Renaisans Di Tano Batak: Dari Sekolah Tanobato Dan Seterusnya….

Oleh Imran Hasibuan

Awal tahun 1842. Eduard Douwes Dekker, berusia 22 tahun, tiba di Padang. Pemuda Belanda ini datang dari Batavia, tempat dimana ia bekerja sebagai pegawai di di Algemene Regenkamer (Dewan Pengawas Keuangan), dan sedang mengalami depresi karena patah hati. Oleh Gubernur Sumatra Barat, Kolonel Andreas Victor Michiels, Eduard ditugaskan sebagai kontrolir di Natal– sebuah kota kecil di Pantai Barat Sumatra yang terpencil.

Natal masa itu masih termasuk wilayah Sumatra Barat. Situasi keamanan belum lagi pulih sepenuhnya, karena Perang Paderi (1803-1838) belum lama berakhir. Begitupun, dengan penuh semangat Eduard Douwes Dekker segera berlayar ke Natal. Di dekat pantai kapal yang membawanya karam. Ia pun terpaksa berenang untuk mencapai tempat tugasnya yang baru.

Segera saja, sang kontrolir menjadi terkenal di Natal. Di kota yang masih tergolong “wild west khatulistiwa” itu ia menjalankan tugasnya dengan antusias. Ia melakukan perjalan inspeksi yang jauh dengan berkuda, mengerjakan administrasi, dan mengadili perkara. Eduard juga pernah menyelamatkan seekor anjing dari laut yang penuh ikan hiu. Ia memihak dua kepala dusun bumiputera melawan pemerintah kolonial Hindia-Belanda yang lebih tinggi, memulai menegakkan hukum terhadap seorang lintah darat bernama Spiess. Bahkan, ia berani menentang atasannya: Gubernur Michiels.

Di Natal Eduard Douwes Dekker bertugas tak sampai tiga tahun. Tapi, di kota terpencil itulah ia menulis karangan pertamanya yang terkenal, dan memperlihatakan gaya multatulian, berjudul Losse Bladen uit het Dogbock van een Oud Man (Halaman-halaman Lepas dari Buku Harian Seorang Lelaki Tua). Karya kuasi-otobiografis ini sangat menarik perhatian. Dari karya tulisnya ini bisa dilihat sikap dan karakter merdeka sang penulis. Dalam salah satu paragraf buku ini, Eduard menulis: “Bertahun-tahun aku harus meringkuk di bawah perbudakan; aku, yang lahir untuk berkuasa, sebagai permulaan harus menurut dengan patuh….biarlah!” Di paragraf lain, Eduard menulis: “Aku menyatakan diri bebas merdeka dari segala ikatan lembaga kemasyarakatan; aku menjadi jahat, tapi kejahatan padaku berhenti jadi kejahatan. Kejahatanku terbit dari keyakinan, dari prinsip-prinsip. Jika prinsip-prinsip itu tidak murni dan keyakinanku tidak beralasan, maka kejahatan itu paling-paling… suatu kekeliruan.”

Gaya hidupnya yang aristokratis  dan bringasan, membuat ia segera mendapat julukan “Sang Lord yang eksentrik”. Menurut catatan William Frederik Hermans dalam bukunya, Multatuli Yang Penuh Teka-Teki (Djambatan, 1988), menjadi pejabat pemerintah di usia sangat muda (waktu itu orang baru dianggap dewasa kalau sudah mencapai usia 23 tahun), membawa hal-hal yang tidak pernah dipelajarinya di negeri Belanda. Di Natal yang terpencil itulah, benih-benih “pemberontakan” dalam jiwa Eduard Douwes Dekker bersemi, dan memuncak dalam mahakarya yang monumental: Max Havelaar.

Dua puluh tahun kemudian, 1862, Willem Iskander atau Satie Nasution, yang baru pulang dari Belanda, membuka sekolah guru di Tanobato— hanya puluhan kilometer dari Natal. Willem Iskander pula yang memulai tradisi menulis buku modern dengan menggunakan kertas dan aksara Latin. Willem Iskander menulis buku ketika masih studi di Negeri Belanda.  Buku yang dihasilkan Willem Iskander, antara lain, berjudul ‘Boekoe Parsipodaon di Dakdanak di Sikola’,diterbitkan pertama kali 1862. Buku ini merupakan buku pelajaran sekolah yang pertama ditulis oleh pribumi. Buku lainnya dari Willem Iskander yang diterbitkan adalah: Hendrik Nadenggan Roha, yang merupakan terjemahan dari De Brave Hendrik (karangan Nicolaas Anslijn), diterbitkan di Padang oleh penerbit Van Zadelhoff, 1865;  Barita na Marragam, merupakan saduran dari buku karangan J.R.P.F. Gongrijp, Batavia 1868;  Baku Basaon, terjemahan buku karangan W.C. Thurn. Batavia, 1871.

Foto Willem Iskander

Buku hasil karya Willem Iskander yang sangat terkenal berjudul ‘Si-Boeloes-boeloes, Si-Roemboek-roemboek: Boekoe Basaon’, diterbitkan pertama kali di Batavia oleh Landsdrukkerij (Percetakan Negara) tahun 1872. Buku ini merupakan kumpulan prosa dan puisi Willem Iskander sendiri. Pada tahun 1903 dan 1906 dan 1915 buku ini dicetak ulang. Buku ini diterbitkan kembali tahun 1976, diterjemahkan oleh Basyral Hamidy Harahap ke dalam bahasa Indonesia.

Karena Sekolah Tanobato kualitasnya bagus, dua tahun kemudian diambil-alih pemerintah kolonial dan dijadikan sebagai sekolah guru negeri atau Kweekschool. Sekolah guru ini merupakan yang ketiga didirikan di Hindia-Belanda, setelah di Soerakarta dan Fort de Kock (Bukit Tinggi). Setelah berjalan beberapa lama dan dinilai cukup berkualitas, Kweekschool Tanobato direncanakan untuk ditingkatkan kapasitasnya dan dipindahkan ke Padang Sidempuan. Willem Iskander sendiri kemudian dikirim pemerintah untuk studi ke Negeri Belanda untuk mendapatkan akte kepala sekolah. Kweekschool Tanobato kemudian ditutup, dan Willem Iskander berangkat ke Belanda lagi di tahun 1875. Tapi, setahun kemudian, Willem Iskander meninggal dunia di Belanda.

Buah Politik Etis

Dunia pendidikan merupakan hal terbaik yang dihasilkan kebijakan Politik Etis Hindia Belanda. Salah satu hasil penting penerapan Politik Etis dalam masyarakat Hindia Belanda sejak akhir abad 19 adalah telah menimbulkan semacam “pertukaran mental” antara orang-orang Belanda dan orang-orang pribumi. Kalangan pendukung Politik Etis merasa prihatin terhadap pribumi yang mendapatkan diskriminasi sosial-budaya. Untuk mencapai tujuan tersebut, mereka berusaha menyadarkan kaum pribumi agar melepaskan diri dari belenggu feodal dan mengembangkan diri menurut model Barat, yang mencakup proses emansipasi dan menuntut pendidikan ke arah swadaya.

