewujudkan suatu gagasan ke atas panggung dan ruang sosial yang lebih luas.

Jika kita melihat fasilitas kampus kesenian sekarang, kita merasa bangga, betapa megah dan mewah dibandingkan periode 1970-80-90. Betapa gedung keseniannya, panggung untuk menyatakan diri dalam karya dengan AC serta fasilitas tata lampu yang makin lengkap serta peralatan tata suara yang kian canggih. Namun, kenapa pula sampai sekarang di kampus-kampus kesenian tak memiliki seorangpun yang bisa kita anggap pakar tata cahaya dan pakar tata suara, pakar tata artistik? Sekarang kita tak bisa berharap bertemu dengan manusia anomali kaliber Roedjito, atau Danarto, dan Hajar Satoto yang sangat inspiratif. Hal ini juga terjadi dengan sarana gedung kesenian Taman Budaya di seluruh Indonesia, yang makin hilang sosok-sosok kompeten dan mampu serta bisa memberikan rangsang kreatif kepada siapapun untuk mencipta karya kesenian. Konon, saya dengar ada sertifikasi profesional untuk hal itu. Tapi saya belum melihat hasil yang bisa membuat saya terpukau oleh sajian tata cahaya-suara-artistik. Adakah persoalan ini berkaitan kuat dengan tiadanya proses uji coba yang bukan sekedar suatu target tapi sebagai proses pencarian. Saya tahu ada gladi resik. Sekedar formalitas menjelang pertunjukan. Tapi jelas itu bukan uji coba laboratoris.

Itulah yang banyak terjadi ketika para koreografer muda memasuki gedung dan naik ke atas panggung, mereka hampir-hampir hanya menerima apa adanya. Perbincangan dari hasil proses kerja yang disatukan ke dalam karya tak terjadi, maka hasilnya sekedar gelap terang tanpa karakter. Secara iseng saya kadang bertanya kepada penata artistik-cahaya-suara, bagaimana pengaruh pergantian jenis lampu konvensional dengan LED dan komputerisasi dalam konteks karakteristik pertunjukan? Agak sulit kita mendapatkan jawaban. Sebab, banyak diantara mereka pada dasarnya tak bisa membedakan antara “cahaya” dan “lampu”. Sementara itu ingatan melintas ketika Mbah Djito, panggilan akrab Sang Mpu Roedjito, puluhan tahun yang lalu menyatakan, cahaya yang bisa menghadirkan seseorang dan karyanya. Tapi, bukan hanya satu-satunya. Karena kehadiran tubuh dan cahaya tak bisa bersaing. Dia bersama hadir. Itulah kenapa ketika Topeng Losari hadir di Teater Arena Taman ismail Marzuki (TIM) Mbah Djito menyiapkan empat buah senthir. Begitu juga Ketika Topeng Losari hadir di Purna Budaya, Bulaksumur, Yogyakarta. Kenapa pakai senthir Mbah, kaan sudah ada lampu. Ingatan, jawabnya, supaya mereka ingat kepada ruang rumahnya melalui kelap kelip dan kepulan lengas asap senthir yang bisa ditangkap oleh indra penciumannya. Mbah Djito memang manusia langka yang memberikan ungkapannya bukan hanya untuk kesenian tapi kehidupan. Kita harus bukan hanya memahami tapi meresapi ruang dan lingkungan cikal bakalnya, katanya suatu hari ketika kami mengunjungi seeorang dalang di Klaten.

Ketika kehadiran tubuh di atas panggung atau arena, atau ruang pertunjukan dalam suatu dunia bersama yang tak bisa dipisahkan, dan kini begitu lancar nyerocos mirip gentong bocor kaum penari, koreografer (juga aktor, sutradara, pelaku teater) bicara tentang tubuh, dan merasa ketinggalan zaman jika tak menyinggung soal itu, tapi, kenapa mereka tak memperbincangkan, tak memikirkan soal cahaya? Atau ada sesuatu yang terputus dan hilang dalam proses pendidikan tari (juga teater) berkaitan dengan isu tubuh-cahaya-ruang. Adakah para pengajar tari masih memiliki pemahaman konsepsi kehadiran tubuh bukan semata-mata sekedar fisik, bahwa tubuh sebagai perwujudan jagat-alit, mikrokosmos berada dalam relasi dengan makro-kosmos dalam bentangan tata surya dan alam semesa?

Sampai sekarang, sejak lampu LED digunakan di dalam dunia panggung untuk tari dan teater, betapa sulit saya menemukan sejenis suasana meditatif. Well, belum ketemu cara untuk bagaimana LED yang muasalnya untuk penerangan dan banyak digunakan oleh entertainment yang secara khusus dunia musik dalam skala besar, kini melanda dunia panggung jenis apapun. Dalam dunia panggung musik rock misalnya, betapa cahaya yang dihasilkan oleh LED demikian memukau, betapa dahsyatnya LED dengan dukungan komputer dengan kapasitas digital menciptakan sejenis ruang “kosmologi yang lain”, suatu dunia senirupa-suara-cahaya yang mempesona dan merasuk ke dalam ruang dalam, inner space diri kita, membuat diri bergetar dan bergelora.

