Membaca Ikon Perguruan Silat Pandan Alas (Sebuah Perspektif Roland Barthes)

Oleh Dwiki Nugroho Mukti

Indonesia memiliki banyak kebudayaan dan tradisi yang ada di tengah-tengah masyarakat, mungkin karena akrabnya dengan budaya ini membuat masyarakat menjadi terbiasa dan tidak menyadari keberadaanya. Pencak silat merupakan salah satu budaya di Indonesia, dan ada sampai hari ini, pencak silat sendiri bukan hanya sekedar tempat atau kelompok yang belajar mengenai jurus silat, namun lebih jauh dari itu perguruan silat juga mengajarkan mengenai falsafat hidup atau berkaitan dengan nilai budaya. Nilai budaya pada hakikatnya merupakan konsep-konsep mengenai sesuatu yang ada dalam pikiran sebagian besar masyarakat yang dianggapnya penting dan berharga dalam hidup dan kehidupan umat manusia (Koentjaraningrat, 2009).

Pencak silat memiliki nama yang berbeda-beda di berbagai tempat Contohnya Silek dan Gayuang (Sumatera Barat), Maempok dan Penca (Jawa Barat), Pencak (Jawa Tengah, DIY, dan Jawa Timur), dan lain-lainnya. Pencak silat adalah salah satu jenis bela diri tradisional yang berkembang di Indonesia, secara etimologi bahasa pencak silat terdiri dari pencak yang berarti permainan (keahlian) dengan cara mengelak, menyerang, dan silat memiliki arti kepandaian bekelahi. Jadi secara umum pencak silat merupakan sebuah metode bela diri atau memepertahankan diri dari bahaya yang dapat mengancam keselamatan dan kelangsungan hidupnya dengan cara menangkis, menyerang dan membela diri. Pencak silat sendiri terus berkembang hingga terdapat upaya untuk membuat sebuah organisasi untuk membawahinya, upaya ini terus berlanjut sampai tahun 1948 yang berhasil membentuk organisasi Ikatan Pencak Seluruh Indonesia (IPSI) (Kriswanto, 2015).

Dewasa ini pencak silat telah menjadi seni bela diri yang diperhitungkan, hal tersebut terbukti dengan dipertandingkanya pencak silat dalam Asian Games dan Sea Games. Pertumbuhan pesat pencak silat ini tidak lepas dari pelestarian yang dilakukan oleh masyarakat. Kebudayaan dan masyarakat memiliki hubungan yang erat, tidak ada kebudayaan tanpa masyarakat dan sebaliknya tidak ada masyarakat yang tidak berkebudayaan (Soekanto dan Sulistyowati, 2014). Madiun adalah tempat perguruan silat tumbuh subur, terhitung ada 14 perguruan silat resmi yang telah di akui di Madiun. Adanya banyak aliran pencak silat ini adalah dikarenakan di tiap perguruan silat memiliki ke unikan dan falsafah ajaran masing-masing. Tentu tiap tempat memiliki karakter yang berbeda dengan yang lain dan tentu saja hal ini berpengaruh terhadap bagaiman falsafah ajaran pencak silat terbentuk

Salah satu perguruan silat yang berkembang di kota Madiun adalah organisasi silat yang bernama Keluarga Persilatan Ki Ageng Pandan Alas atau yang biasa disebut Pandan Alas. Tentu tiap perguruan silat memiliki falsafah ajaran yang berbeda-beda, begitu pula dengan Pandan Alas . Di dalam perguruan Pandan Alas tidak mencetak atlet, karena ilmu bela diri yang dipelajari bukan digunakan untuk bertarung, bukan untuk menyakiti orang lain, tetapi untuk membela diri apabila keadaan diri kita dalam keadaan terjepit atau teraniaya. Disini juga tidak ada istilah pendekar, karena pada dasarnya pendekar adalah orang yang suka berkelahi. Hal lain yang menarik dari Pandan Alas adalah jarang ditemunya tugu penanda Pandan Alas itu sendiri, jika banyak perguruan silat membangun tugu/penanda di jalan masuk sebuh desa untuk menandakan keberadaanya tidak begitu dengan Pandan Alas, perguruan Pandan Alas memilih untuk tetap rendah diri dengan tidak membuat penanda wilayah, hal itu selaras dengan falsafah yang di ajarkan dalam Pandan Alas dan menegaskan dirinya bukan sebagai perguruan bela diri yang agresif. Untuk tahu mengenai ajaran Pandan Alas lebih jauh maka penelusurannya dapat dimulai dari memahami lambang Pandan Alas itu sendiri. Penelusuran dalam artikel ini akan dilakukan dengan menganalisa ikon-ikon dalam lambang Pandan Alas.

