Menyingkap Sihir Lanang dalam “Pengakon Jonggrang”

Oleh Abu Ma’mur MF*

Menakjubkan! Itulah kesan saya usai mengkhatamkan Pengakon Roro Jonggrang karya Lanang Setiawan. Saya serasa menyaksikan beragam adegan secara live. Seakan prahara itu baru terjadi kemarin sore. Sebagai penyair bangkotan, Lanang berhasil membangkitkan imaji pembaca melalui estetika puitik secara apik, secara mrekitik.

Saya perlu jujur menyampaikan pengakuan, Pengakon Jonggrang, bagi saya merupakan karya sastra menakjubkan. Ini mungkin sejenis pujian keterlaluan. Sampeyan boleh menyimpan anggapan terselubung itu. Nanti akan saya jlentrehkan pelan-pelan. Ini janji pertama saya.

Meracik biografi dalam bentuk puisi bukan perkara gampang.Penyair perlu mengolah cerita dengan saksama, memilih diksi dengan cermat, dan memadatkannya sedemikian rupa. Lanang telah melakukan perbuatan semacam ini dalam buku “Haiku Tegalan Autobiografi Lanang Setiawan”. Peraih Hadiah Sastra Rancagé 2011 ini kembali menggarap biografi dalam format puisi Tegalerin 2:4:2:4. Roro Jonggrang menjadi tokoh sentral yang diusung kali ini.

Keberhasilan Lanang dalam menghidupkan cerita rakyat jaman kuna makuna ini disebabkan oleh tiga perkara: diksi-diksi yang menggigit, pendalaman kondisi psikologis tokoh dengan mengesankan, dan improvisasi cerita secara yacheer.

Ketiga hal ini dapat menyebabkan pembaca mengalami protol atiné seakan turut merasakan koprot nestapa mengikuti perhelatan demi perhelatan kisah Roro Jonggrang yang dia suguhkan. Meski begitu, buku karya Lanang ini bukan semacam kitab suci yang tak boleh dikritisi. Tentu ada sedikit celah yang nanti akan saya kemukakan. Ini janji kedua saya.

Sekilas Pandang Pengakon Jonggrang

Roro Jonggrang, cerita rakyat berjenis sastra lisan tentang asal-usul Candi Prambanan di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Sebagian masyarakat setempat meyakini legenda ini berkaitan dengan situs-situs bersejarah di Jawa, yaitu Keraton Ratu Baka, Candi Sewu, dan arca Durga di ruang utara candi utama Prambanan.Kisah seribu arca ini menginspirasi para sastrawan-seniman melahirkan seribu karya: puisi, sendra tari, lukisan, dan sebangsanya. Pula dalam dunia akademik, seribu kajian meramaikan jurnal-jurnal ilmiah.

Sebagaimana Candi Borobudur yang masyhur, Candi Prambanan merupakan puncak kesenian Jawa bercorak Hindu-Buddhis. Sejak tahun 1991, kompleks Candi Prambanan ditetapkan UNESCO sebagai Warisan Budaya Dunia dengan nama Prambanan Temple Compounds.

Berdasarkan prasasti Siwagrha yang dikeluarkan oleh Sri Maharaja Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala Sri Sajanotsawatungga,(arane bisa dawa nemen ya, Wa?) Prambanan diresmikan oleh raja Rakai Kayuwangi di tahun wualung gunung sang wiku atau 778 Saka (856 Masehi).

Bila meminjam mata sejarawan dan arkeolog, kita akan melihat Prambanan sebagai manikam peradaban yang menjadi bukti keagungan masa lampau Jawa Tengah.Kemegahan arsitektur Candi Hindu terbesar di Asia Tenggara ini dirancang mengikuti konsep kosmologi Hindu berdasarkan kitab Wastu Sastra.

Pinjaman mata sejarawan dan arkeolog, kita kembalikan. Sekarang kita menilik kisah di balik Prambanan sebagai legenda. Pak Bascom bilang, legenda adalah cerita dengan ciri khas mitos dan diyakini benar-benar terjadi, tetapi tidak dianggap suci. Lebih lanjut, antropolog bernama lengkap William R. Bascom ini memaparkan empat fungsi legenda. Nanti saja saya sampaikan.

