Agus Dermawan T

Borobudur, Bung Karno, dan Walter Spies

Oleh Agus Dermawan T.

Bagi Presiden Sukarno atau Bung Karno, Istana Bogor selalu membawa sejarah kepada Walter Spies, pelukis Jerman keturunan Rusia yang tutup usia di tengah laut itu. Ceritanya begini. 

Syahdan pada 1942 pemerintahan Belanda melemah akibat agresi tentara Nazi pimpinan Hitler di Eropa. Tentara Jepang yang sedang malang melintang di Asia melihat kesempatan ini. Hitungan politik Jepang, apabila Belanda lemah di Eropa, berarti juga lunglai di Hindia Belanda. Dari kesimpulan itu Jepang lantas berusaha mengagresi Hindia Belanda alias Indonesia.

Bersamaan dengan upaya agresi Jepang itu, pemerintah Hindia Belanda yang sedang gusar kepada Jerman melakukan pembersihan atas orang-orang Jerman. Spies ditangkap dan dijadikan tawanan perang. Dari Bali ia bersama ratusan orang Jerman lain dibawa ke Padang. Lalu dari Padang tawanan itu akan dibawa ke Ceylon dengan kapal laut. Ketika sedang melaut di perairan Nias, kapal yang dinaiki Spies dibom Jepang. Tentara Jepang mengira, kapal yang berbendera Belanda itu mengangkut pelarian tentara Belanda. Spies pun tenggelam di laut bersama belasan lukisannya.

Walter Spies (1895-1942)

Walter Spies (1895-1942)

Kapal Van Imhoff, yang membawa Spies

Foto Kapal Van Imhoff, yang membawa Spies, dan dibom Jepang

Apa hubungan cerita itu dengan Istana Bogor? Ini dia : kapal yang ditenggelamkan tersebut bernama “Van Imhoff”. Dan Van Imhoff, kependekan dari nama Gustaaf Willem Baron van Imhoff, tak lain adalah orang yang membangun Istana Bogor!

Bung Karno mengingat sejarah pedih itu. Maka pada suatu kali ia berkata kepada Dullah (Pelukis Istana Presiden periode 1950-1960) agar mencari lukisan-lukisan Walter Spies (kelahiran 1895) untuk menghiasi Istana Bogor. Imhoff dan Spies dianggap memiliki tautan sejarah yang seru dan unik. 

Tentu saja Dullah kelabakan. Karena ia tahu bahwa Spies yang berusia relatif pendek bukanlah pelukis yang produktif. Karyanya sangat langka. Andaipun ada, itu tergantung di beberapa rumah kolektor Eropa. Dullah berulang kali menghubungi Rudolf Bonnet, yang bersama Spies dan Tjokorda Sukawati pernah mendirikan perkumpulan Pita Maha di Bali, 1936. Tak kunjung dapat. “Padahal rumah Spies di Ubud saya jadikan tempat berkumpulnya para pelukis Bali. Harapannya, karya Spies akan kembali lagi ke sini. Tapi tak juga datang,” ujar Bonnet, ditirukan Dullah.

*

Tahun berlalu dan kurun berganti. Bung Karno akhirnya mendapat selembar lukisan Spies. Lukisan itu berjudul “Suatu Pagi di Iseh” (110 x 85 cm) bikinan 1938. Bung Karno sangat terpesona dengan lukisan sangat indah dan penuh cahaya itu, yang menggambarkan pemandangan di sekitar rumah Spies di kawasan Ubud. Tapi Bung Karno belum puas. Dullah terus diminta untuk berburu lukisan Spies. Sayangnya, sampai ia mengundurkan diri dari Istana, tak ada lukisan Spies yang ia dapat.

lukisan Walter Spies “Suatu Pagi di Iseh”, 1938

Foto lukisan Walter Spies “Suatu Pagi di Iseh”, 1938, koleksi Bung Karno.

Lalu terbitlah cerita ini. 

Menjelang tahun 1930 Spies mendapat order membuat poster untuk mempromosikan sejarah Jawa dan Bali Kuno. Order belasan gambar itu disampaikan oleh arkeolog Willem Frederick Stutterheim, dari Universitas Leiden. Pada mulanya Spies tak ingin mengerjakan order itu. Lantaran menurutnya, membuat ilustrasi sejarah itu rumit, apalagi diperuntukkan sebagai poster. Suatu pekerjaan seni yang tidak terlampau bebas, lantaran harus setia kepada tema dan tujuan. Namun karena ia butuh uang untuk merampungkan studionya di kawasan Ubud, Bali, tawaran diterima. 

Berbulan-bulan gambar poster itu dibikin. Ketika baru menyelesaikan 3 gambar, Spies pun menyerah. Ada beberapa hal yang menyebabkan ia menghentikan proyeknya. Di antaranya, selain merasa tak sanggup lantaran betapa sulit membuat gambar sejarah, Spies juga terganggu dengan persyaratan yang mendadak dikeluarkan oleh pihak pengorder : bahwa karya Spies yang sudah jadi akan diseleksi, sesuai dengan kebutuhan. Spies setengah marah atas persyaratan itu.