Ada kasus yang lumayan menarik. Beberapa dosen kesenian dan seniman yang suka nongkrong di warung Sor Pelem Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT) di Solo yang dikenal sebagai TBS berdebat soal tubuh. Bagi Suprapto, tubuh itu bercahaya, dan bagi Bambang Sunarto tubuh itu memiliki suara dan Suatmaji dan BJ. Riyanto menyatakan bahwa tubuh itu adalah wujud rupa. Mereka adalah dosen dan seniman dalam memperbincangkan tentang apa sesunggunya tubuh dalam konteks dunia kesenian. Obrolan yang dilanjutkan dengan beberapa kali diskusi terjadi pada awal tahun 1994. Maka singkat kata, mereka menyatakan, seperti yang saya catat, bahwa ketiga elemen itu tak bisa dipisahkan. Lahirlah tajuk dengan tematik “Nur Gora Rupa”. Nur = Cahaya. Gora = Suara. Seperti Ketika dalang membuka awal cerita. Dan tubuh dalam wujud Rupa. Tajuk peristiwa itu mengangkat suatu tematik yang bersifat bukan hanya interaktif tapi juga kolaboratif yang bersifat uji coba. Semuanya peserta hadir dalam ruang yang dibentuk oleh masing-masing dalam proses kerja bersama yang menyadari batas tapi sekaligus memutus batas itu dalam penyatuan diri.

Kasus di TBJT pada tahun 1994, pada tiga puluhan tahun yang lalu itu merupakan salah satu kasus berangkat dari dasar pemikiran bahwa ruang-ruang kebudayaan dibentuk dalam suatu proses bersama, berangkat dari dasar pemikiran bahwa dunia kesenian memiliki ketakterdugaan, unpredictable. Dalam konteks ketakterdugaan inilah TBJT yang sejak awal digagas dengan uji coba dan dipraktekan menjadikan dirinya sebagai laboratorium, suatu ruang eksperimentasi, bukan hanya dan cuma panggung penyajian.

Bukankah sesungguhnya justru kampus seharusnya seperti itu, bahwa gedung-gedung yang kian megah dan begitu banyak ruang yang kosong bisa dijadikan sebagai ruang-ruang uji coba bagi mahasiswanya? Tapi juga masalahnya formalitas pendidikan membentuk pengajar hanya memenuhi persyaratan administratif. Padahal, kesenian dan kebudayaan secara umum membutuhkan waktu luang untuk suatu pertemuan yang akrab, proses dialog. Without dialogue there is no communication, and without communication there can be no true education, ujar pemikir pendidikan dan kebudayaan Brazilia, Paolo Freire. Kata kunci dari pemikir Amerika Latina itu adalah dialog dan komunikasi: dialog sebagai proses penghadiran diri yang otentik dalam ada bersama yang membentuk komunikasi, yang bukan sekedar lalu lintas informasi, tapi bermakna sesuai denga asal usul kata itu: ada-bersama, being together.

Kita memang sedang berada pada kondisi krisis pendidikan yang pada satu segi kuat kaitannya dengan keretakan hubungan manusia. Obyektifikasi anak didik, termasuk mahasiswa menjadi begitu dominan dan anak didik bagaikan tempolong yang menampung apa ucapan sang dosen. Banking concept education. Jika kondisi proses pendidikan tak menciptakan anak didik sebagai subyek, dampaknya pada tatanan nilai kebudayaan kita: menjadi masyarakat konsumen, hewan yang melahap semua produk.