Demi mendalami peran sebagai pembabar Pengakon Jonggrang rakitan Lanang Setiawan, saya akan mencoba memosisikan diri sebagai bagian dari golongan orang-orang yang mengimani cerita Roro Jonggrang. Kita merambat ke dalam buku yang diklaim oleh sang pengarang sebagai “suatu biografi heroik”. Sejenak kita rehat dari hiruk pikuk kehidupan modern yang melaju dengan kecepatan dubilah setan.

Tak perlu terburu-buru.Kita rileks saja tanpa didera kekhawatiran akan rumitnya percintaan, setoran bulanan, dan segala jenis pemicu keruwetan hidup lainnya. Anggaplah tulisan ini semacam obrolan ringan sebagaimana jakwir cetem ngobrol alus sembari moci dan kebal-kebul. Sesekali mengudap jajanan jalabia, kembili, dan tahu aci. Akur, Nyai? Mari kita mulai.

Di buku ini Lanang tidak memperlakukan kata pengantar sebagai “sekadar mengantarkan” atau “menerbitkan rasa penasaran”.  Dia malahan menggandeng pembaca hingga masuk ke dalam, bahkan menggendong pembaca hingga ke puncak cerita. Pada saat yang sama Lanang juga bertindak sebagai mufasir. Dia menguraikan makna puisi-puisinya secara gamblang dan benderang. Agaknya Lanang tidak peduli dengan nubuat “pengarang telah mati”-nya Roland Barthes.

Karena begitu, saya mengurungkan niat untuk mengulik karya Lanang ini secara urut kronologis. Ini demi menghindari pengulangan cerita yang sama, berulangkali. Menyingkap sihir terselubung yang dilancarkan Lanang melalui puisi Tegalerin 2:4:2:4 di sepanjang buku ini mungkin lebih menarik. Setelah itu saya akan mencongkel nilai-nilai cerita dengan semangat dekonstruksi ala Jacques Derrida. Kalem baé,Wa, saya tidak akan menambah beban hidup sampeyan dengan kerumitan teori endas butak. Saya sekadar berikhtiar meneladan pemikiran filsuf kontemporer Prancis ini secara esensial saja.

Sihir Terselubung Lanang Setiawan

Pengakon Jonggrang menyajikan 44 puisi dalam tujuh bagian: Pembuka, Angin Warwer, Kurusétra, Sauwisé Perang,Pelebon, Wales Ukum, dan Penutup. Jumlah puisi dalam masing-masing bagian tidaklah sama. Berapa persisnya, wallahu a’lam. Saya tidak berminat menghitung hal begituan.

Lanang membuka cerita dengan membisikkan pesan imajiner kepada Roro Jonggrang: Malam telah larut, lelap tidurlah Jonggrang. Lesung batu dan ayam jantan biarkan ia rehat, meresapi kesunyian malam. Suara gaduh dapat mengoyak keheningan semadi Bandung Bondowoso. Esok nanti saat matahari telah benar terjaga, aku bakal mengucap, “Selamat pagi, Bidadari.” Bila hari masih terlampau pagi, maaf, kau takkan kubangunkan. Aku khawatir Bondowoso murka, kau bakal menerima kutukan; menggenapkan seribu candi.

 

Kasebut Jonggrang

legénda séwu candi

 

Turua angler  Jonggrang

wayahé lingsir wengi

Lumpang watu, uga jago cegah aja moni

Bondowoso semédi bén junun aja dirégoni

 

Mleték srengéngé nyong pan ngucap:

sugeng énjing putri widadari…

 

Maapé baé Jonggrang

ésuk uput nyong wegah nggugah

Nyong kwatir Bondowoso pugal ati

kowen dikutuk nggenepi séwu candi

(NYONG WEDI)

 

Karya sastra memiliki logika dan realitasnya sendiri. Pada titik ini Lanang sebagai penyair menciptakan realitas imaji dan menyampaikannya dengan penuh kemerdekaan kepada pembaca. Dia melakukan improvisasi dengan merangsek ke dalam kosmos Roro Jonggrang dan menyampaikan bisikan selembut bulu-bulu marmut.

