Kompetisi Seni Lukis: Mencoba Bangkit di Ujung Pandemi
Oleh Agus Dermawan T.
Dari Pasuruan, Jawa Timur, Badrie melaju ke Bandung. Sampai di Pemalang mobilnya mogok. Onderdilnya harus diganti, sehingga memerlukan beberapa jam untuk perbaikan. Padahal ia ingin segera sampai tujuan. Karena pada esoknya, Minggu, ia harus sudah terlibat dalam kompetisi seni lukis. Akhirnya perjalanan 820 kilometer itu berhasil dituntaskan, walau harus dalam tempo lebih dari 17 jam.
Dalam kondisi lelah dan menahan kantuk Badrie terlihat melukis di satu sudut Taman Budaya Jawa Barat. Cat dijajar rapi di dekat kakinya yang duduk bersila. Selembar kardus ia pakai sebagai paletnya. Kuasnya pun dibikin menari-nari di kanvas, dengan disaksikan isterinya yang duduk dan sebentar-sebentar nyaris tertidur.
Badrie – pelukis senior dari kelompok Batu Koeboe Sarawan – adalah salah satu peserta Indonesia Painting Contest (IPC). Sebuah kompetisi “melukis 6 jam” yang digelar oleh NU (Nusantara Utama) di Taman Budaya Jawa Barat, Dago Atas, Bandung, pada Minggu 16 Oktober 2022. Badrie bergabung dengan 203 pelukis yang datang dari Jakarta, Bekasi, Bogor, Karawang, Depok, Garut, Brebes, Indramayu, Majalengka, Klaten, Yogyakarta, Solo, Pekalongan, Semarang, Surabaya, Pasuruan, Batu, Malang sampai Jember. Tentu selain dari Bandung sendiri.
“Kemunculan nama peserta seperti Badrie itu selalu tidak terduga! Banyak pelukis reputatif dan berpengalaman pameran ikut dalam kompetisi. Antusiasme ini saya anggap mengejutkan, karena para peserta dengan sukarela datang sendiri dari jauh. Mencari penginapan sendiri. Membawa cat dan alat-alat lukis sendiri. Karena panitia hanya menyediakan kanvas saja. Bahkan, untuk jadi peserta, mereka harus membayar uang pendaftaran Rp100 ribu,” kata Cak Topa alias Mustofa Akbar, Ketua Panitia.
Tapi kompetisi ini memang punya daya tarik yang kuat. Gus Nabil Haroen – pemilik NU Gallery, tokoh Nahdlatul Ulama – memperkirakan : “Mungkin karena kompetisi ini setiap kali dijuri oleh para tokoh seni rupa terkenal di Tanah Air. Pelukis ternama, perupa sohor, kritikus handal, doktor seni dan profesor seni kami libatkan. Dan mungkin juga karena besarnya hadiah yang kami sediakan untuk sekian banyak pemenang. Sehingga kompetisi dipandang qualified.”
Sejak awal IPC menyiapkan hadiah puluhan juta rupiah bagi karya-karya pemenang. Sementara itu puluhan karya pilihan juga mendapat apresiasi berupa uang tunai. Untuk IPC 2022 ini, total ada 44 lukisan yang mendapat hadiah. Menurut Gus Nabil, perkembangan jumlah hadiah itu diselaraskan dengan pencapaian prestasi. “Semakin banyak karya bermutu yang lahir dalam kompetisi, semakin banyak hadiah yang kami sediakan. Bagi saya, karya yang bagus harus mendapat apresiasi,” katanya.
Layak diketahui, IPC pertama diadakan di Jakarta pada November 2018 dengan tema Jejak Pahlawan. IPC kedua diadakan di Surakarta pada April 2019 dengan tema Ethnic and Culture. IPC ketiga diselenggarakan di Malang pada September 2020 dengan tema Pandemi. Setelah tahun 2021 ditiadakan lantaran krisis korona, IPC kemarin digelar lagi untuk keempat kalinya. Bandung dipilih sebagai tempatnya.