Sebagaimana sejumlah daerah lain di Hindia-Belanda, wilayah Afdeeling Mandailing-Angkola juga terimbas semangat politik etis tersebut. Di masa itu berbagai fasilitas pendidikan yang menjadi ujung tombak Politik Etis telah berkembang pesat di sejumlah kota kecil di sana, seperti Padang Sidempuan, Panyabungan, dan Sipirok.

Keadaan politik yang relatif stabil di bawah pemerintahan kolonial, menyebabkan kemajuan ekonomi dan peningkatan prasarana dan sarana di daerah tersebut. Harga-harga kebutuhan pokok turun drastis, terutama setelah dibuka jalan raya yang menghubungkan wilayah Tapanuli dengan Deli, hingga Sibolga dan Padang. Sarana lalu lintas yang baru sangat memudahkan perdagangan sehingga barang-barang yang belum pernah dikenal menjadi tersedia. Lapangan kerja semakin luas dengan berbagai macam pekerjaan yang sebelumnya tidak dikenal. Sistem pendidikan modern menjadi sarana mobilisasi sosial yang membuka peluang kepada golongan masyarakat bawah, dan kesehatan modern mendorong kesejahteraan rakyat. (Kozok 2010, 78)

Sejak pertengahan abad ke 19 Afdeeling  Mandailing-Angkola juga berubah secara ekonomi dan budaya. Wilayah yang pernah luluh-lantak akibat serangan Kaum Paderi itu berkembang pesat. Jalan-jalan dibangun untuk membuka daerah itu bagi perdagangan. Para pegawai pemerintah kolonial berusaha membersihkan kampung-kampung dan menghilangkan kebiasaan-kebiasaan yang tidak higenis dan dinilai biadab. Tenaga medis yang menangani kesehatan, antara lain dua orang lulusan sekolah kedokteran untuk kaum pribumi di Batavia, School tot Opleiding van Indische Artsen (STOVIA), yang pulang ke kampung halaman, pada tahun 1857. Kedua tokoh itu adalah Si Asta dan Si Angan.

Pada 1871, Padang Sidempuan telah ditetapkan sebagai ibukota Afdeeling Mandailing Angkola, menggantikan Panjaboengan. Pertumbuhan Padang Sidempuan di paruh kedua abad ke- 19 itu terbilang pesat. Hal ini terlihat dari berbagai fasilitas umum yang diperuntukkan terutama untuk orang-orang Eropa dan pegawai (ambtenaar) pemerintah kolonial dan kaum bangsawan setempat. Memang, di masa itu komunitas orang-orang Eropa di Padang Sidempuan dari waktu ke waktu makin bertambah. Orang-orang Belanda yang tinggal di Padang Sidempuan selain pejabat pemerintah dan kalangan guru, juga ada wisatawan, peneliti, serta investor perkebunan kopi. Juga polisi dan pasukan militer.

Di tahun 1880, di Padang Sidempuan sudah tersedia berbagai fasilitas umum dan pendidikan yang cukup memadai, seperti: garnisun/markas militer, kantor dan rumah dinas Residen dan para pejabat pemerintah kolonial lainnya, kantor pos dan telegraf, pasar, rumah sakit, pengadilan dan penjara, pesanggrahan, beberapa sekolah dasar, dan sebuah sekolah guru.

Pada 1873, Departement van Onderwijs di Batavia merencanakan pendirian sekolah dasar pemerintah atau Inlandsche School, jumlahnya sebanyak 10 sekolah di seluruh Keresidenan Tapanoeli. Dari sepuluh sekolah dasar pemerintah yang dibangun di Keresidenan Tapanoeli masa itu, delapan di antaranya berada di Afdeeling Mandailing-Angkola. Dan salah satu sekolah dasar pemerintah yang terbaik berada di Padang Sidempuan. Sekolah yang kemudian dikenal dengan nama ‘Sikola Topi Saba’ ini menjadi tempat tujuan baru untuk bersekolah bagi anak-anak dari pemukiman di pusat kota dan anak-anak yang berasal dari kawasan ‘parsabaan'(persawahan, pinggiran atau pedalaman) seperti Batang Ajoemi, Tanobato, Sigiring-giring, Sihadabuan, Panyanggar, dan Sidangkal.

Sesuai rencana pemerintah kolonial Belanda, tahun 1879 dibuka Kweekschool Padang Sidempuan, dengan kepala sekolah Mr. Harnsen. Pada tahun 1883 posisi Harnsen digantikan oleh salah seorang guru Kweekschool Padang Sidempuan bernama Charles Adriaan van Ophuijsen. Putra mantan Kontrolir Natal ini berdinas sebagai guru di Padang Sidempuan selama delapan tahun, dan lima tahun terakhir sebagai direktur sekolah tersebut. Saat dipimpin Van Ophuijsen, Kweekschool Padang Sidempuan pernah dinobatkan sebagai sekolah guru terbaik di Hindia-Belanda. Van Ophuijsen, yang belajar bahasa Batak dan bahasa Melayu di Mandheling en Ankola, kelak menjadi penyusun tata bahasa Melayu dan ejaan Ophuijsen, serta menjadi guru besar  tata-bahasa dan sastra Melayu di Universitas Leiden.

Sejumlah lulusan Kweekschool Padang Sidempuan berperan penting dalam mendorong semangat kebangsaan di Tapanuli, bahkan di kalangan bangsa Indonesia. Dua tokoh yang pantas disebut adalah Dja Endar Moeda dan Soetan Casajangan Soripada.

Dja Endar Moeda dikenal luas sebagai “Raja Surat Kabar Sumatra” di masa itu. Tokoh ini dikenal sebagai orang pribumi pertama yang memiliki percetakan di Sumatra. Dja Endar Moeda juga merupakan jurnalis andal, yang menjadi pemimpin redaksi, bahkan pendiri dan pemilik sejumlah surat kabar yang terbit di Padang, Sibolga, Medan, sampai Aceh. Dja Endar Moeda alias Haji Mohamad Saleh, lahir di Padang Sidempuan, Tapanuli, tahun 1861. Setelah tamat sekolah guru (Kweekschool) di Padang Sidempoean di tahun 1884, Dja Endar Moeda diangkat pemerintah Hindia-Belanda sebagai guru di Air Bangis sebagai guru bantu. Kemudian ia dipromosikan sebagai kepala sekolah di Batahan, Natal, tahun 1886. Karena cukup mahir menulis dalam bahasa Belanda, ia ditunjuk menjadi editor-koresponden majalah Soeloeh Pengadjar yang terbit di Probolinggo.

