Tarekat Fraktus: Pengetahuan Jawa Sebagai Metode Media Baru
Oleh Alia Swastika
Ruang di Sri Sasanti Syndicate, Yogyakarta, pada sebuah Senin 31 Mei yang panas, tampak luang dan leluasa. Sebenarnya, cukup menyenangkan datang ke ruang seni pada masa covid, di mana acara seperti ini hanya dihadiri audiens terbatas, dengan protokol kesehatan yang cukup tertib. Kami punya waktu untuk saling berbincang dan menanyakan kabar, dalam nada yang hangat, sesuatu yang hanya terjadi melalui pertemuan fisik semacam ini. Performans/lokakarya ini adalah bagian dari seri panjang dari Sri Sasanti Syndicate dengan Agensi 56, di mana mereka mengundang beberapa seniman untuk merespons karya-karya Heri Dono dalam bentuk lokakarya atau performans, sehingga karya-karyanya bisa berdialog dengan generasi seniman yang lebih muda.
Memasuki ruangan, ada beberapa lukisan tergantung di dinding, tetapi karena lampu yang temaram, pandangan kami langsung tertumbuk pada dinding yang terisi proyeksi gambar dan tulisan, terbaca sebagai “Tarekat Fraktus”, dengan meja dan perlengkapan musik tertata di atasnya. Tak lama kemudian, Lintang Radittya, sang seniman memulai pertunjukan dengan menyapa dan mempersilahkan penonton untuk duduk dan mengikuti proses.
Lintang dan Joanna, seorang aktris teater yang saya kenal, memperkenalkan diri sebagai mereka yang akan memimpin upacara. Sejak awal mereka menyebut bahwa beberapa bagian dari performans akan merujuk pada bentuk peribadatan. Setelahnya, mereka meminta kami berdiri. Para penonton pun berdiri. Joanna membuka upacara dengan membacakan semacam pengantar tentang mengapa manusia berkumpul untuk merayakan nilai penting dari ilmu dan pengetahuan.
“Dzat yang Maha Fraktus/ terimakasih atas berkat untuk Nafas kami/ untuk gerak kami/ untuk hidup kami yang selalu menaungi semesta pola pola ini//
Jauhkan lah kami dari mara bahaya dan keburukan keburukan yang membuat kami jauh dari diri-Mu//” (kutipan teks pertunjukan)
Lintang kemudian mengenang beberapa nama yang telah memberikan dasar pemikiran dan peradaban manusia, dan karenanya, mereka mengajak audiens berkumpul atas nama tarekat fraktus. Setelahnya, penonton dipersilakan duduk kembali.
Keduanya memang meniru nada dan gestur dari pemimpin keagamaan, memberikan nuansa yang sangat dekat dengan sebuah ritual ibadah. Lintang Radittya mengawali pembacaan “manifesto”-nya dengan mengingat bagaimana manusia berjuang untuk memecahkan misteri alam. Paparan yang ia bacakan membawa pada gagasan dasar sebuah tarekat, di mana ia meyakini pengetahuan ilmiah semacam fisika dan matematika punya fungsi yang sama dalam meneguhkan kepercayaan manusia atas hidup. Semakin lama, kata demi kata, kita melihat pengetahuan sebagai sebentuk spiritualitas. Bahkan nama-nama tokoh dan ilmuwan pun ditempatkan sebagai Nabi:
Terimakasih….Terimakasih…. Terimakasih/ atas kekuatan Wahyu yang telah kau lewatkan kepada para nabi kami/ nabi Gopala dan Nabi Hermacandra/ Dan keutamaan wahyu-Mu yang luarbiasa pada Rasul Fibonnaci// (kutipan teks pertunjukan).
Saya sendiri mengenal Lintang Radittya dalam aktivitas lintas bidangnya yang menarik. Dengan latar belakang seni pertunjukan, belakangan ia mengulik kerja-kerja penciptaan bunyi, mengulik beragam kemungkinan untuk membangun bentuk yang berbeda atas pertunjukan (bunyi). Ia mengolah gelombang radio, menangkapnya dengan alat tertentu yang telah ia reka, kemudian menjadikannya sebagai material penghasil bunyi. Bagi saya, yang menarik dari praktik-praktik Lintang adalah kesadarannya atas pengetahuan lokal sebagai pijakan untuk memasuki lanskap penggunaan teknologi modern, alih-alih memainkan dan memanfaatkan teknologi dengan manasuka, Lintang mencoba memasukkan konteks dan pemikiran lokal yang membuat teknologi itu menjadi alat untuk mengembangkan filsafat keJawaan. Sepintas, praktik-praktiknya bahkan mendorong kami berpikir bahwa ia dekat dengan “klenik”, atau praktik spiritual kejawen. Lintang selama ini berupaya untuk menunjukkan bagaimana lanskap pemikiran Jawa sudah sejak lama mempunyai bahasa dan pendekatannya sendiri dalam memahami fenomena alam dan pengetahuan.
