Mengenal “Khomboyeu” Rumah Budaya Suku Sentani

Oleh Ida Bagus Gede Surya Peradantha

Dewi Robongholo. Masyarakat Suku Sentani, Papua mempercayai kekuatan ilahi yang diyakini terus menerus melindungi mereka, yang disebut sebagai Dewi Robongholo. Kepercayaan ini  merupakan refleksi dari kedekatan diri masyarakat Suku Sentani dengan alam lingkungan.

Kepercayaan masyarakat Sentani terhadap Dewi Robogholo ini menurut saya dapat dicari padananya pada kepercayaan spiritual nusantara manapun. Dharsono (2013:32) misalnya  menyebut manusia Jawa selalu berusaha mendekatkan diri kepada Tuhan dengan cara menyelaraskan diri dengan alam lingkungan sehingga terjadi hubungan imanen antara diri pribadi manusia (mikrokosmos) dengan alam lingkungan (makrokosmos) serta hubungan dirinya dengan tuhan (transenden).

Hubungan transenden dan imanen (mikrokosmos-makrokosmos) ini juga terdapat dalam dengan konsep Tri Hita Karana (tiga kerangka konsep keharmonisan) Agama Hindu masyarakat Bali. Dalam konsep tersebut  terdapat hubungan antara manusia dengan tuhan (Parahyangan), manusia dengan sesama manusia (Pawongan) dan manusia dengan alam lingkungannya (Palemahan).

Suku Sentani adalah salah satu etnis Papua yang hidup di seputaran tepi Danau Sentani, Papua. Secara logat bahasa, masyarakat Suku Sentani terbagi menjadi tiga wilayah : (1) Sentani Barat; (2) Sentani Tengah dan (3) Sentani Timur. Masyarakat Suku Sentani ini tinggal di 28 kampung yang tersebar di ketiga wilayah tersebut, yang mana ragam kebudayaannya juga beragam meski memiliki akar yang sama. Persamaan yang ada dalam kebudayaan Suku Sentani adalah secara umum mereka memiliki mata pencaharian yaitu mengolah sagu, berkebun, menangkap ikan dan berburu (Modouw & Mawene, 2019 : 12).

Orang Sentani mempercayai konsep kosmologi dengan adanya pembagian alam menjadi 3 yaitu : (1) Alam atas yang dihuni para leluhur dan kekuatan utama penguasa dunia yang disebut Dewi Robongholo; (2) alam tengah yaitu tempatnya manusia, hewan, tumbuhan dan roh orang mati serta (3) alam bawah yang dihuni orang mati (Kamma 1975 dalam Modouw dan Mawene, 2019 : 13).

Selain itu, mereka juga masih mempercayai sistem religi yang sama yaitu percaya dengan kekuatan animisme-dinamisme yang tertuang dalam konsep kosmologi penciptaan bumi yang mana mereka meyakini ketika sebelum ada kehidupan sama sekali, terdapat sebutir telur yang tercipta dari langit. Telur pun kemudian menetas ketika angin utara berhembus dan tercipta makhluk perempuan yang disebut kani (bumi).

Pada saat itu, konon meurut mitologi Suku Sentani, para manusia bebas naik turun dari langit ke bumi karena jaraknya yang sangat dekat. Mereka melewati pohon beringin (yowake) yang diubungkan dengan tali yang terbuat dari awan (Ibid, 2019:13). Mitologi ini merupakan saah satu dari beberapa mitologi lain mengenai penciptaan manusia di wilayah Sentani.

Khomboyeu adalah rumah adat khas Suku Sentani yang didirikan khusus untuk mengajarkan unsur religi dan pendidikan dari para tetua adat kepada para generasi muda. Di dalam rumah ini, para tetua adat akan memberikan pembelajaran mengenai dewa yang diyakini, keberadaan roh nenek moyang yang perlu selalu diingat dan keberadaan roh-roh yang mendiami tempat tertentu seperti di danau, hutan, batu dan pohon.

Pada bidang pendidikan, para generasi muda juga dididik untuk mengenal kearifan lokal mengenai aktivitas berburu, memanfaatkan alat-alat tradisional dan berkebun. Selain itu, pendidikan juga menyentuh ranah karakter seperti sikap saling menghormati, disiplin, mencintai alam dan lingkungan.