Dalam perjalanan pulang dari menunaikan ibadah haji di tahun 1893, Dja Endar Moeda memutuskan tinggal di Padang. Ia kemudian menerima tawaran pekerjaan sebagai editor di surat kabar Pertja Barat, yang didirikan seorang pengusaha cum jurnalis Tionghoa, Lie Bian Goen, di tahun 1894. Pada 1900, tatkala Insulinde diterbitkan, Dja Endar Moeda ditunjuk sebagai pemimpin redaksi. Di bawah kepemimpinannya, Pertja Barat menjadi koran yang disegani dan berkembang pesat. Dja Endar Moeda dikenal sebagai redaktur yang berani. Tulisan-tulisannya yang kritis sekaligus tulus terhadap para pejabat pemerintah Hindia-Belanda membuat ia disegani para jurnalis Belanda sekalipun.

Tak hanya sebagai jurnalis, Dja Endar Moeda juga berbakat sebagai pengusaha media. Pada 1905, ia membeli percetakan Insulinde, yang menjadikannya pribumi pertama di Sumatra yang memiliki percetakan. Tak lama kemudian, ia dikenal luas sebagai “Raja Surat Kabar Sumatra” di masa itu. Ia mendirikan dan menjadi pemilik sejumlah surat kabar yang terbit di Padang, Sibolga, Medan, sampai Aceh. Surat-kabar terkenal di masa itu yang dipimpinnya, antara lain: Tapian Na Oeli (terbit di Sibolga), Pertja Barat (terbit di Padang), Pewarta Deli (terbit di Medan), dan Pemberita Atjeh. Gagasan utama Dja Endar Moeda adalah meningkatkan peran kaum terpelajar dalam memajukan bangsa Indonesia melalui sekolah dan pers.

Pewarta Deli mulai terbit tahun 1910. Dja Endar Moeda tampil sebagai pemimpin redaksinya saat awal terbit. Ia bekerjasama dengan beberapa pedagang yang berasal dari Tanah Batak, dengan mendirikan Sjarikat Tapanuli yang menjadi penerbit Pewarta Deli. Tapi, tak lama kemudian, ia berselisih paham dengan para pemegang saham Sjarikat Tapanuli, dan memutuskan hengkang dari Pewarta Deli. Sepeninggal Dja Endar Moeda, Pewarta Deli berhasil berkembang pesat menjadi suratkabar terkemuka—terutama di masa kepemimpinan Adinegoro (1932-1942)– yang peredarannya mencapai seluruh Sumatra, Jawa, beberapa daerah di Sulawesi dan Kalimantan, bahkan di luar Hindia-Belanda.

Dja Endar Moeda sendiri tak berhenti mendirikan suratkabar. Ia, misalnya, menerbitkan Pemberita Atjeh dan Bintang Atjeh di Kutaraja, meski kurang sukses. Di Padang, ia mendirikan beberapa surat kabar lain. Ia juga masih ikut menangani Pertja Barat, yang merupakan salah satu koran paling berpengaruh di Padang dan Sumatra Barat. Koran ini tak hanya terkenal di Padang, bahkan sampai ke Jawa sekalipun. Oplahnya relatif  besar untuk ukuran masa itu, mencapai 1.000 eksemplar. Iklannya juga berlimpah: dua dari empat halaman Pertja Barat, penuh berisi iklan. Di koran ini, ia dibantu adik kandungnya yang juga jurnalis andal: Dja Endar Bongsoe. Karena persaingan pasar yang ketat di Padang, sikap Pertja Barat terhadap koran lainnya kadang tidak bersahabat. Tapi, itu tak mengurangi misi utama Dja Endar Moeda untuk memajukan kesadaran anak negeri terhadap kemajuan dan kebangsaan Indonesia.

Soetan Casajangan Soripada (1874-1927), juga kelahiran Padang Sidempuan. Soetan Casajangan Soripada (nama kecilnya Rajiun Harahap) lahir 30 Oktober 1874,  di Batunadua, Padang Sidempuan, yang saat itu menjadi ibukota Afdeeling Mandailing-Angkola. Kakeknya adalah seorang kepala kuria (kepala adat) di Batunadua bernama Patuan Soripada, yang merupakan salah satu tokoh penting dalam melawan invasi Padri di Tapanuli. Ayah Soetan Casajangan bernama Dja Tagor gelar Mangaraja Sutan dan ibunya bernama Sajo Intan. Dja Tagor adalah satu-satunya kepala kuria di Tanah Batak yang sempat mengenyam pendidikan barat dan belajar banyak dari pergaulannya dengan orang-orang Eropa. Mangaraja Sutan adalah pelopor penghapusan perbudakan di Mandailing-Angkola pada tahun 1863 juga aktif untuk meredakan kekacauan yang terjadi di daerah Padang Lawas.

Setelah ayahnya meninggal dunia, Soetan Casajangan, sebagai anak pertama dari tiga bersaudara, semestinya berhak mewarisi jabatan ayahnya. Tapi, justru Soetan Casajangan meminta adiknya mengambilalih jabatan ‘kepala adat’ itu. Soetan Casajangan ingin berjuang seperti ayah dan kakeknya: meretas mimpi untuk melanjutkan pendidikannya di Eropa. Hal itu ia lakukan setelah menyelesaikan pendidikan di Kweekschool Padangsidempuan (Pendidikan Guru Tingkat Atas).

Setelah menyelesaikan pendidikannya di Kweekschool Padang Sidempuan, Soetan Casayangan berangkat ke Belanda tahun 1904. Di negeri Belanda, ia melanjutkan pendidikan di sekolah guru di Haarlem selama satu tahun sembilan bulan. Kemudian Soetan Casajangan menjadi asisten Prof. Charles Adriaan van Ophuijsen, di Rijksuniversiteit Leiden untuk mata kuliah Bahasa Melayu, Sejarah Indonesia, Islam, Daerah dan Penduduk Indonesia. Pada Juni 1908, Soetan Casajangan menggagas pembentukan Indische Vereeniging atau Perhimpunan Hindia, dan ia terpilih sebagai ketua pertama organisasi tersebut.

Pada tahun 1913, Soetan Casajangan menerbitkan sebuah buku kecil atau brosur berjudul: ‘Indische Toestanden Gezien Door Een Inlander’ (Negara Bagian di Hindia Belanda dilihat oleh Penduduk Pribumi). Brosur ini adalah sebuah monograf (kajian ilmiah) yang mendeskripsikan dan membahas tentang perihal ekonomi, sosial, sejarah budaya Asia Tenggara (Nusantara), khususnya pembangunan pertanian di Indonesia.