Keluarga Persilatan Ki Ageng Pandan Alas merupakan organisasi sosial kemasyarakatan yang bergerak dalam bidang olah raga seni bela diri, organisasi bela diri pencak silat ini didirikan oleh bapak Koestari Ady Andaya. Beliau adalah purnawirawan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara (TNI AU) yang berdinas di Lanud Iswahjudi Maospati Magetan. Dalam ajaranya Pandan Alas lebih mengutamakan pembinaan akhlak kepada anggotanya. Pandan Alas terhitung didirikan pada 10 November 1972. Tanggal tersebut dijadikan momentum sebagai tanggal berdirinya Keluarga Persilatan Ki Ageng Pandan Alas (Hanif, Nugraha, & Negara, 2020).

Koestari Ady Andaya terus berikhtiar mengembangkan gerak senam jurus silat dan organisasi pencak silatnya. Ikhtiar yang luar biasa ini mendapat apresiasi positif dari orang-orang sekitarnya. Dengan banyaknya dukungan dari orang sekitar maka Koestari Ady Andaya berinisiatif untuk mendaftarkan perguruan silat ini ke oraganisasi yang menaungi Pecak Silat IPSI (Ikatan Pencak Silat Seluruh Indonesia), usaha ini tidak langsung berhasil, sempat mengalami beberapa penolakan. Namun setelah kemudian di evaluasi ulang dan di telaah lebih lanjut, di setujuilah Pandan Alas sebagai organisasi silat Resmi oleh IPSI Cabang Kab./Kota Blitar pada tanggal 15 September 1995.

Pemilihan nama Pandan Alas sendiri terinspirasi dari tokoh Ki Ageng Pandan Alas , Ki Ageng Pandan Alas adalah  seorang tokoh golongan putih yang hidup pada jaman kerajaan Demak dibawah pemerintahan Sultan Trenggono (Cerita dalam buku Nagasasra Sabukinten). Pada waktu itu kerajaan Demak banyak terjadi pemberontakan terhadap pemerintahan yang sah. Ki Ageng Pandan Alas sebagai seorang tokoh merasa wajib turut mempertahankan kerajaan Demak. Ki Ageng Pandan Alas dalam menghadapi musuh atau lawan-lawannya tidak dihadapi menggunakan kekerasan, melainkan dihadapinya dengan cara duduk bersila sambil melantunkan Kidung atau Tembang Dandang Gulo yang berisi petuah-petuah yang baik dan akhirnya membuat musuh atau lawannya menjadi sadar akan perbuatannya yang selanjutnya tidak jadi melawan dengan kekerasan. (Amar Makruf Nahi Mungkar).

Keluarga Persilatan Ki Ageng Pandan Alas berasaskan Pancasila, bersifat kekeluargaan antar organisasi olah raga seni beladiri serta tidak berafiliasi pada aliran/organisasi politik tertentu. Sedangkan tujuannya; (1) Mencetak manusia berbudi luhur, berakhlak mulia, beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai amanat Undang-Undang Dasar 1945, (2) Melestarikan dan mengembangkan khasanah seni budaya pencak silat.

Foto lambang Keluaga Pesilatan Ki Ageng Pandan Alas

Dalam lambang Pandan Alas terdapt beberapa ikon (objek dan warna) dan teks, merupakan ilustrasi falsafah yang di ajarkan di dalam Pandan Alas. Lambang ini merupakan Produksi artistik yang mencakup: kepekaan batin terhadap imajinasi kreatif dan menemukan kendaraan atau idiol untuk berkomunikasi dan berbagi kepekaan ini dengan orang lain. (Mandoki, 2007)

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif, yang dilakukan guna menghasilkan data deskriptif berupa ikon dari lambang perguruan silat Pandan Alas. Pengumpulan data dilakukan dengan studi literatur dan pengamatan. Analisis ikon pada lambang perguruan silat Pandan Alas dilakukan dengan pendekatan Semiotika Roland Barthes, yang bisa mencakup elemen teks, dan visual. Penggunaan semiotika Roland Barthes juga dimaksudkan guna membongkar mitos yang terkandung di dalam iklan tersebut. Semiotika Roland Barthes secara harfiah merupakan turunan dari semiologi Saussure, yakni mengadaptasi teori signifier-signified untuk dikembangkan menjadi metabahasa dan konotasi. Saussure fokus pada penandaan dalam tataran denotatif, sedangkan Roland Barthes mengembangkannya pada tingkat konotatif. Selain itu, aspek lain yang dikembangkan Barthes dalam penandaan yaitu mitos (Vera, 2014).

