Patrem, Cundrik dan Mitos Senjata Para Putri

Oleh Riyo Sesono Danumurti

Patrem dan cundrik, karena bentuknya kecil dan pendek, seringkali disembunyikan di balik pakaian pemakainya, yang rata-rata adalah kaum wanita. Pusaka ini digunakan untuk membela diri, bahkan kalau perlu digunakan untuk suduk salira – bunuh diri- bila kehormatannya terancam.

Tubuhnya terduduk bersandar pada tiang kayu tenda pesanggrahan. Tak bergerak. Namun wajahnya yang cantik jelita nampak masih menyisakan senyuman – kendati dari celah matanya yang sedikit terbuka, tak lagi ada cahaya kehidupan. Putri ayu itu suduk salira, menikam dirinya sendiri dengan sebilah cundrik – yang semula disembunyikan di balik gaun indahnya. Dyah Pitaloka Citraresmi, lebih memilih untuk bunuh diri daripada kehormatan keluarganya terhinakan. Putri calon prameswari Majapahit itu melakukan bela pati, ketika ayah bundanya bersama seluruh rombongan Keraton Sunda Galuh tewas dalam perisitiwa penyerbuan tentara Majapahit, di Alun-alun Bubat – tempat rombongan tamu agung itu menunggu jemputan.

Peristiwa yang terjadi pada akhir abad 14 itu merupakan insiden yang sempat menyungkurkan nama Patih Gajah Mada. Sri Baduga Maharaja Linggabuana, raja Sunda Galuh, semula bermaksud mengantarkan putrinya, yang akan dipersunting menjadi permaisuri Raja Majapahit. Dalam lamaran sebelum pengantaran itu, bahwa resepsi pernikahan akan diadakan di Istana Majapahit – bukan di Istana Sunda Galuh, seperti lazimnya upacara pengantin diadakan di tempat pihak mempelai wanita.

Majapahit

Cundrik Tangguh Majapahit (Koleksi Jimmy S. Harianto/ Foto : Birul Sinari-Adi)

Tragedi Bubat itu hingga kini masih menjadi ajang perdebatan di sejumlah kalangan. Ada yang mengatakan bahwa peristiwa itu hanyalah karangan kolonial Belanda untuk mempertajam politik divide et impera, namun kalangan lain mengatakan bahwa peristiwa itu memang ada. Namun lepas dari itu, suduk salira adalah tindakan nekad yang menjadi jejak sejarah di Nusantara. Pelakunya, khusus di Pulau Jawa, adalah para perempuan yang terjepit oleh bahaya atau keadaan berbahaya. Alat yang digunakan biasanya menggunakan patrem, ataupun dengan cundrik.

Kalau benar ada, agaknya tragedi Bubat adalah sebuah penggalan kisah tragis yang masih menjadi kenangan pahit bagi masyarakat Pasundan, khususnya. Masih banyak kisah dan legenda masa silam di pulau-pulau Nusantara, yang menyebutkan keterlibatan keris lurus kecil tersebut – yang selalu dibawa dan disembunyikan oleh sang tokoh wanita dalam pakaiannya. Puteri Mandalika dari Lombok, misalnya, konon, sebelum menceburkan diri ke laut, sempat menikamkan pusaka cundriknya ke tengah dadanya. Putri ini memilih bunuh diri dan terjun ke laut, karena banyaknya pangeran yang memperebutkan dirinya untuk dijadikan istri. Daripada akan datang korban terus menerus, sang putri memilih mengorbankan dirinya agar tak terjadi lagi peperangan.

Masyarakat Lombok masih percaya, bahwa Putri Mandalika tetap ada, dan akan selalu datang setiap tahun sekali di Pantai Lombok. Kedatangan sang putri akan ditandai dengan munculnya cacing-cacing laut atau nyale dalam waktu hanya semalam, yang terjadi sekali dalam satu tahun. Upacara menyambut kedatangan sang putri ini disebut Tradisi Nyale yang masih berlangsung hingga sekarang. Pada prosesi ini, masyarakat berburu cacing-cacing laut untuk dimasak dan dimakan. Dipercaya, cacing-cacing bergizi tinggi itu adalah kiriman Putri Mandalika untuk rakyatnya yang masih mencintainya. Upacara ini hanya berlangsung satu malam – berkisar pada bulan Agustus atau September.

