Tony Doludea

The Politics of Friendship Gus Dur Dan Derrida

Oleh Tony Doludea

Setelah Krishna wafat pada permulaan zaman Kaliyuga, Yudhistira dan keempat adiknya mengundurkan diri. Mereka meninggalkan tahta kerajaan, harta dan keterikatan duniawi. Melakukan perjalanan terakhir, mengelilingi bharatawarsha, menuju puncak Mahameru. Panca Pandawa itu melakukan Bhrasta Yoga, melepaskan diri dari badan kasar menuju alam Sunia.

Pendakian itu begitu panjang, meletihkan dan berbahaya. Sejak di batas kota Hastina, semua pengantar mengundurkan diri. Namun seekor anjing menemani Yudhistira. Ia menjadi penolongnya jika jalan sulit dan sesat arah. Hewan tersebut menjadi pendamping perjalanan Pandawa yang setia. Hanya Yudhistira dan anjingnya

yang berhasil mencapai puncak. Istri serta empat saudaranya satu per satu mati di jalan. Anjing yang lemah itu turut menanggung semuanya.

Dewa Indra, pemimpin kahyangan, datang menjemput Yudhistira di gerbang swarga. Namun, Indra menolak anjing yang dibawa Yudhistira. Sebaliknya, Yudhistira menolak masuk swargaloka  apabila harus berpisah dengan sahabatnya itu. Karena bagi Yudhistira meremehkan kesetiaan itu dosanya sama dengan membunuh Brahma. Kesatria telah bersumpah tidak akan meninggalkan orang yang ketakutan, orang yang mencari perlindungan, orang yang sedang terkena musibah dan orang yang setia. Namun Dewa Indra tetap tidak mengijinkan Yudhistira membawa anjing masuk.

Raja tua itu diam sejenak. Baginya surga menjadi tempat yang sewenang-wenang. Ia memutuskan tak hendak masuk ke sana. Jika ia melangkah ke dalam, itu berarti ikut mengukuhkan ketidakadilan. ”Kalau begitu, hamba tak akan masuk,” katanya. “Hamba tak layak di sini.” ”Lebih baik hamba kembali.” Ia pun membalikkan badan,

melangkah meninggalkan gerbang dengan memeluk anjing yang kurus dan kotor, dan menggonggong lirih. Dalam diri binatang yang tanpa pamrih itu Yudhistira menemukan sosok makhluk yang mulia dan kepadanyalah ia merasa berhutang budi. Tapi kahyangan telah menghinanya.

Dalam keadaan genting dan sangat menentukan, Yudhistira lebih memilih untuk tidak menghianati kehinaan seekor anjing yang setia, daripada menjadi bagian kemegahan swargaloka yang maha steril itu. Makhluk yang menolongnya sampai ke gerbang surga itu akhirnya tak penting identitasnya sebagai anjing, namun perbuatannya adalah pengejahwantahan Dharma. Menyaksikan semuanya, dunia dewa-dewi bergoncang hebat. Campur aduk antara haru, jengah, risih, tersipu malu dan iri terhadap pengurbanan dan kesetiaan kedua sahabat itu. Seketika itu juga maka runtuhlah keilahian swargaloka.

Jackie Élie Derrida (1930-2004) adalah seorang filsuf dekonstruksi Perancis. Dalam buku The Politics of Friendship (1997) Jackie menggali satu tema dalam teori politik, yang selama ini diabaikan oleh para ahli politik. Ia bergumul dengan kontradiksi gagasan tentang persahabatan dan implikasinya dalam politik, khususnya demokrasi persaudaraan (democratic fraternity) sebagai suatu model politik persahabatan yang sesungguhnya bermasalah. Derrida menemukan dan menyadari bahwa persahabatan adalah suatu hal yang mustahil. Apabila itu memang ada dan terjadi, maka layak dihormati. Dalam buku tersebut Derrida menyelidiki sejarah politik persahabatan (philia politike) melalui gagasan demokrasi persaudaraan yang sesungguhnya selalu menghantui tradisi Barat.

Melalui buku itu juga, Derrida berusaha mendekonstruksi gagasan persaudaran yang menjadi salah satu dasar Revolusi Perancis, yang justru telah membuahkan banyak sekali tekanan, penderitaan dan siksaan atas warganya. Baginya persaudaraan adalah bentuk demokrasi yang mengancam keramahan kosmopolis, menyusutkan persahabatan menjadi sekadar persaudaraan berdasarkan pertalian darah (kesamaan) dan nasionalisme (keseragaman) belaka. Sebaliknya, Derrida menawarkan suatu persahabatan yang sejati dalam kehidupan politik, yang melampaui perhitungan (kalkulasi), kesetaraan tanpa aritmatika dan suatu komunitas tanpa keseragaman. Derrida menantang orang untuk berani membayangkan suatu persahabatan berada tepat di mana keberlainan itu tidak dapat diterima.

