Burung Cendrawasih

Papua dalam Catatan Awal Sejarah

Hari Suroto

Oleh Hari Suroto

Letak Papua sangat strategis berada di bagian paling timur Kepulauan Indonesia dan paling barat wilayah barat Pasifik. Papua menjadi jembatan yang menghubungkan Kepulauan Indonesia dengan Pasifik. Papua menjadi wilayah transisi ke Australia. 

Papua memiliki potensi sumberdaya alam yang sangat beragam dan melimpah. Potensi sumberdaya alam ini berupa hasil hutan maupun hasil laut. Hasil hutan yang terkenal dari pulau ini adalah pala yang terdapat di Kepala Burung, kopra dan kayu masoi yang terdapat di hampir seluruh pesisir Papua. Selain itu hutan Papua juga terdapat fauna endemik yang sangat terkenal, sehingga orang-orang berbondong-bondong ke pulau ini untuk memburunya. Fauna ini adalah burung cenderawasih (paradiseidae). Selain cenderawasih, Papua juga memiliki komoditi hasil laut antara lain mutiara, kulit buaya, kulit penyu, dan teripang.  

Selama ini tulisan-tulisan yang membahas Papua lebih banyak bersifat etnografi yang ditulis oleh antropolog Belanda pada abad ke-20. Tulisan berdasarkan sumber historis terutama berkaitan dengan  awal interaksi orang Papua dengan dunia luar belum pernah dilakukan. Penduduk Papua mulai mengenal membaca dan menulis sejak Belanda mulai serius menjajah pulau ini pada abad ke-20. Sebelum itu cerita masa lalu diwariskan secara turun temurun melalui tradisi lisan. Tulisan ini berusaha membahas hubungan Papua dengan dunia luar pada awal masa awal sejarah, dengan bukti artefak maupun sumber tertulis.

Bukti hubungan Papua dengan luar ditemukannya artefak perunggu produksi Dong Son (Vietnam Utara), Suatu hal yang mustahil adalah apabila masyarakat Dong Son mengadakan hubungan dagang secara langsung dengan Papua. Jadi dapat diasumsikan bahwa masuknya artefak perunggu ke Papua adalah dengan cara melalui serangkaian perantara yang termasuk dalam suatu jaringan perdagangan dari  barat ke timur.  Artefak perunggu ini tersebar  melalui jaringan perdagangan cengkeh, pala dan rempah-rempah lainnya  di negeri-negeri kecil di Semenanjung Malaysia dan Indonesia barat pada awal masa sejarah. Diperkirakan komoditas alat perunggu diperdagangkan oleh pelaut Austronesia kira-kira 300 SM.

Kemampuan Pulau Papua yang konsisten menghasilkan komoditas yang khas, sehingga selalu dibutuhkan dan menempati posisi penting dalam perdagangan. Papua memiliki daya tarik karena menyediakan komoditi yang langka, yaitu bulu burung cenderawasih. Temuan artefak perunggu di Kepala Burung dan Kawasan Danau Sentani membuktikan bahwa di wilayah ini terdapat penguasa yang mampu mendatangkan benda bermartabat dari luar wilayah kekuasaannya. Mereka adalah orang-orang yang mampu menggerakkan anak buahnya untuk berburu burung cenderawasih yang dibutuhkan di pasaran internasional. Komoditas ini diperdagangkan secara beranting oleh para pelaut-pedagang Austronesia. 

Pada awal abad ke-8, terdapat bukti hubungan antara pesisir Papua dengan Sriwijaya. Berdasarkan catatan kaisar China, utusan-utusan raja Sri Indrawarman dari Sriwijaya mempersembahkan burung-burung cenderawasih kepada kaisar Cina.

Foto Teluk Cendrawasih

Foto Teluk Cendrawasih

Bukti lainnya didapat dari informasi yang terdapat dalam syair XIV kitab Negarakertagama karya Prapanca tahun 1365. Di dalam Negarakertagama ini termuat daftar wilayah-wilayah yang berada dibawah kekuasaan kerajaan Majapahit. Salah satunya berada di wilayah paling timur yaitu Wwanin (Onin), Sran (Kowiai). Kemungkinan besar, tempat ini merujuk kepada salah satu wilayah di sebelah barat daya Kepala Burung atau merujuk ke Fakfak dan Semenanjung Bomberai.