Cundrik Untuk Kaum Perempuan

Dalam buku Eksiklopedi Keris karya Bambang Harsrinuksmo disebutkan, bahwa cundrik sebenarnya merupakan nama dhapur keris lurus berukuran kecil. Ukurannya bervariasi antara 22 cm hingga 36 cm. Dalam buku itu juga ditegaskan, bahwa tidak terlalu tepat bila cundrik adalah sebutan untuk keris kecil yang selalu dipakai kaum perempuan. Karena sebutan yang benar untuk keris kecil yang biasa digunakan oleh kaum perempuan adalah patrem, tulis Bambang Harsrinuksmo.

Namun para praktisi perkerisan saat ini, memiliki pendapat yang berbeda dengan isi buku tersebut. Rata-rata beranggapan, bahwa justru cundrik sangat biasa digunakan oleh kaum wanita. Cundrik ini sifatnya fungsional. Artinya, cundrik bisa digunakan sebagai senjata sikepan – semacam senjata rahasia. Bahkan bisa dipakai sebagai semacam tusuk konde pengikat sekaligus penghias rambut. Sedangkan patrem lebih banyak diberikan kepada kaum lelaki. Zaman dulu, khususnya di lingkungan keraton, anak lelaki yang lagi sunatan, dihadiahi sebuah patrem oleh ayahnya. Pemberian hadiah berupa keris kecil ini sebagai simbol perubahan dari masa anak-anak menuju usia remaja atau taruna.

Kamardikan

Patrem Tangguh Kamardikan (Koleksi : Toni Junus/ Foto : Toni Junus)

Benarkah? Tentu saja silang pendapat menyangkut kegunaan kedua jenis pusaka tosan aji tersebut tentu saja tak berujung dan mungkin tidak akan usai. Dalam buku-buku sejarah Keraton Kesultanan Yogyakarta, disebutkan bahwa patrem pernah digunakan sebagai senjata kaum perempuan. Para prajurit Pangeran Mangkubumi, pendiri dinasti Hamengkubuwanan, juga memiliki brigade kaum wanita yang dipersenjatai. Selain membawa senjata standar perang pada zaman itu, para prajurit wanita itu juga nyikep patrem, keris kecil yang dijadikan piandel.

Jadi bila patrem dipakai sebagai piandel – senjata yang dipercayai bisa membulatkan tekad dan semangat – tentunya mengandung makna-makna mistik dan simbolik. Sedangkan cundrik sama sekali tidak dimaksudkan untuk itu. Patrem diberikan kepada anak lekaki, dan berbentuk persis seperti keris hanya ukurannya yang kecil. Sedangkan cundrik hanya dipakai oleh kaum wanita, dan bentuknya mirip pedang atau cengkrong dengan ukuran yang lebih pendek. Kesamaan dari cundrik dan patrem hanyalah pada bentuknya yang lebih kecil ketimbang keris pada umumnya.

Sebenarnya juga ada pendapat umum di kalangan masyarakat menyangkut patrem dan cundrik itu. Tidak ada pemilahan soal pemakai kedua pusaka tersebut. Zaman dulu, kaum perempuan biasa menggunakan kedua bentuk pusaka itu. Kalau diibaratkan, kedua jenis pusaka itu mewakili kaum wanita yang sudah bersuami. Bila suami sedang pergi ke luar rumah, maka sebagai perlindungan pengganti suami, sang istri menyimpan sebilah cundrik. Tapi bila si wanita bepergian sendiri, maka dia ditemani dengan sebilah patrem. Jadi patrem menemani wanita bepergian, sedang cundrik menemani wanita di rumah.