Derrida sebagai seorang Yahudi Aljazair telah mengalami langsung ketidakramahan demokrasi persaudaraan itu. Ketika masih duduk di bangku sekolah, ia bersama teman-teman Yahudinya dipaksarumahkan kembali ke ibunya. Karena pada tahun 1942, negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam itu telah menetapkan suatu peraturan anti-semitis. Pada tahun 1949 di Paris, ketika bersekolah di Ecole Normale Superieure, ia juga menanggung

pengucilan yang serupa. Derrida tercengang menemukan kenyataan bahwa baik Yahudi, Kristen dan Islam, yang sama-sama mengklaim sumber kebenaran, namun pada saat itu juga mereka sama-sama saling membenci setengah mati satu terhadap yang lainnya.

Mengulas tentang persahabatan, Derrida merujuk pada pandangan Aristoteles dalam The Nichomachean Ethics Buku VIII dan IX, yang membagi tiga jenis persahabatan (philia):

  • Persahabatan berdasarkan manfaat. Persahabatan ini didasarkan pada keuntungan dan manfaat yang didapatkan dari masing-masing pihak yang terlibat dalam hubungan itu. Contohnya, teman sekelas, teman bisnis dan orang lanjut usia. Aristoteles menilai persahabat semacam ini bersifat dangkal dan mudah bubar, karena didasarkan pada sesuatu selain pribadi
  • Persahabatan berdasarkan kesenangan. Persahabat ini didasarkan pada kesenangan dan kenikmatan yang didapatkan dari kepintaran, kegagahan atau kecantikan dan kualitas menarik lainnya dari diri orang lain. Persahabatan ini biasanya muncul pada anak-anak muda, sepasang kekasih atau sekelompok teman yang memiliki kesamaan minat dan

Bagi Aristoteles, kedua jenis persahabatan di atas bersifat sementara, karena tidak didasarkan pada suatu yang hakiki, yang terdapat pada diri sahabatnya. Keduanya berjalan sangat singkat, karena keinginan dan kenikmatan manusia cenderung selalu berubah setiap saat.

  • Persahabatan berdasarkan keutamaan (arete). Persahabatan ini didasarkan pada keutamaan, di mana kedua orang saling menghormati potensi orang lain, dan menolong untuk mencapai perwujudnyataan kehidupan yang terbaik, menjadi pribadi yang sebaik mungkin (eudaimonia). Persahabatan ini membuat masing- masing saling menikmati karakter kepribadian masing-masing. Masing-masing mengharapkan dan mengusahakan kebahagiaan

sahabatnya. Keutamaan bersifat lebih langgeng, sehingga persahabatan yang didasarkan padanya cenderung bertahan lama. Persahabatan ini saling memberi manfaat dan kesenangan satu kepada yang lainnya. Persahabatan jenis ini sangat langka dan membutuhkan waktu yang lama untuk membangunnya. Aristoteles mengakui bahwa persahabatan ini (philia) adalah bentuk persahabatan yang sejati dan tertinggi.

Aristoteles percaya bahwa sebuah negara (polis) terbentuk melalui ketiga jenis persahabatan tersebut. Masyarakat yang kokoh dibangun berdasarkan utamanya pada persahabatan berdasarkan keutamaan. Meskipun persahabatan berdasarkan manfaat dan kesenangan juga menjadi bagian lain yang melengkapinya. Dalam sebuah persahabatan sejati, keadilan tidak dibutuhkan lagi, tetapi orang yang adil masih tetap membutuhkan persahabatan. Persahabatan adalah bentuk terutuh keadilan. Persahabatan bukanlah hal yang niscaya, namun menakjubkan. Persahabatan adalah bagian terbaik dari kehidupan manusia.

Bagi Derrida persahabatan adalah salah satu dari banyak hal yang tidak dapat diungkap oleh akal dan bahasa. Persahabatan merupakan bagian penting dari usaha dekonstruksi Derrida. Derrida melalui dekonstruksinya ini berusaha menyadarkan orang bahwa tidak ada suatu jawaban dan pemecahan yang baik dan benar. Kekacauan justru terjadi ketika orang berusaha keras untuk mencari suatu jawaban yang pasti dan jelas. Padahal hidup ini telah membuktikan bahwa sesungguhnya manusia itu tidak memerlukan jawaban yang jelas dan pasti.