Khomboyeu, Rumah Budaya Suku Sentani

Gambar Khomboyeu, Rumah Budaya Suku Sentani di Kampung Asei, Papua. (Sumber : Hari Suroto, 2021)

Pada masa kini, Khomboyeu masih tetap dipertahankan dan difungsikan sebagaimana mestinya oleh Suku Sentani. Meskipun sejak tahun 1920-an agama Kristen mulai masuk diperkenalkan dan diimani oleh sebagian besar masyarakat Suku Sentani, kearifan lokal dan kepercayaan lama masyarakat tidak serta merta ditinggalkan. Demikian pula terhadap keberadaan Khomboyeu, ia tetap menjadi ruang pendidikan budaya dan estetika lokal ala Suku Sentani untuk membentuk karakter asli masyarakat setempat.

Kepercayaan terhadap Dewi Robongholo dan rasa syukur terhadap alam sekitar ini dicerminkan salah satunya melalui budaya Isolo, suatu tarian rasa syukur yang dipresentasikan di atas perahu yang mengapung di Danau Sentani. Mereka pun masih meyakini kesakralan seorang Ondoafi/Ondofolo (kepala suku) yang dipercaya sebagai personifikasi dewa atau kekuatan roh leluhur di dunia nyata.

Khomboyeu singkatnya adalah contoh bagaimana masyarakat Suku Sentani mengawal kearifan lokal mereka terwarisi secara generatif. Melalui khomboyeu, adaptasi hidup generasi muda Suku Sentani dibentuk melalui pendidikan fisik dan psikis. Tetua adat Suku Sentani telah mengajarkan kita bagaimana seharusnya sikap sebagai manusia Indonesia merawat kebudayaan lokal dan estetika nusantara melalui rumah budaya Khomboyeu.

Estetika Nusantara ala Suku Sentani terwujud berkat adaptasi manusia Nusantara di Sentani yang bersifat transenden – imanen untuk mencapai kesempurnaan sejati yang tercermin melalui aktivitas pendidikan karakter manusia di dalam rumah kebudayaan khomboyeu. Kesiapan hidup masyarakat Suku Sentaniuntuk mentransmisikan  nilai-nilai kearifan lokalnya ke generasi –generasi  menurut saya dapat dijaga sekaligus dimanfaatkan oleh para akademisi untuk diterjemahkan ke dalam karya seni atau karya tulis sebagai bagian dari diplomasi kebudayaan nusantara. Dengan menghampakan diri menerima kearifan kebudayaan lokal dimana kita berpijak maka kita akan dapat menyerap nilai-nilai di dalamnya dan merelevansikannya dengan kebutuhan zaman sekarang melalui karya seni.

*Mahasiswa Program Pascasarjana Program Doktor ISI Surakarta Jalur Pengkajian Seni dan dosen PNS di Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Tanah Papua

———-

Sumber Pustaka :

Bellah, Robert N. (2011). Religion in Human Evolution, From the Paleolithic to the Axial Age. London : The Belknapp Press of Harvard University Press.

Dharsono. (2011). Wacana Seni Nusantara, Konsepsi Modern dengan Sentuhan Tradisi. Jakarta : Universitas Tri Sakti.

Hidayah, Wardahtul dan Nuril Azizah. (2018). Pengembangan Wawasan Kebudayaan Melalui Teks Cerita Rakyat “Ta’butaan” Dengan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw. Makalah Seminar Nasional IV PS PBSI FKIP Universitas Jember. 263-276.

Modouw, Wigati Yektiningtyas dan Aleda Mawene. (2019). Ungkapan Tradisional Sentani, Dokumentasi dan Revitalisasi. Yogyakarta : UNY Press.

Suroto, Hari. (2021). Mengenal Rumah Adat Asei, Tempat Mendidik Anak-Anak Papua. Alamat web : https://portalsains.org/2019/09/10/mengenal-rumah-adat-asei-tempat-mendidik-anak-anak-papua/. Diakses pada 22 Desember 2021 pukul 18:45 WIB.