Kisah-Kisah Dari Pulau Pantar

Oleh Devi Damayanti 

Pulau Pantar. Mungkin Anda belum pernah mendengar nama pulau ini. Pulau Pantar adalah bagian dari Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur. Ada tiga pulau utama di Kabupaten Alor: Alor, Pura, Pantar. Sudah setahun saya tinggal di pulau ini. Saya terlibat dalam kerja sosial untuk promosi kesehatan dan  pendidikan. Catatan ini adalah catatan antropologis tentang masyarakat Pantar sehari-hari. Saya akan mulai dengan padi. Di Pulau Pantar ini orang bertanam padi di ladang, bukan di sawah. Padi ladang mengandalkan hujan, bukan irigasi, sehingga padi ladang hanya ditanam setahun sekali. Itu sebabnya orang menanam padi hanya pada musim hujan bulan Desember atau selambat-lambatnya Januari.

Padi diharapkan tumbuh bersama curah hujan yang cukup. Menanam padi dikerjakan ramai-ramai di ladang, orang saling membantu dengan sistem “sambung tangan” alias arisan kerja, jadi kalau seorang warga  sudah bantu kerja di kebun seseorang, seseorang itu kemudian harus gantian membantu kerja di kebunnya.  Menanam padi ladang membutuhkan tim penggembur tanah dan tim penabur bibit, mereka akan saling bekerja sama hingga selesai semua lahan ditanami. Karena padi ditanam oleh warga sekampung, bahkan sepulau ini, maka pada saat yang bersamaan biasanya panen padi pun terjadi berbarengan pula. Pertengahan April hingga pertengahan Mei adalah saat panen bagi semua orang. Kalau hasilnya baik, maka orang mengatakan “ini tahun yang bagus”.

Kita yang makan beras dari padi sawah setidaknya tahu sedikit bahwa ada beragam macam padi. Begitu juga dengan padi ladang. Di sini setidaknya dikenal enam macam padi yang  ditanam di ladang. (1) Padi Malaysia, yang entah mengapa dinamakan demikian, terdiri dari dua jenis yaitu biji halus dan biji kasar. (2) Padi merah, yakni padi merah kulit kuning dan padi merah kulit putih. (3) Padi hitam ada tiga jenis:  padi hitam kulit hitam, padi hitam kulit kuning, dan padi hitam kulit putih. (4) Padi IR (dari namanya seolah-olah ini hasil rekayasa genetika ya hahaha) yakni jenis IR 04 dan IR 07, lalu masih ada (5) padi gogo yang katanya tumbuh lebih pendek dari jenis padi lain, dan (6) padi pulut alias beras ketan.

Mungkin karena dirasa tanah masih luas, orang di sini membuka ladang ukuran luas juga. Jadi ladang tidak dikerjakan hanya oleh satu keluarga inti, tetapi harus keluarga besar bahkan tetangga selingkungan terutama untuk pekerjaan berat seperti persiapan lahan, pembersihan, dan panen padi seperti sekarang. Bagi masyarakat yang guyub dan erat ikatannya seperti orang-orang Pantar ini, kerja gotong royong atau yang di sini diistilahkan “sambung tangan” tentu menyenangkan. Orang saling membantu kerja di ladang tetangganya dan keramaian masa panen terasa oleh nyanyian dan pantun yang dilontarkan sambil memetik padi, apalagi diseling dengan makan bersama saat siang dan sore hari yang disediakan oleh tuan kebun alias pemilik ladang.

Panen padi di sini disebut “pungut padi”. Sekalipun istilahnya “pungut” janganlah dibayangkan ini hanya memungut bulir yang jadtuh di tanah. Tidak, ini memetik padi bernas betulan. Padi dipetik dari batangnya, bisa langsung dengan kedua tangan atau memakai pisau kecil. Saya jadi ingat kalau di meratus Kalimantan Selatan, tempat penelitian saya dulu, mereka memotong padi menggunakan kulit baterai, sisi tajamnya difungskikan sebagai silet. Di sini, hanya pisau ukuran kecil biasa saja, tapi kebanyakn orang lebih suka menggunakan tangan, terutama bila padi sudah rebah alias sudah sangat masak dan sangt merunduk hingga batangnya tertekuk. Agar bisa selesai cepat, satu kelompok berbanjar menghadapi padi hingga terus maju, jadi semuanya maju bersamaan sehingga mudah ditanda mana yang sudah dan yang belum.

