Hari Suryanto

Menuju Film Beridentitas Nusantara: Pembacaan Ulang Atas Opera Jawa

Oleh Hari Suryanto*

Indonesia  dikarunia kebudayaan yang sangat unik dan beragam terhampar dari ujung timur sampai ujung barat pulau Nusantara. Kekayaan ini semestinya menjadi berkah bagi para kreator film untuk lebih menggunakan budaya sebagai  dasar dalam film. Kearifan lokal yang terdapat di negeri ini merupakan potensi besar untuk dijadikan inspirasi dalam penciptaan film dengan cita rasa nusantara.

Saya melihat akan tetapi  kekayaan kearifaan lokal di negeri ini belum maksimal digali serta dimanfaatkan menjadi materi penting dalam narasi film. Memang cukup menggembirakan kini mulai banyak komunitas di berbagai daerah melakukan produksi film independen. Mereka melakukan produksi dengan pendekatan kemampuan dan perspektif lokal. Mereka banyak menyajikan tayangan-tayangan alternatif  di media sosial seperti Youtube. Tapi itu belum cukup.

Pencarian identitas film yang memiliki karakter kenusantaraan, menurut saya masih menjadi pekerjaan rumah yang besar. Film sebagai strategi melalui pendekatan kearifan lokal harus terus menerus digerakan dan didukung oleh pemerintah, industri film serta masyarakat pelaku perfilman. Kekayaan budaya lokal di negeri ini dapat menjadi inspirasi menarik sebagai sumber inspirasi serta materi didalam penciptaan film. Banyak cerita-cerita rakyat, adat istiadat, tarian, musik, sastera yang bersumberdari khasanah kultur Nusantara dengan ragam dan jenisnya.

Rumah-rumah budaya negara luar  seperti The Japan Foundation, British council, CCF dan lembaga lainya – kita tahu senantiasa aktif menampilkan film-filmnya – dari mulai menyelenggarakan screening, workshop  dan diskusi film. Dari situ dapat dilihat, film adalah medium utama dalam  berdiplomasi. Belajar dari strategi ini maka mengangkat khazanah  kearifan lokal sebagai upaya diplomasi  adalah keniscayaan.

Membaca lagi Film Garin

Salah satu contoh  film berperspektif nusantara  – saya kira telah ditawarkan  oleh Garin Nugroho melalui dua filmya: Opera Jawa dan Setan Jawa. Kedua karya film tersebut mempresentasikan kembali identifikasi budaya lokal seperti seni tari, seni rupa, seni musik, seni satra, busana, ritual dalam kontek masyarakat Jawa. Karya film yang menurut saya sangat unik karena pada kedua karya film ini, budaya lokal bisa sekaligus menjadi titik pijak unsur penceritaan dan menjadi unsur dramatik pada visual gambar.

Film Opera Jawa dan Setan Jawa menurut saya secara estetis mampu menjadi ruang katarsis dan ruang kanalisasi bagi para pecinta film yang tidak terpenuhi oleh estetika film barat. Film Opera Jawa sendiri adalah jenis film musikal dengan pendekatan  seni pertunjukan yang kuat. Seperti yang di paparkan oleh sutradara filmnya Opera Jawa is a musical film adaptation from the wayang story known as the Ramayana, a classical epic that is very popular in Asia and as popular as the Mahabharata, particularly in countries influenced by Hinduism. This film presents Javanese gamelan and choreography, in both contemporary and classical forms. It is a film explicitly combining a Javanese opera with art installations based on the definition of the word of “sita” as cultivated soil, and on blood as a motif of this epic’s main character, Ravana [also spelled Rahwana].

Beragam Khazanah Seni dalam Opera Jawa

Saya mencoba mengidentifikasi berbagai unsur seni yang ada  dalam film Opera Jawa karya  Garin. Di bawah ini adalah bagan  yang saya buat :

Gambar Tabel
Kearifan lokal budaya Jawa dalam film Opera Jawa
(sumber gambar : https://www.youtube.com/watch?v=fBmsqK4Y8a0)

Film Opera Jawa sebagai Diplomasi Soft Power

Keberhasilan berdiplomasi suatu negara ditentukan oleh dua jenis diplomasi: Hard Power dan Soft Power. Hard Power adalah kekuatan/pengaruh yang bersifat tangible seperti militer, geografi, dan ekonomi. Sedangkan Soft Power yang dipopulerkan Joseph Nye (2004, 256) bersumber pada “cultural attraction, ideology, and international institutions” dan diasumsikan sebagai “the ability of a state to get other countries to want what it wants” dan “ability to get what you want through attraction rather than coercion or payments. Cara diplomasi ini tidak memerlukan stick (paksaan) atau carrots (iming-iming) untuk menggerakkan seseorang menuruti arahan kita.

Jika strategi Soft Power dijadikan sebuah strategi kebudayaan maka tidak menutup kemungkinan, sebagai bangsa akan memiliki positioning kebudayaan yang kuat. Film seperti Opera Jawa menurut saya adalah kekuatan diplomasi Soft Power. Seluruh elemen tanda-tanda dalam film Garin dari pendekatan setting, properti, tata busana, tata rias, penataan cahaya, warna, penggunaan type of shot, movement camera, angel camera, rangkaian dramatisasi film – bertolak dari unsur-unsur estetika nusantara. Film Garin mampu mentransformasikan nilai filosofi kebudayan nusantara dalam wujud visual. Kemenangan film Garin pada berbagai festival internasional membuktikan bahwa film berestetika nusantara dapat menjadi ujung tombak diplomasi. Diplomasi kebudayaan melalui film  menjadi aset strategis dalam membangun hubungan budaya yang lebih harmonis untuk saling menghormati dan menghargai   didalam kehidupan berbangsa. Saya melihat, betapa dasyat dan hebatnya  jika bermunculan film – seperti film Garin namun dengan berbagai gaya dari berbagai wilayah di nusantara – tak hanya Jawa. Itu bisa  menjadi untaian mozaik zamrut film katulistiwa.

*Penulis adalah sineas dan mahasiswa S3 ISI Solo

———————

Daftar Pustaka

Undang- Undang Republik Indonesia No 33 Tahun 2009 Tentang Perfilman

Paul Ricœur, (2012) Teori Interpretasi: Memahami Teks, Penafsiran dan Metodologinya, IRCiSoD, Jogjakarta.

Jean Rouch, Edited and Translated by Steven Feld, (2003) Ciné-Ethnography, University of Minnesota Press.

Blain Brown, (2012) Cinematography : theory and practice : image making for cinematographers and directors, Library of Congress Cataloging-in-Publication Data.

Sapardi Djoko Damono,(2018) Alih Wahana, Gramedia Pustaka Utama ISBN: 9786020379142.

Nye, Joseph S. Jr., 2004. “Soft Power and American Foreign Policy”, Political Science    Quarterly 119.

Mudji Sutrisno SJ, Jalan Seni dan Kebinekaan Kita. https://gagasanhukum.wordpress.com/tag/jalan-seni-dan-kebinekaan-kita.