Dalam konteks inilah kita mesti melacak dan membongkar secara total kaitan antara kreatifitas sebagai basis penciptaan dengan rapuhnya human relationship di dalam pendidikan. Jika kita berharap terciptanya suatu karya-karya kesenian, tari khususnya, memiliki daya ungkap dan daya dorong di dalam lingkungan masyarakatnya, maka dunia pendidikan tari kita sangat membutuhkan pembenahan bukan hanya dalam aspek tehnikal pendidikan, tapi lebih dari itu, yakni mendudukan anak didik sebagai subyek. Dan salah satu seginya, rasa hormat, respek, kepada anak didik sebagai insan yang memiliki kemungkinan-kemungkinan ketakterdugaan dalam proses pendidikan. Betapa menyedihkannya jika mahasiswa harus sungkem, dan betapa ironisnya ketika mahasiswa secara tersembunyi dilarang menonton karya koreografer lain, dan betapa memalukannya ketika dosen menepuk diri bahwa mahasiswa yang berhasil itu adalah produk dia, sementara 90-an% lainnya tak dihitung. Tingkah laku yang jauh dari prinsip moral pendidikan ini kian merasuk ke dalam interaksi di dalam dunia kampus. Dan hal itulah yang tanpa sadar juga dibawa oleh mahasiswa produk kampus yang gagal menjadi pribadi yang memiliki komitmen kepada kebudayaan, dan memasuki dunia luas dengan sikap kompetisi tanpa landasan pemikiran yang jelas. Gossip dan saling mendeskreditkan bermunculan. Persaingan memasuki dunia tari bukan dalam kaitannya mengalisis suatu karya. Argumentum ad hominem lebih banyak terjadi. Banyak orang menganggap bahwa hal itu bersifat pribadi. Saya justeru menilai bahwa hal sistemik, itu dikarenakan proses pendidikan kita yang tak meletakan rasionalitas dan kreatifitas dalam suatu ikatan menuju proses pembentukan pribadi yang otentik dan independen. Sungguh sangat memalukan ketika sang dosen selalu bicara tentang mantan mahasiswanya yang selalu minta tolong. Ketergantungan diciptakan, dan itulah yang dibanggakan. Sindroma kekuasaan begitu kuat. Dan kembali, awal mulanya di dalam ruang kuliah, ketika dosen merasa menjadi otoritas tunggal dalam proses mengajar. Knowledge is power. Tidak ada diskusi, apalagi dialog. Yang ada basa basi. Maka terbentuklah mahasiswa menjadi pribadi artifisial. Produk Pendidikan yang hanya menghasilkan pribadi artifisial hanya bisa mengikuti hal-hal yang bersifat seremonial atas nama instruksi. Maka hilanglah daya inisiatif dan kreatifitas.

Setelah kita memperbincangkan kampus yang menjadi basis sosial terpenting dalam dunia tari, kita tengok lintasan berbagai peristiwa dunia tari. Di atas kita sudah singgung kaitan antara kemunculan grup-sanggar-company dengan kaum muda yang rata-rata mereka produk kampus kesenian. Jika kita mengamati lintasan dunia tari kita mendapatkan kaitan kuat antara festival, forum, lomba tari dengan dunia kampus dan grup-sanggar-company.

Sebelum kita melanjutkan perbincangan soal festival-forum-lomba tari dan berbagai lokakarya, ada satu catatan yang perlu kita sampaikan disini berkaitan dengan posisi kampus kesenian. Catatan itu berupa pertanyaan, kenapa dan mengapa kampus kesenian khususnya tari kini tak lagi menghasilkan karya yang benar-benar inspiratif dalam konteks festival atau proyek sajian suatu karya? Pertanyaannya juga bisa kita lanjutkan, kenapa kini sanggar-grup-company tak menghasilkan karya yang bisa kita jadikan referensi secara tematik dan tehnikal? Dua masalah ini saling berkait, seperti juga kaitan kedua hal itu pada periode thun 1970-80-90 awal yang terasa begitu produktif kampus menghasilkan karya. Dalam konteks inilah sangat menarik jika kita menelusuri jejak sejarah tatakelola festival tari yang mempunyai jejaring antara kampus, Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) dan juga sanggar-grup. Pada sisi lainya, posisi dan peranan DKJ sebagai lokomotif festival sangat terasa. Dalam konteks ini juga DKJ melalui program Penata Tari Muda (juga Forum Komponis Muda) banyak melahirkan koreografer muda yang handal. Yang menarik, pada sisi yang lain, “warna tari” terasa begitu beragam dalam konteks latar belakang kultural: Minang, Betawi, Jawa, Bali, Makassar dan sesekali Sunda mewarnai karya mereka. Dari situlah, seingat saya, kita bisa menyaksikan Indonesia Dance Festival (IDF). Peristiwa festival dan forum tari para koreografer muda ini juga bisa kita saksikan di Solo, Yogyakarta, Bali, Makassar dan Padang dan Pekanbaru. Kemana festival dan forum tari di berbagai kota itu?

Refleksi terhadap perjalanan dunia tari dalam kaitannya dengan IDF, ada hal yang perlu kita evaluasi. Menjelang akhir abad XX dan awal abad XXI, saya berusaha melontarkan gagasan tentang pengelolaan IDF yang lebih menyebar. Dengan tajuk IDF yang sudah menancap dan memiliki citra yang kuat, saya menganggap penyebaran gagasan itu harus dibarengi dengan upaya untuk juga menyebarkannya secara konkrit. Artinya, IDF bukan hanya ada di Jakarta, walaupun juga ada program IDF dengan mengirim satu-dua koreografer tamu untuk memberikan lokakarya serta sajian, tapi program itu tak cukup membentuk jejaring dalam kaitannya dengan pembibitan penari dan koreografer.