Dekonstruksi berusaha membangunkan orang dari keluguan keyakinannya yang berlebihan terhadap kemampuan akal dan bahasa (logosentrisme). Dekonstruksi ingin mewaraskan kecenderungan kasar manusia untuk selalu berpikir terlalu sederhana, dan sebaliknya, menawarkan kenyamanan pada kebijaksanaan yang tidak sederhana dan selalu bergerak. Dekonstruksi adalah kebingungan. Menjadi bingung, ragu dan tidak pasti itu merupakan suatu kebijaksanaan, bukannya kebodohan

dan kelemahan. Namun sebaliknya, dekonstruksi adalah kesederhanaan, kejujuran dan kesabaran untuk dapat sekilas ikut melihat kebenaran yang bersifat sementara dari sisi yang bertentangan. Oleh sebab itu, dekonstruksi menyadarkan bahwa persahabatan sejati itu bersifat aporia.

Dekonstruksi Derridean adalah pemikiran kembara, yang tak bersarang. Berselancar, tepatnya berenang di tengah samudera aporia realitas yang bergelora. Gelombang benar-salah, baik-buruk, indah-jelek, dst. Ombak realitas itu sebenarnya adalah kerumitan dan gerak kategori pikiran dan bahasa manusia sendiri. Dalam keadaan yang sangat menentukan, Yudhistira tidak meng-unfriend anjingya, dengan itu ia telah mendekonstruksi dunia para dewata.

Sementara itu, dalam konteks negeri ini, Gus Dur dalam banyak kesempatan sering menyampaikan makna taqwa dengan menyitir ayat al-Qur’an ini:

“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab- kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa”. (Q.S. al-Baqarah, 2: 177).

Berdasarkan makna taqwa dalam ayat al-Qur’an tersebut, Gus Dur menjelaskan bahwa Islam itu terdiri dari 3 rukun (pilar): Rukun Iman, Rukun Islam dan Rukun Tetangga. Yang dimaksud Gus Dur tentang rukun yang ke tiga ini adalah Rukun Kemanusiaan, dalam konteks tradisi Islam disebut Ihsan, yaitu Kemanusiaan.

Melalui itu, Gus Dur ingin menggugah kesadaran kaum muslimin agar tidak mereduksi atau bahkan mengabaikan rukun tersebut. Karena rukun ini merupakan tujuan dari agama dalam kehidupan manusia di dunia. Maka Gus Dur, sering bicara tentang kejujuran, keteguhan dan kesabaran dalam berjuang, menghargai sesama dan membela siapa saja yang menderita dan yang ditindas. Lebih lagi, ia sangat menghargai dan menghormati orang yang berbuat baik, bahkan menyambutnya dengan rendah hati dan pelukan hangat.

Sebaliknya, Gus Dur akan menentang siapa saja yang merendahkan martabat manusia, apalagi menyakiti, mengurangi dan menghalangi hak-hak mereka. Ia akan membela mereka yang martabat kemanusiaannya direndahkan, mereka yang hak-haknya dikurangi, dipasung, disakiti dan ditelantarkan. Ketika para pengikut Ahmadiah diusir dan masjid-masjid mereka dirobohkan, Gus Dur hadir bersama mereka. Ketika Gereja-gereja dilempari batu, ia berteriak lantang menghentikan. Ketika Inul Daratisna dihujat ramai- ramai karena dia bergoyang-goyang dan meliuk-liukkan tubuhnya, ia memberi pembelaan. Ketika Dorce disoraki karena berganti kelamin, ia mengajaknya bicara dengan lembut dan penuh kasih. Ketika urusan gambar tubuh polos perempuan (pornografi) hendak diserahkan kepada Negara, ia berdemonstrasi bersama isteri tercintanya; Shinta Nuriah dan bersama mereka yang menghargai kemanusiaan. Ketika saudara-saudara Tionghoa meminta hari raya Imlek dan Barongsai, ia memberikannya dengan tulus. Meski tak bisa melihat dengan matanya, ia hadir menyaksikan tari-tarian singa itu dan bertepuk tangan. Gus Dur senang.

Bagi Gus Dur semua manusia adalah sama, tak pandang dari mana asal usul, jenis kelamin, warna kulit, suku, ras dan kebangsaan mereka. Gus Dur melihat bahwa manusia lain itu sama seperti dirinya sendiri. Yang ia lihat adalah niat baik dan perbuatannya, seperti kata Nabi: “Tuhan tidak melihat tubuh dan wajahmu, melainkan amal dan hatimu”. Gus Dur bukan tidak paham bahwa ada yang keliru, ada yang tidak ia setujui atau ada yang salah dari mereka yang dibelanya. Gus tetap saja membela mereka.

