Entropi, Karya Seni & Keberagaman Hayati
Oleh Zaizafun Alya Gunara
Hari Bumi diperingati setiap 22 April sejak 1970. Hari ini adalah salah satu hari terbesar yang mengkampanyekan mengenai keberlangsungan, kesehatan, dan keseimbangan biodiversitas lingkungan di bumi. Termasuk menjadi penanda aksi yang menentang kehancuran ekosistem yang terus-menerus terjadi. Tujuan lainnya untuk menumbuhkan kesadaran atas fenomena kepunahan flora-fauna dunia yang semakin cepat.
Ada berbagai cara untuk memperingatinya. Salah satu seperti pameran yang dilakukan oleh Mahasiswa Tata Kelola Seni Angkatan 2020 FSR Institut Seni Yogyakarta. Program pameran virtual peringatan tersebut bertajuk “Rengkuh Ragam”. Pameran ini dilaksanakan dan dapat diikuti melalui laman instagram @https://instagram.com/rengkuhragam_exh?igshid=ha615qfybysw mulai 22 sampai 25 April 2021.
Makanan yang kita makan, dan udara yang kita hirup, semuanya tersedia untuk dirasakan. Keberadaannya adalah hasil dari keanekaragaman hayati di bumi ini. Dengan kata lain, itu semua merupakan hasil Biodiversitas. Dengan membawa tema “biodiversitas” pameran ini ingin “merengkuh keberagaman hayati”.
Keberadaan 1,7 juta spesies makhluk hidup di muka bumi ini dari sudut pandang manusia, hanya hadir untuk dimanfaatkan. Manusia sangatlah bergantung pada mereka. Namun penghancuran dan eksploitasi juga dilakukan sebagian manusia lainnya dengan berbagai alasan dan pula sebagai balasan. Variasi komponen kehidupan penting yang bermanfaat bagi umat manusia dan bumi itu sendiri, seperti ada di telapak tangannya, dengan mudah pula dilenyapkan.
Maka, “Rengkuh Ragam” bervisi untuk memicu kesadaran tentang bagaimana keberagaman itu agar terus dibutuhkan. Sebab semua elemen sesungguhnya terkoneksi. Jika unsur-unsur kehidupan hilang satu per satu, dan ikatannya putus, pada akhirnya kita bahkan tidak dapat bernapas dengan mudah.
Pameran “Rengkuh Ragam” juga ingin menunjukkan sebuah perspektif berbeda. Kita perlu mengingat konsep “Entropi”. Konsep ini menjelaskan bahwa bahwa bumi sebagai suatu bola kehidupan, tidak dapat menghindari kematiannya sendiri. Seperti apel yang membusuk. Seperti embun pagi yang menghilang ketika matahari terbit. Eksistensi manusia itu sendiri dipercaya untuk mempercepat bumi dalam menuju ajalnya.
Tetapi meskipun demikian, apakah ini dijadikan alasan yang sah untuk kebiadaban manusia terhadap bumi?
Karena itulah manusia perlu sadar akan tanggung jawabnya. Nasib bumi bertumpu pada keputusannya untuk memperlambat atau mempercepat laju bumi menuju kehancurannya. Janganlah hidup hanya berguna bagi diri sendiri. Hidupkan pula kelestarian bumi.
Adapun karya-karya yang ditampilkan meliputi EcoArt yang dibuat dari medium yang bervariasi. Dalam pameran ini dihadirkan medium konvensional seperti lukisan, sampai medium eksperimental seperti video, audio hingga seni media baru.
Enka Nkmor, “Tenaga Pohon Kelapa x Kelapa Sawit” Acryclic on Canvas 150 x 150 cm, 2019
Ganangeat, “Burn Hate Not Trash”, Acrylic on Gate, 360 x 220 cm, 2019
Seperti karya Vipassati Varra, seorang siswi kelas 12 di Erudio Indonesia. Karya video art miliknya yang berjudul “Warga Laut” menerangkan mengenai fakta eksploitasi satwa laut yang berdampak terhadap kepunahan dalam. Varra mengingat kita bahwa laut bukanlah hanya suatu genangan air asin raksasa, tetapi laut berperan penting menjadi tempat tinggal banyak sekali mahluk hidup.
Ada juga Ganangeat, anggota dari Street Art Klaten yang dengan karya berjudul “Burn Hate Not Trash”. Karya ini memperlihatkan kepentingan proses pengolahan dan pertanggung-jawaban sampah di Indonesia. Hal ini ditunjukkan dalam karyanya yang berkanvas sebuah pagar, yang dimana Ia menggambarkan faktor-faktor kritis yang menjadi bagian dalam pengatasan masalah sampah di Indonesia.
Avin Dimetrodon, “Prince of Destruction”, Audio Art (extended play), 2021
Vipassati Varra, “Warga Laut”, Video Art and Installation, 2019.
Dengan variasi karya yang ditampilkan dalam pameran ini, “Rengkuh Ragam” pun menjadi wadah untuk menampilkan isu-isu kritis melalui pikiran para perupa yang terjadi di bumi kita ini. Harapannya tentu menjadi bagian dari proses penyadaran terhadap kepentingan biodiversitas dan konsep entropi.
Mari jaga bumi lebih lama dari ajal yang mungkin diperkirakan.
*Penulis adalah Kurator Pameran “Rengkuh Ragam” – Mahasiswa Prodi S1 Tata Kelola Seni FSR ISI Yogyakarta