Cundrik dan Diponegoro

Adalah sebuah cerita lisan yang telah lama dikenal masyarakat, yang justru berbeda dengan pendapat para pakar itu. Tokoh besar dari Yogya, Pangeran Diponegoro, yang sempat mengobarkan Perang Jawa yang merepotkan Belanda pada tahun 1825-1830, juga memiliki sebuah cundrik pusaka. Namanya Kanjeng Kiai Sarotama. Konon dalam legenda rakyat ini, pangeran yang terkenal alim dan santri itu suka melakukan tirakat di tempattempat sunyi, sebagai wujud keprihatinannya melihat bangsa asing sudah menginjak-injak martabat orang Jawa.

Suatu ketika, Diponegoro sedang menyepi menyendiri di Pantai Parangkusumo. Cucu Sultan Hamengku Buwono II ini sedang menjalani tirakat untuk napak tilas di tempat Panembahan Senopati dulu memperoleh wahyu kedaton – wahyu menjadi raja. Ketika sedang duduk di Watu Gilang di pantai itu, tiba-tiba, Diponegoro mendengar suara tanpa wujud. Suara manusia tanpa bentuk yang mengaku sebagai Kanjeng Ratu Kidul – penguasa Laut Selatan – itu berpesan agar Diponegoro jangan mau menerima jabatan apapun di Keraton Kasultanan Yogyakarta – yang sudah dikendalikan oleh Kompeni Belanda.

Bersamaan dengan hilangnya suara itu, ada seberkas sinar putih yang jatuh dari langit ke pangkuannya. Ternyata sinar itu ketika terpegang tangan Diponegoro, menjelma menjadi sebilah cundrik. Inilah sebuah keris pusaka mungil yang kemudian diberi nama Kanjeng Kiai Sarotama. Semenjak memperoleh pusaka itu, tekad Diponegoro untuk memerangi Belanda semakin bulat. Dalam setiap peperangan, cundrik Kanjeng Kiai Sarotama selalu di-sikep dalam busana sang pangeran, menyertai keris Kanjeng Kiai Sapu Jagad dan keris Kanjeng Kiai Bondoyuda.

Ada tokoh terkenal lain yang juga suka membawa cundrik. Trunojoyo, menantu Panembahan Rama dari Kajoran, yang menghancurkan Keraton Mataram di Plered, selalu membawa sebilah cundrik di pinggangnya. Tak ada catatan tentang nama dan tangguh cundrik milik Prabu Maduretno – gelar Trunojoyo ketika merebut tahta Mataram – itu. Dalam Babad Tanah Jawi disebutkan, bahwa Trunojoyo, yang menjatuhkan Amangkurat I dari tahtanya itu, suka menyengkelit cundrik. Keris kecil ini selalu dibawanya ketika maju ke dalam peperangan. Termasuk dalam perang di Kediri yang menghancurkannya pada tahun 1679 melawan Amangkurat II – yang berniat membalas perbuatan Trunojoyo menyerbu Mataram.

Cerita berbau mitos ini memang sulit diukur tingkat kebenaranya. Namun, apapun, catatan sastra Jawa seperti Babad Tanah Jawi itu cukup bisa memberi ungkapan masyarakat umum pada masa silam seputar penggunaan keris-keris kecil.

Perbedaan Cundrik dan Patrem

Menurut pakem kebahasaan, patrem adalah suatu tosan aji yang dapat membuat tentram hati orang yang membawanya. Ini adalah keris dengan bilah kecil mungil, dapat berbentuk lurus atau luk. Ada yang memakai gandhik naga, singa, atau kikik (atau kirik, anak anjing). Dalam bahasa Jawa yang baku, patrêm memang dipakai untuk menyebut keris dengan bilah versi kecil. Untuk mengenalinya secara mudah, bisa diukur dengan menggunakan rentangan jari tangan. Bila ada keris ukurannya selebar rentangan ujung jempol tangan dan ujung jari kelingking, maka bisa dipastikan bahwa itu adalah patrem. Atau dengan ukuran zaman sekarang, sekitar 17 cm – 22 cm.