Masih di bagian pembuka, Lanang mulai menyihir pembaca melalui lukisan kata-katanya dalam mendeskripsikan kemolekan pesona tokoh utama: Jonggrang berparas jelita, tak terperi. Ia gadis suci belum tersentuh laki-laki. Sorot matanya bintang kejora. Tipis bibirnya merah menyala. Siapa memandang, kepayang.

Jonggrang ayu jelita langka banding

durung ambu wong lanang

Pandang mata lintang layang-layang

lambé tipis abang mbranang

 

Sapa nyawang kepayang

mangkin disawang tambah gemblung

 

(RORO JONGGRANG)

 

Sihir hiperbolis yang digunakan Lanang dalam menggambarkan kecantikan Roro Jonggrang cukup ampuh. Ini memicu pikiran pembaca menyusun konstruksi wajah sang tokoh sesuai selera dan imajinasi masing-masing. Sebab, sebenarnya seseorang tidak benar-benar bereaksi terhadap stimulus secara utuh. Melainkan bereaksi terhadap gambaran yang ada dalam pikirannya sendiri. Ini menjelaskan pula mengapa sandiwara radio maupun karya sastralebih berkesan ketimbang saat ditampilkan secara visual (difilmkan).

Selaras dengan salah satu presupositions (asumsi dasar) dalam neuro linguisitc programming (NLP), “People respond according to their internal maps.” Orang merespon sesuai dengan peta atau persepsi internalnya.Begini cara kerjanya. Mula-mula pembaca menangkap teks. Seketika pikirannya akan berkelana mencari datatersimpan di memori pikiran bawah sadarnya. Dalam hitungan sepersekian detik, terciptalah gambaran-gambaran dan menjadi persepsi sebagai respon atas teks yang ditangkap.Lanjut, Nyai.

Deskripsi Lanang tentang kecantikan Jonggrang diperkuat dengan adegan dramatis dalam puisi “Kamitenggengen”. Perputaran bumi seakan terhenti begitu Bondowoso menatap Jonggrang. Laki-laki lajang itu menahan nafas, bibir melongo menahan kedipan mata. Ia takjub dengan pancaran kecantikan tak terperi Jonggrang. Ini dedemit atau peri? Bondowoso terpikat, terkentut-kentut.

 

Bondowoso ngampet ambekan

lambé ndomblong nahan kedépan

 

Bondowoso ngrajug

kiyé mambang apa peri?

Bondowoso kepentut-pentut

putri Boko ayu saporét-porét 

 

 

Dalam realitas keseharian, kentut tidak berurusan dengan ekspresi ketakjuban seseorang. Di jagat puisi, Lanang justru memanfaatkannya untuk melipatgandakan kekuatan sihirnya: menggabungkan sihir hiperbolis dengan keampuhan metafor. Ini berfungsi untuk mengkalibrasi efek dramatis suatu adegan.

Sihir lain yang berkali-kali digunakan Lanang dalam Pengakon Jonggrang adalah repetisi: epanalepsis, anadiplosis, epizeukis, dan sejenisnya. Pembedahan terhadap hal-hal detail teknis beginian akan jauh lebih fasih bila dilakukan oleh para pentolan kritikus sastra tegalan, tiga di antaranya: Dr. Trimulyo, Muarif Essage, dan Dr. Dina Nurmalisa.

Padang kurusétra umeb

umeb padang kurusétra

Kurusétra banjir getih

getih mbanjiri kurusétra

(KURUSÉTRA)

Krungu rama sédo dada rompal

dada rompal krungu rama sédo

(DUGAL)

 

Sebenarnya masih berserakan puisi Lanang yang mengandung sihir repetisi di buku ini. Saya petilkan cukup dua saja. Intinya, keampuhan sihir Lanang dapat mewabah berkat ketelatenan dan keprigelan penyair bangkotan ini dalam mengeksplorasi diksi dan peranti bahasa, termasuk kecakapannya mengayunkansenjata retoris.

