Puisi-Puisi Syarifuddin Arifin

PATUNG TAK BERWAJAH

patung tak berwajah di depan museum itu memegang bambu runcing, berpuluh tahun berhujan dan berpanas
membutakan mata, hidung pesek, telinga patah dan mulutnya bagaikan sengaja dibungkam
agar sejarah tak bertarikh menjadi tekateki yang mengasyikkan untuk disayembarakan
dia menyimpan catatan di mata, mencium dan mendengar bau peluru yang mendesing lalu menembus dadanya

puluhan selonsong peluru menggudangi dadanya hingga nafasnya tersengal

Kini bambu runcingnya diselimuti lumut dan benalu
bersikukuh hidup di sana
tidak ada yang mampu meluruhkannya

Ada yg mengaku keturunan tugu pahlawan tak dikenal
yang berhak memeras kekayaan ibu pertiwi
menelantarkan jutaan rakyat yang diam-diam memendam dendam

inilah negeri yang dikemudikan batu:
mata batu, hidung batu, lidah batu, telinga batu, kulit batu, hati batu
mengalir ke tampuk kekuasaan dari keturunan benalu tak bermalu!

merekalah anak-anak malinkundang
yang kini bangkit jadi

maling kondang!

 

DI PATUNG ITU AKU SEMBUNYI

di bawah tugu pembebasan irian jaya
aku sembunyi dari hiruk-pikuk
terminal bus lapangan banteng
di atas tugu yang tinggi itu, berdiri patung pahlawan tak dikenal, gagah dan berani
memutus rantai di tangan, perut berotot mulut menganga
seakan berteriak, suaranya merobek atmosfir indonesia

ketika itu, akhir tahun tujuhpuluhan
langkahku terseot mengharungi jakarta
keringat mengeringi sekujur badan
tugu pembebasan hingga kini masih perkasa

seperti rantai putus di tangan
menggerincing gelang berlian
ondel-ondel masih berkeringat
digiring anak-anak penuh semangat

gedung-gedung kaca menjulang
betawi bingung cari jalan pulang
di bawah tugu itu aku sembunyi
melihat jakarta disetubuhi sengkuni

 

ISTANA KETIRISAN

menutup mulut dan hidung wajib
di saat wabah berjangkit
agar droplet tak dibawa angin ke tubuh kita
agar suara sumbang tak menggelombang menusuk telinga
agar kita tak mengendus kebijakan istana

yang seenaknya mendakwa
kita sebagai ‘pencuri dengar’
dari gemuruhnya ombak
yang disampaikan angin
nun jauh ke balik bukit

“ucapan raja adalah perintah ke bawah duli” katamu

diam-diam tempias yang dibawa semilir angin pagi
hinggap di ketirisan istana, menguap di droplet para punggawa

supaya tak beredar wacana liar
maka dikaburkanlah segala gambar

 

AKULAH IGA, MENYIASATI BELULANG

demikianlah, kau melangkah
dari spa itu menuju lobby hotel
seakan mencari sesuatu dari dalam dirimu
penyimpan misteri, berkelindan bagai tengguli
di merah bibirmu, kau menyilet senyum dan membanting segala tabu

dulu, kisah ibu, salon kecantikan dan keluyuran di hotel sangatlah hina
kini justru kau tampak jumawa
menemukan sesuatu dari kegigihanmu
mengoyak segala buku, menguak rahasia alam

“akulah iga yang rapuh, namun sangat lentur dan mampu menyiasati segala belulang,”

maka ibu tak lagi sarang burung
yang diayun badai sambil mengharap
anak-anaknya pulang melepas lelah ke pangkuannya

“aku mengepak dan membubung sambil mematuk mungkin,”

katamu,
perempuan kini adalah betina
tak lagi diam di sarangnya.

Padang, 2020

 

KETIKA KUAS OMPONG JADI KONDE

senyummu mengucurkan darah seperti jeli
menggelepak di atas batu dan kuas menanggalkan bulunya satu satu
hingga buram segala warna

kaukah monalisa yang montok itu?

kuas ompong jadi konde di atas kepalamu
kanvas jadi batu membagi warna tanpa pelangi
kelembutan monalisa mengeras di bibirmu
dan senyummu meretas
tulang pencipta jalan lempang

di tikungan, aku melihat
bundokanduang melenggok menjunjung beban masa lalu
sambil melambai liberty.

Padang, 2020

 

REST AREA BREBES

– bambang widiatmoko

gedung tua bekas penggilingan tebu itu
berpuluh tahun terbiarkan hingga jadi rumah hantu
sejak jalan lempang bebas hambatan
pabrik itu kembali dimanfaatkan
membiarkan dindingnya tercabik-cabik
besi-besi tua bergigi raksasa, bekas pabrik

aku bergidik mendengar kisahmu
perutku menggulung berombak
bergegas ke toilet, ketemu senyum zikra
lalu kera membawa pisang
meniti antara denyut nadiku dan
kunang-kunang

“secangkir teh poci, semoga kau kembali,” katamu

aku tersenyum persis bibir zikra
sambil meneguk teh poci
kembali kudengar debur di dada
menggulung-gulung perut ini

di luar cuaca cerah, membiru pekat di langit
di dalam aku menyerah, terus berkomat-kamit.

Padang, 2020

 

KIPAS ANGIN

berada di bawah pohon rimbun saat panas terik terasa sejuk
angin mengibas tubuhku mesra

kau merajuk?

seakan kepalamu dimasuki ulat daun
cemas menyiasati cuaca ekstrim
lalu melentik-lentik di ranting-ranting pohon itu

angin gersang meniup tubuhmu
hingga resah seluruh negeri
tapi aku kian sejuk membayangkan Dia meniup seluruh aku

kau masih merajuk?

Padang, akhir Sept 2020

 

MENITI DI MATA PEDANG

setajam apa pun pedang itu
bila terpapar manisan tidak akan melukai
semut-semut akan berbaris membawanya untuk sang ratu
yang diam di singgasananya

setajam apa pun pedang itu
bila diam dalam sarungnya
akan berkarat diludahi kecoak
dan menulis tentang hikayatmu
tentang asal muasalmu

setajam apa pun pedang itu
aku menjelma semut dan kecoak
menghambarkan bajamu dengan asinnya ludahku
lalu kumangsa sarungnya
dan auratmu melambai-lambai
minta sarung baru.

Padang. Sept 2020

 

*Syarifuddin Arifin lahir di Jakarta. Presiden Ziarah Kesenian Nusantara (ZKN) Indonesia ini menetap di Padang. Buku Puisi tunggalnya Maling Kondang (2012), dan Gonjong Patah (2019). Juga menulis cerita bersambung dan cerpen. Sajak dan cerpennya ditemui di lebih seratusan antologi bersama terbitan Indonesia, Malaysia dan Singapura. Beberapa di antaranya telah diterjemahkan ke bahasa Perancis, Rusia dan Ingris.