Meski masih dalam kerangka berpikir loyalis Kerajaan Belanda, brosur itu telah dilengkapi dengan sejumlah nada kritis. Soetan Casajangan mengemukakan tuntutan yang mendasar, bahwa persamaan di hadapan hukum bagi orang pribumi dan orang Belanda harus segera diwujudkan. Hal ini, tulis Soetan Casajangan: “…. mengacu pada hak yang lebih tinggi, yaitu hak asasi manusia. Apakah semua orang di negeri Belanda sama semua sifatnya, tabiatnya, kebajikannya, dan kemajuannya? Tidak ‘kan? Tapi, di hadapan undang-undang, semua orang di negeri Belanda sama, ‘kan?”

Soetan Casajangan mengambil contoh-contoh dari sejarah Tanah Batak untuk membuktikan kebenaran tuntutannya itu. Kesamaan di hadapan hukum itu harus berarti juga pemerintah secara luas menyelenggarakan pengajaran; dan waktu itu juga kembali ia mengemukakan rencananya mengenai program beasiswa untuk anak-anak kaum pribumi. Penerangan pertanian dan penggalakkan perdagangan pun juga merupakan tugas penguasa kolonial. Dengan menjadikan orang pribumi sama dalam hukum, dan dengan membuat mereka sama dalam kemajuan lewat pengajaran, maka mereka pun akan sama, kata Soetan Casajangan “dalam menyatakan kesetiaan dan keterikatan, dan dalam menghormati bendera Belanda.” (Poeze, 2008:81)

Brosur ini mendorong penyatuan yang lebih besar di kalangan perhimpunan kaum pribumi, seperti Perhimpunan Hindia (digagas oleh Soetan Casajangan dan kawan-kawan di Belanda), Boedi Oetomo (digagas oleh Wahidin Soedirohusodo dan dr. Soetomo di Batavia) dan Sarikat Dagang Islam (yang didirikan Haji Samanhudi di Solo). Brosur ini cukup mengejutkan berbagai pihak di kalangan orang Belanda, baik di Negeri Belanda maupun di Hindia Belanda. Bisa dikatakan, brosur ini adalah karya pertama orang pribumi yang diterbitkan dan diedarkan di Eropa. Lewat buku yang dicetak di Baarn oleh percetakan Hollandia-Drukkerij itu Soetan Casajangan menggugah warga Belanda untuk memperhatikan apa yang terjadi di Hindia.

Selama bermukim di Belanda, Soetan Casajangan juga menjadi mentor para pelajar dan mahasiswa yang belajar di Belanda, terutama yang berasal dari Tapanuli, tanah kelahirannya. Beberapa diantaranya kemudian menjadi tokoh terkemuka: Todoeng Soetan Goenoeng Moelia (pernah menjadi anggota dan Wakil Ketua Volksraad dan Menteri Pengajaran dalam Kabinet Sjahrir), Abdoel Firman gelar Mangaradja Soangkoepon (mahasiswa ilmu hukum di Leiden, yang kemudian dikenal sebagai vokalis Volksraad), dan Sorip Tagor Harahap (pelopor pendidikan kedokteran hewan di Indonesia).

Pertengahan 1908, Soetan Casajangan melontarkan gagasan membentuk sebuah perkumpulan pemuda-pemudi Indonesia di negeri Belanda kepada Mr. J.H. Abendanon, salah seorang tokoh penggagas dan pendukung utama Politik Etis. Gayung bersambut, gagasan tersebut mendapat dukungan dari Abendanon. Maka, digelar pertemuan di kediaman Soetan Casajangan di Leidan, 25 Oktober 1908. Enambelas orang pemuda dan mahasiswa Indonesia berkumpul di sebuah rumah di Hoogewoerd 49, Leiden. Mereka berkumpul atas undangan sang tuan rumah: Soetan Casajangan Soripada. Suasana hikmat menaungi pertemuan tersebut.

Dalam pertemuan itu, Soetan Casajangan memaparkan gagasannya untuk mendirikan perkumpulan orang-orang Hindia- Belanda, termasuk pemuda dan mahasiswa, di negeri Belanda. Gagasan tersebut serta-merta diterima para hadirin yang hadir. Rapat tersebut kemudian menunjuk komisi persiapan yang beranggotakan empat orang: Soetan Casajangan, R.M. Sumitro, R.M.P. Sosrokartono (abang kandung Raden Ajeng Kartini), dan R. Hoesein Djajadiningrat. Tugas komisi ini adalah semacam panitia penyusunan anggaran dasar Perhimpunan Hindia (Poeze, 2008).

Rapat kemudian berlanjut pada 15 Nopember 1908 di Restoran Oost en West di Den Haag. Dari pertemuan tersebut ditetapkan bahwa tujuan umum organisasi ini adalah untuk memajukan kesejahteraan dan persaudaraan orang Indonesia yang berada di negeri Belanda. Maka, lahirlah Indische Vereeniging atau Perhimpunan Hindia. Soetan Casajangan pun didaulat sebagai Ketua Perhimpunan Hindia yang pertama, sedangkan R.M. Soemitro terpilih sebagai sekretaris merangkap bendahara

Dibawah pimpinan Soetan Casajangan, Perhimpunan Hindia merintis dan menata solidaritas kaum pribumi Indonesia yang tengah belajar di negeri Belanda. Kelak beberapa tahun kemudian, organisasi yang digagas Soetan Casajangan ini berubah menjadi Perhimpunan Indonesia—salah satu pelopor pergerakan kebangsaan Indonesia.

Selain Perhimpunan Hindia, gagasan Soetan Casajangan yang direspon kalangan elit di Belanda adalah mengenai program beasiswa bagi anak-anak kaum pribumi. Berkat seruan dalam bentuk surat pembaca yang dikirimkannya ke suratkabar-suratkabar Belanda, ia memperoleh hasil yang cukup besar. Pernyataan simpati datang dari Ratu Emma, Pangeran Hendrik, dua bekas gubernur jenderal Hindia-Belanda, dan banyak orang lainnya. Pernyataan kesanggupan mengirim uang untuk program beasiswa itu datang mengalir. Sehingga pada akhir April 1930, atas dukungan dari Abendanon, mantan Menteri Pengajaran Belanda, dilangsungkanlah pembentukan dana seperti diusulkan Soetan Casajangan. Implementasi dari gagasan Soetan Casajangan ini adalah didirikannya Juliana Instituut. Dana abadi yang dikelola Juliana Institut ditujukan untuk persatuan dan kemajuan di Hindia-Belanda.

Pada 1914, Soetan Casajangan pulang ke tanah air. Mula-mula ia ditugaskan menjadi guru di Bogor. Beberpa bulan kemudian, ia ditempatkan menjadi guru di Sekolah Raja di Fort de Kock (Bukit Tinggi). Kemudian, ia juga pernah mengajar di berbagai tempat, seperti di Ambon, Dolok Sanggul (Tapanuli), dan Batavia. Mata pelajaran yang diajarkan oleh Soetan Casajangan meliputi matematika, ilmu ukur, sejarah, biologi, botani, fisika dan geografi. Tentu saja Soetan Casajangan mengajar bahasa Melayu dan bahasa Belanda. Pada periode 1917-1918 Soetan Casajangan menjadi asisten J.H. Nieuwenhuys dan D.A. Rinkes (penasehat urusan pribumi).