Mengorek Kelemahan

Janji pertama sudah saya tunaikan. Sebagian kekuatan sihir Lanang Setiawan sudah saya singkapkan. Demi menggenapkan janji suci sekaligus menjaga keseimbangan, di bagian ini saya akan mengorek sejumlah kelemahan Pengakon Jonggrang. Bila berpijak pada draft naskah awal yang saya terima dari Lanang, celah kelemahan atau kekurangannya lebih mudah terdeteksi.

Kabar baiknya, buku di tangan sampeyan ini merupakan “edisi”perbaikan paling matang. Kelemahan puisi-puisi Lanang sudah berkurang. Kilas kronologinya begini. Saya menekuri draft naskah pertamasembari mencermatinyasecara saksama. Setiap ada kejanggalan atau susunan kata dan kalimat yang terasa kurang padu, saya sampaikan kepada Lanang melalui telepati modern.

Lanang segera mengambil tindakan bijak secara sigap. Dia gegas melakukan pemugaran pada sejumlah puisinya lalu menyerahkan kembali draft naskah yang telah direstorasi. Kejadian ini berlangsung sebanyak tiga kali. Alhasil bukan hanya sejumlah puisinya yang dipercantik, kata pengantarnya pun turut mengalami nasib yang sama, Dengan begitu, saya akan mengorek sedikit kelemahan yang masih tersisa. Pertama, pada puisi “MBRANTAS ANGKARA”terdapat hubungan semantis yang tidak koheren. Mari kita cermati.

 

Prabu Boko–Bondowoso adep-adepan

ijén: bantongan lawan bantongan

Rong dina rong wengi tarung digdaya

Déwa Durga mungkasi riwayat

Tombak Bondowoso nembus dada Boko

gulu kosih awak kebek anak panah

 

Prabu Boko-Bondowoso duel satu lawan satu “ijen: bantongan lawan bantongan”. Pertarungan selama dua hari itu berakhir dengan kematian Prabu Boko. Penyebab kematiannya adalah “Tombak Bondowoso nembus dada Boko”.Tombak Bondowoso menembus dada Boko. Sayamenemukan kejanggalan pada baris berikutnya, “gulu kosih awak kebek anak panah”. Leher hingga tubuh dipenuhi anak panah.

Pertanyaannya, bagaimana bisa leher dan sekujur tubuh Boko tiba-tiba dipenuhi anak panah, bukankah senjata Bondowoso yang dinarasikan Lanang adalah tombak dan pedang? “tombak digegem pedang nang kempongan

 

Kowen adol gawé tak borong apa duwému

tékad Bondowoso numpes musuh kepoyuh

 

Tali jaran didedet

jaran mlayu kebat

Sawangan mata tinuju Prabu Boko

tombak digegem pedang nang kempongan


(TÉKAD BONDOWOSO)

 

Kedua, secara metaforis Lanang menyampaikan seakan Dewa Durgalah pencabut nyawa Boko.“Déwa Durga mungkasi riwayat/Tombak Bondowoso nembus dada Boko”. Pada lampiran glossarium, Lanang menegaskan bahwa Déwa Durga adalah Déwi Maut/pencabut nyawa. Benarkah?

Dalam mitologi Hindu, Dewi Durga Mahisasuramardini (atau Ida Betari Durga) adalah istri Dewa Siwa. Dewi berparas jelitaini dikenal pula dengansebutan Uma atau Parwati. Perwujudannya dalam bentuk arca bisa ditemukan, salah satunya di Candi Prambanan. Arca ini lazim disebut dengan Arca Roro Jonggrang. Sedangkan dewa kematian dalam kepercayaan umat Hidu adalah Yama. Ia memiliki asisten Citraguptayang bertugas mencatat karma manusia. Lanjut, Nyai.

