Siska Marsudhy

Bukan Hitam Putih

Oleh Siska Marsudhy

“For boundary lines, of any type, are never found in the real world itself, but only in the imagination of mapmakers.” 

Karena garis pembatas apapun juga, tidak pernah ditemukan di dunia nyata, melainkan hanya dalam imajinasi para pembuat peta.”1 

~ Ken Wilber 

Kebanyakan dari kita cukup familiar dengan barcode yang saat ini banyak kita jumpai di berbagai kemasan produk. Barcode, sesuai namanya, adalah kode dalam bentuk bar atau batang yang mewakili kode angka tertentu. Angka dalam kode ini menggunakan sistem bilangan biner, sebuah sistem yang digunakan dalam komputer untuk menandai menyala atau tidaknya transistor yang ada di dalamnya. 

Sistem bilangan biner hanya terdiri dari dua angka, yaitu nol (0) dan satu (1). Angka dua (2) hingga sembilan (9) yang kita kenal dalam sistem bilangan desimal yang umum kita gunakan, tidak ada dalam sistem bilangan biner. Bagi komputer, angka sebanyak itu tidak dibutuhkan, sebab kode yang dibutuhkan bagi transistornya hanya dua – on (menyala) atau off (tidak menyala). 

Tapi kita tidak sedang akan bicara tentang sistem komputer ataupun sistem bilangan di sini. 

Kata biner, oleh Kamus Besar Bahasa Indonesia didefinisikan sebagai: “terjadi dari atau ditandai oleh dua benda atau dua bagian; serba dua”2. Sehingga kata biner, ketika digunakan untuk merujuk pada suatu pola pikir, menggambarkan pola pikir yang serba membedakan hal menjadi dua kutub – benar dan salah, baik dan buruk, positif dan negatif dan seterusnya. 

Jika diperhatikan, kita bertumbuh dan belajar dengan sistem yang sangatlah biner. Ada kunci jawaban untuk soal ujian. Artinya, selalu ada suatu jawaban yang dianggap paling benar dan tepat. Lain dari itu berarti salah. Ada cara terbaik untuk melakukan sesuatu, itulah sebabnya kita mengenal benchmark dan best practice dalam industri. Di luar itu berarti masih perlu perbaikan. 

Padahal, dunia tidak pernah melulu hitam dan putih. Antara hitam dan putih, terdapat banyak nuansa warna abu-abu. Warna hitam dan warna putih sendiri masing-masing memiliki banyak rona warna. Kita juga manusia, bukan transistor komputer yang hanya perlu menerima salah satu dari dua informasi yang ada. 

Praktisi meditasi dan yoga juga tidak lepas dari pola pikir biner ini. Banyak dari kita terpaku pada panduan meditasi yang disebut paling benar dan manjur, instruksi yoga yang paling tepat dan aman. Padahal, batin dan raga manusia itu unik. Karena unik, ragamnya jadi tak berhingga. Panduan yang benar untuk banyak orang, bisa jadi tidak tepat untuk beberapa orang. Instruksi yoga yang tepat dan aman untuk beberapa orang, belum tentu yang terbaik bagi banyak orang. 

Kita juga belajar bahwa inovasi seringkali muncul ketika menerapkan sesuatu yang jauh berbeda dari benchmark. Pada kenyataannya, melakukan sesuatu yang jauh di luar perilaku umum atau pun best practice memang seperti mencoba berdiri di atas pohon bambu yang sedang diterpa angin. 

Meskipun sudut pandangnya jadi jauh lebih luas dari atas, namun tidak mudah untuk berada di sana dengan stabil dan tidak gentar. Dan memang, selain karena cara kita bertumbuh, pola pikir biner ini lekat menjadi bagian dari kita semua juga karena pola pikir ini memberikan rasa aman dan tenang – seakan-akan kita punya pegangan. Padahal, pegangannya fana dan seringkali fiktif. 

Pada titik ini, barangkali ada baiknya kita renungkan, bisakah kita melihat warna putih jika di sekitarnya tidak ada warna hitam? Adakah satu hal yang benar tanpa kehadiran hal lain yang dianggap salah? Dapatkah kita menjadi sehat jika tidak menjadi sakit sebelum atau sesudahnya? 

Ketika hitam dan putih hanya bisa berada hanya jika Bersama-sama, dalam dunia di mana angka 8 dan 1000 bisa jadi merujuk kepada jumlah yang sama, kita perlu senantiasa mengingatkan diri sendiri setiap kali kita memberikan ‘nilai’ pada apapun – apapun nilainya. 

Jika kita menilai bahwa meditasi kita berantakan dan tidak ada kemajuan – betulkah? Jika kita menilai bahwa jenis latihan yoga kita adalah yang terbaik – betulkah? Coba ganti kata ‘meditasi’ dan ‘latihan yoga’ di atas dengan seribu satu hal yang ada dalam keseharian kita. 

Kita perlu menjadi ringan agar dapat berdiri di atas pohon bambu tanpa pegangan, tapi siapa tahu, rasa ringan ini akan bersama kita di mana pun, kapan pun. 

All in the world recognize the beautiful as beautiful. Herein lies ugliness.
“Seluruh dunia mengenali yang indah sebagai yang indah. Di sini hadir yang buruk rupa.”3

∼ Tao Te Ching

—————–
 1 No Boundary, Ken Wilber, Shambala Publications, 2001.
2 https://kbbi.web.id/biner
3 Tao Te Ching, translation by Charles Muller, Barnes & Noble Classics, 2005.  

*Penulis adalah Guru Yin Yoga dan Co-Owner Kalyana Yoga Studio