Sajak-sajak Rifqi Septian Dewantara
Belajar Menjadi Api
Ada suatu waktu
Diriku telah terbiasa jadi kobaran api
Aku menyala; di tengah gelap membabar
Aku memanas digesek batu geretan
Bara dan tungku di sekitarku
Kemudian berdiri menarik embun
Gelagat wujudku yang selalu menari
Tiada henti mengamukkan terbit
Sudah kubilang..
Aku ini tak mau padam
Juga menjauh dari celam-celum rendam
Sudah kubilang..
Biarkan diriku lebur memerah
Biarlah merahku menyara bak samsara
Aku tak mau padam selekas-lekasnya
Aku tak ingin redam selangkasnya
Selamanya tak membekas abu di bawahnya!
Takalar, 2022.
Kita Adalah Binatang, Kita Memang Binatang
1,3 miliar ton populasi sampah mendominasi
Berikan hidup itu, kepada pemulung yang rindu silsilah keluarganya. Dia adalah istirahat dalam pelukan hangat, bau keringatnya menjelang maghrib, menyapu-bersih kepicikan hati yang melayangkan sampah di jalanan
Sebuah sampah menangis; tidak pulang pada tempatnya. Sungai-sungai benjol, atau kotoran yang menguning di tubuhmu, serta evolusi hutan diludah tanpa sejarah; musnah
Membiarkan jasad tanah bercorak bingkis, meluber bau darah nan bergeming, menelangkai hantu sungai di kediamannya, memugar bunga bangkai ranum wujudnya
Adakah revolusi untuk hujan? Adakah revolusi untuk mutan? Adakah revolusi untuk plastik? Adakah revolusi untuk listrik?
Masa-masa gemilang; hilang—menebas, menyabur gemintang tatanannya
Benarkah perangai kita adalah binatang? tetapi kita sendiri memang binatang. Dasar binatang!
Takalar, 2022.
Menanggalkan Kematian
(Kekeringan-kelaparan-kemiskinan-kematian) bergandingan dari berita manusia yang teraduk kesunyian—mengungsi hidup; empat kilometer antrean penduduk menunggu di sepanjang mesin penggiling
Lautan robot-robot progresif—daratan, hewan, tumbuhan; punah
Seekor gagak di lobi catatan sipil, menunggu rancangan diri menjadi binatang langka
Masa depan, masa kini, masa lalu
melantang, melalak keunikan masing-masing
Tidak ada perundingan
tidak ada perserikatan
Ekoregion; tebang habis!
Bahasa-bahasa mutakhir berhelatan
aksara-aksara baru bermunculan
metatesis-metatesis bertubrukan
metafora-metafora berlamparan
Ingatlah tiruan masa depan itu—puisi sedang silap
Garda depan menelah habis
komunikasi kembang kempis
pendidik lingkungan meringis-tangis
mesin waktu mengais-ngais
Puisi ini sedang keliru; gabuk—aku sambil dimabuk kecubung:
“Masa depan itu bernama kematian, manusia. Dan seorang tunawisma menemukanku dalam lampu fresnel”
Hari ini, apakah kurun waktu saling sepakat untuk memulai era baru?
Takalar, 2022.
Kertas-kertas Sudah Terbatas!
Sejarah belum mengungkap itu semua
Rentetan-rentetan prasasti tinulat
Jejak-jejak tangan yang tak terbaca, lempengan batu; semiologi
Papirus, pinus, cemara, akasia, poplar, fir, aspen, kulit hewan sebagai wadah, naskah-naskah terbentuk suci di dalam kuil – melekat menimbul tafsir berbagai sebuah pandangan
Kertas-kertas selalu tergilas berwujud ke mana?
Pertanyaan besar kemudian muncul di pikiran masing-masing
Pemakaian sistem digital telah digandrungi banyak manusia. Namun, mengapa kita tetap mencetak gagasan dalam bentuk fisik?
“Populasi pohon akan punah! populasi pohon akan musnah!”
“Kami butuh manusia progresif, kami butuh teknologi-teknologi logis!”
Era kertas akan segera berakhir, penyataan mengulang kembali dalam gebrakan Peter James
Sampai saat ini, di detik ini: mengapa kita masih memapankan status quo?
Takalar, 2022.
Defensi
Adakah kisi-kisi untuk bertahan di masa depan? Aku ingin belajar menerapkan kecerdasan (tuntutan) buatan dari bongkahan mesin waktu
Jiwa-jiwaku remuk; meluruhkan dirinya dari gelombang windu
Takalar, 2022.
Kaki Surat
Membuka lagi arsip-arsip lama ditumpukan debu
Catatan lusuh, tahun yang usang, serta nama-nama memudar
Di situ, ada sebuah bahasa membeku
Tersirat; tapi tak tahu menahu
Halaman-halaman buku telah rusak
Mencerminkan dirinya sendiri sebagai sejarah yang kelam
Engkau tak akan mengerti
Engkau tak akan mengerti
Gagasan apa yang ada di pikirannya,
Engkau tak akan menakari
Engkau tak akan menakari
tertuang pahlawan siapa dikisahkannya.
Takalar, 2022.
Lotik
Merebah dihamparan kekeringan
Merengkuh pada cahaya kehangatan
Menyusuk, mengalir ke lubuk tapal
Terpisah dalam barisan-barisan kapal
Tetaplah menggenangi saluran-saluran kehidupan
Batas-batas antara dingin dan panas, tercemar, terapung pada tumpukan senyawa
Kepada siapa pesakitan ini mendera, keruh di mata mendayung ke sekudung tumbuhan. Kepada apa semua yang hidup beriringan, jikalau air mengering di musim panas
Takalar, 2022.
*Rifqi Septian Dewantara lahir di Balikpapan, Mei 1998. Ia merupakan seorang Pegiat Sastra yang aktif menulis artikel di kolom fiksi. Selama 2 tahun berkarier di media massa, namanya pun masuk sebagai Penulis Terfavorit di Qureta. Kini, ia juga bekerja sebagai Penulis Konten di situs web Menjadi Manusia.