Dalam analisa ini dibagi menjadi 3 kategori, yang pertama adalah berdasarkan bentuk objek, yang kedua adalah teks, dan yang terakhir adalah warna. Dalam kategori pertama yang di analisa adalah Perisai, bintang, ranting, trisula & keris kiai sigar, dan rantai. 1.) Perisai (signified), alat untuk bertahan (sign denotatif/signifier konotatif), pelindung-memiliki pertahanan yang kuat (signified konotatif), manusia harus menjadi  pelindung/pertahanan yang kuat dalam menjalani hidup untuk mencapai menggapai cita-cita (sign konotatif). 2.) Bintang 5 (signified), Bintang dengan satu kaki lebih panjang, warna emas dan perak (sign denotatif/signifier konotatif), terletak di angkasa/tinggi, agung, suci (signified konotatif), dalam ajaranya Pandan alas menjunjung tinggi agama Islam, menyimbolkan dengan bintang seperti halnya sesuatu yang tinggi (sign konotatif). 3.) Ranting (signified), bagian pohon (sign denotatif/signifier konotatif), kuat – kehidupan baru -keterhubungan (signified konotatif), melambangkan keluarga persilatan dapat dijadikan alat pendidikan dan pembinaan akhlak generasi muda (sign konotatif). 4.) Trisula dan Keris Kyai Sigar (signified), senjata tajam, bertautan (sign denotatif/signifier konotatif), kuat – terhubung satu dengan yang lain (signified konotatif), memiliki  fisik dan rohani yang kuat  agar dapat menjaga hubungan yang erat antar saudara dan dengan Yang Maha Kuasa (sign konotatif). 5.) Rantai (signified), rantai berjumlah 8 membentuk tapal kuda (sign denotatif/signifier konotatif), jalinan erat – persatuan, saling bertautan (signified konotatif), manusia harus menjadi  pelindung/pertahanan yang kuat dalam menjalani hidup untuk mencapai menggapai cita-cita (sign konotatif). 6.)

Kategori kedua adalah ketegori teks, dalam kategori ini terdalam 2 item teks. 1.) Teks “keluarga persilatan” berwarna biru (sign denotatif/signifier konotatif), mewakili jenis organisasi – warna biru adalah warna dingin – kedamaian (signified konotatif), tulisan keluarga persilatan berwarna biru tua menunjukkan bahwa organisasi persilatan ini didirikan untuk mewujudkan kedamaian (sign konotatif). 2.) Tulisan “ Ki Ageng Pandan Alas” bewarna hijau (sign denotatif/signifier konotatif), mewakili nama organisasi – warna hijau adalah warna dingin – berhubungan dengan tumbuh-tumbuhan (signified konotatif), tulisan Ki Ageng Pandan Alas berwana hijau tua melambangkan semangat pertumbuhan dalam pembangunan mental spiritual terhadap anggotanya (sign konotatif). Hal lain yang perlu dicermati dalam lambang ini adalah huruf tulisan Ki Ageng Pandan Alas berjumlah 17 (tujuh belas), rantai berjumlah 8 (delapan), sudut 45 (empat puluh) yang dibentuk oleh Keris Kiai Sigar Menjalin dan senjata Trisula dimaksudkan sebagai tahun 1945. Arti kesuruhannya menunjukkan tanggal kemerdekaan Republik Indonesia yaiu 17-8-1945. Hal ini dimaksudkan agar Keluarga Persilatan Ki Ageng Pandan Alas mampu mengisi dan mempertahana kemerdekaan (Hanif et al., 2020).

Ketegori yang terakhir adalah adalah kategori berdasarkan warna. 1.) Biru muda (signified), warna biru muda (sign denotatif/signifier konotatif), keteduhan – kedamaian – ketenangan – seperti laut dan langit (signified konotatif), menganjurkan untuk pribadi yang tenang – teduh serta membawa rasa damai bagi sekitarnya (sign konotatif). 2.) Kuning emas (signified), warna kuning emas (sign denotatif/signifier konotatif), kemewahan – keagungan – kejayaan (signified konotatif), warna ini digunakan untuk mengilustrasikan harapan untuk bangsa Indonesia agar dapat meraih kejayaan (sign konotatif). 3.) Putih Perak (signified), warna putih perak (sign denotatif/signifier konotatif), kesucian – keadilan (signified konotatif), menjadi petunjuk untuk tetap berbauat bajik dan adil (sign konotatif). 4.) Hijau (signified), warna hijau (sign denotatif/signifier konotatif), warna hijau adalah warna dingin – berhubungan dengan tumbuh-tumbuhan (signified konotatif), semangat untuk bertumbuh (sign konotatif). 5.) Biru (signified), warna biru (sign denotatif/signifier konotatif) , warna biru adalah warna dingin, kedamaian (signified konotatif), semangat untuk menjaga kedamaian (sign konotatif).