Memang ada kemungkinan bahwa wilayah barat daya Papua pada abad ke-14 pernah didatangi oleh pedagang-pedagang dari Indonesia bagian barat, secara arkeologis di Raja Ampat pernah di temukan tempayan produksi Kerajaan Sukhothai Thailand (1238-1378). Tempayan jenis ini berfungsi menyimpan bekal air dalam pelayaran jauh. Diperkirakan bahwa para pedagang tersebut datang ke Papua dengan tujuan untuk mencari kulit kayu masoi (Cryptocarya massoy). Kulit kayu ini bentuknya mirip  dengan kayu manis dan menghasilkan minyak dengan rasa yang tajam dan aroma yang menyenangkan. Minyak ini apabila digosokkan ke kulit badan akan terasa panas. Minyak ini dipakai sebagai obat tradisional untuk sakit perut atau penyakit yang berkenaan dengan masalah pencernaan. Minyak ini juga dipergunakan khusus bagi wanita hamil untuk mencegah rasa kejang dan untuk proses penyembuhan sesudah melahirkan. Selain itu, minyak ini bisa dipakai sebagai salah satu bahan baku kosmetika dan parfum. Ia juga bisa dimanfaatkan sebagai penyedap makanan seperti kare. Manfaat lain minyak masoi adalah untuk membantu mendapatkan warna yang lebih permanen pada batik apabila dalam proses pewarnaannya batik-batik tersebut digunakan sedikit campuran minyak ini.

Makanan pokok penduduk Papua dan Kepulauan Maluku adalah sagu (metroxulon), keladi (colocasia), ubi (dioscorea alata) dan pisang (australimusa). Namun sebagian penduduk Maluku dan pesisir Kepala Burung pada abad ke-14 telah mengkonsumsi beras yang diimpor dari pelabuhan-pelabuhan penting Majapahit (Jepara, Tuban, Gresik, dan Ampel).

Dokumen historis menyebutkan bahwa pada abad ke-15, penduduk Biak di Teluk Cenderawasih memberikan berbagai hadiah kepada Sultan Tidore dan sebaliknya mereka pun diberikan berbagai jenis kain dan hak istimewa. Kemungkinan besar alat-alat besi termasuk komoditas penting yang dibawa pulang orang Papua. Selain perkakas dari besi, barang-barang lain juga biasa dibawa pulang oleh orang Papua adalah manik-manik, keramik, gerabah dan kain timor.

Hubungan dengan Tidore sangat menguntungkan penduduk Raja Ampat dan pesisir utara Papua untuk mendapatkan perkakas-perkakas dari besi. Kapak besi dan parang dibawa ke Ternate dari Luwu dan Kepulauan Tukang Besi. Di pesisir Papua tidak ada mengenal peleburan logam, yang ada hanya penempaan logam, sedangkan di pedalaman Papua dalam tradisinya tidak mengenal penggunaan alat  dari logam.

Selain hubungan dagang dengan Ternate, pesisir barat daya Papua juga telah menjalin hubungan dengan Seram Laut. Para pedagang Seram Laut memusatkan perdagangannya di wilayah Semenanjung Bomberai, sebelah selatan Teluk Bintuni. Dengan cara perkawinan campuran dengan perempuan asli Papua, para pedagang inipun kemudian mendirikan pusat perdagangan muslim di daerah itu. Inilah alasan mengapa sebagian besar orang Papua yang berdiam di wilayah Fakfak menganut agama Islam. Tercatat beberapa desa di Kepulauan Raja Ampat juga telah menerima agama Islam sekitar abad ke-16, meski jumlahnya tidak banyak. Perkampungan muslim pertama diperkirakan didirikan tahun 1512 di Pulau Misool. Pedagang Seram Laut dalam pelayaran terjauhnya juga telah mencapai wilayah Trans-Fly, yang sekarang disebut dengan Papua Nugini. 