Dalam pertunjukan berbasis kuliah atau ceramah inilah, saya menemukan titik penghubung di antara praktik-praktik Lintang yang lintas bidang itu. Bentuk performans yang memparodikan (dalam pengertian positif) ritual ibadah, menunjukkan bagaimana spiritualitas menjadi konsep penting dalam karya-karyanya. Tidak banyak seniman menggunakan konsep ini dengan latar belakang dan pendekatan yang tepat dan masuk akal. Berada dalam performans Tarekat Fraktal ini, saya melihat titik yang saling terhubung antara pilihan bentuk, praktik seniman, serta narasi atau konten dari paparannya. Pilihan yang cerdas untuk mengolah tiga kata kunci “performans”, “ritual”, dan “sains”; meskipun bentuk tampilnya tampak sederhana.
“Saya melihat matematika sebuah “keyakinan”, yang saya fantasikan sebagai agama. Agama tentu berjalan dengan ritus. Fantasi atas kesemua unsur tadi diwujudkan dalam sebuah Tarekat Fraktus,” demikian penjelasan Lintang dalam salah satu perbincangan kami.
Lintang mengakhiri peribadatan sore itu dengan memutarkan “suara”—atau boleh disebut “musik”—yang diciptakannya dari pembacaan terhadap karya-karya Heri Dono, melalui sebuah mesin yang dirakitnya sendiri mengikuti mekanisme pemutar piringan hitam. Piringannya pun merupakan serpih-serpih sisa material yang ditemukannya di studio Heri Dono di Kalahan, sisi barat Yogyakarta. Bunyi yang kita dengar sendiri tampaknya masih bernuansa “bunyi acak” yang sering dikategorikan sebagai noise, dalam konteks praktik seni kontemporer. Respon itu bagi saya tidak berarti merangkum karya-karya Heri Dono, melainkan mengambil spiritnya yang paling mendasar, dan menampilkannya dalam bentuk dan nuansa zaman yang sama sekali berbeda. Dan saya kira, hal ini pula yang menjadi nilai lebih pertunjukan ini.
****
Heri Dono dapat disebut sebagai salah satu seniman Indonesia yang mempraktikkan media-media non-konvensional sejak awal karirnya pada periode akhir 1980an atau awal 1990an. Ia mendekati tradisi Jawa, sebuah lingkungan di mana ia belajar kembali gagasan dasar tentang seni, dan menampilkan tafsir yang pada saat itu terasa sangat segar—bahkan cukup radikal—atas bentuk-bentuk seni tradisi . Belajar dari Pak Kasman, seorang maestro wayang yang mendobrak beragam pakem dalam pertunjukan wayang, Heri Dono mereka bentuk-bentuk baru dalam mengolah wayag dan gagasan tentang performans. Tahun 1992, dalam Binal Art Experimental, ia memunculkan wayang legenda, sebuah pertunjukan di ruang terbuka—alun-alun selatan—di mana ia menciptakan bentuk-bentuk wayang sendiri yang mengkritik situasi politik Indonesia pada saat itu. Pertunjukan ini sendiri menjadi salah satu titik penting dalam perkembangan seni kontemporer di Indonesia, tidak saja menandai munculnya performans sebagai medium yang penting dan relevan, tetapi juga bagaimana seniman memperkenalkan gagasan seninya di ruang publik.
Pada periode waktu yang hampir sama, Heri Dono juga tertarik mengulik gagasan bunyi, melalui teknologi mekanik dan kinetik, di mana ia mengolah beberapa alat gamelan atau piranti penghasil bunyi lainnya dalam bentuk instalasi visual. Beberapa instalasi ini dapat bergerak sebagai sebuah ensamble yang mempertemukan gamelan dengan objek sehari-hari. Bentuk-bentuk inipula yang kemudian mengantar Heri Dono menjadi salah satu seniman Indonesia yang aktif berpameran di perhelatan seni internasional, dari Asia Pasific Triennale hingga Venice Biennale.
Ketika menyaksikan beberapa pertunjukan Lintang, atau karya-karya instalasinya yang dipamerkan sebelumnya, sepintas kita akan teringat Heri Dono. Tetapi, perlu digarisbawahi bahwa praktik menggubah tradisi adalah sesuatu yang wajar terjadi dalam skena seni di Yogyakarta. Setiap hari mereka masih melihat tradisi sebagai bagian dari hidup, yang nilai-nilainya pun masih sangat relevan, sehingga penggunaan tradisi sebagai atribut praktik seni kontemporer bukan lagi perkara pertarungan identitas, seperti yang acap digemakan oleh seniman dari generasi sebelumnya, melainkan justru penegasan atas nilai-nilai lokal yang membentuk identitas mereka dalam narasi global. Dalam konteks Lintang misalnya, menemukan kembali kebajikan dan pengetahuan Jawa sebagai pijakan praktik teknologi dan media baru, justru menjadi cara untuk meretas artikulasi keJawaan yang cenderung mapan. Eksplorasi atas media (yang tak lagi) baru, bukan semata-mata muncul karena tuntutan perkembangan seni kontemporer, tetapi justru karena pencariannya sendiri atas bagaimana kosmologi pengetahuan dikonstruksi dalam masyarakat sendiri.
*Penulis adalah kurator seni