Visualisasi renungan
Tema yang diangkat kompetisi ini sangatlah aktual : Bangkit Bersama (setelah dihunjam pandemi Covid 19 atau korona). Namun menurut sejumlah peserta, Bangkit Bersama merupakan tema “kata kerja” yang agak sulit diterjemahkan secara visual. Ini berbeda dengan tema-tema sebelumnya : pahlawan, harta-karun etnik atau pandemi, yang lebih mudah dibayangkan dalam gambaran.
Namun di situlah tantangannya. Dan dari tantangan itu lalu para pelukis menemukan kesimpulan bahwa tema tersebut merupakan ajakan untuk membangkitkan semangat, meluapkan spirit, menyembuhkan mental yang selama ini terkikis. Dan substansi dari semua itu adalah : menggelar perayaan, selepas 30 bulan berperang habis-habisan melawan korona.
Tapi perayaan dalam pandangan jiwa seniman berbeda dengan perayaan khalayak umum. Seperti yang dituturkan filsuf Konghucu, puncak perayaan dari seniman adalah sampainya pekerjaan mereka kepada renungan-renungan, yang bertolak dari aneka kejadian. Dengan begitu, dalam karya seni yang dihasilkan, tidak ada bendera, tidak ada toast yang berdenting di ruang yang riuh. Tidak ada tumpeng, tidak ada tart, tidak ada musik yang bergemuruh. Karena perayaan yang dijumput dari medan perang tak lain adalah kumpulan penderitaan yang dimemorikan.
Hasil kompetisi ini banyak memberikan bukti soal itu.
Badrie, yang kisah perjalanannya terceritakan di atas, adalah contohnya. Di kanvasnya ia menggambarkan dua lelaki perkasa sedang menatap langit. Yang satu berpakaian Madura dan yang lain berbusana Dayak. Lukisan cerah ini ternyata mengenang kisah sangat pahit pertikaian suku Madura dan suku Dayak di Sampit tahun 2001 silam. “Saya merenung, di hadapan genderuwo korona, suku Madura dan suku Dayak ternyata tiada bedanya. Semuanya lemah dan dapat ditumpas korona dalam sekejab mata. Jadi, apabila hakikat keduanya adalah mahluk tak berdaya, mengapa dulu harus gempar bersengketa?”
Rendra Santana, seniman yang aktif berkiprah, melukis tokoh-tokoh wayang golek. Para ksatria Ayodya maupun Alengka yang saling bermusuhan bersama-sama menggotong bumi emas yang sedang dibantai oleh korona. Bahkan dalam lukisan berjudul “Damai” itu si antagonis Rahwana tampak jadi pemimpin. Mereka ramai-ramai memindahkan bumi ke gugusan planet lain yang lebih aman. “Saya berpikir, pertikaian masa lalu seharusnya sirna sudah setelah dihajar musibah,” kata Rendra.
Masa mahasusah yang memusnahkan permusuhan dan melahirkan kegotongroyongan juga termanifestasi dalam karya Jarots Soekisno. Lukisannya menggambarkan segelintir (baca sisa-sisa) manusia berbagai kelas kompak menggotong sepotong batang pohon, penghuni bumi yang pada hari kemarin tak henti ditebangi. Bayang-bayang dari manusia penggotong itu membentuk tulisan “holopis kuntul baris”, yang merupakan plesetan lidah dari kata “Don Lopez Comte de Paris”. Nama bangsawan Spanyol-Belanda yang membuat orang terpaksa bersatu dan giat bekerja bareng kala membangun jalan pos Anyer-Panarukan. Jarots menyadarkan : kekompakan akan muncul kala sekelompok orang merasa terpojok.
Perenungan tidak harus membuat orang mengerutkan kening dan tenggelam perasaan. Namun bisa juga membuat tersenyum, meski diimbuh kenangan pedih. Kita pun boleh ingat humor yang menyebut bahwa penyintas korona digelari S.1 (sarjana tingkat satu), dan yang sudah kena dua kali digelari S.2, bagai dalam dunia akademi. Lukisan Miftakhudin menggambarkan “kesarjanaan” itu dengan lucu dan ironis : seseorang mengenakan topi sarjana berbentuk gerobak bakso pinggir jalan, dengan tali toga bersimpul masker. Wajahnya tirus dan miskin.