Foto Kampung Islam tertua di Papua

Foto kampung Islam tertua di Teluk Mayalibit, Pulau Waigeo, Raja Ampat

Komoditas dagang yang dibawa oleh pedagang Seram Laut adalah peralatan dari besi, tekstil, keramik, meriam kuningan, anting-anting kuningan, anting-anting perak, manik-manik dan piring-piring porselin besar. Sebagai gantinya, mereka membawa pulang kulit kayu masoi, damar, mutiara, kulit penyu, teripang, kulit buaya, dan kopra.

Pada abad ke-16, orang Eropa mulai datang ke Papua, berawal dari  yang suatu kebetulan karena dalam pelayarannya menuju ke Ternate, arah angin membelokkan perjalanannya lebih ke arah timur. Ia pada akhirnya mendarat di pesisir utara wilayah Kepala Burung. Selanjutnya ia menamakan pulau tersebut sebagai Ilhas dos Papuas, yang merupakan bahasa Portugis untuk ‘Pulau orang-orang Papua”.

Setelah itu, akibat dipicu oleh persaingan Portugis dan Spanyol untuk menguasai lalu-lintas perdagangan cengkeh, pada 1529 seorang pelaut Spanyol bernama Alvaro de Saavedra berlayar dari Meksiko melintasi Samudra Pasifik dengan misi utama membebaskan seorang prajurit Sepanyol yang ditawan Portugis di Tidore. Misi lainnya adalah untuk mencari pulau yang diisukan sebagai ‘pulau emas’. Sepulang dari Tidore, Saavedra mendarat di Biak, yang disebutnya sebagai ‘Isla de Oro’ bahasa Spanyol untuk ‘Pulau Emas’. Namun ternyata di Pulau ini Saavedra tak menemukan sekeping emas pun. Selain Saavedra, misi pencarian emas di Papua juga dilakukan oleh sebuah ekspedisi Spanyol lainnya. Kapal ekspedisi ini kemudian kandas dan karam di Teluk Cenderawasih. Sejumlah tujuh orang yang selamat dalam ekspedisi ini lantas ditangkap dan dijadikan budak oleh orang-orang Papua; ketujuh orang tersebut bisa dianggap sebagai ‘penduduk’ kulit putih pertama di Papua. Para tawanan itu akhirnya dibebaskan setelah ditebus dari para pemimpin Papua waktu itu dengan harga yang sangat mahal.

Nama New Guinea diberikan oleh seorang Spanyol bernama Ynigo Ortiz de Retes. Retes dengan kapal San Juan berlayar dari Meksiko. Ia mendarat di muara Sungai Amberno, Sarmi pada 20 Juni 1545. Pulau Papua diberinya nama New Guinea karena menurutnya, orang Papua mirip dengan orang Afrika di pesisir Guinea. Sungai Amberno diberi nama Santo Agustin. Ortiz de Retes mengadakan upacara kecil dan menyatakan pulau yang dijejaknya sebagai milik Raja Spanyol. 

Orang-orang pribumi Papua memuat sejumlah kelapa ke atas kapal San Juan. Mereka datang dari sebuah pulau yang oleh Spanyol diberi nama Pulau Cerin. Mereka berada di Pulau itu selama 13 hari karena cuaca buruk. Ketika cuaca agak membaik, dari daratan pulau besar New Guinea datang 15 perahu sampan dengan awak sebanyak 50 orang. Setelah melihat-lihat kapal, orang-orang Papua segera pergi. Ketika cuaca telah membaik, orang-orang Spanyol meninggalkan Pulau Cerin dan berlayar menuju ke Kepulauan Raja Ampat. Orang-orang Spayol menamakan Kepulauan Raja Ampat dengan Kepulauan Magdalena (ilhas de Magdalena). Seperti pengalaman para penjelajah sebelumnya, Retes juga tak menemukan emas di Papua, eksplorasi Kapal San Juan berlangsung hingga akhir Agustus dan baru kembali ke Tidore pada 3 Oktober 1456.