Ketiga, Penggunaan istilah yang mustahil diucapkan oleh jin, manusia maupun dewa di era Jonggrang. Jenis keteledoran ini saya temukan pada dua puisi berjudul “NJAGA AJI KERAJAAN” dan “TETEP NJANGKUNGI”. Kita simak petilannya.

Enyong kambén kowen

duwé ideologi béda

Kwajiban anak raja

njaga aji kahanan kerajaan

(NJAGA AJI KERAJAAN)


Tak tegesna maning bén kowen genah

nyong kambén kowen ideologiné séjén

Ana jarak mbentang amba

maapé baé nyong curang

(TETEP NJANGKUNGI)

 

Pasca tragedi pengutukan Jonggrang, Bondowoso mengalami halusinasi auditorik. Ia mendengar suara tanpa wujudyang diyakini sebagai suara Jonggrang, “Aku dan kau punya idelogi berbeda.” dan “Aku tegaskan lagi biar kau mengerti jelas: aku dan kau berbeda ideologi.”Kurang lebih begitu terjemahan bebasnya. Saat kejadian itu berlangsung, pencetus term “ideologi” belum lahir, bahkan embrionya pun belum terbentuk.

Istilah “ideologi” kali pertama dilontarkan pada tahun 1796 oleh filsuf Prancis Destutt de Tracy sewaktu revolusi Prancis tengah berkobar. Jujur, saya tidak mengerti dari mana arwah Jonggrang memperoleh term “ideologi” dan bagaimana ia melafalkannya. Di wilayah inikita bisa menyusun prakiraan cerita: entitas yang menyampaikan bisikan kepada Bondowoso saat itu bukanlah arwah Jonggrang, melainkan sejenis dedemit futuristik.

Saya tutup bagian ini dengan supelemen yang mengandung unsur saran mulia. Buku ini berjudul “Pengakon Roro Jonggrang” atau Pengakuan Roro Jonggrang. Saya pikir akan lebih gemladag bila puisi penutupnya berupa pengakuan ataupun kata-kata Jonggrang. Bukan cerita tentang kondisi batin Bandung Bondowoso usai “kepergian” Jonggrang. Bukan adegan Bondowoso bersimpuh mencium kaki arca Jonggrang.

Mencongkel Nilai

Ada empat fungsi legenda menurut William R. Bascom. Dua di antaranya sebagai hiburan dan alat pendidikan. Saya sepakat dengan Pak Bascom. Cerita seputar Roro Jonggrang yang disuguhkan Lanang secara puitik membuat saya terpesona sekaligus terhibur. Semoga sampeyan juga merasakan demikian. Mari kita gali fungsi lainnya: alat pendidikan.

Saya akan mencongkel nilai-nilai terpendam dalam cerita (puisi) Lanang Setiawan tentang Roro Jonggrang, dkk. Pertama, cerita ini menularkan rasa optimis dan percaya diri, khususnya bagi para pria yang merasa, sekali lagi “merasa” memiliki wajah petaora (ora peta). Prabu Boko saja, raksasa yang memiliki skor ketampanan memprihatinkan, bisa menghasilkan keturunan yang very verygood looking: Roro Jonggrang.

Kedua, mencintai dan dicintai merupakan kebutuhan primer. Tanpa cinta, ras manusia terancam punah. Karena cinta manusia beranak-pinak hingga memenuhi permukaan bumi. Karena cinta pula manusia memproduksi karya.Bisakah manusia hidup tanpa cinta? Mungkin bisa, tapi beresiko tertindas rasa hampa.

….

Ya! Jujur baé uripé nyong timpang

Dong bengi kur gulang-guling

butuh kemul anget-anget

 

(BUTUH KEMUL)

 

Ungkapan Jonggrang pada puisi barusan menggambarkan, meskipun ia seorang anak raja dengan segala privilege dan ragam keberlimpahan lainnya, tanpa cinta ia tetap merasakan sengatan-sengatan sunyi.“Ya Jujur saja hidup saya timpang. Bila malam tiba, gulang-guling saja. Butuh dekap hangat,”begitu Jonggrang. Dalam puisi “KAPAN LEREBÉ”, Bondowoso juga bernasib sama. Laki-laki gagah perkasa ini mentiung ditimpa nestapa lantaran belum bisa mewujudkan ambisi ayahnya, Prabu Damar Maya, menimang cucu. Bondowoso merasa gelora cintanya mangkrak. Begitulah, hidup tanpa cinta bagaikan Android tanpa kuota.