Soetan Casajangan pernah mengundang dalam suatu pertemuan tokoh-tokoh di daerah asalnya  (termasuk pegawai negeri pribumi) maupun perwakilan dari organisasi di akhir Agustus tahun 1915. Tema pidatonya dalam pertemuan itu tentang Kemakmuran di Nusantara yang dapat dikaitkan dengan ‘Pemerintahan Kolonial’  yang menitikberatkan kepentingan penduduk yang erat terkait dengan orang-orang dari pemerintah. Soetan Casajangan bertanya pada dirinya sendiri bagaimana orang bisa melindungi kepentingan sendiri dan orang-orang dari pemerintah jika mereka tidak punya senjata. Sarannya itu disambut para hadirin dan sebuah korps relawan dibentuk. Empat hari kemudian permintaan resmi yang ditandatangani oleh delapan puluh orang telah disampaikan kepada Asisten Residen. Hari berikutnya diresmikan dan dihadiri oleh Asisten Residen.

Di Padang Sidempuan, kampung halamannya, Soetan Casajangan menerbitkan surat kabar berbahasa Batak: Poestaha. Kehadiran koran berkala ini tidak saja telah memberikan pengetahuan bagi rakyat di Padang Sidempuan dan sekitarnya, tetapi juga telah membangkitkan kesadaran kebangsaan atas ketidakadilan pemerintah kolonial Belanda. Salah seorang anak-didiknya yang menjadi tokoh kebangkitan kebangsaan melalui Poestaha ini adalah Parada Harahap, yang kelak menjadi tokoh pers nasional. Parada Harahap pernah menjadi pemimpin redaksi Poestaha. Beberapa kali Parada Harahap ditangkap dan dipenjarakan oleh Belanda di Padang Sidempuan karena sering menulis artikel di Poestaha tentang ketidakadilan yang dialami masyarakat.

Jabatan terakhir Soetan Casajangan adalah Direktur Normaal School di Meester Cornelis, Batavia. Tapi, karena kondisi kesehatannya yang terus menurun, ia pun mengundurkan diri. Tak lama setelah pengunduran diri itu, ia meninggal dunia 2 April 1927 karena serangan stroke.

Alumni Kweekschool Padang Sidempuan lainnya kebanyakan berkiprah sebagai guru di berbagai wilayah. Muhammad Taif Nasution, misalnya, menjadi guru di Aceh. Taif Nasoetion adalah ayah dari Muhammad Amin Nasoetion (sering disebut S.M. Amin), yang merupakan gubernur pertama dan ketiga Sumatra Utara. Setelah dari Aceh, Taif Nasution kembali ke Manambin, Mandailing, kampung halamannya. Ada pula Adem Loebis, yang juga menjadi guru di Aceh. Adem Loebis adalah ayahanda Kolonel Zulkifli Lubis, yang berkarir di militer bidang intelijen hingga pernah menjadi Wakil KSAD.

Juga tercatat Hoemala Mangaradja Hamonangan bersekolah di Kweekschool Padang Sidempuan di akhir abad ke-19. Setelah lulus dari Kweekschool Padang Sidempuan, ia menjadi guru di Sipirok. Tapi, beberapa tahun kemudian, Mangaradja Hamonangan mengundurkan diri dan beralih menekuni perdagangan hasil bumi. Mangaradja Hamonangan adalah ayah Todung Sutan Gunung Mulia (Menteri Pengajaran RI di masa awal kemerdekaan) sekaligus paman Amir Sjarifuddin Harahap (yang pernah menjabat Perdana Menteri dan Menteri Pertahanan RI).

Dari kalangan pers, pantas dicatat pula nama Mangaradja Salambuwe, pemimpin redaksi Pertja Timoer, surat-kabar yang terbit di Medan pada 1902. Pertja Timoer adalah suratkabar berbahasa Melayu pertama di Medan. Mangaradja Salambuwe, berasal dari Angkola Jae, tak jauh dari Padangsidempuan. Ia lulusan Kweekschool Tanobato. Mangaradja Salambuwe, seperti dicatat Muhammad TWH dalam buku Sejarah Perjuangan Pers di Sumatra Utara, dikenal sebagai tokoh yang tidak mengenal rasa rendah diri. Dibawah kepemimpinannya, Pertja Timoer, milik seorang Belanda bernama J.Hallerman, tampil dengan pemberitaan yang kritis terhadap kebijakan pemerintah Hindia-Belanda, juga terhadap Kesultanan Deli.

Suatu kali, di awal abad 20 itu, Sultan Deli Maimun Al Rasyid—yang memiliki kekayaan berlimpah karena investasi modal asing besar-besaran di wilayahnya—membangun gedung pengadilan atau mahkamah yang megah. Letak gedung mahkamah itu tak jauh dari Istana Sultan Deli. Diatap gedung mahkamah itu dibuat patung neraca sebagai lambang keadilan. Tapi, ternyata patung neraca itu terlihat berat sebelah alias miring.

Nah, neraca miring itupun segera menjadi bahan kritikan Mangaradja Salambuwe. Dalam salah satu tulisannya di Pertja Timoer menyinggung soal kemiringan neraca itu sambil mengemukakan kesangsiannya tentang penegakan keadilan terhadap perkara-perkara yang disidangkan di gedung mahkamah tersebut.

Demi membaca kritikan itu, Sultan Maimun Al Rasyid marah besar. Hanya saja, sang sultan tak berani secara terbuka menentang Salambuwe, karena paham betul bahwa yang dihadapinya adalah seorang “pendekar pena” yang disegani di Kota Medan.

Maka, Sultan Maimun pun mendatangi kantor redaksi Pertja Timoer dengan maksud agar tulisan yang kritis itu dicabut. Tapi, tentu saja Salambuwe tak mau menanggapi permintaan itu. Malah, ia meminta Sultan Maimun agar membenahi patung neraca yang miring itu. Singkat kata, tak dicapai kata sepakat. Sultan Maimun yang merasa dipermalukan di depan publik, akhirnya memutuskan merubuhkan gedung mahkamah nan megah tersebut.

Di lain waktu, Mangaradja Salambuwe melontarkan kritik terhadap pemerintah Belanda. Ceritanya, saat terjadi kerusuhan di Padang, Salemba menulis peristiwa itu dengan gaya satire. Ia menulis bahwa akibat kerusuhan itu akan didatangkan pasukan yang besar ke Padang. Akibatnya, kata Salambuwe dengan nada berolok-olok, kedatangan pasukan dalam jumlah besar akan membuat pasaran menjadi ramai, dan harga ayam pun akan menjadi mahal.