Padi yang dipetik dikumpulkan dalam keranjang yang disandang di bahu atau ditaruh di tanah depan kaki. Setiap beberapa menit akan datang satu orang yang bertugas mengangkat padi dan membawa semuanya ke tempat injak padi yang biasanya di dekat pondok dalam area ladang itu. Dua tiang bambu ditancapkan dan di antaranya ada satu bamboo panjang melintang, jadi bentuknya seperti pegangan jembatan. Orang menginjak padi di atas terpal dengan kaki telanjang sambil berpegangan di bamboo itu agar mendapat tambahan tenaga. Di dekat pondok juga biasanya mama-mama memasak dengan tungku terbuka.Hampir semua peralatan masak dalam dapur dikerahkan semua ke ladang, terutama yang ukuran besar sebab semua bahan dimasak untuk ukuran setidaknya bisa mengenyangkan belasan orang dewasa yang bekerja berat. Di saat istirahat, orang-orang duduk bercerita sambil mengunyah sirih pinang atau mengisiap tembakau yang dilinting sendiri. Anak-anak tentu saja dengan semangat ikut serta dalam keramaian ini, sekalipun mereka tidak membantu kerja, yang mereka nikmati puas-puas adalah saat bermain dengan kawan-kawan. Saat panen memang menyenangkan. Semua riang, semua gembira.

***

Sekarang saya akan bercerita tentang jagung. Batu untuk giling jagung di sini  namanya bear. Itu bahasa di Pantar Barat. Di Pura, pulau tetangga, namanya banehar. Saya akan bercerita tentang seorang  wenang (kakek) yang sudah cukup tua, pemilik sebuah batu giling.  Saya bertemu dengan kakek itu . Dia berkisah kepada saya bahwa ketika dia masih SD kelas rendah di awal dasawarsa 1960-an, ayahnya membeli bear ini dari Pantar Timur dan hingga hari ini, 2020 masih berfungsi dengan baik. Batu ini terdiri dari dua buah batu datar yang di  bagian atasnya ada lubang kecil supaya jagung yang telah halus itu bisa turun. Dua batu ini kira-kira berukuran sama besar dan disatukan oleh kayu di tengah sebagai perekat dan tanduk rusa di pinggirnya sebagai pemutar batu. Batu bagian atas seperti piring datar yang di sekelilingnya ada pinggiran pembatas supaya jagung jang keluar. Gilingan batu menghasilkan butiran jagung yang lebih halus sehingga perlahan-lahan butiran jagung halus itu turun ke lubang kecil dan terus digiling oleh seluruh tekanan batu di atasnya. Bila sudah habis maka tepung jagung itu akan keluar dari batu bagian bawah. Itu sebabnya pasti batu giling diletakkan di atas alas. Orang yang menggiling akan terus menambah butiran jagung.

Tentunya saya penasaran untuk mencoba. Saya hitung percobaan pertama memakan waktu 10 menit untuk 10 genggam jagung. Putaran kedua saya lebih baik, 8 menit untuk 13 genggam jagung. Ketika saya dengan sombong mau lanjut lagi padahal lutut pegal karena duduk bersila di tikar, untungnya jagung sudah habis dan baru besok mama2 itu mau tumbuk jagung dulu untuk bahan baku. Katanya, kalau batu-batu ini mau lebih cepat menggiling atau lebih tajam giginya, maka tinggal digosok permukaannya dengan garam kasar. Jagung tetap harus ditumbuk lebih dulu di lesung dengan menggunakan alu, atau kalau malas menumbuk dan kebetulan sedang punya uang, maka jagung bisa bawa ke penggilingan (istilahnya mol). Hasil jagung tumbuk maupun jagung mol ini kemudian digiling dengan bear. Tujuan menggiling jagung adalah untuk bahan bubur bayi atau MP-ASI istilah zaman sekarang. Mama2 di sini masih suka menggiling jagung karena tentu saja lebih murah dan jagung memang tersedia banyak di kampung. Bagaimana mungkin kita punya banyak jagung lalu malah beli tepung maizena di pasar?

Sama seperti beras, orang-orang selau mengatakan beda aroma, tekstur, dan rasa antara beras giling dengan beras tumbuk. Demikian juga dengan jagung ini, orang bilang beda antara tepung jagung buatan sendiri dengan tepung jagung buatan pabrik yang tinggal dibeli di toko dengan istilah maizena. Saya jadi ingat waktu di Kalimantan dengan orang Dayak Meratus di pedalaman. Hasil panen mereka adalah beras, jadi untuk pesta atau festival panen, kue2 juga dibuat dari bahan beras. Beras yang baru dipanen itu mereka tumbuk di alu lalu tumbuk lagi dan saring berulang-ulang hingga sehalus tepung buatan pabrik. Di Manggarai, Flores, orang-orang sana juga berkeyakinan kopi tuk atau kopi tumbuk, wanginya lebih kuat daripada kopi giling. Sebisa mungkin orang mempertahankan yang tradisional karena segala sesuatu yang proses kerjanya lebih perlu jerih lelah memang hasil akhirnya terasa lebih nikmat.