Ketiga,cinta itu paradoks: sederhana sekaligus rumit. Menguatkan sekaligus melumpuhkan. Di hadapan cinta, pangeran sakti mandraguna sekaliber Bondowoso saja bertekuk lutut. Nglepese! kesaktiannya mimpes. Lantaran terjangkit kasmaran, jiwa laki-laki berilmu kebatinan tingkat tinggi ini klejet-klejet: akal sehatnya kroak, pikirannya mumet, dan tindakannya ceroboh.

 

Utek Bondowoso macet

bumpet mampet pet 

Nandangi wong sakti biasa

nandang kasmaran luar biasa

 

Jonggrang ayumu dubilah belis

akal waras ndadak méncong

Aku ko diapakna, Jonggrang?

daya linuwihku lumpuh!

 

(AYUMU DUBILAH BELIS)

Lantaran terpikat dengan kecantikan Roro Jonggrang yang menggiurkan, Bondowoso bahkan tak mempertimbangkan hal mendasar. Ia berambisi menjadikan Jonggrang sebagai pendamping hidupnya. Seandainya benar terjadi, ini bisa berakibat tragis. Kemungkinan besar Jonggrang akan menyalakan dendam pembalasan atas kematian ayahnya. Begitulah, rupanya mengidap cinta dapat mengakibatkan compong, bagi orang yang berilmu tinggi sekalipun.

Sebagai penutup, saya sampaikan dua kegelisahan. Pertama, sepanjang pengamatan saya, cerita Roro Jonggrang versi manapun tidak mengapresiasi peran seorang ibu. Nama ibu Roro Jonggrang dan Bandung Bondowoso misterius. Ini enigma yang perlu dipecahkan. Mungkinkah cerita ini mengandung bias jender dan turut berperan mengekalkan dominasi laki-laki atas perempuan?

Kedua, rupanya bangsa jin memiliki tingkat produktivitas mencengangkan. Di bawah komando dan manajemen Bandung, cukup satu malam mereka sanggup merampungkan projek ambisius: membangun seribu candi! Bayangkan seandainya pemerintah Indonesia dapat mempekerjakan bangsa jin. Pasti lebih efektif dan efisien, baik secara waktu maupun anggaran. Kualitas pekerjaan mereka pun layak diacungi jempol. Maaf, agaknya kualitas bangunan manusia modern—termasuk jalan raya, tidak ada apa-apanya. Sedangkan Candi Prambanan terbukti masih awet sampai sekarang. Bahkan mungkin akan tetap kokoh berdiri hingga kiamat kurang tiga hari. Wallahua’lam. (*)

 

GLOSSARIUM

Mercéka          = Ngobrol/membahas

Maca               = Membaca

Wongé            = Orangnya

Déwék             = Sendiri

Kabéh              = Semua

Ményég           = Miring

Yacher            =  Top/hebat/iya

Potol atiné       =  Merasakan kepedihan

Potol                =  Putus

Atiné               = Hatinya

Koprot             = Bersimbah/luka parah

Jakwir             = Teman (bhs prokem)

Cétém              = Sahabat (bhs prokem)

Kebal-kebul    = Asap mengalir

Endas butak    = Kepala plontos

Bangkotan       = Pakar

Bantongan       = Jagoan

Peta ora/ora peta = Buruk/jelek

Compong        = Kurang waras/keblinger

Dubilah setan  = Kebangetan (istilah)

Gembladag      = Berkobar-kobar

Klejet-klejet    = Menggelepar-gelepar

Kroak              = Tidak utuh

Nglepésé         = Tidak berdaya

Mimpes           = Mengecil/tak berdaya

 

————

*Adalah Pelaku dan Pengamat Sastra Tegalan