Satire itu membuat pemerintah Hindia-Belanda tersengat. Residen Belanda pun memanggil Salambuwe untuk menegurnya. Tapi, sang jurnalis menjawab bahwa tulisannya itu tak berdosa apa-apa. Dan memang pemerintah pun tak bisa mengenakan pasal hukum terhadap tulisan tersebut.

Generasi Selanjutnya

Dari generasi yang lebih muda, ada beberapa tokoh asal Afdeeling Mandailing-Angkola yang layak dicatat. Diantaranya adalah Mohammad Djamil gelar Mangaradja Ihutan, yang memimpin Pewarta Deli sepeninggal Dja Endar Moeda, sejak tahun 1923 hingga tujuh tahun lebih. Tokoh ini kelahiran Kampung Sabadolok, Kotanopan, tahun 1895. Sebagaimana kaum jurnalis di masa itu, Mangaradja Ihutan adalah wartawan alam alias otodidak.

Karir jurnalistik awalnya tidak tercatat dengan jelas. Tapi, integritas dan keandalannya sebagai jurnalis tentunya sudah diakui masyarakat. Itulah sebabnya ia ditunjuk para pemegang saham Sjarikat Tapanuli sebagai pemimpin redaksi Pewarta Deli di tahun 1923. Dibawah kepemimpinannya Pewarta Deli tampil kritis terhadap pemerintah Belanda. Akibatnya, Mangaradja Ihutan menjadi langganan persdelict, dan berkali-kali masuk penjara karena hal itu. Salah satunya ia pernah dihukum tiga bulan penjara karena dianggap menghina pejabat Hindia Belanda dalam salah satu tulisannya di Pewarta Deli.

Di tahun 1930, tanpa alasan yang jelas, Mangaradja Ihutan mengundurkan diri dari Pewarta Deli. Ia lalu mendirikan korannya sendiri yang diberi nama Sinar Deli. Selama 12 tahun kemudian, hingga pasukan pendudukan Jepang datang ke Indonesia, Mangaradja Ihutan memimpin Sinar Deli, dan seakan identik dengannya. Koran ini cukup berhasil menjadi pesaing Pewarta Deli.

Kebenciannya kepada kaum penjajah sangatlah besar. Itulah sebabnya, di masa perang kemerdekaan, Mangaradja Ihutan langsung turun ke gelanggang pertempuran dengan memimpin pasukan melawan pasukan Belanda yang berniat menjajah kembali Indonesia. Ia tercatat sebagai Ketua Volksfront atau Persatuan Perjuangan di Medan Timur, dengan tugas membentuk pasukan perjuangan rakyat di sekitar Medan Area.

Dari kalangan pendidik cum politisi ada nama Todoeng Soetan Goenoeng Moelia Harahap, yang lahir- tumbuh bersamaan dengan maraknya semangat Politik Etis dan berkembangnya gerakan zending di Tanah Batak. Moelia lahir di Padang Sidempuan, 21 Januari 1896, sebagai putra satu-satunya dari sebuah keluarga Kristen generasi kedua Batak Angkola, di kawasan Tapanuli Selatan.

Kakeknya, Ephraim Soetan Goenoeng Toea (1840-1916), adalah salah sseorang pemeluk Kristen awal di Tanah Batak. Sang kakek kemudian menduduki jabatan resmi tertinggi untuk pribumi di masa itu, sebagai jaksa utama (hoofddjaksa) di Tapanuli. Adapun ayahanda Moelia bernama Hoemala Mangaradja Hamonangan (1865-1933), yang semula berprofesi guru, kemudian menjadi pedagang.

Moelia menjalani pendidikan dasarnya di sekolah melayu di Sibolga, dan kemudian di ELS (Europeesche Lagere School) di Padang Sidempuan. Pendidikan inilah yang membawa Moelia menapaki “dunia baru” yang lebih berdasarkan rasionalitas daripada tradisi. Setamat ELS, di tahun 1911, dalam usia 14 tahun, Moelia mulai menceburkan diri dalam kubangan modernitas di negeri Belanda. Tepatnya di Leiden, di mana ia menempuh studi pedagogi. Bersamaan dengan itu, Moelia bergaul dengan para mahasiswa Indonesia yang tergabung dalam Perhimpunan Hindia (Indisch Vereeniging). Dari pergulatan pemikiran dan pergaulannya dengan kalangan aktivis Perhimpunan Hindia, Moelia mulai menemukan jati dirinya:  jati diri pribadi maupun jati diri kebangsaannya. Di masa Moelia aktif di Perhimpunan Hindia, organisasi itu mulai bergerak ke arah garis radikal akibat pengaruh Soewardi Soerjaningrat, tokoh nasionalis-radikal yang masa itu dalam masa pembuangan di negeri Belanda bersama dua sahabatnya: Ernest Douwes Dekker dan Tjipto Mangunkusumo.

Selain di Perhimpunan Hindia, Moelia juga bergabung di Gerakan Mahasiswa Kristen Belanda (Nederlandsche Christen Studenten Vereeniging, NCSV). Di organisasi inilah, ia bertemu dengan aktivis Kristen dan tokoh-tokoh terkemuka Politik Etis. Salah seorang diantaranya adalah Hendrik Kraemer—yang memberi pengaruh cukup besar kepada Moelia sepanjang karirnya. Kraemer adalah seorang misionaris, teolog, dan tokoh oikumenis Hervormd, serta intelektual yang bersimpati kepada nasionalisme Indonesia.

Menjadi pendidik merupakan cita-cita Moelia sejak awal. Maka, tidak heran ketika menyelesaikan pendidikannya di negeri Belanda, Moelia langsung membenamkan dirinya dalam dunia pendidikan. Seperti yang disebutkan antropolog Rita Kipp, Moelia mencurahkan perhatiannya terhadap dunia pendidikan untuk semua golongan. Itu sebabnya, ketika menjadi anggota Volksraad, Moelia mengkritik sistem pendidikan kolonial yang diskriminatif sekaligus memperjuangkan pendidikan untuk semua golongan pribumi.

Berdasarkan itu pula, Kipp lalu menghormati Moelia dengan menyebutnya sebagai “nasionalis Kristen”. Pasalnya, tidak banyak intelektual di masa itu yang mampu melewati sekat-sekat rasialis. Kecintaannya terhadap dunia pendidikan tidak pernah luntur. Itu terbukti ketika ia menjadi anggota Volksraad periode 1927, ia tetap bolak-balik ke Tapanuli untuk mengajar.

Di masa ini Moelia kembali bertemu dengan Kraemer yang mendorongnya untuk aktif dalam gerakan oikumene. Hanya berselang setahun, Moelia bersama Kraemer menghadiri Konferensi Pekabaran Injil se-Dunia di Jerusalem, di tahun 1928. Ia satu-satunya perwakilan kaum pribumi yang kemudian menyulut kontroversi dengan berbagai pihak.