Yudhistira dan anjingnya adalah suatu tenunan (text) tanda dari tanda (gramma) persahabatan sejati, yang menantang manusia Indonesia untuk berani bersahabat bahkan dengan musuh bebuyutannya sekalipun. Jika selama ini orang mendengar hukum yang mengatakan: “Kasihilah sesamamu manusia dan bencilah musuhmu.” Maka Derrida mendekonstruksinya melalui Carl Schmitt yang mengutip Injil Matius 5: 44-dst: “Kasihilah musuhmu, berbuatlah baik kepada orang yang membenci kamu; mintalah berkat bagi orang yang mengutuk kamu; berdoalah bagi orang yang mencaci kamu.” Rasul Paulus dalam Surat Roma 12: 20 membubuhkan:

“Tetapi, jika seterumu lapar, berilah dia makan; jika ia haus, berilah dia minum!” Sementara itu, Injil Lukas 6: 27-36 memberi alasannya:

Karena “jikalau kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah jasamu? Karena orang-orang berdosapun mengasihi juga orang-orang yang mengasihi mereka. Bukankah pemungut cukai juga berbuat demikian? Sebab jikalau kamu berbuat baik kepada orang yang berbuat baik kepada kamu, apakah jasamu? Orang- orang berdosapun berbuat demikian. Bukankah orang yang tidak mengenal Allahpun berbuat demikian? Tetapi kamu, kasihilah musuhmu dan berbuatlah baik kepada mereka.”

Persahabatan rupanya mampu merangkul jauh sampai kepada calon sahabat, yaitu musuh untuk dikasihi. Namun, persahabatan ini tidak menutup kemungkinan bagi seorang sahabat yang kemudian menjadi musuh, namun masih harus tetap dikasihi sebagai sahabat sejati, sama seperti sebelum bermusuhan. Persahabatan, bahkan seperti yang diusulkan oleh Zizek dalam The Puppet And The Dwarf, menuntut suatu bukti kesetiaan sejati yang radikal dan revolusioner, yaitu penghianatan. Sebagaimana Yesus sendiri perintahkan kepada Yudas Iskariot. “Yudas, anak Simon, apakah engkau mengasihi Aku lebih dari pada mereka ini?” Jawab Yudas kepada- Nya: “Benar Tuhan, Engkau tahu, bahwa aku mengasihi Engkau.” Kata Yesus kepadanya: “Apa yang hendak kauperbuat, perbuatlah dengan segera.” Persahabatan tidak pernah mengenal permohonan maaf dan pemberian pengampunan, karena persahabatan adalah aporia. Aporia adalah kedamaian batin (ataraxia) karena bebas mandiri (autark), meskipun dikhianati oleh

para sahabat, ditinggalkan oleh Allahnya, bahkan dianiaya hingga tewas mengenaskan. Persahabatan adalah kunci dekonstruksi politik Indonesia saat ini. Siapkah warga negara Indonesia sebagai warga dunia menjadikan persahabatan (philia) sebagai karakter dan kebiasaan (habitus) kehidupan politiknya?

Negara Kesatuan Republik Indonesia dibentuk berdasarkan kesepakatan dan perjanjian rasional, untuk memelihara hak-hak asasi manusia, kepentingan bersama/umum dan kepentingan pribadi, yang dituangkan dalam Undang-Undang Dasar 1945. Politik Persahabatan tidak hendak menolak kenyataan historis konstitusional itu. Namun justru bersama-sama berusaha untuk membangun kehidupan politik yang didasarkan pada ikatan batin yang tidak formal dan prosedural, yaitu dengan cara memotong aspek material politik tradisional tersebut. Karena kehidupan politik itu dibangun bukan berdasarkan kesepakatan rasional semata, tetapi juga melalui persahabatan sejati, yang menyatukan warga dalam satu keseluruhan kehidupan politik. Gus Dur telah melakukan itu dan mewariskan suatu teladan nyata bagi anak-anak bangsa ini. Sebagaimana penggalan pusi Sutardji Calzoum Bachri: daging kita satu, arwah kita satu, walau masing jauh yang tertusuk padamu berdarah padaku.

*Penulis adalah seorang peneliti di Abdurrachman Wahid Center UI

Kepustakaan

 

Aristotle. Nicomachean Ethics. University of Chicago Press, Chicago, 2011.

Derrida, Jacques. Politics of Friendship. American Imago, 1993. Derrida, Jacques. The Politics of Friendship. Verso, London, 2005. Zizek, Slavoj. The Puppet and The Dwarf. MIT Press, Cambridge,

Massachusetts, 2003.

Sumber Internet

http://www.mediafire.com/?3018nm8j15illei

file:///C:/Users/asus%20intel/Downloads/Pluralisme_Gus_Dur- www.pustakaaswaja.web.id.pdf

https://www.facebook.com/notes/mohammad-luqman- firmansyah/pluralisme-gus-dur-gagasan-para- sufi/10150773284810135/