***

Sekarang saya akan bercerita tentang sebuah cerita magis tentang Pulau Rusa yang dianggap warga di sini sangat berkaitan dengan Pulau Pantar. Pulau Rusa sendiri sudah lebih dari seratus tahun tidak pernah dihuni orang. Hanya rusa saja yang ada di sana.  Alkisah pada zaman dahulu kala, Pulau Rusa masih dihuni oleh banyak orang. Di zaman itu orang hidup dari berburu, berkebun, dan menangkap ikan di laut. Pada suatu kali, tiba-tiba ikan-ikan panjang menyerang. Mereka keluar dari laut sambil dan menuju ke perkampungan orang di pesisir. Ada beberapa orang yang tewas karena tertembus ikan di dada mereka hingga tembus. Sekitar dua minggu kemudian orang kampung mengadakan pesta. Mereka berburu banyak binatang dan menangkap banya ikan. Salah seorang pemuda diminta tolong oleh pemilik bubu agar menangkap ikan dari bubu telah dia pasang di pinggir laut. Betapa terkejutnya pemuda itu ketika melihat di dalam bubu ada seekor ikan besar berkepala manusia perempuan.

Ikan berkepala manusia ini tidak suka terjebak di dalam bubu, apalagi tahu bahwa dirinya akan ditangkap untuk dimasak. Dia memarahi pemuda itu yang bersikeras tidak mau melepaskannya. Dia marah sekali hingga memaki-maki. Pemuda itupun lari ke kampung dan menceritakan peristiiwa tersebut pada pemilik bubu dan semua orang lain. Mereka semua sepakat untuk tidak melepas ikan besar itu sekalipun mereka tahu dia bukan ikan biasa. Mereka mengambilnya dari bubu diiringi semua kata umpatan dan makian bagi mereka ke orangtua dan nenek moyang mereka yang dilontarkan oleh mulut ikan berkepala manusia perempuan ini. Mereka segera memotong-motong ikan besar itu dan membersihkannya lalu merebusnya dalam air mendidih. Setelah beberapa waktu yang diperkirakan untuk memastikan ikan itu masak, belanga pun mereka buka. Ketika belanga dibuka, bukan kuah ikan yang tampak, tetapi air laut yang luar biasa bergulung-gulung seperti air bah dan menenggelamkan kampung itu.

Sebagian dari orang yang selamat itulah dalam kisah-kisah magis warga melarikan diri ke Pulau Pantar. Mereka ada yang lari jauh hingga Pantar Tengah tapi ada juga yang di dekat laut sini lalu naik lagi dan hidup di pegunungan. Tengkorak dari kepala ikan ajaib itu tetap mereka bawa hingga ke sini. Salah seorang keturunan marga Lili, masih menyimpan tengkorak tersebut. Orang di sini menamakan tengkorak itu Gurung. Banyak orang mencari orang itu, menawar Tengkorak Gurung dengan harga mahal agar mau melepasnya sebaga barang antik bagi kolektor. Bapa itu tidak mau dan sebelum dia meninggal, Tengkorak Gurung menghilang dari rumahnya. Orang kampung percaya bahwa Tengkorang Gurung ini bisa pergi sendiri ke laut dan membiarkan dirinya ditemukan dan dirawat oleh salah seorang keturunan orang-orang yang pergi dari Pulau Rusa.

Bagi warga Pulau Pantar sekarang – memburu rusa di Pulau Rusa hanya boleh dilakukan setahun sekali, biasanya bulan Oktober. Semua lelaki dari sekitar Pantar boleh datang berombongan dengan membawa busur, anak panah, dan anjing-anjing pemburu. Acara perburuan tahunan dibuka oleh seorang kepala buru dari keturunan setempat yang bisa berbicara pada rusa-rusa itu lalu membuka palang pintu yang tak terlihat oleh mata biasa agar perburuan rusa bisa terjadi. Tanpa didahului upacara ini, orang tidak akan sukses mendapat rusa buruan, yang ada malah hanya terputar di pulau itu berhari-hari sendirian. Rusa yang terkena anak panah tidak boleh dibawa langsung oleh pemburunya tetapi semua harus dibawa ke lapangan dan di sore hari, sang kepala buru selaku kepala suku dan tuan rumah yang akan menyerahkan daging rusa itu pada pemilik anak panahnya, entah dengan cara apa dia bisa mengetahui semuanya dengan tepat. Tentu saja, perburuan rusa sebetulnya dilarang oleh pemerintah karena rusa sekarang termasuk satwa yang dilindungi, beda dengan zaman dahulu.

* Penulis adalah Pekerja Sosial

1 reply
  1. petrus mau
    petrus mau says:

    Trima kasih untuk ibu devi yang suda menulis dan mengangkat pentingnya Menyadari dan mengingat kembali keunikan2 budaya nusantara khususnya kampung halaman tercinta sya.. Sya sngat berharap agar tulisan ini bisa menyadi sebua buku yang bisa membuat kita tidak akan perna lupa dengan adat istiadat budaya pulau pantar🤗🙏🙏

Comments are closed.