Moelia mulai menjadi anggota Volksraad dalam usia 26 tahun. Ia mewakili pemilihnya dari Tanah Batak. Meski ada jeda beberapa tahun, keanggotaan Moelia di Volksraad cukup panjang. Bahkan, di masa akhir penjajahan Belanda, ia pernah menduduki jabatan Wakil Ketua Volksraad, menggantikan M.H. Thamrin yang wafat.

Selain menjadi anggota Volksraad, Moelia merupakan kader CSP (Christelijk Staatkundige Partij), semula bernama CEP (Christelijk Etische Partij), yang didirikan pada 1929. Kendati menempuh perjuangan politik lewat jalur Volksraad, bukan berarti upaya untuk memerdekakan negerinya padam. Moelia justru tercatat sebagai salah seorang anggota Volksraad yang bersuara cukup lantang dalam membela hak dan kepentingan kaum pribumi. Dengan caranya sendiri, ia menyumbangkan pemikiran untuk kemerdekaan Indonesia. Bagi Moelia, menjadi anggota Volksraad dan CEP tidak otomatis menjadi Barat dan “kaki tangan” negara kolonial. Ia tetap memiliki semangat nasionalisme pribumi yang menginginkan sebuah kemerdekaan bagi negerinya. Jejaknya itu terekam dari berbagai tulisannya di majalah “Zaman Baroe”, di mana ia menjadi pemimpin redaksi. Di majalah ini pula Amir Sjarifuddin Harahap kerap menulis dengan menggunakan nama samaran

Sejatinya minat utama Moelia bukanlah pada politik, tapi dunia pendidikan dan intelektual. Sebagai akademisi ia sosok yang disegani pada masanya. Terutama disertasinya yang dipuji banyak orang pada masa itu. Disertasi doktoralnya di Universitas Amsterdam berjudul “Het primitieve denken in de moderne wetenschap” (Pemikiran Primitif dalam Ilmu Pengetahuan), diajukan tahun 1933, menolak konsep Levy Bruhl yang menyatakan bahwa “primitif” tampaknya secara ontologis bersifat diskontinu dengan “modern”. Pantas dicatat, Levy Bruhl adalah teoritikus antropologi terkemuka dunia  masa itu.

Moelia tercatat sebagai orang Indonesa ketujuh yang meraih gelar doktor di Belanda. Keilmuwanannya tersebut membawa Moelia menjadi anggota “Bestuurs van Academie” di masa pemerintahan Hindia-Belanda. Berkat dedikasinya di dunia akademis dan pemerintahan, di tahun 1927 Moelia dianugerahi “Officier der Orde van Oranje-Nassau”, salah satu bintang kehormatan tertinggi yang pernah diberikan pemerintah Belanda kepada kaum pribumi Indonesia. Kendati Moelia saat itu masih terbilang muda, 31 tahun, tapi kiprahnya sebagai akademisi telah mengangkat martabatnya pada derajat kemuliaan yang tinggi.

Sikap politik Moelia memang tergolong kooperatif terhadap pemerintahan kolonial Belanda. Ketika Sumpah Pemuda diumumkan 28 Oktober 1928—salah satunya penggagasnya adalah adik sepupunya: Amir Sjarifuddin Harahap—Moelia bersikap kritis terhadap tonggak penting pergerakan kebangsaan itu. Di masa penjajahan Jepang, ia juga menjadi anggota Dewan Pusat Budaya—bersama sejumlah tokoh pendidikan dan kebudayaan terkemuka, seperti Ki Hajar Dewantara, Husein Djajadiningrat, G.S.J.J. Ratu Langie, dan Prof. Soepomo.

Tapi, itu semua tidak lantas mengikis semangat nasionalisme di jiwanya. Bisa jadi, kerena kompetensi dan nasionalismenya itulah ia didaulat sebagai Menteri Pengajaran dalam Kabinet Sjahrir I, menggantikan Ki Hajar Dewantara. Dan dalam Kabinet Sjahrir II, yang berakhir Oktober 1946, ia ditunjuk sebagai Menteri Muda/Wakil Menteri Pendidikan.

Bahkan sampai kinipun, sejumlah warisan Moelia masih hidup di tengah negara-bangsa Indonesia, seperti Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI, dahulu bernama DGI), Univeristas Kristen Indonesia (UKI), dan Lembaga Alkitab Indonesia (LAI). Ia juga menulis sejumlah kitab. Yang paling terkenal, tentu saja, ‘Ensiklopedia Indonesia” yang terdiri dari tiga jilid dan ribuan halaman.

Sahabat Moelia sesama anggota Volksraad, yang seringkali bahu-membahu berjuang untuk kepentingan rakyat, adalah Abdul Firman Siregar gelar Mangaradja Soangkoepon, anggota Volksraad  dari Mandailing-Angkola yang juga kawan lamanya saat sekolah di Belanda. Sikap politik Moelia terkesan moderat terhadap pemerintah Hindia-Belanda, tetapi pemikiran dan substansinya sangat tajam, terutama di bidang pendidikan. Sedangkan Mangaradja Soangkoepon terkenal kritis dan galak terhadap kebijakan pemerintah Hindia Belanda, bahkan kadang bersikap tanpa kompromi.

Mangaradja Soangkoepon, yang juga kelahiran Padang Sidempuan, adalah anggota Volksraad yang dikenal dengan sebutan “Macan Pejambon”—istilah ini merujuk kawasan kantor Volksraad di kawasan Pejambon, Batavia– karena sikapnya yang kritis terhadap pemerintah kolonial Hindia-Belanda. Mangaradja Soangkoepon terpilih selama tiga periode secara berturut-turut sebagai anggota Volksraad, karena dukungan konstituennya. Sebagai anggota Volksraad mewakili Sumatra Timur, Soangkoepon dikenal sangat gigih memperjuangkan dan membela nasib kuli kontrak di Tanah Deli.

Gairah Bersekolah 

Sejak Willem Iskander membuka Sekolah Tanobato di tahun 1862, dunia pendidikan di Tano Batak terus berkembang pesat. Di awal abad 20, tercatat sebanyak 19 sekolah pemerintah di Tapanuli di masa itu: 16 sekolah berada di Tano Batak dan sisanya di Nias. Sekolah-sekolah tersebut didirikan di Padang Sidempuan, Simapilapil, Batu Nadua, Pargarutan, Sipirok (dua buah), Panyabungan, Tanobato, Muarasoma, Gunung Baringin, Kotanopan, Huta Godang, Manambin, Batang Toru, dan Sibuhuan. Satu sekolah lagi berada di Sibolga. Jumlah keseluruhan murid di 19 sekolah tersebut sebanyak 2.400 siswa.