Merekam jiwa chaos
Bangkit Bersama nyata menginspirasi pelukis untuk meluaskan gagasan visualnya, meski semuanya, sekali lagi, bermuara kepada ajakan untuk berkontemplasi. Mari kita simak karya juara IPC 2022.
Juara III adalah karya Iwan Widodo,“Membangun Indonesia”. Karya ini melukiskan sebuah penampang rumah susun. Dalam bangunan besar itu terlihat sangat banyak manusia yang saling berkait hati, meski semua terkurung isolasi. Ada yang dengan tangga menaruh sesuatu di depan sebilah pintu. Ada yang berusaha menyorongkan makanan kepada tetangga dengan menggunakan galah. Dilukiskan juga sejumlah orang yang berdiri ngun-ngun. Lukisan Iwan hadir dalam hitam-putih dengan noktah merah yang mengimpresikan bendera merah-putih. Garis-garisnya merujuk kepada sketsa spontan sehingga sedikit mengingatkan kepada karya pelukis Tiongkok-Prancis Wu Guanzhong. Komposisinya tertata dan menyisakan bidang-bidang putih pada posisi yang tepat. Cahaya seperti lewat dengan ramah dan hangat.
Lukisan “Hari Ini Kita Bangkit Bersama” karya Yudhis Citra Hendrianto, memenangi juara II. Pelukis perengkuh banyak penghargaan ini menggambarkan lima figur yang datang entah dari mana. Dalam bidang putih figur-figur itu berkelebat bagai hantu dan lantas beramai-ramai melukis peta Indonesia. Keterampilan dalam menggubah bentuk membuat karyanya hadir estetik.
Lukisan Gugum Gunawan “Bumiku, Langkahku Memakan Zaman” terjunjung sebagai juara I. Karyanya merefleksikan rasa gelisah dan takut, serta menggambarkan chaos yang menyelimuti segenap jiwa. Dalam gayanya yang ekspresif ia melontarkan renungan lewat gambarnya yang detil, dengan komposisi yang mengasosiasikan guncangan skizoprenik. Semua kejadian pilu yang diakibatkan korona, baik yang muncul di alam nyata atau di alam mimpi, berusaha digambarkan dengan intensi yang tinggi.
Maka kita akan melihat, betapa bagian bawah lukisan itu memaktubkan jajaran orang-orang mati yang berusaha bangkit dari kubur. Pada bagian atas lukisan terlihat gedung pencakar langit menghamburkan penghuninya ke langit tak terbatas. Sedang di bagian lain terlihat samar orang-orang tak berdaya di bawah naungan pohon besar. Lukisan ini semacam upacara minta ampun kepada bumi, lantaran langkah manusia ternyata salah tujuan.
Atas lukisan ini dua juri, perupa Tisna Sanjaya dan pelukis Nasirun terpesona bukan main. Bahkan Tisna berkali-kali menaruh topinya di dekat lukisan itu, dan Nasirun meletakkan selendangnya dengan takzim. Juri lain, perupa Diyanto dan kritikus Agus Dermawan T mengamini dengan sepenuh pemahaman. Dan kemenangan ini disambut luar biasa oleh Gugum Gunawan, pelukisnya. Sehingga ia melakukan selebrasi koprol di panggung, sebelum hadiah diterimakan.
Kompetisi tahunan ini sukses menawarkan tradisi baru bagi pelukis : yakni mencipta satu lukisan dalam tempo maksimal 6 jam (pukul 9.00 sampai 15.00). Setelah dulu pelukis berusaha melukis berlama-lama, karena harus termenung-menung di wc atau di lereng bukit sambil menatap kejauhan, untuk mencari-cari ilham.
*Agus Dermawan T. Juri IPC 2018 dan 2022. Kritikus dan penulis buku-buku budaya dan seni.