Pada abad ke-17, pelaut Sepanyol bernama Luis Vaez de Torres dalam pelayarannya dari Pulau Solomon, menyusuri pantai selatan Papua. Dari pelayaran ini, Torres menyimpulkan bahwa Papua dan Australia merupakan dua daratan terpisah. Ia akhirnya mendarat di sebuah teluk yang dinamainya sebagai San Pedro de Arlanca (sekarang dikenal dengan nama Teluk Triton). Di sini, dia melihat dan kemudian menulis dalam laporan perjalanannya bahwa orang-orang Papua telah mengenal menempa besi.

Foto Penulis bersama anak-anak Papua

Foto Penulis bersama anak-anak Papua

Pada tahun 1606, kapal-kapal Belanda pertama berlayar di sepanjang pesisir Papua. Pada masa itu, Belanda telah mengambil alih kendali lalulintas perdagangan cengkeh dari Portugis, Spanyol dan Inggris. Pelaut Belanda yang bernama Kapten William Jasz lantas berlayar sepanjang pesisir barat dan pesisir selatan Papua. Misi utamanya adalah pemetaan ia mendarat di berbagai tempat, salah satu tempat tersebut adalah muara Sungai Digul. Pada tahun 1616, dua orang pelaut Belanda Jacob le Maire dan Willem Schouten menjelajahi pesisir utara Papua, termasuk Biak dan Yapen. Willem Schouten kemudian memberi nama Kepulauan Biak dengan nama Kepulauan Schouten. Sesudahnya, pada tahun 1623, Jan Carstensz dalam pelayarannya melintasi pantai selatan Laut Arafura sempat menyaksikan salju di puncak gunung tertinggi di Papua. Laporan perjalanannya menjadi bahan tertawaan orang-orang Eropa yang sulit menerima kenyataan bahwa di daerah tropis dekat khatulistiwa bisa ditemui adanya salju. Puncak tertinggi yang dilihat Cartensz itu sekarang dikenal dengan nama Puncak Jaya. 

Pada tahun 1660, Belanda membuat kesepakatan dengan Sultan Tidore sebagai pemilik Pulau Papua, yang menyebutkan bahwa tidak ada orang Eropa lain yang berhak masuk ke Papua selain Belanda. Dalam perkembangannya kemudian, Papua dimasukkan ke dalam wilayah jajahan Hindia Belanda. Namun karena Papua bukanlah merupakan sumber pemasukan yang berarti bagi Belanda maka pulau ini hingga awal abad ke-20 tidak terlalu dihiraukan oleh Belanda.

Papua dikenal oleh dunia luar karena memiliki komoditas endemik yaitu burung cenderawasih dan kayu masoi. Hubungan Papua dengan dunia luar melalui serangkaian pelayaran-pelayaran perdagangan. Kontak dengan dunia luar ini hanya berlangsung di pesisir saja, sedangkan penduduk pedalaman terisolasi oleh keadaan alam yang sulit dijangkau, penduduk pedalaman mengembangkan kehidupan khas masing-masing sebagai hasil adaptasi terhadap lingkungan setempat. 

Walaupun Papua diklaim menjadi jajahan Belanda, tetapi pemerintah Belanda mulai serius menjalankan pemerintahan di pulau ini awal abad ke-20. Papua dijadikan Belanda sebagai tempat pembuangan tahanan politik, dan menjadi tempat tugas yang baru bagi pegawai Belanda yang tidak disiplin menjalankan tugas di Pulau Jawa. Selain menempatkan pegawai Belanda yang tidak disiplin, pemerintah jajahan Belanda juga mengirimkan antropolog-antropolog untuk mempelajari kehidupan sosial budaya penduduk Papua. Melalui catatan dan publikasi antropolog-antropolog Belanda itulah, Papua mulai dikenal dunia. Meskipun demikian hingga saat ini Papua masih menjadi syurga bagi para peneliti, karena masih banyak yang belum terungkap. 

*Penulis adalah peneliti di Balai Arkeologi Papua