Kawasan Tapanuli bagian utara (yang mencakup kawasan Humbang, Toba, dan Samosir) di awal abad ke 20 itu masih termasuk dalam “wilayah merdeka” yang belum dikuasai pemerintah kolonial. Barulah setelah Perang Batak usai, di tahun 1907, pendidikan di wilayah Tapanuli bagian utara berkembang pesat. Hal itu terutama karena karya zending.

Pemerintah kolonial Hindia-Belanda mulai mendirikan sekolah-sekolah pemerintah (orang Batak menyebutnya Sikola Gubernemen) di seluruh Keresiden Tapanuli di wilayah yang dianggap perkotaan, belum sampai ke desa-desa. Selain itu, juga didirikan sekolah berbahasa Melayu kelas rendah (kampong scholen) tanpa kurikulum bahasa Belanda, serta sekolah Melayu kelas tinggi yang mempelajari bahasa Belanda.

Di masa itu, pendidikan di wilayah Tapanuli atau Tano Batak termasuk yang paling berkembang dibanding daerah-daerah lain di Sumatra. Wilayah Tapanuli memiliki jumlah sekolah—mencakup sekolah pemerintah, swasta (zending dan misi)— yang cukup banyak. Pada tahun 1901 jumlah sekolah yang didirikan RMG/Batakmission saja berjumlah 217 sekolah, dan pada tahun 1910 meningkat menjadi 497 sekolah. (Aritonang 1988, hal. 281). Padahal di seluruh Sumatra—kecuali Tapanuli– waktu itu hanya ada 98 sekolah.

Pada tahun 1910 didirikan HIS Sigompulon untuk anak-anak pejabat pribumi di Sigompulon, Tarutung, oleh Batakmission, untuk memenuhi tuntutan masyarakat Tanah Batak yang makin menggebu terhadap sekolah dasar berbahasa Belanda. Setahun berikutnya, 1911, didirikan pula HIS Sidikalang. Murid sekolah di HIS Sidikalang melulu adalah anak-anak raja, karena itulah pada mulanya disebut juga sebagai ‘Sekolah Anak Raja’. Sedangkan HIS Sigompulon sebagian muridnya adalah anak rakyat biasa, walaupun pemerintah pada mulanya bermaksud mengkhususkan sekolah ini bagi anak-anak raja. HIS Sigompulon dilengkapi dengan asrama (internaat) dengan maksud agar pembinaan disiplin dan watak kristiani dapat dijalankan, dan agar murid-muridnya benar-benar terlatih menggunakan bahasa Belanda. (Aritonang 1988, 215-218). Sejak berdiri hingga tahun 1936, alumni HIS Sigompolon ditaksir berjumlah sekitar 1.500 orang.

Beberapa tahun kemudian, didirikan pula HIS di Narumonda, Sibolga, dan Padang Sidempuan. Selanjutnya, di awal tahun 1920-an, diresmikan HIS Kotanopan. (Simanjuntak: 1986). Untuk menampung lulusan HIS yang sudah cukup banyak, pemerintah kolonial mendirikan sekolah MULO (Meer Uitgebred  Lagere  Onderwijs) di Tarutung, tahun 1927. Lima tahun kemudian, 1932, didirikan MULO Padangsidempuan. Kemudian didirikan HIK (Holland Inlandse Kweekschool), HBS (Hoogere Burgers School), dan AMS (Algemene Middelbare School).

 

Foto Kweekschool

MULO Tarutung merupakan semacam sekolah untuk kalangan Batak-Kristen di Tapanuli dan Simalungun. Alumni MULO Tarutung ini kemudian cukup banyak yang menjadi tokoh nasional, seperti T.B. Simatupang, Sitor Situmorang, J.H. Hutasoit (ahli peternakan). “Waktu itu (di akhir tahun 1920-an sampai 1930-an) MULO Tarutung termasuk yang terbaik di seluruh Hindia-Belanda,” kenang T.B. Simatupang, dalam memoarnya “Membuktikan Ketidakbenaran Suatu Mitos.”

Kalangan zending Kristen juga mendirikan sekolah-sekolah dasar di desa-desa, dengan subsidi dari pemerintah kolonial. Menurut perhitungan Joustra, sampai tahun 1909, empat puluh dua tahun sejak sekolah zending pertama didirikan di Parausorat, sudah ada 365 sekolah di wilayah Toba dengan jumlah murid 18.000 orang. Sekitar 6.700 diantaranya anak-anak yang belum di-Kristenkan.

Pada tahun yang sama, di Samosir ada 12 sekolah zending (dengan 599 orang murid), di Tapanuli Selatan ada 43 sekolah zending (dengan 2500 orang murid, yang sebagian besar muridnya beragama Islam), di Simalungun 23 sekolah zending, dan di Tanah Karo sekitar 18 sekolah zending. Pada tahun 1931, jumlah sekolah yang didirikan zending di seluruh wilayah Tapanuli, Toba, Samosir, Simalungun, dan Tanah Karo, sudah berjumlah 462, dengan jumlah murid 31.741 orang.

Bahkan, di masa itu hasrat masyarakat Tanah Batak untuk menyekolahkan anak-anaknya sangat besar, tidak hanya anak-anak lelaki juga anak-anak perempuan. Tapi, sekolah-sekolah yang disediakan Batakmission—ditambah dengan yang disediakan pemerintah dan swasta lain—tidaklah cukup untuk menampung hasrat wanita Batak untuk bersekolah dan mengejar kemajuan. Maka, sejak tahun 1910, banyak dari mereka (kaum perempuan Batak) bersekolah di rantau. Tujuan utamanya, antara lain, adalah Normaalschool voor Inlandsche Hulponderwijzeressen (Sekolah Guru Puteri) Padang Panjang dan Bukit Tinggi, yang telah berdiri sejak awal abad 20  (Aritonang, 1988: 349)

Sejak pertengahan 1920-an mulai bermunculan Meisjesschool  (sekolah puteri)  di Tanah Batak. Yang termasuk paling menonjol adalah Meisjesschool  Balige, yang diberi nama “Prinses Juliana Meisjesschool”.  Meisjesschool  Balige diresmikan tahun 1925. Dengan masa belajar enam tahun, sekolah ini lebih menekankan pembinaan intelektualitas, sehingga mengajarkan lebih banyak pengetahuan teoritis, termasuk bahasa Belanda dan Melayu, dengan maksud agar tamatannya menjadi pegawai atau guru. Sekolah ini memang dimaksudkan untuk mengimbangi sekolah sejenis yang didirikan pemerintah, agar puteri-puteri Batak jangan terlalu banyak mengalir ke luar Tanah Batak. (Aritonang 1988, 346)

Demikianlah, renaisans di Tano Batak yang berawal dari Sekolah Tanobato yang didirikan Willem Iskander di pertengahan abad 19, berlanjut hingga kini….

*Penulis dan Produser