Adapun, cundrik sebenarnya adalah nama dhapur keris lurus. Bentuknya justru tidak menyerupai keris, tapi malah lebih dekat ke bentuk pedang pendek atau belati. Cundrik memiliki gandhik dengan panjang hampir separuh bilahnya, namun berada di sisi belakang. Buntut cêcak ganja pendek terbalik menghadap ke depan, terkadang malah tanpa ganja atau ganja iras (ganja menyatu dengan bilah). Dalam kesehariannya, orang Jawa malah lebih sering menyebut semua pusaka berbilah kecil dengan nama cundrik, daripada sebutan patrêm. Ukuran cundrik rata-rata antara 22 – 36 cm.

Majapahit

Patrem Tangguh Majapahit (Koleksi Donny R/ Foto : Birul Sinari-Adi)

Jadi ada pihak yang yakin, bilah pusaka kecil itu sengaja dibuat untuk ageman wanita yang memang postur tubuhnya lebih kecil dari laki-laki. Pendapat lain menyebutkan, bahwa bilah kecil tersebut bisa dipakai lelaki maupun perempuan – yang penting sangat praktis digunakan dalam tugas mata-mata, hingga mudah disembunyikan ketika dibawa, dan mudah dicabut ketika hendak dipakai. Pendapat lain lagi mengatakan bahwa bilah mungil itu untuk keperluan mistik, agar pusaka itu mudah disematkan di tubuh sebagai jimat.

Memang, tidak semua patrêm atau cundrik menjadi monopoli perempuan. Terkadang ada laki-laki yang senang membawa pusaka berbilah kecil, untuk keperluan kepraktisan atau sebagai jejimat. Patrêm luk tiga dengan bentuk Naga Jangkung, termasuk salah satu pusaka yang sering dibawa oleh kaum lelaki, sebagai jimat perlindungan dan kesuksesan. Begitu pula dengan cundrik dengan hulu patung leluhur, sering dibawa sebagai jimat oleh para lelaki, sekaligus sering disamarkan sebagai tusuk konde rambut oleh para perempuan sebagai pusaka andalan mereka, bila kondisi darurat.

Sejak Kapan Jenis Patrem dan Cundrik Dibuat

Berdasarkan cerita tutur yang hidup di tengah masyarakat, seperti tewasnya Dyah Pitaloka atau Putri Mandalika dengan cundrik, hanyalah sekadar memberikan gambaran bahwa keris lurus itu memang biasa digunakan sebagai senjata pertahanan oleh kaum perempuan. Namun untuk dianggap sebagai penanda zaman, barangkali hanya akan menimbulkan keruwetan dan kegaduhan di kalangan para pecinta tosan aji.

Dalam buku “Prathelan Dhapur Dhuwung soho Waos” karangan Ronggowarsito, yang sudah diedit oleh Joyosukadgo pada zaman Sunan Paku Buwono X, disebutkan bahwa cundrik pertama kali dibuat oleh Empu Ramadi atas perintah Sri Paduka Mahadewa Buda pada tahun 142 Jawa (sama dengan 220 Masehi). Dinyatakan, bahwa Empu Ramadi membabar keris dhapur Lar Ngatap, dhapur Pasopati dan dhapur Cundrik.

Kebenaran cerita dalam buku itu memang sangat disangsikan. Namun setidaknya buku karya pujangga Keraton Kasunanan Surakarta itu menyiratkan anggapan bahwa keris dhapur cundrik sudah ada jauh sebelum zaman Majapahit.

Terbalik-baliknya sebutan, atau terkadang generalisasi penyebutan, biasanya lebih karena ketidakpahaman atau ketidak tahuan. Namun apapun, yang terpenting, bahwa semuanya dalam nafas dan semangat yang sama, yaitu terus melestarikan dan menggali makna pusaka-pusaka langka tersebut untuk diwariskan kepada generasi penerus.

———

Bahan :

1. Buku Ensiklopedi Keris (Bambang Harsrinuksmo), 2004, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
2. Majalah Keris Edisi 16 Thn. 2009
3. Buku Prathelan Dhapur Dhuwung soho Waos, Joyosukadgo, Surakarta.

———

*Penulis adalah mantan Pemimpin Redaksi Majalah Keris