Tiga karya tersebut lantas diserahkan polosan, karena teks posternya diserahkan kepada Stutterheim. Honorarium pun diserahkan sesuai dengan jumlah gambar yang diselesaikan.

Eh, pada tahun 1964 tiga gambar itu tiba-tiba dipamerkan di Jerman oleh penerbit JB Wolters, dari Belanda. Lukman Hakim, duta besar Indonesia untuk Republik Federasi Jerman yang berkedudukan di Bonn, melihat karya Spies dalam pameran. Di tengah keterpanaan, Lukman mendadak ingat bahwa Presiden Sukarno sangat ingin mengoleksi lukisan Walter Spies. Ia pun berkontak dengan Istana Kepresidenan di Jakarta. Bung Karno tentu sangat senang mendengarnya. Ia lalu menginstruksi Lukman untuk membeli semua gambar itu. Semula penerbit JB Wolters tak menginjinkan gambar tersebut ditransaksi, karena merupakan dokumen langka. Namun pihak Indonesia mengatakan, dan berjanji, bahwa karya-karya itu akan dikoleksi oleh Istana Kepresidenan Indonesia. Pembelian atas tiga karya itu pun terjadi.

Gambar itu berjudul “Kehidupan Keraton Jawa di Zaman Borobudur” (60 x 80 cm), dibuat di atas kanvas tertempel di kayu. “Kehidupan di Borobudur di Abad ke-9” (65 x 80 cm), dibuat di atas kertas dengan tempera dan pastel. Dan “Pertapaan di Abad ke-11” (65 x 85), cat minyak di atas papan. 

Lukisan Walter Spies, “Kehidupan di Borobudur Abad ke-9”.

Foto lukisan Walter Spies, “Kehidupan di Borobudur Abad ke-9”.

Lukisan Walter Spies, “Kehidupan Keraton di Jawa Zaman Borobudur”.

Foto lukisan Walter Spies, “Kehidupan Keraton di Jawa Zaman Borobudur”.

Berbagai referensi tutur menyebut bahwa lukisan itu dicipta berdasarkan penelitian yang mendalam. Spies mengumpulkan berbagai buku, mempelajari sangat banyak prasasti, dan mengamati berbagai relief. Juga berbicara dengan para tetua di Bali dan Jawa. 

*

Yang menarik, Bung Karno tak ingin mengategorikan karya Spies itu sebagai gambar poster. “Itu lukisan. Bukan poster. Seorang pelukis yang diminta membuat gambar poster, ia akan mencipta dengan spirit melukis, dengan paradigma seni lukis,” kata Bung Karno, seperti dikatakan Lim Wasim, pelukis Istana Presiden yang mendampingi Lee Man Fong sejak 1962. 

Dari situ kita diingatkan bahwa lukisan Affandi “Laskar Rakyat Mengatur Siasat” yang jadi koleksi Bung Karno, semula juga gambar untuk poster perjuangan. Pada kemudian hari kita tahu, lukisan “Borobudur” Srihadi Soedarsono juga dipakai sebagai ilustrasi poster pemugaran Candi Borobudur oleh UNESCO, yang berlangsung 1973-1983.

Namun andaipun itu gambar poster, Bung Karno tak keberatan mengoleksinya. Karena ia juga sangat mengapresiasi karya poster sebagai karya seni tinggi. Bung Karno tahu betapa keistimewaan poster terbuhul di banyak penjuru. Seperti poster-poster produksi perusahaan film “negeri imperialis” Amerika semacam Fox, MGM, RKO Pictures yang diburu pencinta seni di Amerika dan Eropa. Sehingga biro lelang internasional sekali waktu melego poster studio edition dengan pencapaian harga yang mencengangkan. 

Balik ke topik, konon lantaran dikoleksi Presiden Sukarno, nama Walter Spies semakin besar. Lukisan Spies bisa berharga belasan sampai puluhan milyar rupiah sepotong. Buku-buku mewah diterbitkan untuk menghormati Spies. Di antaranya adalah buku Walter Spies Collectors Edition, gagasan penulis John Stowell dan Lans Bramantyo, pemilik Afterhours Book selaku penerbit. Ukuran buku ini mukibat, setengah meter! Tepatnya : 50 x 40 cm. Pencetakannya menerapkan 6 warna screening stochastic halus dengan diimbuh foil emas, lalu dikemas dalam kotak kayu yang dirancang spesial. Buku setebal 326 halaman dan berharga Rp50 juta (!) ini memenangi Benny Award 2012 dari Amerika Serikat. Penghargaan tertinggi level internasional untuk cetak dan desain grafis. 

Di dalam buku hebat tersebut terdapat 3 lukisan Spies yang berkaitan dengan Borobudur itu. ***

*Penulis adalah Pengamat Seni dan Konsultan Koleksi Benda Seni Istana Presiden.