Saya membayangkan IDF bukan hanya sebuah festival tapi proyek pembentukan ruang geografi karya berdasarkan regional: suatu bentangan program dan peristiwa berdasarkan latar belakang kultural, misalnya forum tari Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, Bali-NTB-NTT, Maluku, Papua dan Jawa. Suatu proyek yang didasarkan kepada latar belakang kultural dalam konteks pengembangan potensi serta aktualisasi yang berangkat dari khasanah tradisi sebagai basis dan sumber karya. Melalui sirkulasi regional itu sangat mungkin IDF bisa diselenggarakan pada suatu peak season per dua-tiga tahun setelah sirkulasi regional terbentuk melalui mekanisme kurasi. Dengan kata lain, sirkulasi regional dunia tari yang didasarkan kepada wilayah-wilayah yang dibentuk melalui jejaring lokal itu sebagai proses pematangan. Proyek itu bisa menjadi sejenis laboratorium dalam konteks pengembangan aktualisasi basis material khasanah nusantara ke dalam sistem produksi karya mutahir, karya-karya eksperimental, kontemporer dan sekaligus konservasi khasanah tradisi.

Bukankah organisasi IDF bisa menjadi pelaksana proyek dan laboratorirum tari regional dengan dukungan Ditjenbud dan Parekraf? Dalam kaitan itu pula, bukankah organisasi IDF bisa bekerjasama dengan Ditjenbud dan Parekraf untuk melestarikan dan mengembangkan khasanah tradisi yang berbasis di Kraton dan Pura di Cirebon, Solo, Yogyakarta, Bali, Makassar, Medan, Ternate, Maluku, Aceh dan wilayah lainnya? Dan bukankah di daerah-kota tersebut memiliki kampus dengan jurusan tari yang bisa dijadikan rekan kerja dalam jejaring pengembangan tari dalam proyek regional? Suatu kolaborasi antara Ditjenbud, Parekraf, IDF, kampus dan sanggar-grup tari bisa dibentuk untuk menggerakan lokomotif dunia tari melalui himpunan enerji yang didasarkan kepada strategi pengembangan tari yang lebih komprehensif.

Catatan akhir yang perlu saya sampaikan disini, berkaitan dengan kondisi Pura dan Kraton khususnya di Solo. Sudah lama Kraton Surakarta Hadiningrat tak terdengar dalam perkembangan dunia tari. Bantuan fisik dalam setahun terakhir ini nampaknya difokuskan untuk alun-alun. Sementara itu Pendapa Sasanamulya yang pernah menjadi kampus ASKI dan ruang kultural yang sangat inspsiratif dalam kondisi yang merana. Pembangunan fisik yang nampaknya ada kaitan deengan Pemkot Solo terasa tak berangkat dari suatu konsepsi politik kebudayaan yang cerdas. Padahal kekuatan Kraton terletak pada khasanah tradisinya, yang kini sarananya kian rapuh, dan yang paling rapuh adalah masalah human relationship di dalam keluarga besar Kraton Surakarta Hadiningrat, konflik yang berkepanjangan diantara krisis kepemimpinan yang sudah pasti ikut mengguncangkan tatanan nilai dalam kehidupan sosialnya. Pusat tradisi itu kini tak lagi terdengar suara gamelan yang biasanya ditabuh dua tiga kali setiap minggunya, juga kita tak melihat lagi gemulai penari. Sementara itu, Pura Mangkunegaran berbenah dengan sigap dan berusaha untuk mengembalikan suatu citra pusat tradisi, walaupun masih terasa artifisial dan hanya menjadi obyektifikasi turisme. Kedua pusat tradisi ini kini kian surut dalam pengelolaan khasanah tradisi yang berkaitan dengan makin pupusnya relasi antara pusat tradisi dengan jejaring sosialnya dalam konteks kepakaran dan kaum Mpu, disamping sekian banyak diantara mereka yang telah meninggalkan dunia fana. Dalam kaitan inilah, kita menyaksikan adanya degradasi proses dalam pembibitan.

Tak cukup rasanya kita memendam rasa pedih menyaksikan pusat-pusat tradisi yang hanya dijadikan obyektifikasi praktek politik yang banal. Kondisi yang kita lihat dan sudah pasti sangat dirasakan oleh pihak nDalem, bisa menjadi bahan renungan kita dalam proses nation state yang tak berhasil, kalau tidak ingin dikatakan kegagalan dalam politik dan strategi kebudayaan yang berkaitan dengan pusat-pusat tradisi disegala penjuru nusantara.

Studio Plesungan, Karanganyar, 24 April 2024 *). Foto-Foto tak ada kaitannya dengan tulisan ini.

*Halim HD. Networker-Organizer Kebudayaan