Dari analisa yang dilakukan ditemukan 5 objek benda, 2 teks, dan 5 warna yang digunakan. Dalam lambang pandan alas bahasa yang digunakan adalah gabungan antara visual dan teks, pemilihan objek juga sangat dekat dengan dunia bela diri hal ini terlihat dari adanya objek perisai, trisula, dan keris Kiai Sigar. Pemilihan ini terkait dengan pengetahuan estetika yang dibangun berdasarkan lingkungan dimana perguruan ini berada yaitu lingkungan pesilat. Estetika lingkungan banyak mengacu pada analisa keindahan yang lebih alamiah seperti pemandangan alam, namun pada saat yang bersamaan kajian estetika lingkungan ini menemukan bentuknya juga diperkotaan sehingga memperluas kondisi dan kemungkinan apresisiasi, maka pengalaman estetika lingkungan berkembang di lingkungan perkotaan dengan apa yang ada dan terjadi sehari-hari diperkotaan, dan menjadi kajian estetika sehari-hari, bahkan ruang luar menjadi subjek untuk kesadaran estetika (Arnold Berleant, 2013). Kemudian teks hanya berfungsi sebagai penanda atas ketogi organisi Pandan Alas dengan kalimat ‘Keluarga persilatan’, dan nama organisasi ‘Ki Ageng Pandan Alas’.

Pengunaan warna dalam lambang ini dominan menggunakan warna dingin yaitu biru, hijau dan putih perak, hanya terdapat 1 warna panas yaitu kuning. Dengan banyaknya warna dingin yang digunakan adalah ingin menunjukan bahwa Pandan Alas adalah perguruan silat yang damai dan menenangkan, juga menjadi himbauan untuk anggotanya agar dapat bersikap damai dan menenangkan.

Mitos yang dibangun dalam lambang ini adalah Pandan Alas merupakan perguruan silat yang ada dan berkembang dalam rangka untuk menegakkan ajaran agama Islam melalui falsafah ajarannya, mempererat hubungan dengan saudara dan Tuhan yang Maha Esa. Serta menanamkan rasa cinta tanah air dan membawa Indonesia ke kepada jaya. Untuk anggotanya menjadi pribadi yang rendah diri, tenang, dan membawa kedamaian bagi sekitar. Mitos ini merupakan harapan yang disematkan dalam unsur pembangun lambang, mitos ini juga menjadi inti dari falasafah yang di ajarkan dalam keluarga persilatan Pandan Alas.

————-

Daftar Pustaka

Arnold Berleant. (2013). The Transformationsof aesthetics. Journal of Chemical Information and Modeling, 53(9), 1689–1699. Retrieved from https://doi.org/10.17613/M6H41JM3P

Budiman, K. (2011). Semiotika Visual: Konsep, Isu, dan Problem Ikonisitas. Yogyakarta: Jalasutra

Hanif, M., Nugraha, N., & Negara, N. B. (2020). Nilai-nilai bela negara dalam keluarga persilatan ki ageng pandas alas. Citizenship, (8).

Haryadi, T. (2016). Analisis Iklan Televisi Sampoerna Hijau Versi “Es Kacang Ijo” Dengan Pendekatan Semiotika Roland Barthes. Jadecs, 1(19), 1–16.

Koentjaraningrat. (2009). Pengantar Antropologi, edisi revisi 2009. Jakarta: Rineka Cipta.

Kriswanto, E. S. (2015). Pencak Silat. Yogyakarta: Pustaka Baru Press.

Soekanto S., dan Sulistyowati, B. (2014). Sosiologi Suatu Pengantar (46th ed.). Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Mandoki, K. (2007). Everyday Aesthetics – Prosaics, the Play of Culture and Social Identities Proof. Metropolitan Autonomous University.

Vera, N. (2014). Semiotika dalam Riset Komunikasi. Bogor: Ghalia Indonesia

http://putrawilisbanten72.blogspot.com/2013/11/sejarah-berdirinya-keluarga-persilatan.html, diakses pasa 10/12/2020 – 13.11 WIB

 

*Penulis adalah seorang Perupa