Situs_Restu Respati

Gunung Bret, Tempat Bertapa Batari Durga

Oleh: Restu Respati

Gunung Bret secara administrasi berada di Dusun Krajan, Desa Randu Agung, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang. Tetapi jika ingin ke Gunung Bret akan lebih mudah lewat Dusun Setran, Desa Bedali, Kecamatan Lawang, Kabupaten Malang. Gunung Bret berjarak sekitar 500 meter dari Lapangan Tembak Bedali Lawang dan sekitar 2 kilometer dari Puslatker TNI AL.

Gunung Bret

Gunung Bret. (Sumber: kliktimes.com).

Nama Gunung Bret disebut di dalam “Tantu Panggelaran”, sebuah karya sastra Jawa berbentuk prosa dan ditulis dalam bahasa Jawa Tengahan.

Tantu Panggelaran menceritakan tentang kisah penciptaan manusia di pulau Jawa. Mula-mula disebutkan bahwa pada zaman dahulu pulau Jawa masih kosong belum dihuni oleh manusia. Pulau Jawa masih bergoyang-goyang karena belum ada penekannya. Oleh karena itu dibutuhkan gunung untuk menekannya. Batara Guru memerintahkan para dewa untuk memindahkan gunung Mahameru dari tanah India (Jambu Dwipa) ke pulau Jawa (Jawa Dwipa). Dipotonglah puncak gunung Mahameru untuk diusung di pulau Jawa. Pada mulanya ditempatkan di ujung barat pulau Jawa, namun yang terjadi adalah pulau Jawa terjungkit dan bagian timur pulau Jawa terangkat ke atas. Kemudian para dewa memindahkannya ke sebelah timur, tetapi dalam perjalanan bagian-bagian gunung tersebut berceceran dan menjadi gunung Katong, Wilis, Kamput, Kawi, Arjuna, Kumukus dan pada akhirnya Semeru. Setelah itu keadaan pulau Jawa tidak bergoncang lagi.

Setelah pulau Jawa tidak bergoncang lagi, Batara Guru memerintahkan Batara Brahma dan Batara Wisnu menciptakan manusia. Mereka menciptakan manusia dari tanah yang dikepal-kepal. Batara Brahma menciptakan manusia laki-laki sedangkan Batara Wisnu menciptakan manusia perempuan. Pada akhirnya kedua manusia tersebut menurunkan seluruh manusia di Jawa.

Pada mulanya manusia masih hidup telanjang, belum dapat membuat pakaian, tinggal di hutan belum mengenal sistem perumahan, belum mengenal sistem bahasa, dan tata cara kemasyarakatan. Dapat dikatakan bahwa saat itu manusia Jawa belum mempunyai peradaban. Batara Guru lalu memerintahkan para dewa untuk turun ke dunia dan mengajarkan berbagai pengetahuan dan ketrampilan bagi manusia Jawa. Pada intinya para dewa mengajar manusia Jawa tentang budaya dan peradaban.

Batara Brahma mengajarkan membuat peralatan dari besi dan disebut ‘pande besi’. Batara Wiswakarma mengajarkan cara membuat rumah dan disebut ‘undagi’. Batara Iswara mengajarkan tentang bahasa dan menjadi guru bagi tetua desa dan disebut ‘Guru Desa’. Batara Wisnu mengajarkan tingkah laku. Batara Mahadewa mengajarkan kerajinan emas dan disebut ‘pande mas’. Batara Ciptagupta mengajarkan melukis dan disebut ‘Empu Ciptangkara’. Selain itu istri Batara Wisnu yang bernama Batara Sri mengajarkan cara memintal, menenun, dan membuat pakaian.

Dari sekian banyak nama gunung yang disebutkan di dalam Tantu Panggelaran , salah satunya adalah “Gunung Bret”. Diceritakan Batari Uma sedang melampiaskan kemarahannya kepada Sang Kumara, anaknya bersama Batara Guru. Diambilnya darah, bulu, dan sumsumnya. Seketika datanglah Batara Guru dan dengan marah ia mengutuk Batari Uma menjadi Batari Durga yang berwujud mengerikan dan berbau busuk. Diusirlah Batari Durga dari Mandaragiri. Lantas ia pergi ke Walandita untuk mengubur darah, bulu, dan sumsum Sang Kumara. Adapun Batari Durga meminta ampun dan penghapusan kutukan. Disuruhlah ia melakukan tapa di dalam bumi. Setelah sekian lama melakukan tapa, kembalilah ia dalam wujudnya yang sejati. Keluarlah ia dari dalam tanah.

Tempat itu bernama Gunung Bret.
Gunung menjadi tempat yang keramat – tempat para dewa. Gunung Bret hanya berjarak sekitar 1 kilometer di sebelah utara Gunung Gondo Mayit (Ganda Mayi), salah satu gunung yang juga dikeramatkan oleh masyarakat. Yang menarik di kaki Gunung Bret terdapat sebuah dusun yang bernama “Setran”. Jika benar kata ini berasal dari kata “Setra”, kemudian ditambahkan imbuhan “n” untuk menunjukkan kata tempat, atau kadang ditambahkan imbuhan “pa + an” hingga menjadi kata “Pasetran”, maka dusun ini menjadi terkait erat dengan cerita yang terdapat pada kisah Tantu Panggelaran.

Setra berarti ladang, daerah, wilayah, atau pekuburan. Jika dihubungkan dengan pekuburan maka setra adalah sebuah tempat yang berhubungan untuk pemujaan atau tempat mayat. Di pulau Bali istilah setra atau pasetran masih dipakai untuk menunjukkan tempat makam atau pengabuan jenazah bagi orang yang meninggal.

Dalam aliran Bhairawa Tantrayana upacara/ritual dilakukan di sebuah tempat yang disebut Ksetra, yaitu sebuah tempat untuk membakar mayat atau kuburan sebelum mayat di bakar. Upacara ini dilakukan dengan tujuan untuk dapat bersatu dengan dewa. Upacara ritual ini disebut Pancamakarapuja.

Gunung Bret berasal dari dua kata yaitu “gunung” dan “bret”. Gunung adalah sebuah bentuk tanah yang menonjol di atas wilayah sekitarnya. Sedangkan “Bret” berasal dari kata “Brit” atau “Abrit”. Abrit merupakan bahasa Jawa krama madya dan krama inggil yang artinya dalam bahasa Indonesia adalah “Merah” (penyebutan bagi warna).

Sepertinya penyebutan nama Gunung Brit/Abrit atau Gunung Merah ini ada benarnya. Menurut penuturan beberapa tentara yang penulis temui di Lapangan Tembak Bedali Lawang, mereka membenarkan bahwa warna tanah di Gunung Bret berwarna merah. Ini mereka saksikan sendiri di saat mereka melakukan latihan tembak di Gunung Bret.
Lalu apa hubungan antara nama Gunung Bret, Dusun Setran, dan Tantu Panggelaran? Silahkan pembaca menyimpulkan sendiri. Bagi penulis Tantu Panggelaran sangat menarik karena menyebutkan dan menceritakan berbagai gunung dan bangunan suci di pulau Jawa. Walaupun sarat dengan mitos, Tantu Panggelaran seakan menjadi semacam buku panduan untuk memahami cerita lokal dan sistem kepercayaan serta nilai budaya masyarakat Jawa.
*Penulis adalah Presidium Sejarah Jawa Timur. Menetap di Kota Malang.